Thing That Makes Me Happy

MENJAGA KESEHATAN MENTAL SEBAGAI PENULIS

Kenapa aku bisa frustrasi, hanya gara-gara hobi? Aku membuat meme dengan pertanyaan itu dan mengunggahnya ke Twitter bulan lalu. Saat belum pernah menerbitkan buku dulu, aku sangat menikmati hobi menulis. Merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga menjadi paragraf lalu cerita yang utuh sangat menyenangkan dan memuaskan. Setelah bertahun-tahun aku tidak pernah bisa menuliskan kata tamat karena selalu menuruti ide yang tiba-tiba muncul, bisa menyelesaikan satu novel adalah suatu pencapaian yang amat besar. Hatiku dipenuhi kepuasaan, kebahagiaan dan tentu saja, kebanggaan. Sekarang, setelah aku menulis lima belas novel, aku kesulitan menghidupkan kembali apa yang pernah kumiliki sebelum buku debutku terbit.

Beberapa waktu lalu The Booksellers di Amerika Serikat menyurvei para penulis terkait pengalaman dan perasaan mereka saat menerbitkan buku debut. Hasilnya 54% responden mengaku menerbitkan buku berakibat buruk pada kesehatan mental mereka. Setengah dari jumlah responden menerbitkan buku melalui penerbit indie, 48% menerbitkan di empat raksasa penerbitan–Penguin, HarperCollins, Pan Macmillan dan Hachette, dan 1% self-published dan hybrid. Masalah kesehatan mental yang mereka rasakan di antaranya cemas berlebih, stres berlebih, depresi hingga kehilangan kepercayaan diri. Ada responden yang mengaku perlu waktu lebih dari satu tahun untuk memulihkan diri. Ada juga yang memerlukan bantuan profesional untuk memulihkan diri.

Aku percaya gangguan kesehatan mental tidak hanya memengaruhi penulis di luar negeri. Di dalam negeri pun demikian. Atau, karena aku tidak bisa mewakili penulis lain, aku akan menceritakan pengalamanku sendiri. Buku debutku, My Bittersweet Marriage, yang terbit secara tradisional/mayor melalui Elex Media, di luar dugaanku dan editor, sangat populer. Debut yang luar biasa, kami berdua menyimpulkan. Kesuksesan itu seharusnya membuatku bangga dan bahagia. Tapi kenyataannya, aku menjadi sangat cemas. Mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu akan terjadi. Bahkan hal-hal yang tidak bisa kukontrol. Bagaimana nanti kalau orang tidak menyukai When Love Is Not Enough–buku keduaku, bagaimana kalau mereka kapok membeli bukuku karena mereka tidak puas dengan My Bittersweet Marriage, bagaimana kalau orang hanya ingin membaca cerita yang mirip dengan My Bittersweet Marriage sedangkan aku sedang menulis cerita yang berbeda, dan masih banyak lagi bagaimana kalau yang lain. Perasaan-perasaan semacam itu membuatku tidak bisa lepas saat menulis cerita baru. Ada bayang-bayang kesuksesan buku debut. Buku selanjutnya, tentu harus melebihi suksesnya buku debut, begitu aku percaya.

Tahun 2018 aku mempertimbangkan untuk berhenti menulis, sebab aku sudah sepenuhnya kehilangan kenikmatan dalam menulis cerita. Seharusnya proses itu membahagiakanku, tapi yang kurasakan hanyalah tekanan dan kekhawatiran. Namun, rencana pensiunku setelah buku kedua batal sebab My Bittersweet Marriage di-make-over dengan cover dan layout baru, diterbitkan lagi dengan ISBN baru. Pada saat hampir bersamaan, aku dan editor sepakat menerbitkan The Game of Love. Sukses. Di tengah pandemi, buku selanjutnya, A Wedding Come True, lahir. Sukses juga. Langsung menjadi e-book terlaris di Gramedia Digital pada minggu pertamanya terbit.

Dengan deretan kesuksesan seperti itu, seharusnya aku puas dan bahagia bukan? Tidak frustrasi dan tidak depresi? Pada akhir 2020 hingga pertengahan 2021, aku sakit dan dari sakit tersebut, aku didiagnosis menderita gangguan kecemasan, yang lalu kuketahui bersahabat erat dengan depresi. Pada kondisi sedang memperbaiki kesehatan mentalku, aku tidak bisa banyak berinteraksi dengan pembaca. Juga tidak maksimal melakukan promosi dan banyak lagi. Akibatnya–menurutku–bukuku The Perfect Match, yang terbit Mei 2021, tidak begitu sukses. Tapi penerbit berpikir lain dan memajukan terbitnya, The Promise of Forever. Dari yang semula akan terbit pada tahun 2022 menjadi November 2021.

Di situlah kesehatan mentalku mulai terdampak. Sebab aku kembali merasa The Promise of Forever tidak lebih sukses daripada buku sebelumnya. Dengan kondisi ekonomi yang masih terdampak pandemi, bahkan beberapa pembaca setiaku mengaku kehilangan pekerjaan, ditambah algoritme media sosial yang semakin tidak menguntungkan, aku kesulitan mengenalkan bukuku kepada lebih banyak orang. Aku sangat tidak sabar menunggu laporan penjualan buku sepanjang 2022. Padahal sebelumnya aku tidak pernah memusingkan hal itu. Biasanya aku membiarkannya mengalir saja seperti air. Kalau waktunya terima, ya nanti terima juga.

Tolong dicatat, aku menggarisbawahi kata menurutku dan merasa, karena pandangan orang lain berbeda. Editorku tidak memandang aku gagal, teman-teman penulis juga bilang performance buku-bukuku jauh lebih baik daripada banyak buku lain, pembaca juga mengatakan bukuku menyenangkan dan membawa manfaat untuk mereka. Semakin hari aku semakin didera kecemasan. Kalau bukuku tidak muncul dalam daftar bestseller yang diumumkan penerbit tiap bulan, aku merasa gagal. Jumlah followers di media sosial tidak naik, aku merasa diriku tidak disukai. Rating buku tiga bintang membuatku ingin membaca ulang bukuku dan mencari tahu di mana jeleknya. Padahal kalau di Goodreads, bintang tiga itu artinya pembaca menyukai buku tersebut.

Aku berdiskusi dengan psikiaterku dan menurutnya, kecemasanku masih bisa dikelola. Setelah berhasil, aku harus bisa menjaga kesehatan mentalku dengan baik. Dengan cara yang hampir sama yang kulakukan pada 2021 dulu, aku mendaftar beberapa caranya, di antaranya:

  1. Ingat selalu kesehatan mental di atas segalanya. Karena tanpa kesehatan mental yang baik, kreativitas tidak akan bisa muncul ke permukaan. Jika pada satu titik kita mengalami burn out, segera ambil waktu untuk beristirahat. Sebulan atau setahun, berapa pun waktu yang diperlukan, ambil. Supaya tidak semakin parah. Hiatus lebih baik daripada tidak bisa berkarya selamanya.
  2. Pembaca tidak tahu tantangan apa yang harus kita lalui untuk menghasilkan sebuah novel. Editor tidak tahu. Tidak ada yang tahu kecuali diri kita sendiri. Semua orang hanya tahu hasil akhirnya dan hanya menilai hasil akhirnya. Kalau memang tidak bisa menepati deadline dari editor, sampaikan. Kalau tidak bisa menerbitkan buku di tanggal yang sudah diumumkan kepada pembaca, sampaikan. Supaya kita tidak merasa punya utang.
  3. Jangan menghabiskan waktu di media sosial. Pilih saja salah satu media sosial yang paling nyaman bagi kita. Instagram, TikTok, Twitter, dan lain-lain tidak perlu kita kuasai semua. Satu saja, asalkan kita bisa menjalin hubungan baik dengan pembaca dan calon pembaca, mereka bisa merasakan antusiasme kita dalam menulis dan menyajikan karya kepada mereka, sudah cukup.
  4. Berani mengatakan tidak. Akan selalu ada orang yang meminta waktu, keahlian, atau apa pun yang mereka perlukan. Misalnya diminta menjadi narasumber. Muncul di setiap event pembaca adalah salah satu bentuk publikasi yang baik. Tetapi tidak harus semua dihadiri. Harus diseleksi. Kalau semua kita iyakan, kita akan lelah sendiri dan tidak bisa menulis buku selanjutnya. Pekerjaan utama penulis adalah menulis. Kalau ada kegiatan yang sekiranya mengganggu jadwal menulis, tidak perlu dilakukan.
  5. Jangan merasa bersalah kalau terlambat atau tidak membaca dan membalas e-mail, DM, dan komentar. Apalagi kalau kita merasa di dalam sana ada hal-hal yang bisa menganggu kesehatan mental kita.
  6. Tidak usah melihat rating dan membaca review. Goodreads adalah tempat terlarang untuk dikunjungi hahaha. Bahkan komentar positif pun bisa menjadi beban untuk memuaskan lebih banyak orang lagi. Kita harus ingat kita tidak bisa membahagiakan semua orang. Satu buku bisa cocok untuk seseorang tapi tidak cocok untuk orang lainnya. Semua hanya tentang bertemu pembaca yang tepat. Itu kenyataan yang tidak bisa lagi kita ubah.
  7. Jangan pernah memasukkan nama kita atau judul buku kita di kolom pencarian. Baik di Twitter, Instagram, Facebook, Google atau apa pun. Juga jangan mengklik hashtag buku kita atau nama kita. Karena nanti kita akan sedih melihat buku kita dibajak di mana-mana atau mengetahui orang yang bilang karya kita jelek.
  8. Jangan pedulikan angka-angka. Jumlah buku terjual, ditambahkan di Goodreads, rating bintang lima atau satu, followers, like dan sebagainya. Semua pasti ada naik dan turunnya, terlalu sering melihat hanya akan mengurangi kebahagiaan dan menyebabkan depresi.
  9. Terimalah dalam industri ini yang bisa kita kontrol adalah kualitas karya kita.
  10. Tentukan sendiri kecepatanmu. Satu tahun satu buku atau dua tahun satu buku, terserah kita. Tidak perlu merasa kalah dengan penulis yang menerbitkan buku setahun tiga kali atau lebih.

Semoga sepuluh poin di atas bisa membantu menjaga kesehatan mental kita di dunia yang kita cintai. Karena hingga hari ini, menuju terbitnya bukuku di bulan November nanti, aku selalu membaca ulang daftar di atas dan selalu berhasil membuat diriku kembali tenang.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *