Blog

Menulis Novel: Agar Tidak Bosan dan Berhenti di Tengah Jalan

Apa aku pernah bosan dan berhenti di tengah jalan saat menulis novel, adalah pertanyaan yang kudapatkan di media sosial Threads. Mungkin pertanyaan ini menggelitik beberapa orang, sebab aku sering bilang aku sudah menulis 18 novel dan menerbitkan 15 di antaranya. Jawabannya pernah, tapi dulu saat aku masih belajar menulis. Tidak terhitung berapa kali aku menulis sebuah naskah, berhenti di tengah jalan dengan berbagai alasan, lalu mulai lagi proyek baru, macet lagi, begitu berulang-ulang. Aku debut dengan naskah keempat yang berhasil kuselesaikan.

Apa yang aku lakukan agar bisa menulis novel hingga selesai tanpa bosan dan berhenti di tengah jalan, adalah pertanyaan lanjutan yang kuterima. Aku menjawabnya di Threads, tapi tidak leluasa karena keterbatasan ruang jadi aku merekamnya juga di sini. Harap diingat, bahwa tips seperti ini bersifat subyektif. Berdasarkan pengalamanku. Apa yang berlaku untukku belum tentu berlaku untuk orang lain. Jika cocok, silakan digunakan. Kalau tidak, untuk pengetahuan saja.

Yang kulakukan agar tidak bosan dan berhenti di tengah jalan saat menulis novel:

  1. Memilih ide cerita yang tepat. Ide bagus, menarik, dan menjual saja nggak cukup. Yang lebih penting, ide itu harus membangkitkan antusiasmeku. Membuatku nggak sabar ingin cepat mengubahnya menjadi cerita. Sebisa mungkin aku menulis cerita yang kusukai, karena dengan begitu aku akan bahagia dan nggak mudah mencampakkan atau menelantarkan cerita tersebut. Saat debut dulu, aku mencari persimpangan ide cerita yang kusukai—ada idealismeku juga di dalamnya, ha!—dan cerita yang bisa dijual.
  1. Menulis novel dalam waktu sesingkat mugkin. Sebelum antusiasmeku luntur, novel itu harus sudah selesai kutulis. Pernah dengar NaNoWrimo? Tetapi sebelumnya, aku nggak menyarankan siapa pun mengikuti kegiatan ini dengan menggunakan tagar, hyping, mengunjungi situsnya, apa pun sebab pengelolanya ditengarai terlibat pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dan pro-generative-AI. Aku menjadikan NaNoWriMo sebagai contoh sebab belum menemukan program sejenis. NaNoWriMo biasanya dilaksanan bulan November, di mana dalam 1 bulan tersebut seseorang menulis 50.000 kata—panjang minimal sebuah novel. Aku menerapkan itu untuk menulis novelku. Entah apa-apa isinya, yang penting dapat 50.000 kata dalam waktu 30 hari. Tujuan draft pertama bukan untuk menghasilkan cerita yang bagus atau sempurna. Tetapi untuk menumpahkan apa yang ada di kepala ke dalam dokumen. Jelek, nggak nyambung, nggak masuk akal, kebanyakan dialog, kepanjangan narasinya, masa bodoh. Yang penting aku punya satu novel yang selesai. Nanti aku bisa mengedit novel tersebut dalam beronde-ronde self-edit. Kalau perlu, aku mut*lasi naskah itu. Membuang bagian yang tidak perlu lalu menambahkan bagian baru. Lebih mudah mengedit naskah yang sudah ada daripada mengedit halaman kosong.
  1. Nggak menceritakan apa pun tentang novel yang sedang kutulis kepada orang lain. Sering menceritakannya hanya akan membuatku bosan karena aku terlalu familier. Baik dengan ide, rencana, dan sebagainya. Kamu nggak perlu masukan atau pujian dari orang lain pada tahap ini. Masukan hanya akan membuat rencanamu berantakan, bahkan semangatmu hilang. Sedangkan pujian membuatmu berpuas diri sehingga overwrite—menulis terlalu banyak—atau bahkan tidak ingin melakukan self-edit. Kalau kamu ingin mengunggahnya di aplikasi, ada baiknya. tunggu sampai naskahmu selesai dan kamu sudah melakukan satu kali self-edit. Selain lebih enak dibaca, itu juga untuk melindungi kesehatan mentalmu.
  1. Mengerjakan dua novel dalam waktu bersamaan. Kalau bosan dengan yang satu, pindah ke yang lain. Begitu juga sebaliknya. Karena aku ADHD, cara ini nggak bergitu efektif untukku. Aku lebih mudah hiperfokus pada 1 naskah sampai selesai. Tetapi banyak yang menyukai cara ini.
  1. Setiap sesi menulis yang sudah kujadwalkan, aku memaksa diriku duduk di depan laptop dan mengetik kalimat selanjutnya. Ini untuk mendisiplinkan dan membiasakan diriku, bahwa setiap pukul delapan malam aku harus memproduksi bagian cerita. Banyak orang tidak menyukai teknik ini—hahaha aku pernah nyaris dihujat saat mengutarakan online—sebab menurut mereka kreativitas nggak bisa dipaksa-paksa. Kalau macet, ya berhenti. Nanti saat lancar, menulis langsung 10.000 kata. Tetapi aku nggak akan pernah melakukan itu. Aku lebih suka konsisten menulis 2.000 kata per sesi daripada 5 sesi tidak menulis sama sekali. Pemaksaan selalu berhasil untukku. Seperti keran air yang tersumbat, aku harus buka dulu, supaya air yang pertama lewat bisa mendorong kotorang yang menyumbat lalu aliran menjadi lancar. Awalnya akan tersendat tapi lama-lama akan normal. Airnya bisa juga kotor di awal, tapi itu bisa disaring atau dibuang, dan lama-lama aku akan mendapatkan air yang bersih. Kata-kata juga seperti itu. Pertama tesendat, lalu keluar tapi nanti perlu dihapus, dan seterusnya.
  1. Kalau sudah sangat bosan, nggak ada antusiasme sama sekali, ya sudah ditinggalkan saja naskah itu. Ganti mengerjakan naskah selanjutnya yang lebih menarik. Nanti tahun depan, atau 2 tahun lagi atau 5 tahun lagi, tengok kembali naskah tersebut. Siapa tahu kita ada pendekatan baru untuk menyelesaikannya. Ini terjadi padaku. Aku menulis The Dance of Love pada tahun 2017 tapi aku merasa nggak yakin. Jadi aku tinggalkan dan kerjakan lagi tahun 2019. The Dance of Love terbit tahun 2023.

