My Bookshelf

MEMELUK OKTOBER

Oktober, setahun yang lalu

Aku rindu hujan. Meski aku benci hujan. Hujan dan kamu. Hujan pernah mengiringi salah satu kebersamaan kita. Ketika aku sudah bisa berdamai dengan waktu, malam mingguku tak lagi kugunakan untuk mengingatmu dengan air mataku, walaupun aku juga tidak bisa mengingatmu sambil mengulas senyum.

***

Saat itu, pertama kalinya dalam hidupku aku mau mengajak lelaki kencan di malam minggu. Aku? Tak habis pikir siapa kamu bisa membuatku berbuat begitu. Istimewa ya kamu?

Tidak tahu apa yang sedang kupikirkan saat aku mulai mengetikkan pesan singkat Sabtu malam itu.

Keluar yuk!

Bukan karena aku sedang bosan, atau aku tidak ada kerjaan. Saat itu aku malah sedang berada di ruang karaoke, bersama dua kawan. Kawanku tentu saja bisa dipakai untuk teman malam mingguan, tidak perlu mengajak kamu. Mungkin saat itu aku terbawa pengaruh lagu galau.

Setelah menekan tombol send, detik berikutnya aku harap-harap cemas. Cemas apa kau mau menerima atau menolak ajakanku. Aku? Cemas? Biasanya selama ini aku yang membuat para lelaki, yang berniat mendekatiku, mempunyai perasaan itu. Lihat, lagi-lagi, kamu istimewa bukan?

Dan aku seolah ingin bertepuk tangan ketika kamu menjawab.

Ke mana?

Sedetik kemudian aku sudah mengirimkan balasan paling memalukan

Malam mingguan.

Dunia pasti menertawakanku, aku bukan remaja lagi. Rasanya sudah basi kalau aku membutuhkan kegiatan malam mingguan, dan aku pula yang menawarkan kencan.

Boleh. Kapan dan ke mana, You decide.

Nah, cupid-cupid bodoh dalam hatiku pun ikut bersorak kegirangan mengetahui kamu mengiyakan ajakanku. Kukirimkan pesan lagi. aku perlu menanyakan ini.

So, get me here, as usual?

Langsung ada balasan lagi.

Aku kepingin naik Mio. Di kampusku ya, jam 6?

Oh! Bahkan aku mengiyakan saat kamu memintaku untuk menjemputmu, setengah jam dari sekarang, di kampusmu yang jauh letaknya dari tempatku berada saat ini.

Kalau kamu tahu, semenit kemudian aku sibuk mengalkulasi waktu yang kuperlukan. Aku hanya punya 30 menit sebelum pukul enam. Masih harus pulang dan berdandan. Dan masih harus membuat diriku repot dengan menjemputmu. Tapi tidak sia-sia, kan, aku berdandan habis-habisan dulu, sebelum menemuimu?

”Kamu keliahatan segar dan cantik.”

Pujianmu itu sudah membayar semua hal tolol yang kulakukan sejak aku mengirimimu pesan singkat itu. Aku berharap kamu tidak menganggapku agresif karena aku berani mengajakmu berkencan.

Acara pertama kita, makan dan duduk bersama. Kamu mendengarkan aku bercerita. Sembari menikmati makan malam di bawah langit kota Surabaya yang berhias bintang redup, bintang yang sepertinya sudah malas bercahaya.

“Aku nggak suka kubis.” Aku mendorong tanganmu yang berusaha menyelundupkan kubis ke piringku.

“Jangan pilih-pilih makanan!” katamu, memaksaku, sambil tetap memindahkan kubis-kubis itu.

“Hah! Sok sekali kamu itu ya, mengaturku begitu.” Aku cemberut dan menusuk kubis itu dengan garpu. Hal-hal sepele itu, menurutku manis, meski menyebalkan. Lalu kamu akan menanggapi protesku dengan mengusap lembut puncak kepalau.

“Kita makan hampir tiga jam di sana,” katamu sambil tertawa.

Memang aku lambat dalam urusan makan. Salahmu sendiri punya kecepatan makan 10 kali lipat ketimbang kecepatan makanku. Dan seingatku kamu pernah bilang, “Aku senang-senang aja nungguin kamu makan.” Jadi tidak ada masalah, kan, aku makan berlama-lama sambil bercerita?

Aku selalu mengisi waktu kita dengan bercerita. Seperti biasa pula, kamu mendengarkan dan mengingat semuanya. Semuanya! Ah, itulah kenapa aku mencintaimu. Sampai sekarang juga kamu pasti masih ingat semua apa yang selalu kuceritakan, kamu memang benar-benar istimewa.

“Sekarang kemana?” Pertanyaanmu membuatku memutar bola mata. Aku tidak sempat merencanakan akan pergi ke mana. Ke mana saja boleh bagiku, asalkan bersamamu.

“Madura!” Aku menjawab setengah berteriak. Biasanya aku menghabiskan malam minggu dengan nonton midnight, nongkrong di gerai es krim, atau apa saja yang dilakukan manusia normal di malam minggu. Bukannya mengajakmu pergi ke seberang pulau. Tetapi kamu menanggapinya dengan membelokkan Mio putihku menuju jembatan Suramadu.

Mungkin aku kampungan. Baru pertama kali itu aku pergi melewati Suramadu pada malam hari, di malam minggu dan dalam keadaan sedang berkencan. Dan kita menikmatinya pelan-pelan sambil sedikit membicarakan masa depan. Menyeberang jembatan, dan kedatangan kita disambut hujan.

Bersamamu di bawah gerimis terasa menyenangkan. Berteriak panik sekaligus kegirangan karena bisa bermain hujan. Lalu kamu menarikku untuk berteduh di warung tenda ketika hujan mulai membesar. Dan petir mulai menyambar.

Aku hampir saja tidak bisa menahan senyumku, karena kamu yang mengingat dengan baik bahwa aku tidak suka lumpur, berusaha menarikku berjalan melewati tanah yang masih kering. Tapi menit berikutnya aku cemberut karena kamu sibuk berbasa-basi dengan orang asing. Menanggapi pertanyaannya dan malah asyik bercerita dengan mereka mengenai macam-macam yang tidak penting.

“Dingin?” Setelah beberapa saat akhirnya kamu bertanya kepadaku.

Aku menggelengkan kepala. Padahal aku sangat kedinginan. Mungkin seperti ini yang disebut merajuk. Aku mamandang segelas kopimu. Pasti enak hujan-hujan begitu minum kopi. Sayang aku tidak bisa minum kopi. Kurasakan kmau merapatkan tubuhmu, mendekat ke tubuhku, dan melepaskan jaketmu.

“Pakai ini ya?”

Aku sedikit terkesima dengan sikapmu itu. Apa aku terlihat menggigil? Aku menggeleng, menolak menerima jaket itu.

“Lain kali kamu harus bawa jaket.” Kamu membantuku mengenakan jaket yang kebesaran itu.

Sudah sering kamu bilang agar aku membawa jaket kemana-mana, tapi aku tidak suka. Aku lebih suka jaket yang kamu pinjamkan kepadaku, baunya itu bau kamu. Aku suka.

Dan suka dengan banyak waktu yang kuhabiskan bersamamu malam itu. Aku suka menikmati hujan bersamamu. Aku mau menukar hangatnya selimutku dengan dinginnya udara tetapi aku bersamamu. Seperti ini.

Tiba-tiba aku berharap hujan tidak reda, agar waktu bisa kita nikmati berdua saja. Rasanya tak akan habis hal-hal yang bisa dibicarakan malam itu.

Tetapi waktu terus berlalu.

***

Tengah malam.

Hujan tak kunjung reda. Kamu merasa aku sudah lelah dan saatnya beristirahat di rumah. Sebenarnya aku sudah membayangkan hangatnya meringkuk di bawah selimut sedari tadi. Tapi bersamamu begini tidak kalah hangat. Malah jauh lebih hangat. Sampai ke dalam hati.

Lima belas menit kemudian aku dan kamu mendebatkan hal manis lagi, jas hujan merahku. Saat itu jam tanganku sudah menunjukkan dini hari, pukul satu.

“Kamu pakai ini ya?” Kamu meletakkan jas hujan merah itu di dekatku.

Kamu melepaskan kemeja dan memberikannya kepadaku juga. Aku melotot tidak percaya. Kamu sudah meminjamkan jaketmu, sekarang kemeja dan kamu hanya menggunakan kaos hitam yang sangat tipis itu.

