Thing That Makes Me Happy

MENJAGA KESEHATAN MENTAL SEBAGAI PENULIS

Kenapa aku bisa frustrasi, hanya gara-gara hobi? Aku membuat meme dengan pertanyaan itu dan mengunggahnya ke Twitter bulan lalu. Saat belum pernah menerbitkan buku dulu, aku sangat menikmati hobi menulis. Merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga menjadi paragraf lalu cerita yang utuh sangat menyenangkan dan memuaskan. Setelah bertahun-tahun aku tidak pernah bisa menuliskan kata tamat karena selalu menuruti ide yang tiba-tiba muncul, bisa menyelesaikan satu novel adalah suatu pencapaian yang amat besar. Hatiku dipenuhi kepuasaan, kebahagiaan dan tentu saja, kebanggaan. Sekarang, setelah aku menulis lima belas novel, aku kesulitan menghidupkan kembali apa yang pernah kumiliki sebelum buku debutku terbit.

Beberapa waktu lalu The Booksellers di Amerika Serikat menyurvei para penulis terkait pengalaman dan perasaan mereka saat menerbitkan buku debut. Hasilnya 54% responden mengaku menerbitkan buku berakibat buruk pada kesehatan mental mereka. Setengah dari jumlah responden menerbitkan buku melalui penerbit indie, 48% menerbitkan di empat raksasa penerbitan–Penguin, HarperCollins, Pan Macmillan dan Hachette, dan 1% self-published dan hybrid. Masalah kesehatan mental yang mereka rasakan di antaranya cemas berlebih, stres berlebih, depresi hingga kehilangan kepercayaan diri. Ada responden yang mengaku perlu waktu lebih dari satu tahun untuk memulihkan diri. Ada juga yang memerlukan bantuan profesional untuk memulihkan diri.

Aku percaya gangguan kesehatan mental tidak hanya memengaruhi penulis di luar negeri. Di dalam negeri pun demikian. Atau, karena aku tidak bisa mewakili penulis lain, aku akan menceritakan pengalamanku sendiri. Buku debutku, My Bittersweet Marriage, yang terbit secara tradisional/mayor melalui Elex Media, di luar dugaanku dan editor, sangat populer. Debut yang luar biasa, kami berdua menyimpulkan. Kesuksesan itu seharusnya membuatku bangga dan bahagia. Tapi kenyataannya, aku menjadi sangat cemas. Mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu akan terjadi. Bahkan hal-hal yang tidak bisa kukontrol. Bagaimana nanti kalau orang tidak menyukai When Love Is Not Enough–buku keduaku, bagaimana kalau mereka kapok membeli bukuku karena mereka tidak puas dengan My Bittersweet Marriage, bagaimana kalau orang hanya ingin membaca cerita yang mirip dengan My Bittersweet Marriage sedangkan aku sedang menulis cerita yang berbeda, dan masih banyak lagi bagaimana kalau yang lain. Perasaan-perasaan semacam itu membuatku tidak bisa lepas saat menulis cerita baru. Ada bayang-bayang kesuksesan buku debut. Buku selanjutnya, tentu harus melebihi suksesnya buku debut, begitu aku percaya.

Tahun 2018 aku mempertimbangkan untuk berhenti menulis, sebab aku sudah sepenuhnya kehilangan kenikmatan dalam menulis cerita. Seharusnya proses itu membahagiakanku, tapi yang kurasakan hanyalah tekanan dan kekhawatiran. Namun, rencana pensiunku setelah buku kedua batal sebab My Bittersweet Marriage di-make-over dengan cover dan layout baru, diterbitkan lagi dengan ISBN baru. Pada saat hampir bersamaan, aku dan editor sepakat menerbitkan The Game of Love. Sukses. Di tengah pandemi, buku selanjutnya, A Wedding Come True, lahir. Sukses juga. Langsung menjadi e-book terlaris di Gramedia Digital pada minggu pertamanya terbit.

Dengan deretan kesuksesan seperti itu, seharusnya aku puas dan bahagia bukan? Tidak frustrasi dan tidak depresi? Pada akhir 2020 hingga pertengahan 2021, aku sakit dan dari sakit tersebut, aku didiagnosis menderita gangguan kecemasan, yang lalu kuketahui bersahabat erat dengan depresi. Pada kondisi sedang memperbaiki kesehatan mentalku, aku tidak bisa banyak berinteraksi dengan pembaca. Juga tidak maksimal melakukan promosi dan banyak lagi. Akibatnya–menurutku–bukuku The Perfect Match, yang terbit Mei 2021, tidak begitu sukses. Tapi penerbit berpikir lain dan memajukan terbitnya, The Promise of Forever. Dari yang semula akan terbit pada tahun 2022 menjadi November 2021.

Di situlah kesehatan mentalku mulai terdampak. Sebab aku kembali merasa The Promise of Forever tidak lebih sukses daripada buku sebelumnya. Dengan kondisi ekonomi yang masih terdampak pandemi, bahkan beberapa pembaca setiaku mengaku kehilangan pekerjaan, ditambah algoritme media sosial yang semakin tidak menguntungkan, aku kesulitan mengenalkan bukuku kepada lebih banyak orang. Aku sangat tidak sabar menunggu laporan penjualan buku sepanjang 2022. Padahal sebelumnya aku tidak pernah memusingkan hal itu. Biasanya aku membiarkannya mengalir saja seperti air. Kalau waktunya terima, ya nanti terima juga.

Tolong dicatat, aku menggarisbawahi kata menurutku dan merasa, karena pandangan orang lain berbeda. Editorku tidak memandang aku gagal, teman-teman penulis juga bilang performance buku-bukuku jauh lebih baik daripada banyak buku lain, pembaca juga mengatakan bukuku menyenangkan dan membawa manfaat untuk mereka. Semakin hari aku semakin didera kecemasan. Kalau bukuku tidak muncul dalam daftar bestseller yang diumumkan penerbit tiap bulan, aku merasa gagal. Jumlah followers di media sosial tidak naik, aku merasa diriku tidak disukai. Rating buku tiga bintang membuatku ingin membaca ulang bukuku dan mencari tahu di mana jeleknya. Padahal kalau di Goodreads, bintang tiga itu artinya pembaca menyukai buku tersebut.

Aku berdiskusi dengan psikiaterku dan menurutnya, kecemasanku masih bisa dikelola. Setelah berhasil, aku harus bisa menjaga kesehatan mentalku dengan baik. Dengan cara yang hampir sama yang kulakukan pada 2021 dulu, aku mendaftar beberapa caranya, di antaranya:

  1. Ingat selalu kesehatan mental di atas segalanya. Karena tanpa kesehatan mental yang baik, kreativitas tidak akan bisa muncul ke permukaan. Jika pada satu titik kita mengalami burn out, segera ambil waktu untuk beristirahat. Sebulan atau setahun, berapa pun waktu yang diperlukan, ambil. Supaya tidak semakin parah. Hiatus lebih baik daripada tidak bisa berkarya selamanya.
  2. Pembaca tidak tahu tantangan apa yang harus kita lalui untuk menghasilkan sebuah novel. Editor tidak tahu. Tidak ada yang tahu kecuali diri kita sendiri. Semua orang hanya tahu hasil akhirnya dan hanya menilai hasil akhirnya. Kalau memang tidak bisa menepati deadline dari editor, sampaikan. Kalau tidak bisa menerbitkan buku di tanggal yang sudah diumumkan kepada pembaca, sampaikan. Supaya kita tidak merasa punya utang.
  3. Jangan menghabiskan waktu di media sosial. Pilih saja salah satu media sosial yang paling nyaman bagi kita. Instagram, TikTok, Twitter, dan lain-lain tidak perlu kita kuasai semua. Satu saja, asalkan kita bisa menjalin hubungan baik dengan pembaca dan calon pembaca, mereka bisa merasakan antusiasme kita dalam menulis dan menyajikan karya kepada mereka, sudah cukup.
  4. Berani mengatakan tidak. Akan selalu ada orang yang meminta waktu, keahlian, atau apa pun yang mereka perlukan. Misalnya diminta menjadi narasumber. Muncul di setiap event pembaca adalah salah satu bentuk publikasi yang baik. Tetapi tidak harus semua dihadiri. Harus diseleksi. Kalau semua kita iyakan, kita akan lelah sendiri dan tidak bisa menulis buku selanjutnya. Pekerjaan utama penulis adalah menulis. Kalau ada kegiatan yang sekiranya mengganggu jadwal menulis, tidak perlu dilakukan.
  5. Jangan merasa bersalah kalau terlambat atau tidak membaca dan membalas e-mail, DM, dan komentar. Apalagi kalau kita merasa di dalam sana ada hal-hal yang bisa menganggu kesehatan mental kita.
  6. Tidak usah melihat rating dan membaca review. Goodreads adalah tempat terlarang untuk dikunjungi hahaha. Bahkan komentar positif pun bisa menjadi beban untuk memuaskan lebih banyak orang lagi. Kita harus ingat kita tidak bisa membahagiakan semua orang. Satu buku bisa cocok untuk seseorang tapi tidak cocok untuk orang lainnya. Semua hanya tentang bertemu pembaca yang tepat. Itu kenyataan yang tidak bisa lagi kita ubah.
  7. Jangan pernah memasukkan nama kita atau judul buku kita di kolom pencarian. Baik di Twitter, Instagram, Facebook, Google atau apa pun. Juga jangan mengklik hashtag buku kita atau nama kita. Karena nanti kita akan sedih melihat buku kita dibajak di mana-mana atau mengetahui orang yang bilang karya kita jelek.
  8. Jangan pedulikan angka-angka. Jumlah buku terjual, ditambahkan di Goodreads, rating bintang lima atau satu, followers, like dan sebagainya. Semua pasti ada naik dan turunnya, terlalu sering melihat hanya akan mengurangi kebahagiaan dan menyebabkan depresi.
  9. Terimalah dalam industri ini yang bisa kita kontrol adalah kualitas karya kita.
  10. Tentukan sendiri kecepatanmu. Satu tahun satu buku atau dua tahun satu buku, terserah kita. Tidak perlu merasa kalah dengan penulis yang menerbitkan buku setahun tiga kali atau lebih.

Semoga sepuluh poin di atas bisa membantu menjaga kesehatan mental kita di dunia yang kita cintai. Karena hingga hari ini, menuju terbitnya bukuku di bulan November nanti, aku selalu membaca ulang daftar di atas dan selalu berhasil membuat diriku kembali tenang.

 

 

My Books, Thing That Makes Me Happy

MENJADI PENULIS: DARI NOL HINGGA TAHUN KETUJUH

Hingga hari ini semua masih terasa seperti mimpi. Tepat pada bulan Maret yang lalu, aku memasuki tahun ketujuhku sebagai penulis profesional. Sebuah pencapaian yang sangat luar biasa untukku, yang tidak pernah membayangkan akan berhasil menerbitkan buku. Lebih-lebih bertahan selama ini.

Perjalanan karierku sebagai penulis diawali ketika aku patah hati. Seseorang yang kucintai, pada tahun 2011 mencampakkanku. Tidak ada penjelasan yang kuterima, tapi aku menyimpulkan dia meninggalkanku karena aku tidak melangkah secepat dirinya. Dalam bidang akademik. Untuk mengisi waktu luang, yang tiba-tiba banyak karena aku tidak lagi menghabiskan waktu dengannya, aku menulis. Mencurahkan isi hati tapi melalui tokoh fiksi. Pendek-pendek saja. Bahkan aku mengikuti suatu program menulis 30 hari yang diadakan sebuah penerbit, walaupun pada akhirnya aku tidak terpilih untuk mentoring.

Tahun 2012 adalah salah satu tahun yang terberat dalam hidupku. Dalam sebuah acara team building di Gunung Salak, aku terjatuh lemas, sesak napas, dan sakit di dada. Tim medis sudah membantuku dengan oksigen dan segala macam, hingga aku bisa pulang dengan selamat. Tetapi aku tetap merasa sangar khawatir. Aku yakin aku kena serangan jantung. Ke mana-mana aku berobat, menjalani tes ini dan itu, sampai salah satu dokter menyarankan aku ke psikiater. Dan ternyata aku terkena serangan panik.

Menulis kembali menjadi salah satu alat terapiku. Di sanalah aku menemukan ketenangan dan kenyamanan. Aku mencari tahu mengenai invisible disabilities dan kesehatan mental, lalu aku memasukkannya sebagai tema dalam tulisanku. Selain itu, aku juga rajin mengikuti beberapa lomba cerpen. Lebih sering kalah. Hanya dua kali aku mencapai posisi runner up.

Percobaanku menulis novel dimulai tahun 2013. Pada saat itu kesulitan menyelesaikan satu naskah utuh. Dapat satu atau dua bab, aku berhenti. Sepanjang tahun begitu. Karena banyak faktor. Salah satu yang terbesar adalah kehabisan bahan bakar. Aku tidak punya cukup modal untuk menulis tapi aku memaksakan menulis. Sehingga aku tidak tahu harus mengisi 200 halaman dengan apa.

Aku mulai mempelajari apa saja yang harus dipersiapkan penulis untuk menyelesaikan sebuah novel, pada tahun 2014. Aku belajar membuat outline, membuat daftar kebutuhan cerita–untuk diriset, dan membuat jadwal. Hasil dari belajarku dan ketekunanku adalah sebuah novel berjudul The Danish Boss. Bisa menuliskan kata tamat benar-benar membanggakan dan membahagiakan. Tidak peduli mau novel itu jelek atau bagus, kekurangannya berapa banyak, dan lain-lain ketidaksempurnaan lain, aku tetap merayakan keberhasilan itu.

Sebab The Danish Boss memberikan kebahagiaan kepadaku, aku berpikir bisa jadi orang lain akan merasakan hal yang sama. Dimulailah perjalanan The Danish Boss mencari penerbit. Karena aku tahu diri aku masih hijau, maka aku membidik penerbit kecil, yang beberapa bukunya kusukai. Surat penolakan langsung datang sebulan kemduian. Kaget, kecewa, dan patah hati. Seburuk itukah novelku?

Untuk melupakan kesedihan tersebut, aku menulis cerita baru. Setelah berbulan-bulan bekerja keras, lahirlah Geek Play Love. Keinginanku untuk membagi kebahagiaan yang kurasakan dengan pembaca kembali tumbuh. Mungkin karena euforia berhasil menyelesaikan satu novel lagi. Aku kembali rajin mengirimkan Geek Play Love bersama The Danish Boss. Penolakan dan tidak ada jawaban adalah kenyataan demi kenyataan yang harus kuhadapi. Di tengah kekecewaan yang bertubi-tubi, aku meyakini, paling tidak, aku berlatih menyusun surat pengantar, sinopsis, penilaian cerita, dan CV penulis.


Buku debutku, My Bittersweet Marriage, akhirnya terbit tahun 2016. Setelah mengirimkan naskah, sinopsis, dan segala yang diperlukan, kemudian menunggu kurang lebih tiga bulan, Mbak Afriyanti Pardede dari penerbit Elex Media Komputindo memberi kesempatan kepadaku. My Bittersweet Marriage adalah naskah ketiga yang kutulis. Pelarian dari patah hati atas penolakan The Danish Boss dan Geek Play Love. Bahagianya luar biasa. Sampai sekarang pun aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.

When Love Is Not Enough menjadi buku keduaku yang terbit secara tradisional/mayor pada tahun 2017. Cerita yang menguras air mata, menurut banyak pembaca. Tepat pada tanggal terbit, aku menjalani operasi lutut kanan. Sehingga aku menyimak antusiasme teman-teman akan kisah Linus dan Lilja dari atas ranjang rumah sakit. Dalam kondisi puasa jelang operasi. Sampai tiga bulan kemudian, aku masih harus membatasi gerakku. Untungnya ketidaknyamanan itu tertutupi dengan kebahagiaan menerbitkan buku.

Pada 2018, aku sempat memutuskan untuk berhenti menerbitkan buku. Karena berbagai alasan. Niat itu kuutarakan kepada sahabatku. Aku nggak mengirimkan naskah kepada editorku. Menerbitkan dua buku sudah cukup memenuhi rasa penasaranku di dunia perbukuan. Aku tetap menulis, karena aku menyukai kegiatan itu. Rencanaku nanti kalau aku ingin, aku akan menerbitkan secara mandiri.

Awal tahun 2019, editorku menghubungiku untuk membahas My Bittersweet Marriage yang diterbitkan ulang dengan cover baru. Beliau bertanya apa ada naskah yang bisa diterbitkan dan beliau janji akan mempercepat proses terbitnya. Karena aku tidak pernah berhenti menulis, aku bisa mengirimkan naskah pada hari itu juga. Empat bulan kemudian, The Game of Love terbit. Bisa comeback setelah dua tahun rasanya seperti debut ulang. Bahagianya, antusiasmenya, kecemasannya, semuanya sama besarnya.

Pandemi datang di saat aku dan editor sudah selesai merevisi novel keempat, A Wedding Come True. Tentu saja alu khawatir ketika kita semua harus tinggal di rumah. Karena banyak proses yang harus disesuaikan, di antaranya pegawai penerbit dan percetakan yang tidak beroperasi seperti biasanya. Toko buku pun tutup semua. Preorder yang telanjur dimulai tetap kulanjutkan meskipun aku tidak tahu apakah buku akan dicetak sesuai jadwal. Teman-teman mulai bingung dan bertanya ketika penerbit dan toko buku Gramedia mengumumkan gerai Gramedia tutup imbas dari dilarangnya mall untuk buka. Untungnya, jelang berakhirnya masa preorder, penerbit membantu dengan mencetak buku sesuai jumlah preorder. Bahkan aku mengadakan dua kali preorder, yang kedua di tanggal terbit baru.

Editor bertanya apakah aku ingin e-book dirilis lebih dulu. Namun, karena selama pandemi The Game of Love banyak dibajak dan dibagikan di grup WA dan telegram, aku memutuskan untuk menunda penerbitan e-book A Wedding Come True. Seperti sebelum pandemi, e-book A Wedding Come True terbit setelah buku cetak. Dan langsung mencatatkan rekor–pribadiku–sebagai e-book paling laris pada minggu terbit di aplikasi Gramedia Digital.

Masih dalam masa pandemi, Juni tahun 2021, buku kelimaku, The Percect Match, terbit. Tepat saat hendak mulai proses revisi, laptopku kehujanan. Demi menghemat, aku membawanya ke service center untuk diperbaiki. Terpaksa aku bekerja tengah malam dengan laptop adikku, karena jawdal penerbitan buku tidak bisa ditunda. Sebelum servis, aku sudah mengopi HDD laptop ke penyimpana eksternal. Aku kuliah di Fakultas Teknologi Elektro dan Komputer Cerdas, adalah jawabanku kepada pembaca saat mereka tanya kok aku ngerti komputer hahaha. Sayangnya, aku tetap beli laptop baru karena laptop lama yang menemaniku sejak aku menulis When Love Is Not Enough tak terselamatkan.

Aku juga mendapat diagnosis depresi dan gangguan kecemasan pada awal tahun 2021. Sebelum sampai pada diagnosis itu, lebih dulu aku banyak duduk di ruang tunggu rumah sakit. Sebab alu merasa dadaku sakit. Sama seperti dulu, sebelum ke psikiater, aku lebih dulu bicara dengan berbagai spesialis termasuk jantung. Selama menunggu, aku membuat plotting novel, mendaftar kebutuhan cerita, dan proses-proses lain yang kuperlukan untuk menulis selanjutnya.

Untuk pertama kali aku memenangkan lomba cerpen di tahun 2021. Karyaku Sebaik-baik Pelajaran menjadi juara pertama Lomba Teman Tulis 2021. Aku berhak mendapat hadiah uang dan cerpen tersebut di terbitkan dalam antologi bersama sepuluh karya terpilih.

November 2021, buku keenam The Promise of Forever lahir. Aku sendiri pun terkejut dengan pencapaian ini. Di antara kondisi mentalku yang membutuhkan sangat banyak perhatian dan pemgertian, aku masih bisa menyelesaikan sebuah novel. Dan terbit! Pada tahap ini, aku memutuskan akan memberi tahu siapa pun yang mengundangku ke sebuah acara–sebagai narasumber–bahwa aku memiliki invisible disabilites. Panitia pertama yang mengakomodasi kebutuhan khususku berasal dari Universitas Jenderal Soedirman. Sehingga saat acara–yang hadir 75 orang!!!–aku tidak terserang panic dan anxiety attack.

Cerpen keduaku, Sebaik-baik Manusia kembali memenangkan lomba juga pada 2022. Ini menjadi modal keyakinan yang besar untuk menuju novelku selanjutnya.

Right Time To Fall In Love, buku ketujuhku lahir tahun 2022. Rintangan terbesar adalah mendapatkan ISBN. Prosesnya lebih lama daripada biasanya. Plus, aku harus mengumpulkan surat pernyataan keaslian naskah ke Perpusnas dengan ditandatangani dan dibubuhi materai. Suatu proses yang menurutku konyol. Sudah tahun 2022 masa masih pakai kertas seperti itu. Kok kalah sama Wattpad dan aplikasi lain, yang bisa tanda-tangan secara digital. Akibatnya tanggal terbit pun berubah dan ini membuat proses preorder menjadi kacau. Aku berusaha sabar dan berharap yang terbaik saja. Right Time To Fall In Love adalah bukuku yang tidak terdaftar dalam bestseller langsung pada bulan terbit.

Baru pada bulan Maret yang lalu, bulan anniversary-ku sebagai penulis, penerbit mengumumkan buku terbaruku, Right Time To Fall In Love, meraih predikat bestseller. Meskipun itu tidak pernah menjadi tujuan utamaku dalam menulis, tapi mengetahui Right Time To Fall In Love menyusul novel-novel sebelumnya di tangga tinggi penjualan membuatku merasa lega.

Selain menerbitkan buku secara tradisional, aku juga menerbitkan beberapa novel secara independen, yaitu The Danish Boss, Geek Play Love, Midsommar, Bellamia, Savara: You Belong With Me, dan antologi bab ekstra Midnatt.

Novelku selanjutnya, The Dance of Love, akan terbit pada tahun ini lewat penerbit Elex Media Komputindo. Dan akan menjadi judul kedelapanku bersama Elex Media. Harapanku, paling tidak, aku bisa menerbitkan sampai buku kesepuluh.

Selama menjadi penulis profesional, aku mengerti ada banyak hal yang berada di luar kuasaku. Di antaranya apakah orang akan membeli novelku dan apakah mereka akan menyukai karyaku. Bahkan menentukan bukuku akan terbit atau tidak, aku tidak punya kendali. Karena itu masalah rezeki, yang menjadi misteri dan hanya diketahui Yang Maha Kuasa. Yang bisa kukontrol adalah kualitas tulisanku. Bukuku selanjutnya akan selalu lebih baik dari buku sebelumnya. Sebab aku selalu belajar dan akan terus belajar.

Aku tidak akan pernah berhenti menulis. Karena menulis membuatku bahagia dan menjauhkankanu dari depresi dan gangguan kecemasan. Mungkin suatu hari nanti orang tak akan lagi mau membeli novelku, tapi mereka tidak menyuruhku berhenti.

Uncategorized

Membahagiakan Diri Sendiri Sebelum Membahagiakan Pembaca

Malam ini, di tengah hujan yang tak ada tanda-tanda akan mereda, ingatanku melayang kembali ke tahun 2014 dan 2015. Sebelum buku debutku terbit. Betapa menyenangkannya menjadi penulis–non published, amatir–pada masa itu. Aku menulis hanya semata-mata karena aku suka menulis. Tidak ada beban dan harapan apa-apa. Ya, sesekali bersedih dan menahan kecewa karena menerima surat penolakan dari penerbit atas naskah yang kukirimkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi selebihnya, aku bahagia dan sangat bersyukur hanya karena bisa menyelesaikan sebuah novel yang utuh.

Selain menulis, aku menghabiskan waktu dengan berangan-angan nanti aku akan begini dan begitu, melakukan ini dan itu, saat aku menjadi penulis terkenal. Apalagi masa-masa itu aku sedang aktif-aktifnya bermain Twitter dan mengikuti penulis-penulis yang sudah lebih dulu terbit bukunya. Ada beberapa penulis yang kutandai sebab aku nggak ingin bersikap seperti dirinya–sok ekslusif, kurang toleran, jauh dari pembaca, yang seperti itu. Ada lebih banyak lagi penulis yang ingin kujadikan teladan.

Hari-hariku kujalani dengan bahagia. Setiap malam aku semangat meriset calon naskah, menyusun outline, hingga berbulan-bulan duduk menulisnya. Bahkan merombak naskah-naskah yang pernah ditolak penerbit pun kujalani dengan ringan. Aku menganggap setiap prosesnya adalah pembelajaran. Pertumbuhan. Langkah menjadi penulis yang lebih baik daripada hari kemarin. Kurasa-rasa, pada masa itu aku sangat produktif.

Sekarang, delapan tahun telah berlalu sejak hari itu. Banyak sekali yang berubah. Aku masih menyukai menulis. Masih bahagia setiap kali memulai cerita baru dan menyelesaikan naskah tersebut. Tetapi begitu masuk aspek bisnis, semua kebahagiaan kalah oleh kekhawatiran. Penjualan buku ada di puncak daftar faktor pemicu kecemasan. Buku debutku, My Bittersweet Marriage, di luar dugaan mendapat sambutan luar biasa dari pembaca. Instant best seller, menurut penerbitnya. Sampai editoku pun terkagum-kagum.

Tahun berikutnya, buku kedua terbit. Secara tradisional/mayor. Otomatis aku menarget diriku sendiri. Performa buku tersebut haruslah lebih baik daripada buku debut, My Bittersweet Marriage. Harus terjual lebih banyak. Sebagai orang yang, pada waktu itu, aku nggak suka bermain Instagram–yang sedang populer–aku dituntut untuk aktif di sana. Sebab pembaca dan reviewer banyak beraktivitas di sana. Aku membangun akunku mulai dari nol dan memiliki seribuan followers. Penjualan bukuku masih sebagus tahun pertama tapi tidak ada peningkatan yang signifikan. Pada saat itu timbul pemikiran kalau seperti ini terus editor dan penerbit mungkin menilai aku nggak layak dapat kesempatan terbit lagi.

Selama 2018, aku tidak menerbitkan buku secara mayor. Karena aku merasa tertekan dan tidak bahagia. Tekanan datang dari diriku sendiri memang. Sebab penerbit atau siapa pun tidak pernah menarget ini dan itu. Beban itu begitu berat kurasa. Pada waktu itu sahabatku, Lily, mengatakan aku harus mencari cara untuk membahagiakan diriku sendiri dulu, sebelum membahagiakan pembaca. Selama setahun aku tidak kunjung menemukan jawabannya. Aku tetap menulis demi menjaga kewarasanku, tapi tidak mengirimkan naskah tersebut ke mana-mana.

Suatu di awal tahun 2019, hari editorku menghubungiku untuk mendiskusikan cover baru My Bittersweet Marriage. Beliau menanyakan apakah aku sedang menulis naskah atau punya naskah yang siap diterbitkan. Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan aku siap menerbitkan buku baru. Kepada semua pembaca setiaku, melalui berbagai kanal, aku mengumumkan terbitnya The Game Of Love. Sambutan mereka luar biasa. Kebahagiaan mereka bisa kurasakan. Setelah setahun tidak menikmati karyaku, rasa rindu mereka terobati.

Aku masih terus mencari cara bagaimana membahagiakan diriku sebelum membahagiakan pembaca. Bagaimana cara menghilangkan kekhawatiran akan jumlah followers dan jumlah buku terjual. Banyak waktu yang kuhabiskan untuk merenung dan menengok kembali perjalananku sejak awal menulis dulu. Sejak aku masih menjadi penulis cerpen di majalan dinding SMA-ku–yang kemudian berkembang menjadi majalah internal sekolah, lalu menjadi penulis dan editor di majalah komunitas IT di kampus, dan menulis fiksi di sela waktu luang saat menjalani manajemen trainee.

Aku belum mendapatkan jawabannya. Tetapi aku mulai mengubah cara pandangku. Fokusku harus berada pada hal-hal yang bisa kukendalikan. Kualitas karyaku dan usahaku mengenalkan buku-bukuku kepada pembaca, misalnya. Hal-hal yang berada di luar kuasaku, aku menyerahkan kembali kepada semesta. Apakah banyak orang akan menyukai dan membeli bukuku? Apakah orang akan mengikutiku di media sosial? Aku mengupayakan itu semua tercapai. Tapi karena melibatkan orang lain, maka hasilnya bukan terserah padaku.

Di luar sana banyak buku yang bagus tapi angka penjualannya buruk. Buku yang buruk–isinya, ceritanya–bisa menjadi best seller. Demikian juga sebaliknya. Buku bagus terjual banyak, buku buruk tidak laku. Ada orang yang mengurasi konten bagus di media sosial dan tidak mendapat tanggapan dari banyak orang. Konten nggak mutu bisa ramai. Sebagai penulis, kalau aku menghabiskan lebih banyak waktu untuk menganalisis dan memahami itu semua, aku nggak akan ada waktu untuk menulis buku. Aku belum mampu menggaji orang untuk mengurusi media sosialku 🙂 Sedikit demi sedikit, aku kembali menikmati dunia yang kucintai ini.

Aku bersemangat memulai proyek baru, tanpa memikirkan apakah buku terbaruku, Right Time To Fall In Love, menjadi best seller seperti A Wedding Come True dan lainnya atau tidak. Rencana promosi sudah kususun dan kueksekusi. Apakah nanti proyek yang kukerjakan ini mendapatkan kesempatan terbit atau tidak, aku belum memikirkan itu. Targetku adalah menyelesaikan naskah. Aku tidak tergesa menulisnya, tapi juga tidak menunda. Langkah selanjutnya akan kupikirkan saat naskah sudah siap nanti. Satu demi satu, supaya tidak membuatku cemas.

Melakukan yang terbaik yang aku bisa–tentu saja dengan memperhatikan kesehatan mentalku–sudah cukup. Dalam berbagai aspek. Aku senang berkarya, aku mencintai karyaku. Menulis menyelamatkanku hidupku berkali-kali, terutama saat aku depresi. Pada saat seperti itu, aku bahagia bisa sejenak melarikan diri dari tekanan dan tenggelam dalam dunia yang kureka. Dunia yang ideal hahaha. Bersama tokoh-tokoh rekaanku. Harapanku, pembaca pun juga mendapatkan rasa aman dan nyaman dalam buku-buku yang kutulis. Tokoh-tokohku menjadi teman mereka. Cerita-cerita yang kusajikan memberi mereka kebahagiaan, optimisme, dan wawasan.

My Books

Le Mariage Terbaru dari Ika Vihara x Elex Media: Right Time To Fall In Love

Blurb Right Time To Fall In Love:

Dari penulis A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage, pemenang The Wattys 2021 Kategori Romance:
Ketika rencananya untuk menikah dipupus takdir, Lamar Karlsson memutuskan pulang ke Indonesia. Meninggalkan segalanya–termasuk karier sebagai structural engineer–untuk memikirkan dan memetakan kembali masa depannya. Masa depan yang akan dilalui sendiri, tanpa risiko patah hati. Semua akan berjalan sempurna, seandainya Malissa Niharika–seorang environmental scientist–tidak mengetuk pintu rumah Lamar. Kini justru timbul masalah baru; Lamar tidak bisa mengusir Malissa dari pikirannya.

Setelah bangkit dari keterpurukan atas pengkhianatan dan skandal besar yang dilakukan almarhum suaminya, Malissa fokus membesarkan anak kembarnya. Waktu yang tersisa digunakan untuk menyelamatkan lingkungan melalui free store dan food rescue yang dirintisnya, sehingga mencari pasangan hidup tidak menjadi prioritas utama Malissa. Tetapi perkenalan dengan Lamar menyebabkan impian Malissa untuk memiliki pernikahan yang penuh cinta bersemi kembali.

Ini bukan waktu yang tepat untuk jatuh cinta, Lamar meyakinkan dirinya. Masih terlalu cepat. Namun Malissa menunjukkan kepada Lamar bahwa hati memiliki cara kerja sendiri yang tidak bisa diintervensi. Apakah Lamar akan mendengarkan kata hatinya untuk segera memberi kepastian kepada Malissa? Atau tetap bertahan di zona teman, yang aman tapi tanpa kesempatan hidup bahagia selama-lamanya bersama Malissa?

Menyambut Le Mariage Keenamku+Judul Ketujuhku Bersama Elex Media Komputindo

Sampai juga aku di titik ini. Saat menerbitkan Le Mariage pertamaku, My Bittersweet Marriage, awal 2016, aku sama sekali nggak berpikir jauh ke depan. Jangankan buku ketujuh, setelah buku kedua When Love Is Not Enough, aku sempat berpikir untuk tidak lanjut menjadi penulis. Aku masih menulis, tapi hanya untuk konsumsi sendiri. Kusimpan saja di laptop. Tetapi editorku di Elex Media menghubungiku dan bertanya apa ada naskah yang sudah siap diterbitkan. Karena masih menulis, maka aku masih punya naskah novel yang telah selesai. Yaitu The Game of Love. Karena nggak berpikir untuk menerbitkan buku tersebut, maka naskah yang kutulis nggak sepanjang bukuku yang lainnya.

Saat proses revisi, ada catatan dari editor, yang mengatakan bahwa saat membaca The Game of Love, pembaca akan tertarik dengan kisah-kisah tokoh yang lain. Tokoh yang di The Game of Love tidak menjadi tokoh utama. Catatan itu mendorongku untuk menulis buku selanjutnya, A Wedding Come True. A Wedding Come True terbit saat pandemi. Di tengah rasa pesimisku–takut buku tersebut nggak laku sebab kondisi ekonomi sedang lesu–A Wedding Come True malah menjadi bukuku yang paling sukses sepanjang karier menulisku. Best seller baik buku cetak maupun e-book.

Ide-ide baru terus muncul dan aku sadar aku ingin memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Kesempatan untuk meningkatkan kesadaran akan invisible disabilities, menceritakan tentang women in STEM–Science, Technology, Engineering, and Mathematic–sepertiku, dan membahas berbagai macam topik. Yang kupadukan dengan cerita romance yang manis, realistis, romantis, dan logis. Berapa pun jumlah pembaca bukuku, aku berharap dari sana sudah ada yang mengambil manfaat dari tulisanku. Sudut pandang mereka akan cinta dan kehidupan semakin bertambah. Wawasan semakin luas dan menjadi pribadi yang semakin toleran.

Dan sekarang aku berdiri di titik ini. Di buku ketujuhku. Le Mariage keenamku. Menghadirkan Right Time To Fall In Love. Tidak hanya kisah asmara Lamar dan Malissa yang kusajikan dengan manis, tapi aku juga membahas perubahan iklim, penyelamatan makanan dan barang-barang kebutuhan lain, structural engineering, single motherhood, dan beberapa topik lain.

Kalau kamu suka membaca cerita romance yang berbobot tapi tidak berat, kamu harus banget membaca Right Time To Fall In Love. Kalau ikut preorder, ada bonus booklet bab ekstra 65 halaman A6. Biar puas baca kisah Lamar, Malissa, dan si kembar yang lucu membangun keluarga.

My Books, Thing That Makes Me Happy

Bongkar Dapur Cerpen Juara Pertama Lomba Teman Tulis 2022

Setelah menunggu beberapa waktu, karena sempat diundur masa lombanya, akhirnya cerpen Sebaik-baik Manusia keluar sebagai juara pertama Lomba Teman Tulis 2022 yang diadakan aplikasi Lontara. Aku bersyukur, sangat bersyukur, atas pencapaian ini. Yang kuharapkan akan menaikkan kepercayaan diriku dan menguatkan niatku untuk terus mengangkat topik-topik berbeda dalam setiap cerita yang kutulis. Baik cerpen maupun novel.

Aku tertarik mengikuti Lomba Teman Tulis 2022 setelah melihat temanya, yang menurutku lebih menantang daripada tema tahun sebelumnya. Apalagi, sebagai orang yang menyukai detail aku semakin nyaman karena disediakan juga subtema pilihan. Jadi ke mana aku harus melangkah sudah jelas. Tinggal mengikuti jalur saja, tanpa perlu takut tersesat.

‘Bertumbuh menjadi Tangguh’ adalah subtema yang kupilih. Sebab aku paling paham dengan kalimat tersebut. Bagaimana tidak, aku sedang menjalaninya dan tahu menjadi tangguh memerlukan perjuangan yang tidak mudah. I am not disabled, but I have disabilities. Hanya saja orang lain tidak bisa melihat kekuranganku. Atau, kalau aku biasa menyebutnya, invisible disabilities. Kekurangan yang tak tampak dari luar. Aku tidak bisa berjalan kaki dalam waktu lama, setelah lututku dioperasi tahun 2017. Ditambah aku menerima diagnosis general anxiety disorder, yang berjalan bersisian dengan depresi. Salah satu tanda aku sudah semakin tangguh adalah berani memberi tahu orang-orang terdekat, teman, atasan, rekan dekat dan siapa pun yang banyak berinteraksi denganku mengenai kondisiku.

Mau tidak mau, kondisi tersebut membuat cara hidupku harus disetel ulang. Disesuaikan kembali. Aku harus bisa menyentuh hati orang-orang di sekitarku harus agar mereka bisa mengakomodasi kebutuhanku. Misalnya membuat atasanku menyetujui aku pindah bekerja dari lantai 3 ke lantai 1, karena lututku tidak kuat naik tangga banyak-banyak. Dalam profesiku sebagai penulis, aku meminta kepada editorku untuk langsung menuju pokok keperluan saat mengirim WhatsApp, agar tidak memicu kecemasan. Ketika diundang menjadi narasumber di radio, universitas, dan lain-lain, aku meminta dikirimi dulu jadwal acara dan daftar pertanyaan. Sebagian besar orang mengerti, sebagian lainnya tetap bilang aku kelihatan baik-baik saja.

Sebagaimana novel-novel yang kutulis, dari pengalamanku itulah ketika membuat cerpen aku bercerita dari sudut pandang seorang wanita yang juga mendapatkan diagnosis dokter dan mengetahui dirinya memiliki invisible disabilities pada usia dewasa. Invisible disabilities yang kupilih untuk cerpen Sebaik-baik Manusia adalah autis dan ADHD. Alasan spesifik kenapa aku memilihnya, aku kurang tahu. Hahaha. Yang jelas pada masa-masa sebelum menulisnya, aku banyak membaca mengenai spektrum autisme. Bukan karena sedang meriset tulisan, tapi memang aku tertarik saja.

Tantangan Shiya, tokoh utama cerpen Sebaik-baik Manusia, sama denganku. Memberi tahu orang-orang terdekatnya mengenai kondisi barunya. Termasuk menghadapi kekhawatiran ibunya akan kemungkinan Shiya bisa mendapatkan pasangan hidup. Menyusun perjalanan Shiya semenjak kanak-kanak hingga dia dewasa, perjuangannya mendapatkan jawaban atas semua pertanyaannya, hingga memanfaatkan kekuatan supernya untuk membantu orang lain dalam 4.000 kata sempat membuatku pusing. Di mana harus memilih titik berat, mengatur pace—supaya tidak terlalu cepat, dan lain-lain adalah proses yang sangat sulit. Sampai aku ingin menyerah dan ingin menjadikannya novel hahaha. Karena pada saat bersamaan juga ada lomba pitching novel. Tetapi demi melihat panjang novel hanya 40.000 kata dan itu nanggung untuk ukuranku, maka aku tetap bertahan pada cerpen.

Oh, aku membuat blurb untuk cerpenku, atas permintaan penyelenggara lomba, sebagai berikut:

Sejak kecil Shiya merasa dirinya mendarat di planet yang salah. Sebab Shiya kesulitan mengikuti cara hidup dan berkomunikasi manusia. Bertahun-tahun Shiya mencari tahu apa yang membedakan dirinya dengan mereka. Tetapi jawaban baru dia dapatkan 20 tahun kemudian. Menerima diagnosis autis dan ADHD pada usia dewasa membuat Shiya terguncang. Ditambah, ibunya memintanya merahasiakan kenyataan itu, karena khawatir tidak akan ada laki-laki yang mau menikah dengan Shiya. Kini Shiya dihadapkan pada dua pilihan. Diam dan melanjutkan hidup seperti dulu namun dia menderita atau mengumumkan kondisinya, menanggung semua risiko yang menyertai, dan hidup dengan identitas baru yang membuatnya bahagia.

Karena aku penulis romance, maka aku sisipkan juga unsur romantis di dalamnya. Bagaimana Shiya bertemu cinta sejatinya, seseorang yang mau menerimanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pada saat dan dari jalan yang tidak disangka-sangka. Aku puas dengan hasilnya dan senang bisa menyelesaikannya. Bahkan aku berangan suatu hari nanti aku bisa menjadikan kisah Shiya menjadi novel hahaha. Kalau aku tidak terlalu malas untuk meriset lebih lanjut hehehe.

Aku mendapatkan pertanyaan dari salah satu teman di Instagram. Apa rahasianya bisa memenangkan lomba cerpen. Jawabannya adalah aku nggak tahu. Karena yang memutuskan memang atau tidak adalah juri. Dari sisi penulis, aku menyarankan untuk menulis cerpen yang benar-benar sesuai tema. Karena terbatasnya ruang, maka sebuah cerpen nggak boleh bertele-tele. Cerita harus menarik perhatian sejak kalimat pertama dan tentu saja, ada plot twist di akhir cerpen. Itu saja sih rumusku dalam menulis cerpen.

Kalau kamu ingin membacanya, cerpen Sebaik-baik Manusia nanti akan terbit dalam buku antologi. Bersama dengan sepuluh cerpen terbaik dalam Lomba Teman Tulis 2022. Aku akan mengumumkan lagi kalau sudah ada info lebih lanjut dari penerbit.

My Books

Baca Gratis Buku Ika Vihara di Aplikasi iPusnas

Judul bukuku yang dibeli oleh iPusnas terus bertambah. Kini ada A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage Collector Edition yang menyusul buku-buku sebelumnya; My Bittersweet Marriage, When Love Is Not Enough dan The Game of Love. Kamu bisa membaca blurb buku di laman kumpulan karyaku. Jangan pernah ragu untuk membaca karyaku melalui aplikasi iPusnas. Sebab walaupun kamu membacanya tanpa biaya, aku tetap mendapatkan royalti sebagaimana jika bukuku dibeli melalui aplikasi Gramedia Digital atau Google Playstore. Ini seperti kamu ditraktir pemerintah membaca buku. Enak kan?

Untuk bisa menikmati semua bukuku di iPusnas, kamu cukup mengunduh aplikasinya di Playstore/Appstore. Seperti biasa, kamu harus membuat username dan password. Setelah itu kamu bisa memasukkan judul buku atau namaku di kolom pencarian. Klik judul buku yang kamu inginkan. Kalau tulisan Baca/Borrow sudah muncul di bawah cover, berarti kamu bisa langsung membacanya. Kalau masih dalam status Antre/Queue, kamu harus menunggu sampai ada orang lain yang mengembalikan. Jangan khawatir dengan nomor antrean(simbol jam beker di kiri bawah) yang mencapai ratusan. Agar kamu bisa ‘menyerobot antrean’ sering-sering saja mengecek judul tersebut. Biasanya mereka yang antre kadang masih sibuk jadi tidak gercep mengambil e-book yang baru dikembalikan. Oh ya, koneksi internet kamu perlukan saat kamu menekan tomobol baca dan menunggu e-book ter-download. Selanjutnya kamu bisa membacanya walau tidak tersambung internet.

Aplikasi iPusnas bisa menjadi jalan mudah bagimu untuk terus mendukungku. Secara finansial. Kita sama-sama tahu bahwa untuk menulis buku, ada biaya yang harus dikeluarkan yang seringkali tidak sedikit. Dari royaltilah penulis membiayai penulisan bukunya. Mungkin kamu pernah mengunduh atau membeli e-book bajakan. Atau mungkin membeli buku preloved/bekas/second. Keduanya tidak menghasilkan royalti sama sekali kepada penulis. Oleh karena itu, kamu bisa menebus kesalahan tersebut dengan membaca bukuku di aplikasi iPusnas. Agar aku mendapatkan hakku. Karena saat kamu membaca bajakan atau preloved, aku tidak mendapat apa-apa. Sedih.

Aku sangat berterima kasih karena kamu telah memilih menjadi pembaca yang bermartabat. Dengan menghargai karya penulis dan mau berkorban–meng-install aplikasi, membuat username dan password, dan lain-lain–untuk membaca karya penulis. Kamu tidak hanya mendukung kelangsungan karier penulis, tapi memajukan ekosistem literasi Indonesia. Kamu adalah pahlawan.

Selamat membaca karya-karya Ika Vihara di aplikasi Ipusnas.

Note: Selain iPusnas, ada juga aplikasi membaca buku milik pemerintah daerah seperti iJak, iMalang, dan sejenisnya.

Uncategorized

RUANG KREATIF PENULIS

Hampir semua bukuku kutulis di sini. Di pojok sebuah ruangan di rumahku. Aku tidak memerlukan banyak peralatan untuk menulis naskah novel. Hanya laptop. Dibandingkan melihat pemandangan alam di depanku, aku lebih suka memandang novel-novelku yang sudah terbit. Dengan begitu aku menjadi yakin, jika dulu aku bisa menulis sebuah novel, sekarang aku juga pasti bisa. Kadang-kadang aku juga membaca ulang novel-novelku, saat aku merasa aku kehilangan ciri khas cara bertuturku. Hanya di sinilah aku bisa mengakomodasi semua kebutuhanku saat sedang menulis.

Aku tidak pernah menulis sambil mendengarkan lagu. Sebab lagu hanya akan membuatku ingin menyanyi dan kalau aku tidak tahu liriknya, aku akan tergoda untuk meng-google-nya. Untuk membatasi diriku dengan gangguan suara dari luar, aku mendengarkan suara-suara alam, yang selalu ada di playlist-ku. Saat sedang menulis bagian yang sedih, aku mendengarkan suara hujan. Bagian yang menyenangkan, aku mendengarkan suara kicau burung. Dengan begitu, walau aku berada di dalam kamar, aku merasa seperti berada di alam bebas.

Dulu aku menggunakan buku agenda untuk membuat jadwal menulis. Sekarang aku menggunakan Google Calendar. Sebab aku memiliki gangguan kecemasan, maka aku harus selalu membuat jadwal dan mem-break-down apa-apa yang harus kulakukan, sehingga tidak terlalu overwhelming. Tanpa penjadwalan, novel yang kutulis tidak akan pernah selesai. Jadwal menulisku biasanya mulai pukul delapan malam. Sampai minimal, pukul sepuluh. Kalau tidak ngantuk, ya dilanjutkan sampai tengah malam. Saat nggak ada naskah yang harus kuselesaikan–sambil menunggu terbit–aku tetap menulis. Bukan naskah, tapi jurnal. Untuk menjaga agar rutinitasku nggak terganggu.

Menjaga semangat untuk terus menulis adalah bagian tersulit dari perjalanan ini. Sebab menulis kini bukan lagi hobi, melainkan profesi. Sudah banyak tekanan yang kurasakan, misalnya penjualan buku, review dan lain-lain. Karena hobiku sudah hilang, maka aku harus menemukan hobi baru. Aku memilih menggambar. Tetapi karena aku nggak suka ribet dan repot, aku membeli wacom tablet untuk pemula. Ketika jenuh menulis, lewat video-video di YouTube, aku belajar menggambar.

Bukan hanya menggambar menjadi jalan untuk melepaskan penat dan sejenak menjadi tempat pelarian diriku dari tekanan sebagai penulis, aku juga bisa menghemat uang untuk memproduksi novelku yang terbit self-publishing. Karena aku bisa menggamar sendiri covernya. Yang terbaru adalah cover The Danish Boss dan Geek Play Love.

Meski aku mulai menyukai menggambar, aku nggak akan menjadikannya sebagai profesi. Kalau sampai itu terjadi, aku akan pusing lagi mencari hobi. Hehehe bukan deng. Aku akan tetap fokus menulis, karena aku lebih mencintai dunia tersebut. Dunia yang menyelamatkanku dari depresi dan gangguan kecemasan yang gelap dan menyesakkan. Aku berharap novel-novel yang kutulis sendirian di dalam sunyi, bisa menjadi cahaya dan teman bagi mereka yang membacanya.

 

My Books, Uncategorized

Review Novel The Perfect Match Karya Ika Vihara di Media Cetak

Berikut review The Perfect Match di media Kedaulatan Rakyat Mei 2022.

Menghilangkan Perfeksionisme dalam Diri Sendiri

Judul Buku : The Perfect Match
Penulis : Ika Vihara
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : 2021
Halaman : 371 halaman
ISBN : 978-623-00-2503-7

 

 

SEKERAS apapun usaha manusia menjadi sempurna, kita tidak akan pernah bisa mencapainya. Sebab, manusia memang diciptakan memiliki keterbatasan, kekurangan untuk saling membutuhkan satu sama lain. Kecenderungan perfeksionisme dalam diri justru dapat memberi pengaruh buruk pada kesehatan baik fisik dan mental.

Seperti tokoh utama dalam novel ini, Nalia Kahlana, yang berhenti mempercayai cinta dan pernikahan. Penyebabnya, masa lalu yang buruk kehilangan ibu dan ayah yang meninggalkannya tanpa alasan. Namun, segalanya berubah ketika ia bertemu dengan Edvind Raishard Rashid.

Edvind pria tampan dan cukup sukses berkarier sebagai dokter, yang tak pernah kesulitan mendapatkan teman kencan. Kegigihan Edvind untuk mengubah pandangan Nalia secara perlahan meruntuhkan pertahanannya. Kendati demikian, abandonment issue yang Nalia miliki melibatkan banyak pertimbangan akan hubungan asramanya dengan Edvind. (Hal 107)

Nalia hampir dapat mengendalikan abandonment issue yang ia miliki sebelum kemudian hal buruk menimpa kakaknya, Jari. Gloria kakak iparnya mengalami kritis saat melahirkan. Hal tersebut membuatnya kembali ragu dan takut akan masa lalu yang terulang, hingga memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Edvind.

Nasihat Gloria membuka kembali mata hati Nalia bahwa Edvind merupakan lelaki yang tepat untuknya. Tak seorang pun yang dapat memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Yang bisa kita lakukan hanya menjalani hidup saat ini sebaik-baiknya. Begitu pula hidup, akan lebih mudah jika selalu melihat ke depan.

“Waktu yang kita miliki di dunia ini singkat dan akan sia-sia kalau dilewati tanpa mencintai dan dicintai. Pergilah, berjuanglah. Pertaruhkan hatimu, pertaruhkan dirimu, pertaruhkanseluruh hidupmu.” (Hal 337)

Novel karya Ika Vihara ini menyajikan kisah romansa dengan dialog yang cerdas sesuai dengan profesi tokoh-tokoh di dalamnya. Seperti impian Edvind yang ingin menjadi ahli genetika dan kariernya sebagai dokter, ketertarikan
Nalia pada pendidikan inklusif serta Alesha, sepupu Edvind, seorang ahli kesehatan mental. Karya ini menambah wawasan kita seputar sains dan cara menyembuhkan trauma.

The Perfect Match mengingatkan pembaca bahwasannya satu kesalahan dalam hidup bukanlah cela, dan satu kegagalan tidak akan membuat kita hina sepanjang hidup.*

*) Marisa Rahmashifa, mahasiswi Sastra Inggris UIN Malang.

Uncategorized

Tahun ke-6 Menjadi Penulis

https://www.instagram.com/p/CbbZLLov2na/

 

ENAM TAHUN! Sudah enam tahun aku menjalani karier sebagai published author. Penulis profesional. Awal perjalanan dengan titel tersebut dimulai saat novel debutku, My Bittersweet Marriage, terbit melalui Elex Media pada minggu ketiga Maret 2016. Biasanya aku nggak hafal tanggal terbit novel-novelku, tapi khusus cerita Afnan dan Hessa ini, aku nggak akan pernah bisa melupakannya. Selain karena ingat nggak tidur selama lebih dari lima malam karena mengurus preorder buku perdanaku, aku juga nggak sabar mau pergi ke toko buku pas di tanggal terbit. Walaupun aku tahu buku sudah didistribusikan sebelum tanggal terbit, tapi aku ingin secara resmi mengunjungi ‘anak pertamaku’ pada hari lahrinya.

Tetapi … bukunya nggak ada😅 Menurut pegawai toko buku, My Bittersweet Marriage hanya datang sepuluh buku dan sudah habis. Aku bersyukur dan memaklumi itu, sebab beberapa minggu sebelumnya, aku mengobrol dengan editorku. My Bittersweet Marriage adalah buku debut sehingga oplah cetaknya tidak terlalu banyak. Itu pun masih dipotong dengan jumlah preorder yang di luar dugaan, menggerus buku yang baru keluar dari percetakan. Beberapa toko buku harus menunggu cetak ulang untuk bisa memajang My Bittersweet Marriage.

Hari itu juga, aku menuju toko buku lain. My Bittersweet Marriage tetap nggak kelihatan di bagian New Arrivals. Aku nggak tahu harus senang atau sedih. Senang karena buku debutku diminati banyak pembaca atau sedih sebab aku gagal mendapati namaku ada di toko buku. Setelah dibantu seorang pegawai, akhirnya aku melihatnya. Tumpukan My Bittersweet Marriage ada di tengah dan lebih dalam dibanding buku lain–menjelang habis. Oleh pegawai tersebut dipindahkan ke tepi. Aku bahagia banget. Jingkrak-jingkrak, bodo amat. Namaku ada di toko buku, bersisian dengan nama penulis-penulis hebat yang terkenal. Pegawai toko buku memberi selamat padaku, setelah aku sampaikan hari itu aku memulai hari baru sebagai penulis profesional.

Saat itu aku tidak memiliki pandangan apa-apa. Tidak punya rencana jangka panjang. Bahkan aku sempat berpikir mungkin aku akan bertahan sampai satu atau dua buku saja. Beberapa teman penulis yang sempat membantuku waktu itu, menghilang dari dunia literasi tidak lama kemudian. Bisa saja aku bernasib sama. Tetapi siapa yang menyangka, ENAM TAHUN KEMUDIAN aku masih menulis. Bukuku masih terbit. Masih selalu ditunggu-tunggu. Satu naskahku sudah ada di tangan editor sekarang.

Menerbitkan secara tradisional/mayor, self-published, dan premium melalui platform menulis digital sudah pernah kujalani. Aku menyatakan menulis adalah salah satu karier yang akan kupertahankan. Setelah melewati lima tahun pertama, bukan tidak mungkin aku akan bisa melalui lima tahun berikutnya. Pada beberapa titik, aku sering ingin berhenti menulis. Berhenti menerbitkan buku. Kehilangan motivasi melihat buku-bukuku dibajak dengan keji dan dibagikan cuma-cuma di Telegram, WhatsApp, situs-situs, dijual murah di Instagram dan market place. Setiap kali mendapati itu, rasanya apa yang kukerjakan sia-sia. Aku nggak mendapatkan apresiasi apa-apa, tapi pembajak menerima ucapan terima kasih bahkan donasi dari para penikmat hasil curian. Aku berharap akan ada solusi untuk masalah ini dan rezeki penulis tidak lagi dirampok.

Ditambah gangguan kecemasan yang kumiliki, aku nggak bisa membayangkan jauh ke depan. Aku harus menjalani hari satu demi satu. Dalam menulis, kata demi kata. Naskah demi naskah. Aku nggak mau membebani diriku, kecuali dengan satu tujuan; buku yang kutulis saat ini harus lebih baik daripada buku sebelumnya.

Sepanjang perjalanan aku banyak belajar. Dari para editor yang bekerja sama denganku, rekan-rekan sesama penulis, dan yang lebih penting, dari teman-teman pembaca. Yang paling sulit adalah belajar berani bicara di depan banyak orang. Dulu aku tidak pernah menyangka bahwa profesi ini akan mengharuskanku untuk pandai berkomunikasi secara verbal. Kalau dengan tulisan jangan ditanya lagi, salah satu bentuk komunikasi yang kusukai. Menjalani wawancara radio, mengadakan bedah buku di universitas, mengajar kelas menulis, menjadi narasumber talkshow, dan lain sebagainya, kini adalah bagian dari pekerjaanku sebagai penulis. Aku tidak memiliki pendidikan formal di bidang itu–aku lulus dari Fakultas Teknologi Elektro dan Komputer Cerdas, Institut Teknologi Sepuluh Nopember–maupun pelatihan di bidang itu. Setelah wawancara, aku selalu bertanya pada host, atau peserta yang mengikuti, apakah penjelesanku bisa dipahami dengan baik. Mereka menjawab bisa dan senang aku menjelaskan dengan runut, jadi kukira aku cukup piawai di sini hahaha.

Untuk sampai di titik ini, aku tidak sendirian. Ada orang-orang hebat yang membantuku. Yang pertama tentu saja Miss Tina. Tanpa beliau aku nggak akan bisa menulis dengan tenang. Kesabaran beliau dalam mengatur preorder, menghitung stok buku, dan banyak lagi printilan pekerjaan yang kutinggalkan di tangannya. Para editor Kak Afri, Kak Jia, Kak Mitha, dan lainnya, yang sudah membagikan ilmu padaku. Para penulis yang karyanya kunikmati dan menginspirasi. Teman-teman pembaca yang selalu menunggu karyaku berikutnya dan menyemangatiku untuk terus menulis. Terima kasih tak terhingga aku ucapkan. Tanpa kalian semua, perjalanan ini tidak akan bermakna.

Note:
Kamu bisa membaca My Bittersweet Marriage gratis di aplikasi iPusnas. Atau di Gramedia Digital, cukup Rp 45.000 bisa membaca semua bukuku di sana. My Bittersweet Marriage is not perfect–my first book!–but I gotta start somewhere, right?

My Books

MENANG “THE WATTYS” KATEGORI ROMANCE

Ini cerita yang sangat terlambat. Pengumuman pemenang dilakukan pada bulan Desember 2021 dan aku baru menceritakan di blog sekarang. Aku sudah mengabarkan di Instagram dan Twitter lebih dulu. Karena lebih mudah dan cepat. Meskipun begitu, aku tetap ingin membagi pengalaman memenangkan kompetisi yang diikuti oleh banyak penulis di platform Wattpad ini.

Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, ini adalah tahun pertama keikutsertaanku dalam kompetisi The Wattys. Sepasang Sepatu Untuk Ava dimulai dan selesai pada kurun waktu yang tepat, selaras dengan yang tertulis dalam peraturan lomba. Dari peserta yang begitu banyak, aku tidak menyangka Ava akan menjadi juara pertama untuk kategori romance. Kemenangan ini berarti banyak untukku. Namaku diumumkan di halaman home/beranda Wattpad Indonesia dan dalam daftar bacaan resmi Wattpad Indonesia. Dengan begitu, mereka yang dulu belum kenal Ika Vihara akan tahu. Namaku—sebagai penulis—akan semakin dikenal. Kunjungan ke profil Wattpadku dan daftar karya juga akan meningkatkan popularitasku. Walaupun sedikit hahaha.

Dengan cerita Sepasang Sepatu Untuk Ava yang bisa dibaca dengan gratis selama setahun di Wattpad, aku berharap akan lebih banyak lagi pembaca yang ketagihan dengan tulisanku dan membaca karya-karyaku yang lain. Aku juga ingin meningkatkan pengikut di Wattpad sampai 50.000. Sudah hampir tercapai.

Kemenangan ini juga membuktikan aku bisa membuat logline cerita—satu kalimat saja—dan sinopsis 500 kata. Berdasarkan e-mail pemberitahuan Daftar Pendek/Short list, mereka baru membaca lebih dalam dan lebih lengkap untuk karya-karya yang masuk dalam daftar pendek. Karena Sepasang Sepatu Untuk Ava sudah menarik perhatian juri, maka aku menyimpulkan aku sudah bisa, sudah berhasil menulis logline dan sinopsis dengan baik.

Cerita yang memenangkan penghargaan The Wattys diharuskan berada di Wattpad selama satu tahun, sejak diumumkan masuk Daftar Pendek. Ini menjawab pertanyaan teman-teman, kapan Sepasang Sepatu Untuk Ava diterbitkan menjadi buku cetak. Tahun 2022. Sekitar bukan Desember. Meskipun aku belum tahu bagaimana caranya. Apakah secara tradisional atau tidak tradisional. Nanti saja dipikirkan kalau sudah waktunya.

Juga, seharusnya bisa menjawab pesan-pesan dari kakak-kakak editor dari berbagai platform maupun penerbit yang bertanya apakah aku bersedia menerbitkan Sepasang Sepatu Untuk Ava bersama mereka. Jawabannya belum bisa. Karena aku sudah bersedia menayangkan cerita ini dengan gratis di Wattpad. Sebelum aku menang The Wattys, sudah banyak penawaran-penawaran penerbitan yang kuterima. Setelah The Wattys, semakin banyak lagi. Terima kasih sudah menghubungiku dan menilai aku layak berkarya bersama anda.

Sepasang Sepatu Untuk Ava membuatku semakin percaya untuk berkarya sesuai dengan keyakinanku sendiri. Tidak perlu mengikut apa yang sedang trend atau viral atau laris. Kalau aku percaya karyaku membawa manfaat untukku dan mereka yang membacanya, membawa kebaikan padaku dan pada mereka yang membacanya, tidak menjerumuskan pembaca ke dalam pemikiran atau perbuatan yang destruktif, aku akan menulisnya. Aku akan memublikasikan. Karya yang ditulis dengan hati, akan menyentuh hati orang lain juga. Karya yang baik pasti akan menemukan jalan untuk bertemu dengan pembacanya, bagaimana pun caranya.

Ada salah seorang yang kukagumi mengatakan, berkaryalah dengan sungguh-sungguh. Karya yang berkualitas, yang meninggalkan nilai-nilai kebaikan di dalam diriku dan pembaca—tanpa mereka sadari bahkan—yang mengubah diriku dan orang lain menjadi pribadi lebih baik adalah yang paling dibutuhkan di dunia ini. Viral atau terkenal adalah bonus dan jangan dijadikan tujuan. Sebab kalau seperti itu, aku pasti akan berhenti berkarya.

Kamu bisa membaca Sepasang Sepatu Untuk Ava, gratis di Wattpad.