Jangan lupa, kita harus berbahagia dalam setiap proses kreatif. Sebab kalau berat dan menderita saat menulis sebuah novel, pasti akan sulit untuk mengajak diri sendiri menyelesaikannya. Menikmati proses kreatif ini sangat penting, sebab inilah satu-satunya hal yang bisa kita kontrol 100%. Proses selanjutnya, aspek bisnis seperti melamarkan ke penerbit, menunggu jawaban—ada kemungkinan ditolak dan bahkan di-ghosting—lalu nanti revisi dengan editor, terbit, promosi, review pembaca, bisa jadi tidak semenyenangkan yang kita bayangkan.

Sekarang, setelah aku sudah profesional, aku memperlakukan penulis sebagai profesi. Sama seperti bekerja di kantor, kadang aku nggak ingin berangkat tapi harus tetap masuk. Kalau sudah masuk sesi menulis yang kujadwalkan sendiri, ya aku harus menulis. Kecuali aku sakit, baik fisik atau mental, baru aku akan mangkir.

Aku tidak bisa memprediksi kapan editor akan menghubungiku dan memintaku mengerjakan revisi. Kalau itu terjadi di tengah-tengah aku menulis naskah baru, ya aku harus berhenti untuk menyelesaikan revisi. Seringkali juga aku harus menunda menyelesaikan naskah sebab sibuk mempersiapkan terbitnya bukuku, menerbitkannya, promosi, dan lain-lain.

Kalau semua sudah beres, aku harus kembali ke naskahku yang kutinggalkan sementara itu dan melanjutkan menulis dengan antusiasme yang sama. Sudah nggak boleh macet-macet lagi, nggak bisa gonta-ganti proyek, karena waktu yang kumiliki nggak sebanyak saat aku masih belum debut dulu. Ada kewajiban-kewajiban sebagai penulis yang harus kulakukan. Selain itu, aku juga mengidap gangguan kecemasan dan depresi sehingga semakin sedikitlah waktu yang kumiliki.

Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku menetapkan target realistis menulis dan menerbitkan 1 buku dalam 1 tahun.

Penulis bestseller dan telah menerbitkan 15 buku, di antaranya Boulevard of Wedding Dreams, Janji Dari Rovaniemi, The Dance of Love, Right Time To Fall In Love, The Promise of Forever, The Perfect Match, A Wedding Come True, dan My Bittersweet Marriage. Beberapa cerpen karya Ika Vihara menjadi juara lomba menulis tingkat nasional. Follow Ika Vihara di semua media sosial dengan username ikavihara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *