My Books, Thing That Makes Me Happy

MENJADI PENULIS: DARI NOL HINGGA TAHUN KETUJUH

Hingga hari ini semua masih terasa seperti mimpi. Tepat pada bulan Maret yang lalu, aku memasuki tahun ketujuhku sebagai penulis profesional. Sebuah pencapaian yang sangat luar biasa untukku, yang tidak pernah membayangkan akan berhasil menerbitkan buku. Lebih-lebih bertahan selama ini.

Perjalanan karierku sebagai penulis diawali ketika aku patah hati. Seseorang yang kucintai, pada tahun 2011 mencampakkanku. Tidak ada penjelasan yang kuterima, tapi aku menyimpulkan dia meninggalkanku karena aku tidak melangkah secepat dirinya. Dalam bidang akademik. Untuk mengisi waktu luang, yang tiba-tiba banyak karena aku tidak lagi menghabiskan waktu dengannya, aku menulis. Mencurahkan isi hati tapi melalui tokoh fiksi. Pendek-pendek saja. Bahkan aku mengikuti suatu program menulis 30 hari yang diadakan sebuah penerbit, walaupun pada akhirnya aku tidak terpilih untuk mentoring.

Tahun 2012 adalah salah satu tahun yang terberat dalam hidupku. Dalam sebuah acara team building di Gunung Salak, aku terjatuh lemas, sesak napas, dan sakit di dada. Tim medis sudah membantuku dengan oksigen dan segala macam, hingga aku bisa pulang dengan selamat. Tetapi aku tetap merasa sangar khawatir. Aku yakin aku kena serangan jantung. Ke mana-mana aku berobat, menjalani tes ini dan itu, sampai salah satu dokter menyarankan aku ke psikiater. Dan ternyata aku terkena serangan panik.

Menulis kembali menjadi salah satu alat terapiku. Di sanalah aku menemukan ketenangan dan kenyamanan. Aku mencari tahu mengenai invisible disabilities dan kesehatan mental, lalu aku memasukkannya sebagai tema dalam tulisanku. Selain itu, aku juga rajin mengikuti beberapa lomba cerpen. Lebih sering kalah. Hanya dua kali aku mencapai posisi runner up.

Percobaanku menulis novel dimulai tahun 2013. Pada saat itu kesulitan menyelesaikan satu naskah utuh. Dapat satu atau dua bab, aku berhenti. Sepanjang tahun begitu. Karena banyak faktor. Salah satu yang terbesar adalah kehabisan bahan bakar. Aku tidak punya cukup modal untuk menulis tapi aku memaksakan menulis. Sehingga aku tidak tahu harus mengisi 200 halaman dengan apa.

Aku mulai mempelajari apa saja yang harus dipersiapkan penulis untuk menyelesaikan sebuah novel, pada tahun 2014. Aku belajar membuat outline, membuat daftar kebutuhan cerita–untuk diriset, dan membuat jadwal. Hasil dari belajarku dan ketekunanku adalah sebuah novel berjudul The Danish Boss. Bisa menuliskan kata tamat benar-benar membanggakan dan membahagiakan. Tidak peduli mau novel itu jelek atau bagus, kekurangannya berapa banyak, dan lain-lain ketidaksempurnaan lain, aku tetap merayakan keberhasilan itu.

Sebab The Danish Boss memberikan kebahagiaan kepadaku, aku berpikir bisa jadi orang lain akan merasakan hal yang sama. Dimulailah perjalanan The Danish Boss mencari penerbit. Karena aku tahu diri aku masih hijau, maka aku membidik penerbit kecil, yang beberapa bukunya kusukai. Surat penolakan langsung datang sebulan kemduian. Kaget, kecewa, dan patah hati. Seburuk itukah novelku?

Untuk melupakan kesedihan tersebut, aku menulis cerita baru. Setelah berbulan-bulan bekerja keras, lahirlah Geek Play Love. Keinginanku untuk membagi kebahagiaan yang kurasakan dengan pembaca kembali tumbuh. Mungkin karena euforia berhasil menyelesaikan satu novel lagi. Aku kembali rajin mengirimkan Geek Play Love bersama The Danish Boss. Penolakan dan tidak ada jawaban adalah kenyataan demi kenyataan yang harus kuhadapi. Di tengah kekecewaan yang bertubi-tubi, aku meyakini, paling tidak, aku berlatih menyusun surat pengantar, sinopsis, penilaian cerita, dan CV penulis.


Buku debutku, My Bittersweet Marriage, akhirnya terbit tahun 2016. Setelah mengirimkan naskah, sinopsis, dan segala yang diperlukan, kemudian menunggu kurang lebih tiga bulan, Mbak Afriyanti Pardede dari penerbit Elex Media Komputindo memberi kesempatan kepadaku. My Bittersweet Marriage adalah naskah ketiga yang kutulis. Pelarian dari patah hati atas penolakan The Danish Boss dan Geek Play Love. Bahagianya luar biasa. Sampai sekarang pun aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.

When Love Is Not Enough menjadi buku keduaku yang terbit secara tradisional/mayor pada tahun 2017. Cerita yang menguras air mata, menurut banyak pembaca. Tepat pada tanggal terbit, aku menjalani operasi lutut kanan. Sehingga aku menyimak antusiasme teman-teman akan kisah Linus dan Lilja dari atas ranjang rumah sakit. Dalam kondisi puasa jelang operasi. Sampai tiga bulan kemudian, aku masih harus membatasi gerakku. Untungnya ketidaknyamanan itu tertutupi dengan kebahagiaan menerbitkan buku.

Pada 2018, aku sempat memutuskan untuk berhenti menerbitkan buku. Karena berbagai alasan. Niat itu kuutarakan kepada sahabatku. Aku nggak mengirimkan naskah kepada editorku. Menerbitkan dua buku sudah cukup memenuhi rasa penasaranku di dunia perbukuan. Aku tetap menulis, karena aku menyukai kegiatan itu. Rencanaku nanti kalau aku ingin, aku akan menerbitkan secara mandiri.

Awal tahun 2019, editorku menghubungiku untuk membahas My Bittersweet Marriage yang diterbitkan ulang dengan cover baru. Beliau bertanya apa ada naskah yang bisa diterbitkan dan beliau janji akan mempercepat proses terbitnya. Karena aku tidak pernah berhenti menulis, aku bisa mengirimkan naskah pada hari itu juga. Empat bulan kemudian, The Game of Love terbit. Bisa comeback setelah dua tahun rasanya seperti debut ulang. Bahagianya, antusiasmenya, kecemasannya, semuanya sama besarnya.

Pandemi datang di saat aku dan editor sudah selesai merevisi novel keempat, A Wedding Come True. Tentu saja alu khawatir ketika kita semua harus tinggal di rumah. Karena banyak proses yang harus disesuaikan, di antaranya pegawai penerbit dan percetakan yang tidak beroperasi seperti biasanya. Toko buku pun tutup semua. Preorder yang telanjur dimulai tetap kulanjutkan meskipun aku tidak tahu apakah buku akan dicetak sesuai jadwal. Teman-teman mulai bingung dan bertanya ketika penerbit dan toko buku Gramedia mengumumkan gerai Gramedia tutup imbas dari dilarangnya mall untuk buka. Untungnya, jelang berakhirnya masa preorder, penerbit membantu dengan mencetak buku sesuai jumlah preorder. Bahkan aku mengadakan dua kali preorder, yang kedua di tanggal terbit baru.

Editor bertanya apakah aku ingin e-book dirilis lebih dulu. Namun, karena selama pandemi The Game of Love banyak dibajak dan dibagikan di grup WA dan telegram, aku memutuskan untuk menunda penerbitan e-book A Wedding Come True. Seperti sebelum pandemi, e-book A Wedding Come True terbit setelah buku cetak. Dan langsung mencatatkan rekor–pribadiku–sebagai e-book paling laris pada minggu terbit di aplikasi Gramedia Digital.

Masih dalam masa pandemi, Juni tahun 2021, buku kelimaku, The Percect Match, terbit. Tepat saat hendak mulai proses revisi, laptopku kehujanan. Demi menghemat, aku membawanya ke service center untuk diperbaiki. Terpaksa aku bekerja tengah malam dengan laptop adikku, karena jawdal penerbitan buku tidak bisa ditunda. Sebelum servis, aku sudah mengopi HDD laptop ke penyimpana eksternal. Aku kuliah di Fakultas Teknologi Elektro dan Komputer Cerdas, adalah jawabanku kepada pembaca saat mereka tanya kok aku ngerti komputer hahaha. Sayangnya, aku tetap beli laptop baru karena laptop lama yang menemaniku sejak aku menulis When Love Is Not Enough tak terselamatkan.

Aku juga mendapat diagnosis depresi dan gangguan kecemasan pada awal tahun 2021. Sebelum sampai pada diagnosis itu, lebih dulu aku banyak duduk di ruang tunggu rumah sakit. Sebab alu merasa dadaku sakit. Sama seperti dulu, sebelum ke psikiater, aku lebih dulu bicara dengan berbagai spesialis termasuk jantung. Selama menunggu, aku membuat plotting novel, mendaftar kebutuhan cerita, dan proses-proses lain yang kuperlukan untuk menulis selanjutnya.

Untuk pertama kali aku memenangkan lomba cerpen di tahun 2021. Karyaku Sebaik-baik Pelajaran menjadi juara pertama Lomba Teman Tulis 2021. Aku berhak mendapat hadiah uang dan cerpen tersebut di terbitkan dalam antologi bersama sepuluh karya terpilih.

November 2021, buku keenam The Promise of Forever lahir. Aku sendiri pun terkejut dengan pencapaian ini. Di antara kondisi mentalku yang membutuhkan sangat banyak perhatian dan pemgertian, aku masih bisa menyelesaikan sebuah novel. Dan terbit! Pada tahap ini, aku memutuskan akan memberi tahu siapa pun yang mengundangku ke sebuah acara–sebagai narasumber–bahwa aku memiliki invisible disabilites. Panitia pertama yang mengakomodasi kebutuhan khususku berasal dari Universitas Jenderal Soedirman. Sehingga saat acara–yang hadir 75 orang!!!–aku tidak terserang panic dan anxiety attack.

Cerpen keduaku, Sebaik-baik Manusia kembali memenangkan lomba juga pada 2022. Ini menjadi modal keyakinan yang besar untuk menuju novelku selanjutnya.

Right Time To Fall In Love, buku ketujuhku lahir tahun 2022. Rintangan terbesar adalah mendapatkan ISBN. Prosesnya lebih lama daripada biasanya. Plus, aku harus mengumpulkan surat pernyataan keaslian naskah ke Perpusnas dengan ditandatangani dan dibubuhi materai. Suatu proses yang menurutku konyol. Sudah tahun 2022 masa masih pakai kertas seperti itu. Kok kalah sama Wattpad dan aplikasi lain, yang bisa tanda-tangan secara digital. Akibatnya tanggal terbit pun berubah dan ini membuat proses preorder menjadi kacau. Aku berusaha sabar dan berharap yang terbaik saja. Right Time To Fall In Love adalah bukuku yang tidak terdaftar dalam bestseller langsung pada bulan terbit.

Baru pada bulan Maret yang lalu, bulan anniversary-ku sebagai penulis, penerbit mengumumkan buku terbaruku, Right Time To Fall In Love, meraih predikat bestseller. Meskipun itu tidak pernah menjadi tujuan utamaku dalam menulis, tapi mengetahui Right Time To Fall In Love menyusul novel-novel sebelumnya di tangga tinggi penjualan membuatku merasa lega.

Selain menerbitkan buku secara tradisional, aku juga menerbitkan beberapa novel secara independen, yaitu The Danish Boss, Geek Play Love, Midsommar, Bellamia, Savara: You Belong With Me, dan antologi bab ekstra Midnatt.

Novelku selanjutnya, The Dance of Love, akan terbit pada tahun ini lewat penerbit Elex Media Komputindo. Dan akan menjadi judul kedelapanku bersama Elex Media. Harapanku, paling tidak, aku bisa menerbitkan sampai buku kesepuluh.

Selama menjadi penulis profesional, aku mengerti ada banyak hal yang berada di luar kuasaku. Di antaranya apakah orang akan membeli novelku dan apakah mereka akan menyukai karyaku. Bahkan menentukan bukuku akan terbit atau tidak, aku tidak punya kendali. Karena itu masalah rezeki, yang menjadi misteri dan hanya diketahui Yang Maha Kuasa. Yang bisa kukontrol adalah kualitas tulisanku. Bukuku selanjutnya akan selalu lebih baik dari buku sebelumnya. Sebab aku selalu belajar dan akan terus belajar.

Aku tidak akan pernah berhenti menulis. Karena menulis membuatku bahagia dan menjauhkankanu dari depresi dan gangguan kecemasan. Mungkin suatu hari nanti orang tak akan lagi mau membeli novelku, tapi mereka tidak menyuruhku berhenti.

My Books

Le Mariage Terbaru dari Ika Vihara x Elex Media: Right Time To Fall In Love

Blurb Right Time To Fall In Love:

Dari penulis A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage, pemenang The Wattys 2021 Kategori Romance:
Ketika rencananya untuk menikah dipupus takdir, Lamar Karlsson memutuskan pulang ke Indonesia. Meninggalkan segalanya–termasuk karier sebagai structural engineer–untuk memikirkan dan memetakan kembali masa depannya. Masa depan yang akan dilalui sendiri, tanpa risiko patah hati. Semua akan berjalan sempurna, seandainya Malissa Niharika–seorang environmental scientist–tidak mengetuk pintu rumah Lamar. Kini justru timbul masalah baru; Lamar tidak bisa mengusir Malissa dari pikirannya.

Setelah bangkit dari keterpurukan atas pengkhianatan dan skandal besar yang dilakukan almarhum suaminya, Malissa fokus membesarkan anak kembarnya. Waktu yang tersisa digunakan untuk menyelamatkan lingkungan melalui free store dan food rescue yang dirintisnya, sehingga mencari pasangan hidup tidak menjadi prioritas utama Malissa. Tetapi perkenalan dengan Lamar menyebabkan impian Malissa untuk memiliki pernikahan yang penuh cinta bersemi kembali.

Ini bukan waktu yang tepat untuk jatuh cinta, Lamar meyakinkan dirinya. Masih terlalu cepat. Namun Malissa menunjukkan kepada Lamar bahwa hati memiliki cara kerja sendiri yang tidak bisa diintervensi. Apakah Lamar akan mendengarkan kata hatinya untuk segera memberi kepastian kepada Malissa? Atau tetap bertahan di zona teman, yang aman tapi tanpa kesempatan hidup bahagia selama-lamanya bersama Malissa?

Menyambut Le Mariage Keenamku+Judul Ketujuhku Bersama Elex Media Komputindo

Sampai juga aku di titik ini. Saat menerbitkan Le Mariage pertamaku, My Bittersweet Marriage, awal 2016, aku sama sekali nggak berpikir jauh ke depan. Jangankan buku ketujuh, setelah buku kedua When Love Is Not Enough, aku sempat berpikir untuk tidak lanjut menjadi penulis. Aku masih menulis, tapi hanya untuk konsumsi sendiri. Kusimpan saja di laptop. Tetapi editorku di Elex Media menghubungiku dan bertanya apa ada naskah yang sudah siap diterbitkan. Karena masih menulis, maka aku masih punya naskah novel yang telah selesai. Yaitu The Game of Love. Karena nggak berpikir untuk menerbitkan buku tersebut, maka naskah yang kutulis nggak sepanjang bukuku yang lainnya.

Saat proses revisi, ada catatan dari editor, yang mengatakan bahwa saat membaca The Game of Love, pembaca akan tertarik dengan kisah-kisah tokoh yang lain. Tokoh yang di The Game of Love tidak menjadi tokoh utama. Catatan itu mendorongku untuk menulis buku selanjutnya, A Wedding Come True. A Wedding Come True terbit saat pandemi. Di tengah rasa pesimisku–takut buku tersebut nggak laku sebab kondisi ekonomi sedang lesu–A Wedding Come True malah menjadi bukuku yang paling sukses sepanjang karier menulisku. Best seller baik buku cetak maupun e-book.

Ide-ide baru terus muncul dan aku sadar aku ingin memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Kesempatan untuk meningkatkan kesadaran akan invisible disabilities, menceritakan tentang women in STEM–Science, Technology, Engineering, and Mathematic–sepertiku, dan membahas berbagai macam topik. Yang kupadukan dengan cerita romance yang manis, realistis, romantis, dan logis. Berapa pun jumlah pembaca bukuku, aku berharap dari sana sudah ada yang mengambil manfaat dari tulisanku. Sudut pandang mereka akan cinta dan kehidupan semakin bertambah. Wawasan semakin luas dan menjadi pribadi yang semakin toleran.

Dan sekarang aku berdiri di titik ini. Di buku ketujuhku. Le Mariage keenamku. Menghadirkan Right Time To Fall In Love. Tidak hanya kisah asmara Lamar dan Malissa yang kusajikan dengan manis, tapi aku juga membahas perubahan iklim, penyelamatan makanan dan barang-barang kebutuhan lain, structural engineering, single motherhood, dan beberapa topik lain.

Kalau kamu suka membaca cerita romance yang berbobot tapi tidak berat, kamu harus banget membaca Right Time To Fall In Love. Kalau ikut preorder, ada bonus booklet bab ekstra 65 halaman A6. Biar puas baca kisah Lamar, Malissa, dan si kembar yang lucu membangun keluarga.

My Books

The Perfect Match: Deleted Scene

Selama menulis The Perfect Match, ada bagian-bagian yang tak kusertakan dalam naskah final. Ada berbagai pertimbangan, salah satunya adalah melemahkan abandonment issue yang dimiliki Nalia. Seperti bagian di bawah ini. Kalau kamu sudah baca bukunya, apa kamu bisa menebak kira-kira di bagian mana seharusnya potongan ini berada?

***

“Astra masih berusaha mengubah keputusanmu?” Setelah meletakkan teh herbal dan pisang goreng cokelat di meja, Gloria menarik kursi di seberang Nalia dan duduk.

Siang ini, setelah pulang dari kampus, Nalia memutuskan datang ke rumah kakaknya. Kakak iparnya sedang cuti karena akan melahirkan dua minggu lagi.

“Aku nggak tahu lagi harus ngomong apa.” Nalia mengangkat cangkir putih yang baru saja dihidangkan dan menghirup aroma lavender yang menenangkan. Seminggu yang lalu Nalia membatalkan rencana pernikahan. Semua biaya pernikahan yang telah dikeluarkan sudah diganti oleh Nalia. Semua. “Kenapa dia nggak bisa terima aku nggak juga bisa mencintainya sampai sekarang? Besok pun aku nggak akan bisa mencintainya.

“Seharusnya dia berterima kasih padaku karena aku menyelamatkannya dari pernikahan tanpa cinta. Tapi dia tetap bilang nggak masalah aku nggak mencintainya, dia akan memberiku waktu untuk mencoba lagi. Belajar mencintainya. Cinta kok dipelajari.”

“Menurutku dia benar, Nalia,” kata Gloria hati-hati. “Cinta adalah keterampilan. Seperti menjahit, memasak, berenang, dan lain-lain, ada banyak keterampilan yang nggak kita miliki sejak lahir. Kita harus belajar dan berlatih keras kalau ingin memilikinya.”

“Cara berlatihnya gimana? Aku sudah pacaran tiga kali. Semua kujalani dengan serius dan aku berusaha mencintai mereka. Tapi aku tetap nggak bisa. Perasaanku kepada mereka cuma sebatas tertarik … dan aku senang aja nggak jomlo. Lebih dari itu … membayangkan seumur hidup terikat dengan mereka, aku nggak bisa.”

Ketika Nalia menceritakan kepada Gloria mengenai rencana pernikahannya dengan Astra, Gloria tidak begitu antusias mendengarnya. Menurut Gloria, ada sesuatu yang kurang di antara Nalia dan Astra. Sesuatu yang, masih menurut Gloria, tidak akan membuat pernikahan mereka menyenangkan. Berjalan dengan baik, bisa saja, kalau kedua belak pihak sama-sama bekerja. Tetapi menyenangkan? Belum tentu. Saran Gloria pada waktu itu, Astra dan Nalia sebaiknya menunda dulu rencana tersebut. Tetapi Nalia tidak mau mendengar.

“Mungkin memang aku belum siap. Nggak akan siap. Karena aku….” Nalia urung melanjutkan karena ponsel di dalam tasnya bunyi panjang. Setelah mengecek nama penelepon, Nalia menatap kakak iparnya, meminta izin menerima panggilan. Ada perjanjian di antara Nalia dan teman-temannya—Alesha, Edna, dan Renae—bahwa mereka hanya akan menelepon tanpa mengirim pesan tersebih dahulu—bertanya sibuk atau tidak—jika ada keperluan yang benar-benar mendesak.

“Hei, Lesha,” sapa Nalia setelah Gloria mengangguk dan tersenyum.

“Nalia, Edna … di rumah sakit. Ada kebakaran di E&E….”

Nalia mendorong mundur kursinya ke belakang. “Di rumah sakit mana?”

Belum selesai Alesha menyebutkan nama rumah sakit, Nalia sudah mengakhiri sambungan untuk memesan taksi. “Glo, aku harus ke rumah sakit. Edna di sana, ada kebaran di bakery-nya. Maaf, kayaknya hari ini aku nggak bisa nemenin Jenna belajar.”

Nalia hanya mengajar pada hari Senin, Selasa dan Rabu. Sehingga hari Kamis dan Jumat bisa dimanfaatkan untuk datang ke kampus—menyelesaikan revisi tesisnya dan bersiap untuk menempuh pendidikan doktor. Jenna, anak pertama Jari dan Gloria, terlahir dengan autisme. Semenjak Jenna lahir empat tahun yang lalu, Nalia semakin yakin pada jalan yang dipilihnya. Neurodiversity. Harapan Nalia, dalam waktu dekat, ketika bertemu Jenna orang tidak akan melihat kondisi Jenna sebagai perbedaan, melainkan keragaman.

Gloria memeluk adik iparnya dan tersenyum menenangkan. “Nggak apa-apa, Sayang. Hati-hati di jalan ya. Semoga nggak terjadi sesuatu yang serius pada temanmu ya.”

Nalia menggumamkan terima kasih dan mencium pipi Gloria, lalu bergegas keluar rumah ketika ada notifikasi bahwa mobil yang dipesan Nalia sudah tiba. Dalam hati Nalia berdoa semoga Edna baik-baik saja. Tadi malam Edna mengabari bahwa dirinya sedang hamil anak pertamanya. Suami Edna, Alwin Hakkinen, sedang melakukan perjalanan terkait pekerjaan di Eropa. Kepada Nalia Edna menjelaskan sebenarnya Edna ingin ikut, tapi dirinya terlanjur menerima pesanan beberapa kue pengantin untuk hari Sabtu dan Minggu ini.

Nalia melambaikan tangan kepada Gloria, kemudian masuk ke taksi. Semoga tidak terjadi apa-apa pada kandungan Edna. Sebagai teman terdekat Edna, Nalia tahu Edna tidak akan bisa berdiri tegak jika harus kehilangan janin di kandungannya. Suda terlalu banyak kehilangan yang harus dihadapi Edna sepanjang usianya. Selamanya Edna adalah teman yang istimewa bagi Nalia. Sebelum kenal dengan Edna—saat hari pertama masuk SMA—Nalia adalah orang yang sulit berteman. Diajak berteman, Nalia tidak antusias. Mengajak berteman lebih dulu? Nalia tidak mau melakukannya.

Hingga suatu ketika, Edna—yang duduk satu meja dengan Nalia di kelas—tidak masuk sekolah. Guru menyampaikan bahwa kedua orangtua Edna meninggal karena mengalami kecelakaan di tanah suci. Pada waktu itu ingatan Nalia bergerak menuju hari-hari setelah kematian ibunya. Di mana Nalia sangat berharap dia tidak sendirian dan punya teman berbagi. Setelah menimbang-nimbang, malamnya Nalia menelepon Edna. Persahabatan mereka terbentuk pada hari itu. Ednalah yang memaksa Nalia keluar dari cangkang dan membuka diri kepada dunia. Kepada semua temannya di sekolah, Edna mengenalkan Nalia. Bahkan sampai mereka dewasa seperti ini, Edna tidak pernah berhenti memastikan Nalia juga punya teman. Memastikan Nalia tahu bagaimana mencari teman. Yang terbaik di antara semua teman adalah Alesha dan Renae.

Dua puluh menit kemudian, Nalia masuk ke rumah sakit dan berjalan menuju ruang rawat Edna. Petunjuk yang dikirimkan Alesha melalui WhatsApp sangat jelas. Ketika Nalia tiba, dia mendapati Alesha bercakap-cakap dengan seorang laki-laki. Kalau melihat pakaian yang dikenakan, laki-laki itu seorang dokter. Nalia tidak ingat dia pernah pergi ke rumah sakit dan mendapati dokter seperti itu. Dari postur tubuhnya, profesi yang tepat untuknya adalah pemain sepak bola. Atau perenang. Ukuran tubuhnya saja membuat orang terintimidasi. Nalia bertaruh laki-laki tersebut tidak pernah takut menghadapi siapa pun.

Badannya tinggi sekali. Dan tegap. Karena Nalia payah jika disuruh membuat perkiraan, Nalia tidak bisa menebak berapa centimeter. Alesha yang tinggi saja puncak kepalanya hanya menyentuh pundak laki-laki itu. Kedua kakinya nampak kukuh seperti pangkal pohon yang bisa bertahan ratusan tahun. Dada bidangnya menyempit di bagian pinggang dan pinggul. Tidak seperti Astra, yang mulai memelihara belut di perut, milik laki-laki itu, dari kejauhan saja, bisa dipastikan padat dan keras.

“Nalia.” Alesha mendengar langkah kaki Nalia dan dengan gerakan tangan, meminta Nalia mendekat. “Sorry, aku bikin kamu panik. Edna nggak papa. Dia shocked, lecet-lecet sama menghirup asap. Sudah ditangani dokter dan dia sedang tidur. Ini kenalin, sepupuku, Edvind. Dia dokter di sini. Ed, ini Nalia.”

Seandainya bentuk badan Edvind tidak cukup membuat Nalia—dan wanita mana pun terpukau—mereka harus melihat wajah Edvind. Semua orang yang akan membuat iklan dan memerlukan laki-laki tampan dan seksi sebagai pemeran, pasti akan langsung menyetujui kalau Edvind melamar. Tulang-tulang rahangnya membentuk konstruksi wajah yang … Nalia tidak tahu harus menyebutnya apa. Aristochratic? Bibirnya sensual. Hidungnya mengingatkan Nalia pada paruh elang. Warna bola matanya hitam, sehitam alisnya yang tidak kalah sempurna. Rambut hitamnya pendek dan rapi.

Laki-laki itu mengulurkan tangan, menyeringai seksi dan menyalami Nalia. Sentuhan kecil—yang biasa dilakukan Nalia dengan banyak orang—membuat Nalia tersentak. Ada sesuatu yang bangkit di dalam diri Nalia dan Nalia tidak bisa menjelaskan itu apa. Demi Tuhan, Nalia, ini bukan pertama kali kamu salaman dengan laki-laki, kenapa harus berdebar-debar begitu?

“Hei, Nalia.”

Nalia mengerjapkan mata. Bahkan suara Edvind pun melengkapi kesempurnaan sosoknya. Dalam. Ramah. Percaya diri. Dan penuh rasa ingin tahu. Mungkin dokter harus punya semua kualifikasi itu.

“Kenapa Alesha dan Edna nggak pernah bilang mereka punya teman secantik kamu?”

Oh, and a big flirt. Laki-laki seperti ini yang dibutuhkan Nalia. Yang tidak mencari hubungan serius dan yang tidak beranggapan bahwa semua hubungan harus berakhir dengan pernikahan seperti Astra.

“Karena aku dan Edna tahu kalau kamu nggak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekatinya?” Alesha menatap garang sepupunya. “Behave, Ed. Jangan macam-macam. She’s off limit. Laki-laki sepertimu, yang nggak bisa berkencan dengan wanita yang sama lebih dari tiga kali, nggak berhak bersamanya. Aku dan Edna nggak akan diam, kalau kamu mempermainkan teman kami.”

Nalia mengedipkan sebelah mata dan melemparkan senyum terbaiknya kepada Edvind. Memberi kode bahwa Edvind boleh melanjutkan apa saja rencana yang dimiliki untuk mendekati Nalia. Untuk mempermainkan Nalia. Atau mereka bisa saling mempermainkan. Bermain bersama. Setelah pusing membatalkan rencana pernikahan, Nalia sedang tidak ingin mencari calon suami. Yang dia perlukan adalah laki-laki yang bisa menemaninya saat dia ingin berkencan di malam minggu seperti pasangan-pasangan lain.

“Oh, she’s worth the risk. She’s worth everything.” Walau berbicara kepada Alesha, tapi tatapan mata Edvind tertuju pada Nalia. Hati Nalia, tanpa bisa dikendalikan, melambung tinggi dan perut Nalia menghangat. “Lagi pula, Alesha, apa kamu dan Edna nggak pernah berpikir bahwa aku nggak pernah serius berhubungan sama wanita, itu karena aku belum bertemu dengan wanita yang tepat?”

***

Selengkapnya baca cerita Nalia dalam novel The Perfect Match, karya Ika Vihara, dari penerbit Elex Media. Tersedia di seluruh toko buku di Indonesia. E-book bisa dibaca melalui aplikasi Gramedia Digital, baik single edition, fiction package maupun Full Premium Package. E-book juga tersedia di Google Playstore.

My Books

Freebie: Baca Cerita The Mollers Gratis Di sini

 

Siapa The Mollers? Keluarga rekaanku. Aku sudah menuliscerita mereka sebanyak tiga judul. Bukan buku bersambung. Tokoh utamanya ganti-ganti, cuma nama belakangnya Moller semua. Sampai hari ini masih ada cerita mereka yang bisa dibaca gratis melalui link di bawah ini:

Midsommar Chapter 1 sd 6
The Dance of Love Chapter 1, 2, dan 3

The Danish Boss Chapter 1 sd 20

Sedangkan buku-buku The Mollers yang sudah ada di toko buku adalah:

My Bittersweet Marriage

Afnan Moller. Half-Danish. Memutuskan untuk menjadi warga negara Denmark, mengikuti ayahnya, saat usia 18 tahun.  Mikrobiologis di Aarhus University Hospital. Sudah tinggal di Aarhus selama 12 tahun dan akan tinggal di sana sampai akhir hayat. Sebagai muslim, menemukan calon istri yang seiman di sana sulit sekali. Ditambah kesibukannya–pekerjaan, seminar, dan sebagainya–

Hessa. 27 tahun. Ibunya sudah ribut menyuruhnya menikah, sebelum dilangkah adiknya yang sudah dilamar. Masalahnya, bagaimana menemukan orang yang bisa membuatnya jatuh cinta? Saat sedang pusing memikirkan cinta, ibunya memberitahu bahwa ada laki-laki yang tertarik dengannya. Hessa memperlajari profil Afnan, dengan bantuan internet, dan, mau tidak mau, mengakui bahwa dia terpikat dengan sepasang mata biru seperti samudera tersebut. Masalah besarnya hanya satu. Afnan tidak tinggal di sini. Dia tinggal di Denmark dan tidak punya waktu untuk saling mengenal. Yang diinginkan Afnan adalah menikah dan membawa istrinya tinggal di Aarhus. Bagaimana rasanya meninggalkan semua hidupnya di sini, untuk hidup di sebuah tempat yang namanya saja tidak pernah dia dengar? Bagaimana rasanya meninggalkan keluarga, sahabat, dan pekerjaan, demi hidup bersama laki-laki yang baru ditemui tiga kali?

When Love is Not Enough

We will meet:

Lilja Moller. 28 tahun. Berdarah Denmark. Baru saja pindah ke Indonesia dan bekerja di perusahaan keluarga.Menikah dengan Linus, orang yang sudah dia kenal sejak lahir, dan tidak bisa lagi menghitung betapa besar dia mencintai Linus. Mencintainya sebagai teman, kakak, kekasih dan ayah dari almarhum anak perempuannya. Tetapi cinta saja tidak cukup menahan Lily untuk tetap menghidupkan pernikahan mereka. Sehingga Lily menyimpulkan pernikahan mereka tidak layak dipertahankan. Sambil menahan rasa sakit akibat patah hati, Lily bersumpah tidak akan lagi mempertaruhkan dirinya untuk disakiti lagi.

Linus Zainulin. Linus the Genius, kata Lily. 30 tahun. Merasa sudah memiliki kehidupan yang sempurna. Mendapatkan pekerjaan yang paling dia minati di salah satu perusahaan terbesar di dunia di Munich, Jerman. Hobinya, bermain sepak bola mendatangkan keuntungan finansial dan ketenaran. Menikah dengan gadis impiannya, sahabat terbaiknya, Lily Moller. Yang cantik dan cerdas. Seolah ingin membuktikan bahwa tidak pernah ada sesuatu yang sempurna, Linus menghancurkan pernikahan mereka dan Lily memilih untuk pergi. Meninggalkannya dalam tumpukan penyesalan. Bagaimana cara mendapatkan Lily kembali? Bagaimana cara memenangkan hatinya lagi? Bisakah pernikahan dibangun oleh satu orang saja?

 

Give Away, My Books, My Bookshelf

Review Buku – Bellamia by Ika Vihara

Review ini aku copy dari web salah satu pembaca, Tari. Terima kasih untuk reviewnya 🙂

Bellamia

Oh wow! Kalian semua harus baca novel ini. Ini novel pertama Ika Vihara yang kubaca dan aku bakalan menjamin kalau novel ini manis banget. Manis yang berbeda dari novel romance lain. Manis yang realistis. Sejak kalimat pembuka aku sudah disuguhi kalimat-kalimat yang berbobot. Dari halaman pertama sampai habis bikin bahagia, bikin tersipu, bikin marah, bikin kesel, bikin ketawa dan bikin iri! Iri banget aku sama Amia.

“Aku tahu kamu bisa melakukan apa aja sendiri, Amia. Apa tidak bisa kamu pura-pura tidak bisa? Biar aku ada gunanya.”

Amia tertawa, Gavin terdengar putus asa.

“Tolong antar aku pulang.” Amia memutuskan.

Aku suka banget sama buku ini dan nggak ragu buat bilang Ika adalah salah satu penulis favoritku sekarang. Ika memilih tokoh engineerpower engineer, yang setiap hari bikinin kita listrik dan pekerjaan tersebut jadi terdengar keren dan mulia. Aku nggak akan marah lagi kalau listrik mati, karena ingat Gavin lembur kalau itu terjadi.

Teknik menulis Ika sudah jempol. Kalimat-kalimatnya mengalir, interaksi antartokoh pas, ya seperti kita bercakap sehari-hari sama teman, pacar, orangtua. Semua serba realistis. Sampai aku percaya Gavinku ada di sekitarku dan Amia adalah sainganku. Plus, banyak pengetahuan yang kudapat dari sini. Aku jadi tahu kalau Einstein pernah punya kesimpulan soal jatuh cinta.

Aku sedang iseng Google rekomenasi buku dan sampai pada blog pribadi penulis. Dan aku yakin aku mau baca buku ini setelah baca blurb-nya:

Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun teman SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin—dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan—mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat.

Merahasiakan hubungan dari semua orang.

Dari situ saja aku sudah dijanjikan sesuatu yang berbeda: simulasi terorisme! Di kantorku juga ada seperti itu tapi kenapa nggak ada ‘Gavin’ yang mendatangiku.

“Bapak ngapain di sini?”

Jus kemasan tetrapak menempel di pipi Amia.

“Menjenguk pegawai yang cedera karena simulasi.” Gavin meletakkan jus jeruk itu di pangkuan Amia dan dia sendiri duduk di kursi besi panjang di sebelah kanan Amia.

“Kenapa Bapak repot-repot?” Amia tidak pernah mendengar cerita ada top management menjenguk staf seperti dirinya.

“Karena aku bertanggung jawab terhadap keselamatan semua pegawai?”

Ini memang cerita tentang interoffice romance, alias cinta lokasi di kantor. Ini memang cerita tentang atasan dan bawahan. Di saat aku bosan dengan model cerita Cinderella, (bawahan dengan CEO, red), Ika membuat cerita ini berbeda. Seperti yang kubilang, Gavin adalah power engineer, yang cerdas, berkharisma, tampan, dan percaya diri. Kecintaan Gavin pada engineering, listrik, dan kemaslahatan umat betul-betul disampaikan dengan baik sampai aku berpikir, ini yang engineer penulisnya atau Gavin? Amia berasal dari keluarga berada, berpendidikan, puas dengan hidupnya yang sekarang dan tidak menginginkan apa-apa lagi. Kecuali cinta. Dan Amia ini keras kepala banget nggak mau mencari cinta di kantor.

Cerita yang lengkap sekali. Meski Amia dan Gavin menghadapi masalah, bukan cuma mereka yang bertambah dewasa, tapi aku, dan mungkin pembaca yang lain juga. Betul-betul cerita ini layak untuk dibaca dan sampai dengan bulan Oktober ini, ini adalah buku romance terbaik yang pernah kubaca.

Jadi … kembali ke interoffice romance, hari pertama Amia bertemu dengan Gavin, atasannya yang paling atas, Amia tidak menyangkal kalau dia terpersona pada Gavin. Well, Mia, siapa yang nggak? Dan Gavin pada pertemuan mereka yang pertama juga, dengan cerdik langsung memanfaatkan posisinya lebih tinggi dari Amia, untuk mendekatinya. Jempol.

“Apa kamu tahu alamat ini?” Gavin menunjukkan kertas putih itu kepada Amia.

“Tahu, Pak.” Sejak lahir dia tinggal di sini, tentu saja tahu.

“Antar saya ke sana.” Gavin berdiri. Memang ada GPS. Pengisi suaranya juga wanita. Tapi kalau tersedia GPS alami—penduduk lokal—yang menarik dan cantik seperti ini, semua laki-laki akan melupakan software navigasi tersebut. Gavin tersenyum dalam hati. Memuji dirinya atas keputusan cerdas yang baru dibuatnya.

Amia sadar kalau Gavin tertarik padanya dan Amia berusaha untuk menghindar dari potensi drama yang mungkin terjadi kalau teman-temannya tahu atasan/idola mereka tertarik pada Amia. Bahkan Amia menolak berteman dengan Gavin.

“Saya bisa dipecat kalau manggil bos pakai nama langsung.” Sampai hari ini Amia masih tahu adat dan tidak akan memanggil atasannya seperti yang diinginkan Gavin.

“Ini, kan, di luar kantor, Amia.”

“Karena di luar kantor, saya nggak wajib menuruti perintah Bapak.” Amia berargumen.

“Kenapa?”

“Karena Bapak atasan saya di kantor. Bukan di luar,” jawabnya putus asa.

“You got it? Kita bukan atasan dan bawahan sekarang. Karena tidak di kantor, seperti yang kamu bilang sendiri. Teman?” Gavin puas dengan kemenangannya.

Shit. Amia mengeluh dalam hati.

Tapi Gavin pantang menyerah. Dia tetap berusaha menginginkan kesempatan dari Amia, meski jawaban yang didapat dari Amia tetap ‘tidak.’

“Jadi apa akan ada second date?”

Amia batal melangkah saat mendengar pertanyaan Gavin.

“Nggak. Dan tadi bukan date.” Demi apa pun di dunia ini, kenapa kegiatan makan es krim disebut kencan oleh laki-laki ini?

“I deserve a date, Amia.” Dalam bulan ini, kalau tidak bisa berkencan dengannya, sebaiknya dia mati saja.

Menarik sekali melihat bagaimana Gavin berusaha mengubah pemikiran Amia mengenai office romance. Karena Gavin menghabiskan banyak waktu di kantor, gimana mungkin dia akan ketemu jodoh di luar sana? Sedangkan Amia, berusaha untuk memegang prinsip hidupnya bahwa menjalin hubungan dengan teman sekantor adalah bencana.

Ah, jangan pikir ini akan sama dengan cerita romance lain. Tidak ada orang ketiga yang mengganggu mereka. Yang membuat menarik, penulis bisa bikin konflik yang hanya melibatkan dua tokoh ini. Perasaanku teraduk-aduk selama mereka berkonflik. KESAL, MARAH, MENDUKUNG AMIA, TAPI JUGA INGIN PUK-PUK GAVIN. Semua konflik itu malah membuat kedua tokoh utama menjadi semakin matang dan dewasa. Pembaca juga ikut kecipratan menjadi bijak.

Aku suka semua bagian dari buku ini. Cara berpikir Amia dan Gavin, cara mereka instropeksi diri, cara mereka menyampaikan perasaan, cara bertengkar bahkan. Bagaimana perjuangan mereka untuk menemukan kebahagiaan. Aku lega banget setiap kali Amia atau Gavin berhasil melewati satu ujian hidup.

Orang rajin mengganti oli mesin setiap tiga ribu kilometer. Servis seribu kilometer atau sepuluh kilometer. Jadi kenapa tidak menerapkan aturan ini pada kekasih mereka? Seorang kekasih perlu untuk dihubungi dan dikabari secara berkala. Sehari sekali. Dua hari sekali. Bertemu seminggu sekali—minmal. Diberi perhatian dan disayang. Supaya hubungan mereka tidak macet di tengah jalan.

Aku selalu suka cerita yang membuatku percaya bahwa semua orang di dunia ini bisa mendapatkan kisah cinta yang indah. Bellamia ini salah satunya. Membumi. Apa yang terjadi pada Amia bisa terjadi padaku, pada kita. Gavin bisa ditemui di sekitar kita. Kalau tidak jadi engineer, mungkin Gavinku dokter. Juga buku ini menenangkan hatiku dari galauku yang sedang menunggu datangnya kekasih hati.

“Akan ada balasan kebahagian untukmu, Mia. Walaupun nanti bukan dengan Riyad, akan ada cinta lain untukmu. Akan ada orang yang mencintaimu sebesar rasa cintamu padanya. Yang dengan yakin akan memilihmu di antara banyak wanita di dunia.”

5 bintang dariku!

Oh ya, ada excerpt dari Bellamia yang bisa dibaca di blog pribadi Ika. Bisa dibaca dan siapa tau jatuh cinta kayak aku.

Juga sedang ada give away. Hadiahnya novel Bellamia bertanda tangan penulisnya.

Ada review yang kebanyakan bintang 5 di Goodreads.

Follow fanpage penulisnya dan ada cerita gratis yang dibagikan setiap minggu!

My Books

Bellamia: The Excerpt

 


Are you in mood to test Bellamia? Here the excerpt special for you.

Mau bagaimana lagi. Terpaksa Amia membawa kakinya ke depan pintu. Wow! Ini akan jadi kali pertama Amia masuk ke ruangan power plant manager. Sebelumnya belum pernah sama sekali. Tidak pernah ada urusan dengan mereka. Ragu-ragu Amia mengetuk pintu. Tidak ada sahutan. Setelah tiga kali mengetuk dan memikirkan risiko buku-buku jarinya patah, Amia memutuskan untuk mendorong pintu lalu melongokkan kepala. Tatapannya terpaku pada meja besar di ruangan itu. Kosong. Tidak tampak keberadaan manusia.

Repot sekali mencari orang bernama Gavin ini, Amia sedikit jengkel. Erik juga memberi informasi tidak jelas sama sekali. Apa tidak bisa sekalian pakai tagging koordinat di mana persisnya posisi Gavin? Sudah berapa puluh menit waktunya terbuang sia-sia?

“Ya?” Sebuah suara membuat Amia melompat dan menjatuhkan amplopnya.

A deep baritone. Mata Amia bergerak mencari sumber suara.

“Astaga!” Amia mengelus dada dan menengok ke kiri. Orang yang dia curigai bernama Gavin itu sedang santai membaca koran di sofa.

Sebuah wajah muncul dari balik koran. My God! Baru kali ini dia bertemu laki-laki dan sukses membuatnya lupa bagaimana cara bernapas. Apa patung buatan Michelangelo benar-benar bisa hidup dan berjalan? Bagian bibir dan dagu seperti dipindahkan langsung dari wajah David. Rambut hitam legamnya sangat rapi, seperti dua menit lagi dia akan dipanggil masuk ke studio untuk membacakan berita. Matanya yang tersembunyi di dalam tulang dahi dan tulang pipi yang tinggi, menyorot tajam ke arah Amia.

“Masuk.” Lagi-lagi, suaranya membuat Amia tergeragap.

Setelah mengambil amplop cokelatnya di lantai, Amia melangkah masuk.

“Pak Gavin?” Amia memastikan. Sambil memperhatikan. Celana abu-abu dan kemeja hitam lengan panjang. Suram, Amia menghakimi dalam hati. Tapi seksi, dengan berat hati Amia menambahkan. Menurut perkiraan Amia, laki-laki itu mungkin seumuran dengan Adrien, kakaknya.

“Ini dari Pak Erik.” Amia tidak bisa menjelaskan isinya karena tadi lupa bertanya pada Erik. Gara-gara buru-buru ingin tebar pesona di lantai produksi.

“Apa ini?” Seperti yang sudah diduga Amia, Gavin pasti bertanya. Full of authority. Suaranya menuntut untuk diperhatikan. Seandainya sekarang mereka sedang berada di sebuah auditorium yang penuh sesak, Amia yakin ruangan tersebut akan senyap dan semua orang pasti mendengarkan dengan tenang apa saja yang dikatakan Gavin.

“Saya tidak tahu, Pak.”

“Bapak buka saja.” Amia menyarankan dan berusaha untuk tersenyum. Senyum yang sering membuat laki-laki menjadi terlalu ramah padanya, semoga berfungsi juga pada Gavin.

Isinya kunci mobil, kunci rumah, kartu akses, plus selembar kertas. Kenapa Erik menyuruh mengurus hal-hal seperti ini? Amia mengeluh dalam hati.

“Apa kamu tahu alamat ini?” Gavin menunjukkan kertas putih itu kepada Amia.

“Tahu, Pak.” Sejak lahir dia tinggal di sini, tentu saja tahu.

“Antar saya ke sana.” Gavin berdiri. Memang ada GPS. Pengisi suaranya juga wanita. Tapi kalau tersedia GPS alami—penduduk lokal—yang menarik dan cantik seperti ini, semua laki-laki akan melupakan software navigasi tersebut. Gavin tersenyum dalam hati. Memuji dirinya atas keputusan cerdas yang baru dibuatnya.

Otomatis Amia memanfaatkan kesempatan ini untuk memperhatikan postur tubuh Gavin. Mungkin laki-laki itu benar-benar David versi manusia. Bahu dan dadanya lebar. Perutnya tidak menyembul sama sekali. Lengannya padat. Kakinya panjang. Kulitnya cokelat. Tidak putih seperti Riyad, yang malas kena sinar matahari.

“Sekarang, Pak?” Dalam kepalanya, Amia memperkirakan selisih tinggi badan dengan atasan barunya. Sepatu sepuluh sentinya seperti tidak banyak membantu untuk membuat tinggi badannya—yang hanya 161 cm—naik secara signifikan.

“Iya. Kamu keberatan?” Nada bicaranya seperti mengancam, kamu berani menolak?

“Iya.” Amia menjawab dengan jujur. “Ini bukan jobdesc saya, kebetulan orang yang seharusnya mengurus ini sedang tidak masuk jadi supervisor saya minta tolong.”

“Ya, supervisormu sudah menyuruhmu ke sini, sekalian saja. Namamu siapa?”

“Amia.”

“Tunggu di sini.” Gavin berjalan ke mejanya.

Siapa yang kuasa menolak? Meskipun berusaha tidak terbawa pesonanya, laki-laki itu tetap atasannya. Amia kembali menjatuhkan pantat di sofa.

“Pak Peter.”

Dengan horor Amia menoleh ke arah Gavin yang sedang bicara di telepon. Dia menelepon kepala departemen Amia.

“Saya ingin minta bantuan dari salah satu pegawai Bapak. Namanya Amia.”

Sial betul orang yang namanya Gavin ini, Amia mengerang dalam hati.

“Sudah diizinkan.” Gavin berjalan keluar mendahului Amia. Mau tidak mau, Amia mengekor di belakangnya.

“Kalau ada telepon, tolong bilang saya keluar, ya.” Gavin berpesan kepada Melina yang sudah duduk lagi di kursinya. Yang diiyakan sambil tersenyum lebar oleh Melina.

“Turun dulu, Kak.” Amia pamit kepada Melina.

“Sering-sering ke sini, Am.” Melina menjawab, masih dengan ceria.

Tentu saja semua orang di lantai ini—para sekretaris kepala departemen—akan selalu ceria. Termasuk yang sudah punya anak dua seperti Melina. Ada atasan baru yang masih muda tetapi dewasa, berkharisma namun—Amia benci mengatakan ini—seksi. Mungkin kantor pusat salah merekrut orang. Mestinya Gavin difoto untuk cover majalah, bukan disuruh mengurus listrik.

“Kenapa ke lantai tiga?” Gavin menegur Amia yang memencet angka tiga di lift.

“Saya mau ambil tas saya, Pak.” Dompet dan ponsel Amia semua di sana.

“Itu buang-buang waktu dan kamu tidak akan memerlukan itu.”

“Bapak ini minta tolong kok ngatur.” Amia memberanikan diri untuk protes. Siang ini dia sudah berbaik hati menunda setumpuk pekerjaan untuk menemani Gavin menengok rumah baru dan dia tidak diperbolehkan membawa peralatan perang?

Setidaknya dia perlu membawa ponsel, siapa tahu ada apa-apa di jalan dan dia harus menghubungi seseorang. Atau untuk bergosip dengan Vara agar dia tidak bosan selama bersama atasannya. Amia kesulitan mengikuti langkah panjang Gavin. Sepatu dan rok pensilnya tidak mendukung untuk berjalan dengan cepat.

P.S:

Bellamia bisa didapatkan di toko buku terdekat.

My Books

5 Bellamia’s Fun Fact

  1. Nikola Tesla. Salah satu orang yang tulisannya–buku dan wawancaranya–kubaca sebelum membuat tokoh Gavin. Nggak semua orang kenal sama Tesla, kan? Kalau bicara listrik, pasti yang terlintas nama Thomas Alva Edison. Memang Tesla yang nggak banyak menerima penghargaan atas temuannya, karena hasil-hasil penelitiannya dicuri. Orang ini menarik, cerdas, teguh pada tujuannya untuk menciptakan sesuatu yang memudahkan hidup orang banyak dan  tidak menikah. Tapi aku nggak ingin Gavin jomblo seumur hidup.

    Memang benda temuan Tesla memberi penghidupan kepada Gavin, sebab dengan meneruskan apa yang sudah ditemukan engineer Kroasia-Amerika itu, gajinya menjadi besar. Hanya saja dia tidak akan mengikuti jejaknya untuk single seumur hidup.

  2. Versi pertama naskah Bellamia macet di tengah jalan. Aku hanya bisa menulis sampai bab ketiga dan nggak tahu gimana harus melanjutkannya. Premisnya sama, interoffice romance. Dengan Gavin sebagai world’s best engineer dan Amia adalah seseorang yang mengetuk pintu ruangannya. Akhirnya aku memutuskan untuk menghapus keseluruhan cerita yang sudah kutulis sepanjang 30 halaman. Aku menulis ulang di halaman kosong, sejak kalimat pertama.

    Gavin mengangguk dan menggeret kopernya begitu saja, tanpa merasa perlu mengucapkan terima kasih.

    “Sepertinyak Bapak lupa sesuatu.” Amia mengingatkan.

    “Apa?” Gavin memeriksa kamar hotelnya kalau ada barangnya yang tertinggal.

    “Terima kasih,” jawab Amia, menyindir Gavin yang tidak mengucapkan apa-apa.

    “Anytime.” Gavin menjawab dengan santai.

    Amia mengerutkan keningnya, orang ini bagaimana sih, disuruh mengucapkan terima kasih kok malah membalas ucapan terima kasih.

    “Maksud saya, Bapak lupa berterima kasih sama saya.” Harus sabar menghadapi Gavin in

    Di atas adalah salah satu bagian yang terhapus dari naskah awal Bellamia. Karena nggak pantes aja Amia ngikutin orang nggak dikenal ngambil koper di hotel, hahaha.

  3. Pada bagian surat Amia, ada bencana besar yang bikin aku nangis sesiangan di hari Minggu. Aku sudah menulis surat tersebut, di dokumen lain. Ketika kucari dan mau kugabungkan dengan keseluruhan naskah, aku nggak menemukan ‘surat’ tersebut. Aku perlu waktu untuk menyesali perbuatan bodohku itu, sebelum mengingat apa yang udah kutulis. Tapi nggak ingat juga, akhirnya aku bikin ‘surat’ baru. Dan kalimat favoritku dalam surat itu?

    Saat kamu menciumku untuk pertama kali, aku memperingatkan diriku untuk tidak terlibat masalah denganmu. Masalah yang sekarang kutahu apa namanya. Cinta.

  4. Bagian favoritku pada novel Bellamia adalah saat Gavin mendatangi Amia di rumah sakit dan memaksa untuk mengantarnya pulang. Awww … siapa yang nggak mau pada hari terburuknya, didatangi oleh laki-laki tampan dan perhatian seperti itu? Gyaaah … aku ingin pas operasi lutut dulu ada Gavin yang … memberi kejutan padaku.

    “HP ketinggalan di kantor jadi … hoi … hoi … apa nih?” Amia panik saat Gavin tiba-tiba mendorong kursi rodanya.

    “I’ll drive you home.”

    “No, thanks. Tolong, Pak! Saya nunggu Vara, kasihan nanti dia kecele kalau datang ke sini.” Akan lebih aman kalau dia pulang bersama sahabatnya daripada dengan atasannya.

  5. Makanan-makanan yang kusebutkan di dalam novel Bellamia adalah makanan favoritku–dan semua orang 😀 Oreo, yang dimakan Amia bareng Savara, lollipop yang diberikan Gavin untuk obat patah hatinya Amia, dan lainnya bisa ditemukan sendiri. Siapa yang nggak suka makan Oreo? Kalorinya besar sekali, untung Amia nggak takut gemuk.

    “Kamu pikir bagian apa yang paling enak dari ayam? Aku lebih suka makan kulitnya daripada ayamnya. Jadi kalau kamu nggak ingin aku membencimu seumur hidup, jangan sentuh kulit ayam di piringku.” Amia memperingatkan. “Ini peringatan terakhir.”

    BONUS:

  6. Ada bagian naskah Bellamia yang ditandai secara khusus oleh editor Bellamia, Mbak Niratisaya, karena beliau suka dengan attitude Amia dan Gavin pada bagian tersebut. Aku juga setuju dengan beliau. Bagian yang mana ya kira-kira?

    Aku tertarik sama kamu. Kalau kamu kerja sama, tidak akan melelahkan seperti ini.” Sebaiknya Amia tahu apa yang sesungguhnya dirasakan Gavin.

    “Tapi aku nggak suka sama kamu,” tukasnya.

    “Tidak masalah. Lama-lama kamu juga suka. It’s just a matter of time.” Tidak perlu buru-buru. Gavin punya banyak waktu.

    Menyebalkan sekali kan Gavin ini? Kalau quote Amia yang ditandai keren oleh editor adalah ini:

    Hidup ini bukan geladi bersih. Ini pertunjukan sesungguhnya. Jadi orang harus selalu menampilkan yang terbaik.

     

    Jadi, bagian mana dari novel Bellamia yang teman-teman sukai?

My Books

Coming Soon: Bellamia

Bulan Agustus nanti kita akan ketemu dengan pembuat listrik kesayangan kita, the world’s best power engineer ever, Gavin, dan bisa dipastikan tak akan lagi ada mati listrik di hati kita. Bercanda. Gavin adalah engineer favoritku selama aku menulis cerita dengan tokoh berlatar belakang engineering. Jangan lupa ditengok-tengok di toko buku kesayangan mulai bulan Agustus nanti dan mohon diberikan tempat di rak buku kita untuknya. Dia akan membangun pembangkit listrik tenaga cinta.

BELLAMIA

Blurb

Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun teman SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin—dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan—mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat. Merahasiakan hubungan dari semua orang.

Baca bab I Bellamia di sini.

 

Catatan:

Ada bonus Novella Daisy/14.000 kata hanya bisa didapatkan selama masa pre order novel Bellamia, sd tgl 23 Juli. Tokoh dari cerita ini adalah kakak dari Amia dalam Bellamia. Hubungi email bellamiabook@gmail.com 🙂

Baca bab I novella Daisy di sini.

My Bookshelf

Hari Ini Setahun Yang Lalu

Cerita ini berawal dari sebuah obrolan santai dengan seorang teman berkebangsaan Denmark. Dia ingin menghabiskan hidup di negara hangat dan makan nasi sementara saya ingin merasakan tinggal di negara dingin dan makan roti. Sebuah obrolan yang membuat saya mendapatkan gagasan untuk sebuah premis cerita dengan menggabungkan unsur-unsur roman di dalamnya. Sebuah obrolan yang membuat saya ingin tahu lebih banyak lagi tentang negara dingin itu dan kehidupan di sana. (halaman v, My Bittersweet Marriage)

21 Maret 2016

Hari itu, bersamaan dengan hari ulang tahun sahabat terbaikku, pendukung utamaku, Instagram dan Facebook-ku banjir dengan foto-foto istimewa. Mention dan tag teman-teman kuliah, teman SMA, teman kursus bahasa Inggris, teman-teman kerja, teman-temanku sekelasku saat belajar menulis di Jogja, teman-teman Wattpad dan banyak lagi orang. Mereka memberitahuku bahwa mereka sudah membawa pulang buku pertamaku, My Bittersweet Marriage.

Aku masih ingat pada tahun 2015, setelah nunggu berbulan-bulan, akhirnya naskah yang kuajukan ke penerbit diterima. Nerima kabarnya hari Jumat, malam habis Magrib. Atau aku tahunya habis Magrib. Pada waktu itu, di sini, aku tidak punya banyak followers dan viewers. Aku mencoba percaya saja bahwa naskah yang sudah kutulis sebaik-baiknya, akan mendapat kepercayaan. Karena itu aku menjawab kekecewaan teman-teman yang kecil hati karena khawatir naskahnya tidak kunjung terbit karena tidak capai empat atau tujuh juta viewers, tidak selamanya seperti itu. Jalan kita tidak mudah. Nothing good is easy. 

Yang pertama terlintas dalam benakku ketika menerima kabar terbit, aku ingin menarik naskah dan memperbaikinya lagi. Aku belum puas betul dengan naskah itu dan aku merasa aku terlalu terburu-buru untuk menerbitkan. Tapi apa mau dikata, sudah terlanjur. Jadi seperti itulah adanya My Bittersweet Marriage.

Ada banyak pertanyaan dari teman-teman, kenapa aku menulis tentang Denmark, dalam My Bittersweet Marriage(dan The Danish Boss)

Ada banyak pertanyaan dari teman-teman, kenapa aku menulis tentang Denmark, dalam My Bittersweet Marriage(dan The Danish Boss). Jawabannya seperti paragraf pertama di atas. Tentu saja temanku berperan banyak dalam riset tentang Aarhus dan Denmark. Menyelesaikan novel tersebut adalah pencapain tertinggi dalam hidupku, mengalahkan rasa saat aku berhasil ada dalam 10 orang terbaik selepas management training program. Riset dan studi pustaka untuk novel itu(dan novel-novelku yang lain) perlu banyak waktu dan biaya. Misal harga buku yang berisi hasil penelitian dari Lembaga Peneliti Kebahagiaan Denmark, hampir Rp 300.000 satu eks. Belum lagi malam-malam yang kuhabiskan buat nanya-nanya sama temanku. Saat di Korea pun kubombardir dengan pertanyaan, kenapa ada bendera Denmark dalam setiap kue.

Selain teman, aku juga tahu beberapa orang yang mungkin berniat untuk memberiku kritik. Tapi sayang tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan dengan benar. Aku tidak pernah membenci kalian. Meski aku tidak tahu kenapa kalian membenciku–sayangnya, sering bukan karena karyaku–tapi karena kepo status Facebook-ku.  Lalu baper dan sensi sendiri. Ada juga yang sok menggurui diriku, dengan isi kuliah yang lucu. Kalau teman-teman berteman denganku di Facebook saat itu, saat awal terbit novel ini, kalian pasti ketawa bersamaku. Tapi sekarang sudah berlalu.

Juga ketemu pembajak-pembajak bukuku. Karena merekalah aku jadi tahu bahwa sebenarnya banyak yang tertarik untuk membaca bukuku, tapi terhalang biaya. Jadi membeli buku versi scan atau pdf atau apa dengan harga seperti shampoo sachet. Kalau aku sarankan, lebih baik pinjam ke teman buat baca daripada beli versi gelap seperti itu. Atau ke taman baca yang menyediakan bukuku. Seingatku, aku cukup banyak ngirim buku buat taman baca, supaya bisa dibaca gratis untuk teman-teman yang kebutuhan hidupnya mendesak.

Dalam tiap doaku, aku berharap bukuku bermanfaat untuk kita semua. Ada pemahaman dan sudut pandang baru tentang hidup dan cinta yang bisa kita dapat. Tentang Copenhagen, Aarhus, Denmark, programming, engineering, marriage, budaya dan banyak lagi. I hope I am not adding to negativity. I hope I am adding to positive energy. I wanna send out the ray of hope for you. I want to reach you, and be there for you, through my books. Aku ingin kita tahu bahwa membaca novel romance seperti karyaku ini tidak hanya memupuk imajinasi teman-teman, tapi menambah ilmu, meski sedikit, yang bermanfaat.

Aku mau mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman yang sudah memberi kesempatana padaku, yang bukan siapa-siapa ini, untuk dibaca dan dibeli karyanya. Sebagai(orang yang ngaku) penulis baru, hal tersebut sangat berarti. Terima kasih sudah memberikan rumah baru buat Afnan dan Hessa, bersama dengan karya-karya penulis hebat favorit teman-teman. Semoga aku akan bisa menjadi sehebat mereka Dan terima kasih sudah berteman denganku, dan The Mollers: My Bittersweet Marriage, When Love Is Not Enough, dan The Danish Boss. Juga Geek Play Love dan Bread Love(Jangan bilang belum punya bukuku satu pun huhuhu)

Sekarang dengan makin dikenal banyak orang, aku semakin merasa beban di pundakku semakin berat

Sekarang dengan makin dikenal banyak orang, aku semakin merasa beban di pundakku semakin berat. Aku nggak bisa sembarangan lagi menulis, walau untuk sekadar Twit atau status Facebook. Karena tulisan adalah alat paling efektif untuk mempengaruhi opini teman-teman. Banyak teman-teman yang ingin jadi penulis bertanya padaku, mencontoh diriku–meski aku merasa belum layak. Punya pembaca banyak bukan selamanya menjadi nikmat, tapi bisa juga ujian. They said, we don’t need to be Isaac Newton, Albert EInstein, Soren Kierkegaard, or any other famous scientists, philosophers, politicians or famous peope for my thought to be worthwhile. Aku tidak bisa memberi contoh yang buruk, seperti melempar hate speech, atau menyombongkan diri dengan berteman dengan kelompok tertentu.  Because I have followers and they listen and look up to me.

Uncategorized

Outline

Pembeda antara karya fiksi dengan non fiksi adalah alur atau jalan cerita. Mau cerita pendek, cerita panjang (novel), maupun cerita setengah panjang(novella) harus ada alur. Mau alur maju, mundur atau gabungan maju mundur cantik. Makanya kenapa orang banyak tidak suka baca nonfiksi. Karena tidak ada alur. Begitu-begitu saja dari awal sampai akhir.

Maka di sini, dalam fiksi, alur adalah perkara yang penting dalam sebuah naskah fiksi. Untuk memudahkan mengalirkan alur, kita bisa membuat alat bantu yang disebut outline. Atau gambaran jalan cerita. Gampangnya: menuliskan garis besar bagaimana nanti ceritaku akan berjalan! Alat bantu ini efektif sekali lho untuk membantu kita supaya tidak lupa dengan rencana awal cerita. Ibarat rel, outline ini akan menjaga kita supaya tetap berada di jalur yang benar, tidak melenceng dan selamat sampai tujuan, yaitu kata tamat.

Ah, malas, ah, buat apa bikin outline segala? Aku kan udah biasa nulis. Judul tulisanku udah belasan viewers-ku milyaran. Nulis ya nulis aja, apa yang aku lagi aku pengen. Pernah berpikir gitu?

Boleh-boleh saja. Hanya saja, ada beberapa keuntungan kalau kita punya outline. Continue reading “Outline”