Is it wonderful that my books will have traveled farther than I have?
Or … frightening?
Sampai pada titik ini, aku tahu bahwa lebih mudah untuk berhenti menulis daripada menjaga kebiasaan baik tersebut. Iya, bagiku menulis adalah sebuah kebiasaan, bukan pekerjaan, bukan pula hobi. Sebuah kegiatan, sebelum disebut sebagai kebiasaan, harus dilakukan dulu berulang-ulang. Aku tidak tahu apa yang kutulis, tapi aku tetap menulis. Mau nanti ada hasilnya–diterbitkan–atau tidak–teronggok saja–namanya kebiasaan akan selalu kulakukan. Karena itu, tiga tahun sejak aku menulis kalimat pertamaku, aku berada di posisi yang berbeda, a well-practiced-writer.
Seperti kusebutkan dalam bukuku When Love Is Not Enough, aku tidak pernah sendirian dalam menulis sebuah buku. Ada banyak sekali orang yang membantuku. Yang paling berperan besar adalah teman-teman semua yang membaca bukuku dan menunggu buku selanjutnya. Tanpa kalian, aku tidak akan pernah sampai pada Midsommar dan Midnatt.
Bersama dengan jauhnya perjalanan bukuku ke tempat-tempat yang belum pernah kukunjungi, aku mendapatkan banyak teman yang belum pernah kutemui. Tapi tidak masalah. Definisi teman jauh lebih dalam daripada itu. Bagiku semua yang telah membaca bukuku adalah temanku. Yang paling membuatku bahagia adalah, jika teman-temanku mengirimkan sebaris atau dua baris kalimat melalui media sosialku, e-mail, atau LINE dan WhatsApp.
Setiap kali aku merasa ingin berhenti menulis, aku membaca kembali pesan-pesan dari teman-teman. Aku ingin berhenti menulis bukan karena malas atau apa. Tapi karena aku merasa upayaku untuk memberi perubahan baik pada dunia, melalui tulisan, tidak akan pernah ada gunanya. Apa kontribusiku, orang yang menulis 350 halaman buku, akan ada pengaruhnya bagi kehidupan lebih dari tujuh miliar penduduk bumi? Dari situ aku sering berpikir bahwa diriku kecil sekali dan aku tidak akan bisa berbuat banyak.
Pesan dari teman-teman membuatku memiliki tujuan baru. Aku tidak perlu mengubah dunia, karena belum bisa. Tapi aku bisa membuat perubahan baik pada hidup beberapa orang. Yang membaca bukuku, tentu saja. Orang yang tadinya tidak tahu mengenai Aarhus, Lund, Seasonal Affective Dissorder, dan sebagainya yang kujelaskan di novelku, menjadi tahu. Yang tadinya tidak begitu tertarik dengan dunia STEM(Science, Technology, Engineering, and Mathematics), sekarang mulai banyak yang berdiskusi denganku. Yang mulanya tidak percaya bahwa pendidikanlah yang mengubah hidup kita, bukan menikah dengan orang kaya, sekarang beberapa sudah menyampaikan bahwa mereka berhasil kuliah di tempat-tempat jauh seperti Afnan, Lilja, Mikkel, atau Dinar, dari novel-novelku.
Bukuku adalah hidupku. Aku ingin sekali hidupku bermanfaat bagi orang lain, sekecil apa pun itu. Dan aku bahagia ketika teman-teman menceritakan kebaikan yang didapat dari bukuku. Semua lebih berharga daripada status best seller, kurasa.
Ah, aku jadi ingat, tadi malam di Instagram, ada yang mengunggah semua foto bukuku yang sudah dan sedang dia baca, dan dalam caption-nya, Mbak Maya mengatakan bahwa rezeki tidak hanya berupa materi, tetapi ada bentuk lain, salah satunya: teman. Aku seratus persen menyetujui. Teman-teman semua alah rezeki paling berharga yang akan selalu kusyukuri–supaya ditambah–dan sampai kapan pun teman-teman akan selalu menjadi harta yang paling berharga dalam hidupku. Terima kasih sudah berteman denganku selama ini.
We are never far apart. Since friendship doesn’t count miles, it is measured by heart.