My Books, Thing That Makes Me Happy

MENJADI PENULIS: DARI NOL HINGGA TAHUN KETUJUH

Hingga hari ini semua masih terasa seperti mimpi. Tepat pada bulan Maret yang lalu, aku memasuki tahun ketujuhku sebagai penulis profesional. Sebuah pencapaian yang sangat luar biasa untukku, yang tidak pernah membayangkan akan berhasil menerbitkan buku. Lebih-lebih bertahan selama ini.

Perjalanan karierku sebagai penulis diawali ketika aku patah hati. Seseorang yang kucintai, pada tahun 2011 mencampakkanku. Tidak ada penjelasan yang kuterima, tapi aku menyimpulkan dia meninggalkanku karena aku tidak melangkah secepat dirinya. Dalam bidang akademik. Untuk mengisi waktu luang, yang tiba-tiba banyak karena aku tidak lagi menghabiskan waktu dengannya, aku menulis. Mencurahkan isi hati tapi melalui tokoh fiksi. Pendek-pendek saja. Bahkan aku mengikuti suatu program menulis 30 hari yang diadakan sebuah penerbit, walaupun pada akhirnya aku tidak terpilih untuk mentoring.

Tahun 2012 adalah salah satu tahun yang terberat dalam hidupku. Dalam sebuah acara team building di Gunung Salak, aku terjatuh lemas, sesak napas, dan sakit di dada. Tim medis sudah membantuku dengan oksigen dan segala macam, hingga aku bisa pulang dengan selamat. Tetapi aku tetap merasa sangar khawatir. Aku yakin aku kena serangan jantung. Ke mana-mana aku berobat, menjalani tes ini dan itu, sampai salah satu dokter menyarankan aku ke psikiater. Dan ternyata aku terkena serangan panik.

Menulis kembali menjadi salah satu alat terapiku. Di sanalah aku menemukan ketenangan dan kenyamanan. Aku mencari tahu mengenai invisible disabilities dan kesehatan mental, lalu aku memasukkannya sebagai tema dalam tulisanku. Selain itu, aku juga rajin mengikuti beberapa lomba cerpen. Lebih sering kalah. Hanya dua kali aku mencapai posisi runner up.

Percobaanku menulis novel dimulai tahun 2013. Pada saat itu kesulitan menyelesaikan satu naskah utuh. Dapat satu atau dua bab, aku berhenti. Sepanjang tahun begitu. Karena banyak faktor. Salah satu yang terbesar adalah kehabisan bahan bakar. Aku tidak punya cukup modal untuk menulis tapi aku memaksakan menulis. Sehingga aku tidak tahu harus mengisi 200 halaman dengan apa.

Aku mulai mempelajari apa saja yang harus dipersiapkan penulis untuk menyelesaikan sebuah novel, pada tahun 2014. Aku belajar membuat outline, membuat daftar kebutuhan cerita–untuk diriset, dan membuat jadwal. Hasil dari belajarku dan ketekunanku adalah sebuah novel berjudul The Danish Boss. Bisa menuliskan kata tamat benar-benar membanggakan dan membahagiakan. Tidak peduli mau novel itu jelek atau bagus, kekurangannya berapa banyak, dan lain-lain ketidaksempurnaan lain, aku tetap merayakan keberhasilan itu.

Sebab The Danish Boss memberikan kebahagiaan kepadaku, aku berpikir bisa jadi orang lain akan merasakan hal yang sama. Dimulailah perjalanan The Danish Boss mencari penerbit. Karena aku tahu diri aku masih hijau, maka aku membidik penerbit kecil, yang beberapa bukunya kusukai. Surat penolakan langsung datang sebulan kemduian. Kaget, kecewa, dan patah hati. Seburuk itukah novelku?

Untuk melupakan kesedihan tersebut, aku menulis cerita baru. Setelah berbulan-bulan bekerja keras, lahirlah Geek Play Love. Keinginanku untuk membagi kebahagiaan yang kurasakan dengan pembaca kembali tumbuh. Mungkin karena euforia berhasil menyelesaikan satu novel lagi. Aku kembali rajin mengirimkan Geek Play Love bersama The Danish Boss. Penolakan dan tidak ada jawaban adalah kenyataan demi kenyataan yang harus kuhadapi. Di tengah kekecewaan yang bertubi-tubi, aku meyakini, paling tidak, aku berlatih menyusun surat pengantar, sinopsis, penilaian cerita, dan CV penulis.


Buku debutku, My Bittersweet Marriage, akhirnya terbit tahun 2016. Setelah mengirimkan naskah, sinopsis, dan segala yang diperlukan, kemudian menunggu kurang lebih tiga bulan, Mbak Afriyanti Pardede dari penerbit Elex Media Komputindo memberi kesempatan kepadaku. My Bittersweet Marriage adalah naskah ketiga yang kutulis. Pelarian dari patah hati atas penolakan The Danish Boss dan Geek Play Love. Bahagianya luar biasa. Sampai sekarang pun aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.

When Love Is Not Enough menjadi buku keduaku yang terbit secara tradisional/mayor pada tahun 2017. Cerita yang menguras air mata, menurut banyak pembaca. Tepat pada tanggal terbit, aku menjalani operasi lutut kanan. Sehingga aku menyimak antusiasme teman-teman akan kisah Linus dan Lilja dari atas ranjang rumah sakit. Dalam kondisi puasa jelang operasi. Sampai tiga bulan kemudian, aku masih harus membatasi gerakku. Untungnya ketidaknyamanan itu tertutupi dengan kebahagiaan menerbitkan buku.

Pada 2018, aku sempat memutuskan untuk berhenti menerbitkan buku. Karena berbagai alasan. Niat itu kuutarakan kepada sahabatku. Aku nggak mengirimkan naskah kepada editorku. Menerbitkan dua buku sudah cukup memenuhi rasa penasaranku di dunia perbukuan. Aku tetap menulis, karena aku menyukai kegiatan itu. Rencanaku nanti kalau aku ingin, aku akan menerbitkan secara mandiri.

Awal tahun 2019, editorku menghubungiku untuk membahas My Bittersweet Marriage yang diterbitkan ulang dengan cover baru. Beliau bertanya apa ada naskah yang bisa diterbitkan dan beliau janji akan mempercepat proses terbitnya. Karena aku tidak pernah berhenti menulis, aku bisa mengirimkan naskah pada hari itu juga. Empat bulan kemudian, The Game of Love terbit. Bisa comeback setelah dua tahun rasanya seperti debut ulang. Bahagianya, antusiasmenya, kecemasannya, semuanya sama besarnya.

Pandemi datang di saat aku dan editor sudah selesai merevisi novel keempat, A Wedding Come True. Tentu saja alu khawatir ketika kita semua harus tinggal di rumah. Karena banyak proses yang harus disesuaikan, di antaranya pegawai penerbit dan percetakan yang tidak beroperasi seperti biasanya. Toko buku pun tutup semua. Preorder yang telanjur dimulai tetap kulanjutkan meskipun aku tidak tahu apakah buku akan dicetak sesuai jadwal. Teman-teman mulai bingung dan bertanya ketika penerbit dan toko buku Gramedia mengumumkan gerai Gramedia tutup imbas dari dilarangnya mall untuk buka. Untungnya, jelang berakhirnya masa preorder, penerbit membantu dengan mencetak buku sesuai jumlah preorder. Bahkan aku mengadakan dua kali preorder, yang kedua di tanggal terbit baru.

Editor bertanya apakah aku ingin e-book dirilis lebih dulu. Namun, karena selama pandemi The Game of Love banyak dibajak dan dibagikan di grup WA dan telegram, aku memutuskan untuk menunda penerbitan e-book A Wedding Come True. Seperti sebelum pandemi, e-book A Wedding Come True terbit setelah buku cetak. Dan langsung mencatatkan rekor–pribadiku–sebagai e-book paling laris pada minggu terbit di aplikasi Gramedia Digital.

Masih dalam masa pandemi, Juni tahun 2021, buku kelimaku, The Percect Match, terbit. Tepat saat hendak mulai proses revisi, laptopku kehujanan. Demi menghemat, aku membawanya ke service center untuk diperbaiki. Terpaksa aku bekerja tengah malam dengan laptop adikku, karena jawdal penerbitan buku tidak bisa ditunda. Sebelum servis, aku sudah mengopi HDD laptop ke penyimpana eksternal. Aku kuliah di Fakultas Teknologi Elektro dan Komputer Cerdas, adalah jawabanku kepada pembaca saat mereka tanya kok aku ngerti komputer hahaha. Sayangnya, aku tetap beli laptop baru karena laptop lama yang menemaniku sejak aku menulis When Love Is Not Enough tak terselamatkan.

Aku juga mendapat diagnosis depresi dan gangguan kecemasan pada awal tahun 2021. Sebelum sampai pada diagnosis itu, lebih dulu aku banyak duduk di ruang tunggu rumah sakit. Sebab alu merasa dadaku sakit. Sama seperti dulu, sebelum ke psikiater, aku lebih dulu bicara dengan berbagai spesialis termasuk jantung. Selama menunggu, aku membuat plotting novel, mendaftar kebutuhan cerita, dan proses-proses lain yang kuperlukan untuk menulis selanjutnya.

Untuk pertama kali aku memenangkan lomba cerpen di tahun 2021. Karyaku Sebaik-baik Pelajaran menjadi juara pertama Lomba Teman Tulis 2021. Aku berhak mendapat hadiah uang dan cerpen tersebut di terbitkan dalam antologi bersama sepuluh karya terpilih.

November 2021, buku keenam The Promise of Forever lahir. Aku sendiri pun terkejut dengan pencapaian ini. Di antara kondisi mentalku yang membutuhkan sangat banyak perhatian dan pemgertian, aku masih bisa menyelesaikan sebuah novel. Dan terbit! Pada tahap ini, aku memutuskan akan memberi tahu siapa pun yang mengundangku ke sebuah acara–sebagai narasumber–bahwa aku memiliki invisible disabilites. Panitia pertama yang mengakomodasi kebutuhan khususku berasal dari Universitas Jenderal Soedirman. Sehingga saat acara–yang hadir 75 orang!!!–aku tidak terserang panic dan anxiety attack.

Cerpen keduaku, Sebaik-baik Manusia kembali memenangkan lomba juga pada 2022. Ini menjadi modal keyakinan yang besar untuk menuju novelku selanjutnya.

Right Time To Fall In Love, buku ketujuhku lahir tahun 2022. Rintangan terbesar adalah mendapatkan ISBN. Prosesnya lebih lama daripada biasanya. Plus, aku harus mengumpulkan surat pernyataan keaslian naskah ke Perpusnas dengan ditandatangani dan dibubuhi materai. Suatu proses yang menurutku konyol. Sudah tahun 2022 masa masih pakai kertas seperti itu. Kok kalah sama Wattpad dan aplikasi lain, yang bisa tanda-tangan secara digital. Akibatnya tanggal terbit pun berubah dan ini membuat proses preorder menjadi kacau. Aku berusaha sabar dan berharap yang terbaik saja. Right Time To Fall In Love adalah bukuku yang tidak terdaftar dalam bestseller langsung pada bulan terbit.

