My Books

WHEN LOVE IS NOT ENOUGH: THE EXCERPT

 

Hujan rintik membasahi bumi saat jasad Leyna dimakamkan sore ini. Linus yang menggendong jenazah anaknya, pelan-pelan membaringkannya di lubang yang tidak lebih besar daripada ukuran dua kotak sepatu. Leyna Jasmine Zainulin. Nama yang tertulis di batu nisan di atas kepala Leyna. Meninggal kurang dari enam bulan setelah dilahirkan.

Saat seorang suami ditinggal mati oleh istri, maka dia disebut duda. Istri yang ditinggal mati suami, dia disebut janda. Anak yang ditinggal mati ayah, dia dinamakan yatim. Dan anak yang ditinggal mati ibu, dia dinamakan piatu.

Bagaimana dengan seorang ayah atau seorang ibu yang ditinggal mati anaknya? Tidak ada nama untuk mereka. Mungkin orang tidak berpikir untuk memberikan sebutan bagi orang sepertinya dan Lily.

“She is in a better place.” Garet, salah satu teman main bola Linus, yang datang ke pemakaman menyampaikan dukanya.

Linus hanya mengangguk dan memberi Garet setengah pelukan.

“She is not in the better place. Her better place is in my arms.” Lily tidak bisa menahan emosi saat Garet sudah pergi dan Linus ikut duduk di sampingnya. Memperbaiki letak bunga Lily putih—yang sengaja dicari Linus hari ini—di dekat batu nisan.

“Ayo pulang, Ly!” Linus melingkarkan tangannya ke bahu Lily.

“Puas?” tiba-tiba Lily berdiri. “Puas kamu melihat anakmu seperti ini?” tanyanya dengan wajah penuh amarah.

“Berapa tahun lagi sampai dia akan digantikan oleh jenazah orang lain?”

Di sini pemakaman tidak bisa dipertahankan selamanya. Ada jangka waktu yang harus dipatuhi. Setelah ini akan ada orang-orang lain yang meninggal dan memerlukan pemakaman. Mau tidak mau, karena tanah yang tersedia tidak seluas di Indonesia, jenazah-jenazah akan selalu ditimpa dengan yang baru. Batu nisannya akan menampilkan berbaris-baris nama seperti absensi sekolah dasar.

“Empat puluh tahun….” Linus memberi tahu. Siapa yang menyangka bahwa uang yang ditabungnya, yang sedianya untuk biaya pendidikan dan mencari rumah dengan halaman yang agak luas, harus digunakannya untuk menyewa tanah makam. Makam anaknya.

“Selamat karena kamu mendapatkan hidup yang kamu inginkan….” Suara Lily hilang ditelan desau angin musim semi.

Langkah Linus berat ketika meninggalkan Leyna sendirian tidur di sana. Kematian seorang anak adalah pengalaman paling buruk yang bisa dialami oleh orangtua. Kalau bisa, Linus ingin menukar dengan nyawanya. Akan lebih baik bagi Lily kalau dirinya yang mati, bukan anak mereka.

***

Linus berdiri diam di depan pintu flatnya. Satu bulan ini dia sengaja membuat dirinya pulang terlambat. Duduk di kafe sampai larut setelah jam kerjanya berakhir. Karena tidak ingin melihat Lily di rumah mereka. Yang ada di sana bukan Lily yang selama ini dikenalnya. Melainkan sosok yang sama sekali berbeda. Parahnya, Lily menjadi seperti itu karena salahnya. Dirinyalah yang membuat Lily menderita, tidak heran kalau Lily berubah sikap 180 derajat. Menjadi membencinya. Sangat membencinya.

Setelah menarik napas panjang, perlahan Linus mendorong pintu di depannya. Seperti yang diduganya, Lily duduk di sana. Di sofa di depan televisi. Bukan sedang membaca buku atau menghadap laptopnya—seperti yang biasa dilakukan Lily setiap kali menunggu Linus pulang kerja. Juga bukan Lily yang sedang duduk menyusui Leyna. Yang ada di sana adalah Lily yang duduk sambil menatap kosong layar televisi yang tidak menyala.