“Kamu saja yang pakai. Aku di belakang dengan baju setebal ini? Aman saja.” Aku menunjukkan kemeja dan jaketnya yang sedang kupakai, meyakinkannya.

“Nanti kamu sakit.” Kamu bersikeras memberikan jas hujan merah itu kepadaku.

Aku menggelengkan kepala. Meskipun aku juga mempertanyakan kekuatan fisikku sendiri, tapi aku rasa kamu lebih membutuhkan jas hujan merah itu.

“Besok kamu tes kerja, aku nggak mau merasa bersalah karena kamu flu dan tidak bisa ikut.” Aku mendorong kembali jas hujan merah itu ke arahmu.

Kamu memandangku, dan memilih berhenti mendebatku. Ekspresi mati di wajahku selalu bisa membuatmu menurutiku.

Menembus hujan badai, aku menikmati hangatnya punggungmu. Aku memeluk pinggangmu. Rasanya aku rela menukar kehangatan selimutku dengan punggungmu selamanya.

Tiba-tiba aku berharap lagi, agar perjalanan ini tidak berakhir. Aku suka bersamamu, memelukmu. Aku tidak peduli kamu merasakan yang sama atau tidak.

Sepertinya Tuhan sedang memperhatikan kita, decitan rem yang kamu tarik mendadak membuatku menyesali doaku tadi. Hampir saja kita celaka.

“Maaf!” teriakm di antara deru hujan.

Aku memilih tidak menanggapi. Suara gemeletuk gigiku pasti akan membuatmu khawatir. Tanganku yang kebas karena dingin masih memegangmu erat-erat. Dalam hati aku terus merapal doa, semoga kita selamat, masih banyak hari-hari yang akan kita lalui bersama esok.

Akhirnya setelah bersama hujan di sepanjag perjalanan, kamu memandangku cemas, ketika berdiri di depan pagar rumahku. Aku basah kuyup, bibirku biru, dan suaraku yang bergetar melawan dingin yang menusuk hingga ke tulangku.

Just go, I’ll be fine.” Aku tersenyum dan meyakinkanmu.

Kamu tak beranjak juga. Aku juga tahu badanku tidak sedang baik-baik saja. Tapi semua bukan salahmu, aku yang menyarankan pergi ke seberang pulau. Siapa sangka hujan lebat menyertai kita.

“Kamu masuk dan ganti baju, ya.” Kamu tersenyum dan menyentuh lenganku.

Aku menurutimu. Lalu berhenti untuk mengintipmu dari balik pintu, hingga kau berlalu. Malam ini, aku tahu dengan pasti bahwa aku mencintaimu.

***

Oktober, hari ini

Aku seperti berjudi. Taruhannya waktu. Untuk memenangkan hatimu. Aku telah siap di sini, jika nanti semua sia-sia, dan aku hanya memenangkan sepi. Semua berawal dari malam minggu itu. Cerita tentang cinta, rindu, percaya, perpisahan, dan penantian. Tepat malam ini setahun yang lalu.

Seandainya tahun lalu tidak ada iseng-iseng mengobrol hampir setiap malam di setelah malam minggu itu, di sela-sela kesibukanmu mengerjakan tugas akhirmu, di antara perjuanganku melawan rasa kantukku. Hanya untuk sekadar melepas kangen yang menghimpitku.

Seandainya aku tidak iseng mengirimimu ucapan selamat atas kelulusanmu. Seandainya aku tidak mengiyakan ajakanmu untuk pergi berkencan, dengan alasan merayakan ini itu. Seandainya aku berhenti di malam minggu setahun lalu.

“Kamu cuek sekali kalau sama aku.” Aku masih ingat protes kerasmu beberapa bulan yang lalu.

“Masa?” Aku tersenyum simpul. Tentu aku berbuat begitu, untuk melihat apakah kamu akan memilih berhenti atau terus maju. Untuk mendapatkanku.

“Iya. Kalau sama teman-temanku kamu mengobrol ramai sekali,” jawabmu.

Bodoh. Tentu saja karena kamu berbeda, umpatku dalam hati.

Tidakkah kamu ingat aku selalu mengatakan bahwa kamu selalu membuatku kehilangan kemampuan berkata-kata.

Akhir-akhir ini aku tidak bisa banyak berkata-kata saat bersamamu. Karena aku terlalu sibuk mengurusi debar jantungku. Agar tak terdengar sampai ke telingamu.

Jika aku menghentikan komunikasi denganmu setahun yang lalu, tentu tak akan ada bulan Oktober yang sangat menyesakkan ini, menurutku.

Tapi aku menikmatinya. Menikmati setiap kebersamaan kita. Dan kamu mengaku juga iya. Walaupun kamu tidak pernah menyinggung mengenai cinta.

Masih jelas di kepalaku apa-apa yang kamu katakan. Masih jelas dalam ingatanku tempat-tempat yang sudah kita ukir menjadi kenangan.

“Am I a good girl?” Saat itu aku bertanya kepadamu, ketika aku sudah hampir lelah menunggumu menyadari perasaanku.

“Exactly you are. And for me, you are the best girl I’ve ever known. You’re one in million.

Jawaban yang keluar dari mulutmu jelas jawaban yang tidak kuduga. Tidak kuduga kamu akan mengatakan begitu. Kamu mengatakan dengan lembut sekaligus tegas. Bahkan aku yang biasa mendapatkan pujian dari lelaki, masih harus menundukkan kepala agar kamu tidak melihat rona merah di pipiku. Hanya karena kata-katamu.

Masih terasa bagaimaa rasanya kamu menggenggam tanganku saat pertama kali, masih kuingat pula pertama kali aku memeluk pinggangmu. Aku mengingat lebar punggungmu, mengingat wangi tubuhmu. Holding your hand means holding a whole world for me.

“Ada suatu tempat yang ingin kukunjungi,” katamu tiba-tiba, setelah aku tidak bisa menanggapi kata-kata paling manis darimu.

“Kota mana?” Aku mengernyitkan keningku.

“Bukan kota.” Jawabanmu membuatku bertambah tidak mengerti.

“Lalu?”

“Nggak tahu bisa ke sana atau tidak.”

“Ke mana sih?”

“Ada deh.”

Kamu berhasil membuatku mati penasaran.

“Nggak kasih tahu aku?”

“Nanti kalau aku sudah sampai di sana.”

Aku memilih diam dan mendoakan apa pun yang kamu harapkan, bisa kamu wujudkan. Tapi jika betul terjadi, maukah kamu mengajakku? Rasanya seperti kamu hendak meninggalkanku. Ke tempat yang ingin kamu kunjungi itu. Dan aku semakin merana karena tahu kamu memilih tidak membawaku.

Inilah yang akhirnya membuatku menyimpulkan kamu bukan jawaban yang dimaksud Tuhan. Cintaku hanya akan bertepuk sebelah tangan.

***

“Ingat tempat yang ingin kukunjungi?” tanyamu tiba-tiba.

“Luar negeri? Dalam negeri?” sahutku, sudah tidak terlalu tertarik dengan lagi.

Ke mana pun kamu pergi, kamu tetap tidak akan membawaku bersamamu, kan?

“Tebak dulu!” Kamu tidak mau langsung memberitahu, seperti biasa.

“Jakarta?”

Kamu menggelengkan kepala.

“Italia?”

Kamu menggelengkan kepala lagi. ”Tempatnya jauh lebih berharga.”

“Kamu bilang akan memberitahu kalau sudah mengunjunginya.”

Aku sudah sampai di sana,” jawabmu, terdengar puas dan bangga.

“Di mana?” Aku tak mengerti, seingatku kau tidak pergi ke mana-mana. Ah, ya, walaupun aku tidak selalu tahu, karena kamu tidak perlu selalu meminta izinku.

“Hatimu,” jawabmu singkat.

Hampir berhenti detak jantungku. Aku membisu. Kembali sibuk menenangkan debar jantungku. Dan menyembunyika senyum lebarku. Aku yakin kamu milikku. Tapi jawaban-jawabanmu yang di luar dugaan selalu bisa membuatku merasa tersanjung di saat-saat yang tidak kuduga.

“Dari dulu aku ingin masuk ke hatimu. Aku tidak menyangka aku bisa ada di situ. Jadi izinkan aku tetap di situ, ya?” Kau mengatakannya sambil metapaku dan menggenggam tanganku.

Aku benar-benar membiarkan air mataku jatuh, air mata yang menetes karena terharu. Kamu milikku. Benar-benar milikku.

Tidak ada lagi jarak yang menjauhkanmu dari detak jantungku, aku mengangguk dan berbisik dalam hati.

Sungguh, kamu bisa memegang kata-kataku.

***

Aku dilanda sesuatu yang, ah … seolah memabukkanku. Kamu. Hingga sekarang pun kamu masih seperti candu.

Sampai saat ini, satu tahun setelah hari itu, kamu boleh memegang kata-kataku. Tempat berharga itu masih milikmu. Walaupun kamu memilih pergi, meninggalkan hatiku dan membuang cintaku. Saat kamu kembali, kamu boleh menempati tempat paling berharga di hatiku.

Malam ini, sembil menatap bintang paling terang di langit, aku berbisik kepada angin dingin bulan Oktober, sambil memeluk diriku sendiri, “Kudengar kamu di sana sudah bahagia sekarang, memiliki semua apa yang diinginkan orang. Kamu jaga diri baik-baik disana ya! Semoga Tuhan menetapkan kebaikan di mana saja kamu berada.”

####

Catatan:

Cepen ini kutulis pada tahun 2010, enam tahun sebelum buku pertamaku, My Bittersweet Marriage, terbit. Dan cerpen ini pernah diterbitkan dalam bentuk antologi pada tahun 2011.

Baca juga:

The Dance of Love

My Bookshelf

WRITING HANGOVER

Hangover. Aku nggak tahu dalam bahasa Indonesia dialihbahasakan menjadi kata apa. Di luar negeri, orang mengalami hangover setelah kebanyakan minum alkohol. Malam mereka mabuk, lalu tidur dan paginya pusing, lemes, bingung–ini yang disebut hangover. Katanya, kalau tidur–setelah mabuk–cukup lama, nggak akan kena hangover parah. Tapi meski kita nggak minum, kita juga bisa kena ‘hangover‘ di berbagai aspek kehidupan. Book hangover, kita baca buku yang bagus banget sampai beberapa hari kita cuma pengen membayang-bayangkan apa yang sudah kita baca, kita baca ulang, dan nggak ada niat buat melakukan hal lain. Diajak temen ke mall aja males, soalnya lebih pengen melamu. Cara menyembuhkannya sama seperti alcohol hangover, dibiarkan saja beberapa hari. Nanti setelah otak dan tubuh kita pulih, kita baca buku lagi. Kalau ketemu buku yang bagus.

Sekarang ini, aku mengalami hangover lain. WRITING HANGOVER. Kalau menyelesaikan naskah dan menerbitkannya adalah proses drinking–alias mabok, setelahnya aku hangover. Seperti sekarang, aku mengalami Bellamia hangover. Setelah berbulan-bulan bergulat dengan naskah dan buku Bellamia, susah sekali buatku untuk keluar dari karakter Gavin. Setiap nyoba nulis, yang keluar Gavin lagi Gavin lagi. Warna tulisanku juga mirip-mirip Bellamia. Tulisanku disorientasi, persis seperti orang hangover setelah mabok parah.

Kalau ada penulis yang ‘istirahat’ nulis lama, mungkin dia sedang hangover. Nggak tahu harus nulis apa setelah buku terbarunya terbit. Itu wajar dan lumrah. Tapi aku nggak mau hangover lama, sampai setahun atau lebih begitu. Dua tiga bulan cukuplah, kalau memungkinkan.

Sebagai penulis–kemarin sore–pasti kita ingin nulis sesuatu yang berbeda. Kalau nggak bisa berbeda daripada penulis lain, paling nggak berbeda dari buku kita sebelumnya. Jangankan pembaca, aku aja bosan nulisnya kalau seperti itu. Kalau sudah sukses dengan cerita model A, biasanya penulis bikin yang semodel, karena main aman:pembaca suka. Tulisan hangover. Kalau aku sebagai pembaca, ya aku cari buku lainlah. Ngapain baca cerita yang mirip. Tapi sekarang makin susah cari buku yang seger dan beda.

Anyway, balik lagi ke writing hangover. Yang pertama kulakukan adalah membaca buku. Kubeli buku lucu seperti Pants Are Everything, nggak ngangak juga. Masih mabok Gavin. Buku yang serius, seperti Without Their Permission–malah pingin mabok Dinar. Kuaduk-aduk terus segmen biografi. Sekalian riset buat karakter di naskah selanjutnya. Sekali terpuk dua lalat. Karena waktu yang tersedia buat nulis dan baca, nggak banyak. Dan aku nggak bisa menulis kalau nggak banyak membaca. Banyaakkk banget. Setelah baca dua buku penuh–sebulan, aku bisa lepas dari hangover dan bisa nulis lagi. Tanpa teringat Gavin seperti apa.

Setelah nggak begitu hangover lagi, aku nulis naskah ‘jembatan’. Perantara antara Bellamia dan buku selanjutnya–cerita tentang Savara dan cerita tentang Mikkel Moller. Setuju sama dua cerita itu? Jembatan yang kupilih adalah Midsommar, prequel Mikkel, cerita dia saat masih pacaran. Karena rencananya cerita ini bakal ada dalam marriage lit seperti My Bittersweeet Marriage dan When Love Is Not Enough. Midommar mungkin bakalan ada sedikit-sedikit bagian yang mirip sama Bellamia dan Gavin-nya. Tapi nggak papa, yang penting saat ngerjain buku yang sesungguhnya, Midnatt, aku sudah keluar dari pengaruh Bellamia dan Gavin. Savara sudah kuselesaikan sebelum Bellamia, tinggal perbaikan di sana-sini dan kurasa Bellamia nggak akan mempengaruhi.

Dan Midsommar bisa dibaca gratis, seperti halnya naskah ‘jembatan’-ku yang lain. Link ada di bawah.

P.S: Aku juga punya sebuah rencana, yang sampai sekarang masih belum kuketahui bakalan bikin temen-temen seneng atau … nggak. Tunggu saja kaabr dariku, semoga dalam waktu dekat.

 

Link buat baca gratis naskah ‘jembatan’-ku:

Midsommar karya Ika Vihara

The Danis Boss karya Ika Vihara

Link baca gratis terkait:

Bellamia karya Ika Vihara

Geek Play Love karya Ika Vihara

My Books

Freebie: Baca Cerita The Mollers Gratis Di sini

 

Siapa The Mollers? Keluarga rekaanku. Aku sudah menuliscerita mereka sebanyak tiga judul. Bukan buku bersambung. Tokoh utamanya ganti-ganti, cuma nama belakangnya Moller semua. Sampai hari ini masih ada cerita mereka yang bisa dibaca gratis melalui link di bawah ini:

Midsommar Chapter 1 sd 6
The Dance of Love Chapter 1, 2, dan 3

The Danish Boss Chapter 1 sd 20

Sedangkan buku-buku The Mollers yang sudah ada di toko buku adalah:

My Bittersweet Marriage

Afnan Moller. Half-Danish. Memutuskan untuk menjadi warga negara Denmark, mengikuti ayahnya, saat usia 18 tahun.  Mikrobiologis di Aarhus University Hospital. Sudah tinggal di Aarhus selama 12 tahun dan akan tinggal di sana sampai akhir hayat. Sebagai muslim, menemukan calon istri yang seiman di sana sulit sekali. Ditambah kesibukannya–pekerjaan, seminar, dan sebagainya–

Hessa. 27 tahun. Ibunya sudah ribut menyuruhnya menikah, sebelum dilangkah adiknya yang sudah dilamar. Masalahnya, bagaimana menemukan orang yang bisa membuatnya jatuh cinta? Saat sedang pusing memikirkan cinta, ibunya memberitahu bahwa ada laki-laki yang tertarik dengannya. Hessa memperlajari profil Afnan, dengan bantuan internet, dan, mau tidak mau, mengakui bahwa dia terpikat dengan sepasang mata biru seperti samudera tersebut. Masalah besarnya hanya satu. Afnan tidak tinggal di sini. Dia tinggal di Denmark dan tidak punya waktu untuk saling mengenal. Yang diinginkan Afnan adalah menikah dan membawa istrinya tinggal di Aarhus. Bagaimana rasanya meninggalkan semua hidupnya di sini, untuk hidup di sebuah tempat yang namanya saja tidak pernah dia dengar? Bagaimana rasanya meninggalkan keluarga, sahabat, dan pekerjaan, demi hidup bersama laki-laki yang baru ditemui tiga kali?

When Love is Not Enough

We will meet:

Lilja Moller. 28 tahun. Berdarah Denmark. Baru saja pindah ke Indonesia dan bekerja di perusahaan keluarga.Menikah dengan Linus, orang yang sudah dia kenal sejak lahir, dan tidak bisa lagi menghitung betapa besar dia mencintai Linus. Mencintainya sebagai teman, kakak, kekasih dan ayah dari almarhum anak perempuannya. Tetapi cinta saja tidak cukup menahan Lily untuk tetap menghidupkan pernikahan mereka. Sehingga Lily menyimpulkan pernikahan mereka tidak layak dipertahankan. Sambil menahan rasa sakit akibat patah hati, Lily bersumpah tidak akan lagi mempertaruhkan dirinya untuk disakiti lagi.

Linus Zainulin. Linus the Genius, kata Lily. 30 tahun. Merasa sudah memiliki kehidupan yang sempurna. Mendapatkan pekerjaan yang paling dia minati di salah satu perusahaan terbesar di dunia di Munich, Jerman. Hobinya, bermain sepak bola mendatangkan keuntungan finansial dan ketenaran. Menikah dengan gadis impiannya, sahabat terbaiknya, Lily Moller. Yang cantik dan cerdas. Seolah ingin membuktikan bahwa tidak pernah ada sesuatu yang sempurna, Linus menghancurkan pernikahan mereka dan Lily memilih untuk pergi. Meninggalkannya dalam tumpukan penyesalan. Bagaimana cara mendapatkan Lily kembali? Bagaimana cara memenangkan hatinya lagi? Bisakah pernikahan dibangun oleh satu orang saja?

 

Give Away

Vihara’s Quiz

 

Terima kasih banyak atas antusias teman-teman semua dalam membaca cabang terbaru dari The Mollers: The Dance of Love. Aku selalu bahagia setiap kali menulis cerita mengenai the Danish Family tersebut. Jalan-jalan ke Denmark bareng Afnan dan kena SAD, meninggalkan Denmark bareng Fritdjof untuk mencari matahari yang hangat, atau tumbuh dalam lingkungan setengah Denmark seperti Lilja. Seolah-olah aku menjadi bagian dari mereka. Menjadi … ibu tiri yang jahat bagi mereka hahahaha. Untuk cerita Mikkel Moller, sedang dalam proses. Semoga lancar 😀

Bagi yang belum kenal sama sekali dengan the Mollers, bisa kenalan dulu dengan sebagian dari mereka:

Fritdjof Moller

Afnan Moller

Lilja Moller

Anggota the Mollers teranyar yang kubikin kisahnya adalah Hagen Moller. Sudah baca perjalanannya menemukan cinta di The Dance of Love? Jika belum, silakan diunduh di sini.

Sekarang, silakan disimak pertanyaan kuisnya:

  1. Kira-kira apa profesi atau pekerjaan Hagen Moller?
  2. Apa alasannya?
  3. Tambahan pertanyaan: kira-kira sifat Hagen mirip tidak dengan Afnan?*

Gampang, kan? Cuma menebak. Kalau sudah pernah baca tulisanku, pasti pekerjaan tokohnya tidak jauh dari dunia ##########. Tidak perlu tepat 100%. Silakan jawab apa yang teman-teman pikir cocok untuk Hagen. Aku akan pilih jawaban yang mendekati. Jika tak ada yang mendekati, aku undi buat menentukan pemenang.

Cara menjawab:

  1. Tuliskan jawaban di kolom komentar.
  2. Pertanyaan no 1 dan 2 wajib dijawab. Pertanyaan no 3 adalah poin tambahan jika bersedia menjawab.
  3. Contoh jawaban:

Menurut saya, Hagen cocoknya jadi politikus. Karena dia keliatannya pinter ngasih janji palsu.

Syarat kuis:

  1. Sudah berusia 18 tahun
  2. Memiliki alamat kirim di Indonesia
  3. Komentar yang dihitung adalah komentar yang masuk mulai tanggal 28 Mei 2017 sampai 4 Juni 2017

Hadiah:

Aku menyediakan novel terjemahan, terbitan baru, masih segel untuk dikirim ke rumah teman-teman yang beruntung. Jumlah pemenang akan kutentukan dengan mempertimbangkan rasio jumlah peserta kuis. Kalau sepi, ya dikit hihihi.

Makanya, ajak teman-teman kalian buat ikutan kuis ini ya. Kan, gampang syekali. Tidak perlu tenaga, ada kesempatan dapat buku bacaan.

Bagian kedua dari the Dance of Love akan kuunggah pada tanggal 13 Juni 2017, bersamaan dengan pengumuman pemenang kuis. Jangan lupa untuk mengikuti terus berita terbaru dariku melalui blog mau pun akun media sosialku, semua dengan user name ikavihara, karena aku akan segera meluncurkan buku terbaru 🙂

 

Give Away

3 DAY WRITING CHALLENGE BERSAMA KAMPUS FIKSI

 

Halo, teman-teman!

Besok bulan baru nih! Pengen baca buku baru? Ada kesempatan untuk mendapatkan rezeki sambil bersenang-senang bersama. Kali ini aku, alumni Kampus Fiksi angkatan 15, bersama dengan Kampus Fiksi mengadakan 3 Day Writing Challenge yang berhadiah buku terbaruku When Love Is Not Enough. 

Tema tulisan, masih berkaitan dengan apa yang aku tulis dalam bukuku, untuk tanggal 3 sd tanggal 5 Maret 2017 sebagai berikut:

  1. Ceritakan mengenai sahabat masa kecilmu dan bagaimana persahabatan kalian sekarang!
  2. Seandainya ada mesin waktu dan bisa kembali ke masa lalu, kesalahan apa yang paling ingin kamu perbaiki? Ceritakan!
  3. Jelaskan tentang keinginan atau cita-citamu yang belum tercapai hingga hari ini dan seberapa keras usaha kalian untuk mewujudkannya!

Gimana cara ikutannya? Baca di bawah ini.

  1. Tuliskan di blog, tumblr, wattpad, note facebook atau media menulis lain sesuai dengan tema per harinya
  2. Follow akun Twitter  @KampusFiksi dan @ikavihara
  3. Membagi link post di Twitter dengan mention @KampusFiksi dan @ikavihara dengan menyertakan tagar #KF3DAYS
  4. Challenge ini dimulai tanggal 3 Maret 2017 pukul 00.01 dan akan berakhir tanggal 5 Maret 2017 pukul 23.59
  5. Wajib ikut selama 3 hari, ketiga tema lengkap
  6. Akan ada dua pemenang yang dipilih oleh Momon Kampus Fiksi

Gampang banget, kan? Semacam curhat begitu. Kapan lagi bisa curhat dan bisa dapat buku?

Eh, tapi ada syarat khusus, sebagai berikut:

  1. Sudah berusia minimal 18 tahun. Bukan apa-apa, hanya saja ini berkaitan dengan buku yang kugunakan sebagai hadiah. Masih terlalu dini bagi teman-teman yang masih remaja untuk membacanya 😉
  2. Mempunyai alamat kirim pos di Indonesia. Bagi yang sedang di luar negeri, bisa pinjam alamat saudara atau keluarga yang tinggal di Indonesia.

Monggo diikuti. Siapa saja yang ingin belajar menulis bersama dengan Momon Kampus Fiksi, boleh ikut. Kalau ada yang kurang jelas, bisa ditanyakan melalui Twitter.

Selamat bersenang-senang!

My Books

WHEN LOVE IS NOT ENOUGH: THE EXCERPT

 

Hujan rintik membasahi bumi saat jasad Leyna dimakamkan sore ini. Linus yang menggendong jenazah anaknya, pelan-pelan membaringkannya di lubang yang tidak lebih besar daripada ukuran dua kotak sepatu. Leyna Jasmine Zainulin. Nama yang tertulis di batu nisan di atas kepala Leyna. Meninggal kurang dari enam bulan setelah dilahirkan.

Saat seorang suami ditinggal mati oleh istri, maka dia disebut duda. Istri yang ditinggal mati suami, dia disebut janda. Anak yang ditinggal mati ayah, dia dinamakan yatim. Dan anak yang ditinggal mati ibu, dia dinamakan piatu.

Bagaimana dengan seorang ayah atau seorang ibu yang ditinggal mati anaknya? Tidak ada nama untuk mereka. Mungkin orang tidak berpikir untuk memberikan sebutan bagi orang sepertinya dan Lily. Continue reading “WHEN LOVE IS NOT ENOUGH: THE EXCERPT”