Baru pada bulan Maret yang lalu, bulan anniversary-ku sebagai penulis, penerbit mengumumkan buku terbaruku, Right Time To Fall In Love, meraih predikat bestseller. Meskipun itu tidak pernah menjadi tujuan utamaku dalam menulis, tapi mengetahui Right Time To Fall In Love menyusul novel-novel sebelumnya di tangga tinggi penjualan membuatku merasa lega.

Selain menerbitkan buku secara tradisional, aku juga menerbitkan beberapa novel secara independen, yaitu The Danish Boss, Geek Play Love, Midsommar, Bellamia, Savara: You Belong With Me, dan antologi bab ekstra Midnatt.

Novelku selanjutnya, The Dance of Love, akan terbit pada tahun ini lewat penerbit Elex Media Komputindo. Dan akan menjadi judul kedelapanku bersama Elex Media. Harapanku, paling tidak, aku bisa menerbitkan sampai buku kesepuluh.

Selama menjadi penulis profesional, aku mengerti ada banyak hal yang berada di luar kuasaku. Di antaranya apakah orang akan membeli novelku dan apakah mereka akan menyukai karyaku. Bahkan menentukan bukuku akan terbit atau tidak, aku tidak punya kendali. Karena itu masalah rezeki, yang menjadi misteri dan hanya diketahui Yang Maha Kuasa. Yang bisa kukontrol adalah kualitas tulisanku. Bukuku selanjutnya akan selalu lebih baik dari buku sebelumnya. Sebab aku selalu belajar dan akan terus belajar.

Aku tidak akan pernah berhenti menulis. Karena menulis membuatku bahagia dan menjauhkankanu dari depresi dan gangguan kecemasan. Mungkin suatu hari nanti orang tak akan lagi mau membeli novelku, tapi mereka tidak menyuruhku berhenti.

My Books

Le Mariage Terbaru dari Ika Vihara x Elex Media: Right Time To Fall In Love

Blurb Right Time To Fall In Love:

Dari penulis A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage, pemenang The Wattys 2021 Kategori Romance:
Ketika rencananya untuk menikah dipupus takdir, Lamar Karlsson memutuskan pulang ke Indonesia. Meninggalkan segalanya–termasuk karier sebagai structural engineer–untuk memikirkan dan memetakan kembali masa depannya. Masa depan yang akan dilalui sendiri, tanpa risiko patah hati. Semua akan berjalan sempurna, seandainya Malissa Niharika–seorang environmental scientist–tidak mengetuk pintu rumah Lamar. Kini justru timbul masalah baru; Lamar tidak bisa mengusir Malissa dari pikirannya.

Setelah bangkit dari keterpurukan atas pengkhianatan dan skandal besar yang dilakukan almarhum suaminya, Malissa fokus membesarkan anak kembarnya. Waktu yang tersisa digunakan untuk menyelamatkan lingkungan melalui free store dan food rescue yang dirintisnya, sehingga mencari pasangan hidup tidak menjadi prioritas utama Malissa. Tetapi perkenalan dengan Lamar menyebabkan impian Malissa untuk memiliki pernikahan yang penuh cinta bersemi kembali.

Ini bukan waktu yang tepat untuk jatuh cinta, Lamar meyakinkan dirinya. Masih terlalu cepat. Namun Malissa menunjukkan kepada Lamar bahwa hati memiliki cara kerja sendiri yang tidak bisa diintervensi. Apakah Lamar akan mendengarkan kata hatinya untuk segera memberi kepastian kepada Malissa? Atau tetap bertahan di zona teman, yang aman tapi tanpa kesempatan hidup bahagia selama-lamanya bersama Malissa?

Menyambut Le Mariage Keenamku+Judul Ketujuhku Bersama Elex Media Komputindo

Sampai juga aku di titik ini. Saat menerbitkan Le Mariage pertamaku, My Bittersweet Marriage, awal 2016, aku sama sekali nggak berpikir jauh ke depan. Jangankan buku ketujuh, setelah buku kedua When Love Is Not Enough, aku sempat berpikir untuk tidak lanjut menjadi penulis. Aku masih menulis, tapi hanya untuk konsumsi sendiri. Kusimpan saja di laptop. Tetapi editorku di Elex Media menghubungiku dan bertanya apa ada naskah yang sudah siap diterbitkan. Karena masih menulis, maka aku masih punya naskah novel yang telah selesai. Yaitu The Game of Love. Karena nggak berpikir untuk menerbitkan buku tersebut, maka naskah yang kutulis nggak sepanjang bukuku yang lainnya.

Saat proses revisi, ada catatan dari editor, yang mengatakan bahwa saat membaca The Game of Love, pembaca akan tertarik dengan kisah-kisah tokoh yang lain. Tokoh yang di The Game of Love tidak menjadi tokoh utama. Catatan itu mendorongku untuk menulis buku selanjutnya, A Wedding Come True. A Wedding Come True terbit saat pandemi. Di tengah rasa pesimisku–takut buku tersebut nggak laku sebab kondisi ekonomi sedang lesu–A Wedding Come True malah menjadi bukuku yang paling sukses sepanjang karier menulisku. Best seller baik buku cetak maupun e-book.

Ide-ide baru terus muncul dan aku sadar aku ingin memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Kesempatan untuk meningkatkan kesadaran akan invisible disabilities, menceritakan tentang women in STEM–Science, Technology, Engineering, and Mathematic–sepertiku, dan membahas berbagai macam topik. Yang kupadukan dengan cerita romance yang manis, realistis, romantis, dan logis. Berapa pun jumlah pembaca bukuku, aku berharap dari sana sudah ada yang mengambil manfaat dari tulisanku. Sudut pandang mereka akan cinta dan kehidupan semakin bertambah. Wawasan semakin luas dan menjadi pribadi yang semakin toleran.

Dan sekarang aku berdiri di titik ini. Di buku ketujuhku. Le Mariage keenamku. Menghadirkan Right Time To Fall In Love. Tidak hanya kisah asmara Lamar dan Malissa yang kusajikan dengan manis, tapi aku juga membahas perubahan iklim, penyelamatan makanan dan barang-barang kebutuhan lain, structural engineering, single motherhood, dan beberapa topik lain.

Kalau kamu suka membaca cerita romance yang berbobot tapi tidak berat, kamu harus banget membaca Right Time To Fall In Love. Kalau ikut preorder, ada bonus booklet bab ekstra 65 halaman A6. Biar puas baca kisah Lamar, Malissa, dan si kembar yang lucu membangun keluarga.

My Books

Baca Gratis Buku Ika Vihara di Aplikasi iPusnas

Judul bukuku yang dibeli oleh iPusnas terus bertambah. Kini ada A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage Collector Edition yang menyusul buku-buku sebelumnya; My Bittersweet Marriage, When Love Is Not Enough dan The Game of Love. Kamu bisa membaca blurb buku di laman kumpulan karyaku. Jangan pernah ragu untuk membaca karyaku melalui aplikasi iPusnas. Sebab walaupun kamu membacanya tanpa biaya, aku tetap mendapatkan royalti sebagaimana jika bukuku dibeli melalui aplikasi Gramedia Digital atau Google Playstore. Ini seperti kamu ditraktir pemerintah membaca buku. Enak kan?

Untuk bisa menikmati semua bukuku di iPusnas, kamu cukup mengunduh aplikasinya di Playstore/Appstore. Seperti biasa, kamu harus membuat username dan password. Setelah itu kamu bisa memasukkan judul buku atau namaku di kolom pencarian. Klik judul buku yang kamu inginkan. Kalau tulisan Baca/Borrow sudah muncul di bawah cover, berarti kamu bisa langsung membacanya. Kalau masih dalam status Antre/Queue, kamu harus menunggu sampai ada orang lain yang mengembalikan. Jangan khawatir dengan nomor antrean(simbol jam beker di kiri bawah) yang mencapai ratusan. Agar kamu bisa ‘menyerobot antrean’ sering-sering saja mengecek judul tersebut. Biasanya mereka yang antre kadang masih sibuk jadi tidak gercep mengambil e-book yang baru dikembalikan. Oh ya, koneksi internet kamu perlukan saat kamu menekan tomobol baca dan menunggu e-book ter-download. Selanjutnya kamu bisa membacanya walau tidak tersambung internet.

Aplikasi iPusnas bisa menjadi jalan mudah bagimu untuk terus mendukungku. Secara finansial. Kita sama-sama tahu bahwa untuk menulis buku, ada biaya yang harus dikeluarkan yang seringkali tidak sedikit. Dari royaltilah penulis membiayai penulisan bukunya. Mungkin kamu pernah mengunduh atau membeli e-book bajakan. Atau mungkin membeli buku preloved/bekas/second. Keduanya tidak menghasilkan royalti sama sekali kepada penulis. Oleh karena itu, kamu bisa menebus kesalahan tersebut dengan membaca bukuku di aplikasi iPusnas. Agar aku mendapatkan hakku. Karena saat kamu membaca bajakan atau preloved, aku tidak mendapat apa-apa. Sedih.

Aku sangat berterima kasih karena kamu telah memilih menjadi pembaca yang bermartabat. Dengan menghargai karya penulis dan mau berkorban–meng-install aplikasi, membuat username dan password, dan lain-lain–untuk membaca karya penulis. Kamu tidak hanya mendukung kelangsungan karier penulis, tapi memajukan ekosistem literasi Indonesia. Kamu adalah pahlawan.

Selamat membaca karya-karya Ika Vihara di aplikasi Ipusnas.

Note: Selain iPusnas, ada juga aplikasi membaca buku milik pemerintah daerah seperti iJak, iMalang, dan sejenisnya.

My Books

The Perfect Match: Deleted Scene

Selama menulis The Perfect Match, ada bagian-bagian yang tak kusertakan dalam naskah final. Ada berbagai pertimbangan, salah satunya adalah melemahkan abandonment issue yang dimiliki Nalia. Seperti bagian di bawah ini. Kalau kamu sudah baca bukunya, apa kamu bisa menebak kira-kira di bagian mana seharusnya potongan ini berada?

***

“Astra masih berusaha mengubah keputusanmu?” Setelah meletakkan teh herbal dan pisang goreng cokelat di meja, Gloria menarik kursi di seberang Nalia dan duduk.

Siang ini, setelah pulang dari kampus, Nalia memutuskan datang ke rumah kakaknya. Kakak iparnya sedang cuti karena akan melahirkan dua minggu lagi.

“Aku nggak tahu lagi harus ngomong apa.” Nalia mengangkat cangkir putih yang baru saja dihidangkan dan menghirup aroma lavender yang menenangkan. Seminggu yang lalu Nalia membatalkan rencana pernikahan. Semua biaya pernikahan yang telah dikeluarkan sudah diganti oleh Nalia. Semua. “Kenapa dia nggak bisa terima aku nggak juga bisa mencintainya sampai sekarang? Besok pun aku nggak akan bisa mencintainya.

“Seharusnya dia berterima kasih padaku karena aku menyelamatkannya dari pernikahan tanpa cinta. Tapi dia tetap bilang nggak masalah aku nggak mencintainya, dia akan memberiku waktu untuk mencoba lagi. Belajar mencintainya. Cinta kok dipelajari.”

“Menurutku dia benar, Nalia,” kata Gloria hati-hati. “Cinta adalah keterampilan. Seperti menjahit, memasak, berenang, dan lain-lain, ada banyak keterampilan yang nggak kita miliki sejak lahir. Kita harus belajar dan berlatih keras kalau ingin memilikinya.”

“Cara berlatihnya gimana? Aku sudah pacaran tiga kali. Semua kujalani dengan serius dan aku berusaha mencintai mereka. Tapi aku tetap nggak bisa. Perasaanku kepada mereka cuma sebatas tertarik … dan aku senang aja nggak jomlo. Lebih dari itu … membayangkan seumur hidup terikat dengan mereka, aku nggak bisa.”

Ketika Nalia menceritakan kepada Gloria mengenai rencana pernikahannya dengan Astra, Gloria tidak begitu antusias mendengarnya. Menurut Gloria, ada sesuatu yang kurang di antara Nalia dan Astra. Sesuatu yang, masih menurut Gloria, tidak akan membuat pernikahan mereka menyenangkan. Berjalan dengan baik, bisa saja, kalau kedua belak pihak sama-sama bekerja. Tetapi menyenangkan? Belum tentu. Saran Gloria pada waktu itu, Astra dan Nalia sebaiknya menunda dulu rencana tersebut. Tetapi Nalia tidak mau mendengar.

“Mungkin memang aku belum siap. Nggak akan siap. Karena aku….” Nalia urung melanjutkan karena ponsel di dalam tasnya bunyi panjang. Setelah mengecek nama penelepon, Nalia menatap kakak iparnya, meminta izin menerima panggilan. Ada perjanjian di antara Nalia dan teman-temannya—Alesha, Edna, dan Renae—bahwa mereka hanya akan menelepon tanpa mengirim pesan tersebih dahulu—bertanya sibuk atau tidak—jika ada keperluan yang benar-benar mendesak.

“Hei, Lesha,” sapa Nalia setelah Gloria mengangguk dan tersenyum.

“Nalia, Edna … di rumah sakit. Ada kebakaran di E&E….”

Nalia mendorong mundur kursinya ke belakang. “Di rumah sakit mana?”

Belum selesai Alesha menyebutkan nama rumah sakit, Nalia sudah mengakhiri sambungan untuk memesan taksi. “Glo, aku harus ke rumah sakit. Edna di sana, ada kebaran di bakery-nya. Maaf, kayaknya hari ini aku nggak bisa nemenin Jenna belajar.”

Nalia hanya mengajar pada hari Senin, Selasa dan Rabu. Sehingga hari Kamis dan Jumat bisa dimanfaatkan untuk datang ke kampus—menyelesaikan revisi tesisnya dan bersiap untuk menempuh pendidikan doktor. Jenna, anak pertama Jari dan Gloria, terlahir dengan autisme. Semenjak Jenna lahir empat tahun yang lalu, Nalia semakin yakin pada jalan yang dipilihnya. Neurodiversity. Harapan Nalia, dalam waktu dekat, ketika bertemu Jenna orang tidak akan melihat kondisi Jenna sebagai perbedaan, melainkan keragaman.

Gloria memeluk adik iparnya dan tersenyum menenangkan. “Nggak apa-apa, Sayang. Hati-hati di jalan ya. Semoga nggak terjadi sesuatu yang serius pada temanmu ya.”

Nalia menggumamkan terima kasih dan mencium pipi Gloria, lalu bergegas keluar rumah ketika ada notifikasi bahwa mobil yang dipesan Nalia sudah tiba. Dalam hati Nalia berdoa semoga Edna baik-baik saja. Tadi malam Edna mengabari bahwa dirinya sedang hamil anak pertamanya. Suami Edna, Alwin Hakkinen, sedang melakukan perjalanan terkait pekerjaan di Eropa. Kepada Nalia Edna menjelaskan sebenarnya Edna ingin ikut, tapi dirinya terlanjur menerima pesanan beberapa kue pengantin untuk hari Sabtu dan Minggu ini.

Nalia melambaikan tangan kepada Gloria, kemudian masuk ke taksi. Semoga tidak terjadi apa-apa pada kandungan Edna. Sebagai teman terdekat Edna, Nalia tahu Edna tidak akan bisa berdiri tegak jika harus kehilangan janin di kandungannya. Suda terlalu banyak kehilangan yang harus dihadapi Edna sepanjang usianya. Selamanya Edna adalah teman yang istimewa bagi Nalia. Sebelum kenal dengan Edna—saat hari pertama masuk SMA—Nalia adalah orang yang sulit berteman. Diajak berteman, Nalia tidak antusias. Mengajak berteman lebih dulu? Nalia tidak mau melakukannya.

Hingga suatu ketika, Edna—yang duduk satu meja dengan Nalia di kelas—tidak masuk sekolah. Guru menyampaikan bahwa kedua orangtua Edna meninggal karena mengalami kecelakaan di tanah suci. Pada waktu itu ingatan Nalia bergerak menuju hari-hari setelah kematian ibunya. Di mana Nalia sangat berharap dia tidak sendirian dan punya teman berbagi. Setelah menimbang-nimbang, malamnya Nalia menelepon Edna. Persahabatan mereka terbentuk pada hari itu. Ednalah yang memaksa Nalia keluar dari cangkang dan membuka diri kepada dunia. Kepada semua temannya di sekolah, Edna mengenalkan Nalia. Bahkan sampai mereka dewasa seperti ini, Edna tidak pernah berhenti memastikan Nalia juga punya teman. Memastikan Nalia tahu bagaimana mencari teman. Yang terbaik di antara semua teman adalah Alesha dan Renae.

Dua puluh menit kemudian, Nalia masuk ke rumah sakit dan berjalan menuju ruang rawat Edna. Petunjuk yang dikirimkan Alesha melalui WhatsApp sangat jelas. Ketika Nalia tiba, dia mendapati Alesha bercakap-cakap dengan seorang laki-laki. Kalau melihat pakaian yang dikenakan, laki-laki itu seorang dokter. Nalia tidak ingat dia pernah pergi ke rumah sakit dan mendapati dokter seperti itu. Dari postur tubuhnya, profesi yang tepat untuknya adalah pemain sepak bola. Atau perenang. Ukuran tubuhnya saja membuat orang terintimidasi. Nalia bertaruh laki-laki tersebut tidak pernah takut menghadapi siapa pun.

Badannya tinggi sekali. Dan tegap. Karena Nalia payah jika disuruh membuat perkiraan, Nalia tidak bisa menebak berapa centimeter. Alesha yang tinggi saja puncak kepalanya hanya menyentuh pundak laki-laki itu. Kedua kakinya nampak kukuh seperti pangkal pohon yang bisa bertahan ratusan tahun. Dada bidangnya menyempit di bagian pinggang dan pinggul. Tidak seperti Astra, yang mulai memelihara belut di perut, milik laki-laki itu, dari kejauhan saja, bisa dipastikan padat dan keras.

“Nalia.” Alesha mendengar langkah kaki Nalia dan dengan gerakan tangan, meminta Nalia mendekat. “Sorry, aku bikin kamu panik. Edna nggak papa. Dia shocked, lecet-lecet sama menghirup asap. Sudah ditangani dokter dan dia sedang tidur. Ini kenalin, sepupuku, Edvind. Dia dokter di sini. Ed, ini Nalia.”

Seandainya bentuk badan Edvind tidak cukup membuat Nalia—dan wanita mana pun terpukau—mereka harus melihat wajah Edvind. Semua orang yang akan membuat iklan dan memerlukan laki-laki tampan dan seksi sebagai pemeran, pasti akan langsung menyetujui kalau Edvind melamar. Tulang-tulang rahangnya membentuk konstruksi wajah yang … Nalia tidak tahu harus menyebutnya apa. Aristochratic? Bibirnya sensual. Hidungnya mengingatkan Nalia pada paruh elang. Warna bola matanya hitam, sehitam alisnya yang tidak kalah sempurna. Rambut hitamnya pendek dan rapi.

Laki-laki itu mengulurkan tangan, menyeringai seksi dan menyalami Nalia. Sentuhan kecil—yang biasa dilakukan Nalia dengan banyak orang—membuat Nalia tersentak. Ada sesuatu yang bangkit di dalam diri Nalia dan Nalia tidak bisa menjelaskan itu apa. Demi Tuhan, Nalia, ini bukan pertama kali kamu salaman dengan laki-laki, kenapa harus berdebar-debar begitu?

“Hei, Nalia.”

Nalia mengerjapkan mata. Bahkan suara Edvind pun melengkapi kesempurnaan sosoknya. Dalam. Ramah. Percaya diri. Dan penuh rasa ingin tahu. Mungkin dokter harus punya semua kualifikasi itu.

“Kenapa Alesha dan Edna nggak pernah bilang mereka punya teman secantik kamu?”

Oh, and a big flirt. Laki-laki seperti ini yang dibutuhkan Nalia. Yang tidak mencari hubungan serius dan yang tidak beranggapan bahwa semua hubungan harus berakhir dengan pernikahan seperti Astra.

“Karena aku dan Edna tahu kalau kamu nggak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekatinya?” Alesha menatap garang sepupunya. “Behave, Ed. Jangan macam-macam. She’s off limit. Laki-laki sepertimu, yang nggak bisa berkencan dengan wanita yang sama lebih dari tiga kali, nggak berhak bersamanya. Aku dan Edna nggak akan diam, kalau kamu mempermainkan teman kami.”

Nalia mengedipkan sebelah mata dan melemparkan senyum terbaiknya kepada Edvind. Memberi kode bahwa Edvind boleh melanjutkan apa saja rencana yang dimiliki untuk mendekati Nalia. Untuk mempermainkan Nalia. Atau mereka bisa saling mempermainkan. Bermain bersama. Setelah pusing membatalkan rencana pernikahan, Nalia sedang tidak ingin mencari calon suami. Yang dia perlukan adalah laki-laki yang bisa menemaninya saat dia ingin berkencan di malam minggu seperti pasangan-pasangan lain.

“Oh, she’s worth the risk. She’s worth everything.” Walau berbicara kepada Alesha, tapi tatapan mata Edvind tertuju pada Nalia. Hati Nalia, tanpa bisa dikendalikan, melambung tinggi dan perut Nalia menghangat. “Lagi pula, Alesha, apa kamu dan Edna nggak pernah berpikir bahwa aku nggak pernah serius berhubungan sama wanita, itu karena aku belum bertemu dengan wanita yang tepat?”

***

Selengkapnya baca cerita Nalia dalam novel The Perfect Match, karya Ika Vihara, dari penerbit Elex Media. Tersedia di seluruh toko buku di Indonesia. E-book bisa dibaca melalui aplikasi Gramedia Digital, baik single edition, fiction package maupun Full Premium Package. E-book juga tersedia di Google Playstore.

My Books

From Zero To Happily Ever After

Perjalanan Novel The Perfect Match dari Ide di Kepalaku Menjadi Buku di Tanganmu

Saat live di Instagram tanggal 19 Juni yang lalu, ada yang menanyakan seperti apa sih perjalanan The Perfect Match, sejak di kandungan ibunya–aku–hingga lahir dan disukai oleh banyak pembaca. Perjalanannya panjang. Total waktu yang diperlukan dari menggodok ide hingga bukunya terbit adalah 9 bulan. Benar-benar seperti mengandung bayi manusia.

Yang paling memakan waktu adalah proses meriset kebutuhan cerita. Ada banyak hal baru yang harus kupelajari dan kupahami, sehingga aku bisa menenunnya ke dalam jalan cerita. The Perfect Match ber-genre romance, yang manis dan romantis, dengan beberapa tema yaitu cinta(tema utama), inklusivitas, dan kesehatan mental(dalam buku ini abandonment issue). Masih seperti semua novel-novel karyaku terdahulu, The Perfect Match juga tetap logis dan realistis. Kamu akan merasakan pengalaman berbeda dalam membaca novel romance, saat kamu membaca The Perfect Match.

Aku menjelaskan proses kreatif yang kulalui dalam rangkaian cuitan yang bisa kamu baca dengan mengklik kotak di bawah. Kamu tidak perlu punya akun Twitter untuk bisa membacanya, berurutan dari atas ke bawah.

Semoga bermanfaat. Mungkin kamu bisa mangadaptasi proses-proses tersebut untuk berkarya. Atau sekadar menjadi pengetahuan di balik buku favoritmu. Terima kasih sudah menyukai karya-karya Ika Vihara, terutama Edvind dan Nalia dalam The Perfect Match.

My Books

Freebie: Baca Cerita The Mollers Gratis Di sini

 

Siapa The Mollers? Keluarga rekaanku. Aku sudah menuliscerita mereka sebanyak tiga judul. Bukan buku bersambung. Tokoh utamanya ganti-ganti, cuma nama belakangnya Moller semua. Sampai hari ini masih ada cerita mereka yang bisa dibaca gratis melalui link di bawah ini:

Midsommar Chapter 1 sd 6
The Dance of Love Chapter 1, 2, dan 3

The Danish Boss Chapter 1 sd 20

Sedangkan buku-buku The Mollers yang sudah ada di toko buku adalah:

My Bittersweet Marriage

Afnan Moller. Half-Danish. Memutuskan untuk menjadi warga negara Denmark, mengikuti ayahnya, saat usia 18 tahun.  Mikrobiologis di Aarhus University Hospital. Sudah tinggal di Aarhus selama 12 tahun dan akan tinggal di sana sampai akhir hayat. Sebagai muslim, menemukan calon istri yang seiman di sana sulit sekali. Ditambah kesibukannya–pekerjaan, seminar, dan sebagainya–

Hessa. 27 tahun. Ibunya sudah ribut menyuruhnya menikah, sebelum dilangkah adiknya yang sudah dilamar. Masalahnya, bagaimana menemukan orang yang bisa membuatnya jatuh cinta? Saat sedang pusing memikirkan cinta, ibunya memberitahu bahwa ada laki-laki yang tertarik dengannya. Hessa memperlajari profil Afnan, dengan bantuan internet, dan, mau tidak mau, mengakui bahwa dia terpikat dengan sepasang mata biru seperti samudera tersebut. Masalah besarnya hanya satu. Afnan tidak tinggal di sini. Dia tinggal di Denmark dan tidak punya waktu untuk saling mengenal. Yang diinginkan Afnan adalah menikah dan membawa istrinya tinggal di Aarhus. Bagaimana rasanya meninggalkan semua hidupnya di sini, untuk hidup di sebuah tempat yang namanya saja tidak pernah dia dengar? Bagaimana rasanya meninggalkan keluarga, sahabat, dan pekerjaan, demi hidup bersama laki-laki yang baru ditemui tiga kali?

When Love is Not Enough

We will meet:

Lilja Moller. 28 tahun. Berdarah Denmark. Baru saja pindah ke Indonesia dan bekerja di perusahaan keluarga.Menikah dengan Linus, orang yang sudah dia kenal sejak lahir, dan tidak bisa lagi menghitung betapa besar dia mencintai Linus. Mencintainya sebagai teman, kakak, kekasih dan ayah dari almarhum anak perempuannya. Tetapi cinta saja tidak cukup menahan Lily untuk tetap menghidupkan pernikahan mereka. Sehingga Lily menyimpulkan pernikahan mereka tidak layak dipertahankan. Sambil menahan rasa sakit akibat patah hati, Lily bersumpah tidak akan lagi mempertaruhkan dirinya untuk disakiti lagi.

Linus Zainulin. Linus the Genius, kata Lily. 30 tahun. Merasa sudah memiliki kehidupan yang sempurna. Mendapatkan pekerjaan yang paling dia minati di salah satu perusahaan terbesar di dunia di Munich, Jerman. Hobinya, bermain sepak bola mendatangkan keuntungan finansial dan ketenaran. Menikah dengan gadis impiannya, sahabat terbaiknya, Lily Moller. Yang cantik dan cerdas. Seolah ingin membuktikan bahwa tidak pernah ada sesuatu yang sempurna, Linus menghancurkan pernikahan mereka dan Lily memilih untuk pergi. Meninggalkannya dalam tumpukan penyesalan. Bagaimana cara mendapatkan Lily kembali? Bagaimana cara memenangkan hatinya lagi? Bisakah pernikahan dibangun oleh satu orang saja?

 

My Books

My Bittersweet Marriage: the Excerpt

“Apa kita jadi pergi besok?” Hessa bertanya sambil setengah melamun.

Hessa duduk di samping Afnan di mobil, kembali ke rumah Hessa setelah menginap di rumah orangtua Afnan.

“Iya.”

“Nggak bisa diundur sehari aja?”

“Hessa, kita sudah ngomongin ini berkali-kali. Kita akan berangkat hari Sabtu dan nggak akan berubah.”

“Aku masih belum puas di sini.”

“Mau diundur berapa kali juga kamu nggak akan puas. Aku punya tanggung jawab di sana. Kamu tinggal berangkat aja. Nggak perlu cari tempat tinggal. Nggak perlu takut kehabisan uang. Ada aku di sana. Apalagi masalahnya?”

“Kenapa kamu nggak bisa tinggal di sini? Seperti Mikkel. Lilian bilang….”

“Aku nggak bisa. Aku sudah kasih tahu kamu tentang pekerjaanku dan aku nggak mungkin pindah. Kamu mengharapkan aku seperti Mikkel?” Afnan sedikit kesal karena Hessa seperti tidak mau menjalani semua ini.

“Nggak, hanya saja….”

“Kamu ingin laki-laki yang mau berkorban seperti Mikkel itu yang jadi suami kamu? Aku nggak akan menjalani hidupku seperti Mikkel. Dan jangan pernah membanding-bandingkan aku dengan Mikkel. Aku tahu apa yang baik untukku, untuk kamu, dan untuk keluarga kita. Kalau kamu merasa pernikahan ini nggak seperti yang kamu inginkan, kamu belum terlambat untuk membuat keputusan dan tetap tinggal di sini. Mungkin mencari suami seperti Mikkel.”

“Kok kamu ngomong gitu sih, Afnan?” Hessa membuka pintu mobil dengan jengkel, berjalan cepat masuk rumah.

“Lalu apa lagi? Kita sudah membicarakan ini sejak aku melamarmu. Aku sudah bilang kalau aku akan hidup di Aarhus dan istriku harus mau. Kamu mau menikah denganku dan aku menyimpulkan kamu mau tinggal denganku di sana.” Afnan berusaha menahan suaranya saat mereka berdua sudah di dalam kamar Hessa.

“Itu kan hal yang bisa didiskusikan.”

“Nggak. Kamu sudah tahu aku memberi syarat yang sangat jelas dan kamu sudah mau. Pilihanmu hanya ada dua, Hessa. Kamu, terserah, mau tinggal di sini dan aku nggak tahu akan seperti apa pernikahan kita. Atau kamu ikut denganku ke sana dan menjalani pernikahan ini dengan normal. Apa kamu pikir di sana aku akan menelantarkanmu? Nggak akan ada bedanya di sini dan di sana. Caraku memperlakukanmu akan tetap sama. Aku akan tetap menyayangimu seperti biasanya.”

“Aku bukan nggak mau ikut. Tapi aku masih ingin di sini, sebentar aja. Dua atau tiga hari.”

“Aku sudah nggak punya argumen lagi. Aku tetap berangkat hari Sabtu. Pikirkan dua pilihan itu.” Afnan masuk ke kamar mandi, mencegah mulutnya mengatakan hal-hal yang akan menyakiti Hessa.

My Books

WHEN LOVE IS NOT ENOUGH: THE EXCERPT

 

Hujan rintik membasahi bumi saat jasad Leyna dimakamkan sore ini. Linus yang menggendong jenazah anaknya, pelan-pelan membaringkannya di lubang yang tidak lebih besar daripada ukuran dua kotak sepatu. Leyna Jasmine Zainulin. Nama yang tertulis di batu nisan di atas kepala Leyna. Meninggal kurang dari enam bulan setelah dilahirkan.

Saat seorang suami ditinggal mati oleh istri, maka dia disebut duda. Istri yang ditinggal mati suami, dia disebut janda. Anak yang ditinggal mati ayah, dia dinamakan yatim. Dan anak yang ditinggal mati ibu, dia dinamakan piatu.

Bagaimana dengan seorang ayah atau seorang ibu yang ditinggal mati anaknya? Tidak ada nama untuk mereka. Mungkin orang tidak berpikir untuk memberikan sebutan bagi orang sepertinya dan Lily. Continue reading “WHEN LOVE IS NOT ENOUGH: THE EXCERPT”