Masih ada bekas air mata di pipinya. Tidak ada lagi binar-binar semangat di matanya. Apalagi suara ceria yang menyapa Linus begitu pintu terbuka. Atau Lily yang tersenyum sambil memberi tahu apa menu makan malam mereka hari ini. Kedua hal itu sudah menghilang sejak satu setengah tahun yang lalu. Api kehidupan seperti padam dari sosok yang sudah dikenal Linus sejak umurnya belum genap dua tahun itu.

Linus berjalan pelan menuju kamar, berusaha tidak mengganggu Lily yang sedang sibuk memikirkan apa pun di kepalanya. Yang membuat Linus semakin merasa tidak berguna, dia tidak bisa melakukan apa pun untuk sekadar tahu apa yang sedang dirasakan istrinya—selain kesedihan dan kebencian yang terlihat jelas. Bagaimana dia harus mendekatinya? Seperti ada tapal batas yang dipasang Lily dan tidak boleh dilanggar oleh siapa pun, terutama Linus.

“Aku mau bicara.”

Suara Lily membuat Linus menghentikan langkahnya. Untuk pertama kalinya dalam satu bulan ini, Lily mengajaknya bicara lebih dulu. Apa ini pertanda baik atau buruk, Linus tidak tahu. Dia berbalik dan ikut duduk di sofa di samping Lily.

“Aku ingin kita berpisah,” jelas sekali Lily mengatakannya. Tidak pakai basa-basi.

Sebelumnya, Lily sudah menyebut soal ini berkali-kali saat Linus mencoba menyapa dan dia tidak bisa terus pura-pura tuli. Istrinya ini mau tinggal di sini sebulan lebih lama, hanya untuk mendengar kalimat kesediaan berpisah dari mulut Linus, Linus tahu itu. Hanya saja Linus tidak ingin mempercepat vonis atas nasib pernikahan mereka.

“Ly, kamu … kita semua … masih sedih dan kehilangan, jadi sebaiknya kita nggak membicarakan ini sekarang.” Linus tidak ingin membuat keputusan saat emosi sedang menguasai hati mereka. Mereka sedang tidak bisa berpikir jernih dan bisa jadi suatu hari nanti menyesali keputusan ini.

“Besok atau kapan pun, keputusanku akan tetap sama. Aku mau kita berpisah,” tegas Lily, tidak ingin dibantah.

Linus memandang bayangan mereka yang samar terpantul di layar televisi datar di depannya. Dulu dia dan Lily tidak pernah duduk berjauhan seperti ini. Lily di ujung kanan dan Linus di ujung kiri. Ada jarak yang muat ditempati satu orang di antara mereka. Mereka selalu duduk berimpitan. Atau sambil berpelukan. Bahkan Lily sering naik ke pangkuannya.

“Aku masih sibuk, Ly. Belum ada waktu untuk mengurus itu.”

Apalagi yang harus dilakukannya untuk menahan pernikahan ini lebih lama lagi? Di mata Lily, jelas dia tidak lagi memiliki kualifikasi sebagai seorang suami. Apalagi ayah. Tidak sama sekali. Kecuali kenyataan bahwa dia menyumbang setengah dari jumlah kromosom Leyna. Hanya itu satu-satunya hal yang membuatnya masih diakui sebagai ayah dari Leyna.

“Aku bisa mengurusnya. Lebih cepat lebih baik. Kita berpisah dan hiduplah bahagia seperti yang kamu inginkan. Ini yang kamu mau, kan? Kamu bilang kamu nggak menginginkan Leyna, sekarang Leyna sudah pergi dan kamu bisa hidup damai dan bahagia.” Tanpa perlu menunggu jawaban, Lily berdiri dan berjalan meninggalkan Linus.

Linus mengacak rambutnya, frustrasi. Berapa lama dia mengenal Lily? Dua puluh delapan tahun? Usia persahabatan mereka sama dengan usia Lily. Waktu yang sangat cukup bagi Linus untuk hafal bahwa Lily adalah orang yang paling keras kepala yang pernah dikenalnya. Kalau Lily punya keinginan, tidak ada seorang pun yang bisa membelokkannya.

Masalahnya kali ini, keinginan Lily adalah berpisah dengannya. Lily kukuh memperjuangkannya. Apa yang harus dilakukan Linus untuk membuat Lily mengubah keinginannya itu?

Selengkapnya dapatkan di

Gramedia

Scoop

Amazon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *