Thing That Makes Me Happy

MENJAGA KESEHATAN MENTAL SEBAGAI PENULIS

Kenapa aku bisa frustrasi, hanya gara-gara hobi? Aku membuat meme dengan pertanyaan itu dan mengunggahnya ke Twitter bulan lalu. Saat belum pernah menerbitkan buku dulu, aku sangat menikmati hobi menulis. Merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga menjadi paragraf lalu cerita yang utuh sangat menyenangkan dan memuaskan. Setelah bertahun-tahun aku tidak pernah bisa menuliskan kata tamat karena selalu menuruti ide yang tiba-tiba muncul, bisa menyelesaikan satu novel adalah suatu pencapaian yang amat besar. Hatiku dipenuhi kepuasaan, kebahagiaan dan tentu saja, kebanggaan. Sekarang, setelah aku menulis lima belas novel, aku kesulitan menghidupkan kembali apa yang pernah kumiliki sebelum buku debutku terbit.

Beberapa waktu lalu The Booksellers di Amerika Serikat menyurvei para penulis terkait pengalaman dan perasaan mereka saat menerbitkan buku debut. Hasilnya 54% responden mengaku menerbitkan buku berakibat buruk pada kesehatan mental mereka. Setengah dari jumlah responden menerbitkan buku melalui penerbit indie, 48% menerbitkan di empat raksasa penerbitan–Penguin, HarperCollins, Pan Macmillan dan Hachette, dan 1% self-published dan hybrid. Masalah kesehatan mental yang mereka rasakan di antaranya cemas berlebih, stres berlebih, depresi hingga kehilangan kepercayaan diri. Ada responden yang mengaku perlu waktu lebih dari satu tahun untuk memulihkan diri. Ada juga yang memerlukan bantuan profesional untuk memulihkan diri.

Aku percaya gangguan kesehatan mental tidak hanya memengaruhi penulis di luar negeri. Di dalam negeri pun demikian. Atau, karena aku tidak bisa mewakili penulis lain, aku akan menceritakan pengalamanku sendiri. Buku debutku, My Bittersweet Marriage, yang terbit secara tradisional/mayor melalui Elex Media, di luar dugaanku dan editor, sangat populer. Debut yang luar biasa, kami berdua menyimpulkan. Kesuksesan itu seharusnya membuatku bangga dan bahagia. Tapi kenyataannya, aku menjadi sangat cemas. Mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu akan terjadi. Bahkan hal-hal yang tidak bisa kukontrol. Bagaimana nanti kalau orang tidak menyukai When Love Is Not Enough–buku keduaku, bagaimana kalau mereka kapok membeli bukuku karena mereka tidak puas dengan My Bittersweet Marriage, bagaimana kalau orang hanya ingin membaca cerita yang mirip dengan My Bittersweet Marriage sedangkan aku sedang menulis cerita yang berbeda, dan masih banyak lagi bagaimana kalau yang lain. Perasaan-perasaan semacam itu membuatku tidak bisa lepas saat menulis cerita baru. Ada bayang-bayang kesuksesan buku debut. Buku selanjutnya, tentu harus melebihi suksesnya buku debut, begitu aku percaya.

Tahun 2018 aku mempertimbangkan untuk berhenti menulis, sebab aku sudah sepenuhnya kehilangan kenikmatan dalam menulis cerita. Seharusnya proses itu membahagiakanku, tapi yang kurasakan hanyalah tekanan dan kekhawatiran. Namun, rencana pensiunku setelah buku kedua batal sebab My Bittersweet Marriage di-make-over dengan cover dan layout baru, diterbitkan lagi dengan ISBN baru. Pada saat hampir bersamaan, aku dan editor sepakat menerbitkan The Game of Love. Sukses. Di tengah pandemi, buku selanjutnya, A Wedding Come True, lahir. Sukses juga. Langsung menjadi e-book terlaris di Gramedia Digital pada minggu pertamanya terbit.

Dengan deretan kesuksesan seperti itu, seharusnya aku puas dan bahagia bukan? Tidak frustrasi dan tidak depresi? Pada akhir 2020 hingga pertengahan 2021, aku sakit dan dari sakit tersebut, aku didiagnosis menderita gangguan kecemasan, yang lalu kuketahui bersahabat erat dengan depresi. Pada kondisi sedang memperbaiki kesehatan mentalku, aku tidak bisa banyak berinteraksi dengan pembaca. Juga tidak maksimal melakukan promosi dan banyak lagi. Akibatnya–menurutku–bukuku The Perfect Match, yang terbit Mei 2021, tidak begitu sukses. Tapi penerbit berpikir lain dan memajukan terbitnya, The Promise of Forever. Dari yang semula akan terbit pada tahun 2022 menjadi November 2021.

Di situlah kesehatan mentalku mulai terdampak. Sebab aku kembali merasa The Promise of Forever tidak lebih sukses daripada buku sebelumnya. Dengan kondisi ekonomi yang masih terdampak pandemi, bahkan beberapa pembaca setiaku mengaku kehilangan pekerjaan, ditambah algoritme media sosial yang semakin tidak menguntungkan, aku kesulitan mengenalkan bukuku kepada lebih banyak orang. Aku sangat tidak sabar menunggu laporan penjualan buku sepanjang 2022. Padahal sebelumnya aku tidak pernah memusingkan hal itu. Biasanya aku membiarkannya mengalir saja seperti air. Kalau waktunya terima, ya nanti terima juga.

Tolong dicatat, aku menggarisbawahi kata menurutku dan merasa, karena pandangan orang lain berbeda. Editorku tidak memandang aku gagal, teman-teman penulis juga bilang performance buku-bukuku jauh lebih baik daripada banyak buku lain, pembaca juga mengatakan bukuku menyenangkan dan membawa manfaat untuk mereka. Semakin hari aku semakin didera kecemasan. Kalau bukuku tidak muncul dalam daftar bestseller yang diumumkan penerbit tiap bulan, aku merasa gagal. Jumlah followers di media sosial tidak naik, aku merasa diriku tidak disukai. Rating buku tiga bintang membuatku ingin membaca ulang bukuku dan mencari tahu di mana jeleknya. Padahal kalau di Goodreads, bintang tiga itu artinya pembaca menyukai buku tersebut.

Aku berdiskusi dengan psikiaterku dan menurutnya, kecemasanku masih bisa dikelola. Setelah berhasil, aku harus bisa menjaga kesehatan mentalku dengan baik. Dengan cara yang hampir sama yang kulakukan pada 2021 dulu, aku mendaftar beberapa caranya, di antaranya:

  1. Ingat selalu kesehatan mental di atas segalanya. Karena tanpa kesehatan mental yang baik, kreativitas tidak akan bisa muncul ke permukaan. Jika pada satu titik kita mengalami burn out, segera ambil waktu untuk beristirahat. Sebulan atau setahun, berapa pun waktu yang diperlukan, ambil. Supaya tidak semakin parah. Hiatus lebih baik daripada tidak bisa berkarya selamanya.
  2. Pembaca tidak tahu tantangan apa yang harus kita lalui untuk menghasilkan sebuah novel. Editor tidak tahu. Tidak ada yang tahu kecuali diri kita sendiri. Semua orang hanya tahu hasil akhirnya dan hanya menilai hasil akhirnya. Kalau memang tidak bisa menepati deadline dari editor, sampaikan. Kalau tidak bisa menerbitkan buku di tanggal yang sudah diumumkan kepada pembaca, sampaikan. Supaya kita tidak merasa punya utang.
  3. Jangan menghabiskan waktu di media sosial. Pilih saja salah satu media sosial yang paling nyaman bagi kita. Instagram, TikTok, Twitter, dan lain-lain tidak perlu kita kuasai semua. Satu saja, asalkan kita bisa menjalin hubungan baik dengan pembaca dan calon pembaca, mereka bisa merasakan antusiasme kita dalam menulis dan menyajikan karya kepada mereka, sudah cukup.
  4. Berani mengatakan tidak. Akan selalu ada orang yang meminta waktu, keahlian, atau apa pun yang mereka perlukan. Misalnya diminta menjadi narasumber. Muncul di setiap event pembaca adalah salah satu bentuk publikasi yang baik. Tetapi tidak harus semua dihadiri. Harus diseleksi. Kalau semua kita iyakan, kita akan lelah sendiri dan tidak bisa menulis buku selanjutnya. Pekerjaan utama penulis adalah menulis. Kalau ada kegiatan yang sekiranya mengganggu jadwal menulis, tidak perlu dilakukan.
  5. Jangan merasa bersalah kalau terlambat atau tidak membaca dan membalas e-mail, DM, dan komentar. Apalagi kalau kita merasa di dalam sana ada hal-hal yang bisa menganggu kesehatan mental kita.
  6. Tidak usah melihat rating dan membaca review. Goodreads adalah tempat terlarang untuk dikunjungi hahaha. Bahkan komentar positif pun bisa menjadi beban untuk memuaskan lebih banyak orang lagi. Kita harus ingat kita tidak bisa membahagiakan semua orang. Satu buku bisa cocok untuk seseorang tapi tidak cocok untuk orang lainnya. Semua hanya tentang bertemu pembaca yang tepat. Itu kenyataan yang tidak bisa lagi kita ubah.
  7. Jangan pernah memasukkan nama kita atau judul buku kita di kolom pencarian. Baik di Twitter, Instagram, Facebook, Google atau apa pun. Juga jangan mengklik hashtag buku kita atau nama kita. Karena nanti kita akan sedih melihat buku kita dibajak di mana-mana atau mengetahui orang yang bilang karya kita jelek.
  8. Jangan pedulikan angka-angka. Jumlah buku terjual, ditambahkan di Goodreads, rating bintang lima atau satu, followers, like dan sebagainya. Semua pasti ada naik dan turunnya, terlalu sering melihat hanya akan mengurangi kebahagiaan dan menyebabkan depresi.
  9. Terimalah dalam industri ini yang bisa kita kontrol adalah kualitas karya kita.
  10. Tentukan sendiri kecepatanmu. Satu tahun satu buku atau dua tahun satu buku, terserah kita. Tidak perlu merasa kalah dengan penulis yang menerbitkan buku setahun tiga kali atau lebih.

Semoga sepuluh poin di atas bisa membantu menjaga kesehatan mental kita di dunia yang kita cintai. Karena hingga hari ini, menuju terbitnya bukuku di bulan November nanti, aku selalu membaca ulang daftar di atas dan selalu berhasil membuat diriku kembali tenang.

 

 

My Books, Thing That Makes Me Happy

MENJADI PENULIS: DARI NOL HINGGA TAHUN KETUJUH

Hingga hari ini semua masih terasa seperti mimpi. Tepat pada bulan Maret yang lalu, aku memasuki tahun ketujuhku sebagai penulis profesional. Sebuah pencapaian yang sangat luar biasa untukku, yang tidak pernah membayangkan akan berhasil menerbitkan buku. Lebih-lebih bertahan selama ini.

Perjalanan karierku sebagai penulis diawali ketika aku patah hati. Seseorang yang kucintai, pada tahun 2011 mencampakkanku. Tidak ada penjelasan yang kuterima, tapi aku menyimpulkan dia meninggalkanku karena aku tidak melangkah secepat dirinya. Dalam bidang akademik. Untuk mengisi waktu luang, yang tiba-tiba banyak karena aku tidak lagi menghabiskan waktu dengannya, aku menulis. Mencurahkan isi hati tapi melalui tokoh fiksi. Pendek-pendek saja. Bahkan aku mengikuti suatu program menulis 30 hari yang diadakan sebuah penerbit, walaupun pada akhirnya aku tidak terpilih untuk mentoring.

Tahun 2012 adalah salah satu tahun yang terberat dalam hidupku. Dalam sebuah acara team building di Gunung Salak, aku terjatuh lemas, sesak napas, dan sakit di dada. Tim medis sudah membantuku dengan oksigen dan segala macam, hingga aku bisa pulang dengan selamat. Tetapi aku tetap merasa sangar khawatir. Aku yakin aku kena serangan jantung. Ke mana-mana aku berobat, menjalani tes ini dan itu, sampai salah satu dokter menyarankan aku ke psikiater. Dan ternyata aku terkena serangan panik.

Menulis kembali menjadi salah satu alat terapiku. Di sanalah aku menemukan ketenangan dan kenyamanan. Aku mencari tahu mengenai invisible disabilities dan kesehatan mental, lalu aku memasukkannya sebagai tema dalam tulisanku. Selain itu, aku juga rajin mengikuti beberapa lomba cerpen. Lebih sering kalah. Hanya dua kali aku mencapai posisi runner up.

Percobaanku menulis novel dimulai tahun 2013. Pada saat itu kesulitan menyelesaikan satu naskah utuh. Dapat satu atau dua bab, aku berhenti. Sepanjang tahun begitu. Karena banyak faktor. Salah satu yang terbesar adalah kehabisan bahan bakar. Aku tidak punya cukup modal untuk menulis tapi aku memaksakan menulis. Sehingga aku tidak tahu harus mengisi 200 halaman dengan apa.

Aku mulai mempelajari apa saja yang harus dipersiapkan penulis untuk menyelesaikan sebuah novel, pada tahun 2014. Aku belajar membuat outline, membuat daftar kebutuhan cerita–untuk diriset, dan membuat jadwal. Hasil dari belajarku dan ketekunanku adalah sebuah novel berjudul The Danish Boss. Bisa menuliskan kata tamat benar-benar membanggakan dan membahagiakan. Tidak peduli mau novel itu jelek atau bagus, kekurangannya berapa banyak, dan lain-lain ketidaksempurnaan lain, aku tetap merayakan keberhasilan itu.

Sebab The Danish Boss memberikan kebahagiaan kepadaku, aku berpikir bisa jadi orang lain akan merasakan hal yang sama. Dimulailah perjalanan The Danish Boss mencari penerbit. Karena aku tahu diri aku masih hijau, maka aku membidik penerbit kecil, yang beberapa bukunya kusukai. Surat penolakan langsung datang sebulan kemduian. Kaget, kecewa, dan patah hati. Seburuk itukah novelku?

Untuk melupakan kesedihan tersebut, aku menulis cerita baru. Setelah berbulan-bulan bekerja keras, lahirlah Geek Play Love. Keinginanku untuk membagi kebahagiaan yang kurasakan dengan pembaca kembali tumbuh. Mungkin karena euforia berhasil menyelesaikan satu novel lagi. Aku kembali rajin mengirimkan Geek Play Love bersama The Danish Boss. Penolakan dan tidak ada jawaban adalah kenyataan demi kenyataan yang harus kuhadapi. Di tengah kekecewaan yang bertubi-tubi, aku meyakini, paling tidak, aku berlatih menyusun surat pengantar, sinopsis, penilaian cerita, dan CV penulis.


Buku debutku, My Bittersweet Marriage, akhirnya terbit tahun 2016. Setelah mengirimkan naskah, sinopsis, dan segala yang diperlukan, kemudian menunggu kurang lebih tiga bulan, Mbak Afriyanti Pardede dari penerbit Elex Media Komputindo memberi kesempatan kepadaku. My Bittersweet Marriage adalah naskah ketiga yang kutulis. Pelarian dari patah hati atas penolakan The Danish Boss dan Geek Play Love. Bahagianya luar biasa. Sampai sekarang pun aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.

When Love Is Not Enough menjadi buku keduaku yang terbit secara tradisional/mayor pada tahun 2017. Cerita yang menguras air mata, menurut banyak pembaca. Tepat pada tanggal terbit, aku menjalani operasi lutut kanan. Sehingga aku menyimak antusiasme teman-teman akan kisah Linus dan Lilja dari atas ranjang rumah sakit. Dalam kondisi puasa jelang operasi. Sampai tiga bulan kemudian, aku masih harus membatasi gerakku. Untungnya ketidaknyamanan itu tertutupi dengan kebahagiaan menerbitkan buku.

Pada 2018, aku sempat memutuskan untuk berhenti menerbitkan buku. Karena berbagai alasan. Niat itu kuutarakan kepada sahabatku. Aku nggak mengirimkan naskah kepada editorku. Menerbitkan dua buku sudah cukup memenuhi rasa penasaranku di dunia perbukuan. Aku tetap menulis, karena aku menyukai kegiatan itu. Rencanaku nanti kalau aku ingin, aku akan menerbitkan secara mandiri.

Awal tahun 2019, editorku menghubungiku untuk membahas My Bittersweet Marriage yang diterbitkan ulang dengan cover baru. Beliau bertanya apa ada naskah yang bisa diterbitkan dan beliau janji akan mempercepat proses terbitnya. Karena aku tidak pernah berhenti menulis, aku bisa mengirimkan naskah pada hari itu juga. Empat bulan kemudian, The Game of Love terbit. Bisa comeback setelah dua tahun rasanya seperti debut ulang. Bahagianya, antusiasmenya, kecemasannya, semuanya sama besarnya.

Pandemi datang di saat aku dan editor sudah selesai merevisi novel keempat, A Wedding Come True. Tentu saja alu khawatir ketika kita semua harus tinggal di rumah. Karena banyak proses yang harus disesuaikan, di antaranya pegawai penerbit dan percetakan yang tidak beroperasi seperti biasanya. Toko buku pun tutup semua. Preorder yang telanjur dimulai tetap kulanjutkan meskipun aku tidak tahu apakah buku akan dicetak sesuai jadwal. Teman-teman mulai bingung dan bertanya ketika penerbit dan toko buku Gramedia mengumumkan gerai Gramedia tutup imbas dari dilarangnya mall untuk buka. Untungnya, jelang berakhirnya masa preorder, penerbit membantu dengan mencetak buku sesuai jumlah preorder. Bahkan aku mengadakan dua kali preorder, yang kedua di tanggal terbit baru.

Editor bertanya apakah aku ingin e-book dirilis lebih dulu. Namun, karena selama pandemi The Game of Love banyak dibajak dan dibagikan di grup WA dan telegram, aku memutuskan untuk menunda penerbitan e-book A Wedding Come True. Seperti sebelum pandemi, e-book A Wedding Come True terbit setelah buku cetak. Dan langsung mencatatkan rekor–pribadiku–sebagai e-book paling laris pada minggu terbit di aplikasi Gramedia Digital.

Masih dalam masa pandemi, Juni tahun 2021, buku kelimaku, The Percect Match, terbit. Tepat saat hendak mulai proses revisi, laptopku kehujanan. Demi menghemat, aku membawanya ke service center untuk diperbaiki. Terpaksa aku bekerja tengah malam dengan laptop adikku, karena jawdal penerbitan buku tidak bisa ditunda. Sebelum servis, aku sudah mengopi HDD laptop ke penyimpana eksternal. Aku kuliah di Fakultas Teknologi Elektro dan Komputer Cerdas, adalah jawabanku kepada pembaca saat mereka tanya kok aku ngerti komputer hahaha. Sayangnya, aku tetap beli laptop baru karena laptop lama yang menemaniku sejak aku menulis When Love Is Not Enough tak terselamatkan.

Aku juga mendapat diagnosis depresi dan gangguan kecemasan pada awal tahun 2021. Sebelum sampai pada diagnosis itu, lebih dulu aku banyak duduk di ruang tunggu rumah sakit. Sebab alu merasa dadaku sakit. Sama seperti dulu, sebelum ke psikiater, aku lebih dulu bicara dengan berbagai spesialis termasuk jantung. Selama menunggu, aku membuat plotting novel, mendaftar kebutuhan cerita, dan proses-proses lain yang kuperlukan untuk menulis selanjutnya.

Untuk pertama kali aku memenangkan lomba cerpen di tahun 2021. Karyaku Sebaik-baik Pelajaran menjadi juara pertama Lomba Teman Tulis 2021. Aku berhak mendapat hadiah uang dan cerpen tersebut di terbitkan dalam antologi bersama sepuluh karya terpilih.

November 2021, buku keenam The Promise of Forever lahir. Aku sendiri pun terkejut dengan pencapaian ini. Di antara kondisi mentalku yang membutuhkan sangat banyak perhatian dan pemgertian, aku masih bisa menyelesaikan sebuah novel. Dan terbit! Pada tahap ini, aku memutuskan akan memberi tahu siapa pun yang mengundangku ke sebuah acara–sebagai narasumber–bahwa aku memiliki invisible disabilites. Panitia pertama yang mengakomodasi kebutuhan khususku berasal dari Universitas Jenderal Soedirman. Sehingga saat acara–yang hadir 75 orang!!!–aku tidak terserang panic dan anxiety attack.

Cerpen keduaku, Sebaik-baik Manusia kembali memenangkan lomba juga pada 2022. Ini menjadi modal keyakinan yang besar untuk menuju novelku selanjutnya.

Right Time To Fall In Love, buku ketujuhku lahir tahun 2022. Rintangan terbesar adalah mendapatkan ISBN. Prosesnya lebih lama daripada biasanya. Plus, aku harus mengumpulkan surat pernyataan keaslian naskah ke Perpusnas dengan ditandatangani dan dibubuhi materai. Suatu proses yang menurutku konyol. Sudah tahun 2022 masa masih pakai kertas seperti itu. Kok kalah sama Wattpad dan aplikasi lain, yang bisa tanda-tangan secara digital. Akibatnya tanggal terbit pun berubah dan ini membuat proses preorder menjadi kacau. Aku berusaha sabar dan berharap yang terbaik saja. Right Time To Fall In Love adalah bukuku yang tidak terdaftar dalam bestseller langsung pada bulan terbit.

Baru pada bulan Maret yang lalu, bulan anniversary-ku sebagai penulis, penerbit mengumumkan buku terbaruku, Right Time To Fall In Love, meraih predikat bestseller. Meskipun itu tidak pernah menjadi tujuan utamaku dalam menulis, tapi mengetahui Right Time To Fall In Love menyusul novel-novel sebelumnya di tangga tinggi penjualan membuatku merasa lega.

Selain menerbitkan buku secara tradisional, aku juga menerbitkan beberapa novel secara independen, yaitu The Danish Boss, Geek Play Love, Midsommar, Bellamia, Savara: You Belong With Me, dan antologi bab ekstra Midnatt.

Novelku selanjutnya, The Dance of Love, akan terbit pada tahun ini lewat penerbit Elex Media Komputindo. Dan akan menjadi judul kedelapanku bersama Elex Media. Harapanku, paling tidak, aku bisa menerbitkan sampai buku kesepuluh.

Selama menjadi penulis profesional, aku mengerti ada banyak hal yang berada di luar kuasaku. Di antaranya apakah orang akan membeli novelku dan apakah mereka akan menyukai karyaku. Bahkan menentukan bukuku akan terbit atau tidak, aku tidak punya kendali. Karena itu masalah rezeki, yang menjadi misteri dan hanya diketahui Yang Maha Kuasa. Yang bisa kukontrol adalah kualitas tulisanku. Bukuku selanjutnya akan selalu lebih baik dari buku sebelumnya. Sebab aku selalu belajar dan akan terus belajar.

Aku tidak akan pernah berhenti menulis. Karena menulis membuatku bahagia dan menjauhkankanu dari depresi dan gangguan kecemasan. Mungkin suatu hari nanti orang tak akan lagi mau membeli novelku, tapi mereka tidak menyuruhku berhenti.

My Books, Thing That Makes Me Happy

Bongkar Dapur Cerpen Juara Pertama Lomba Teman Tulis 2022

Setelah menunggu beberapa waktu, karena sempat diundur masa lombanya, akhirnya cerpen Sebaik-baik Manusia keluar sebagai juara pertama Lomba Teman Tulis 2022 yang diadakan aplikasi Lontara. Aku bersyukur, sangat bersyukur, atas pencapaian ini. Yang kuharapkan akan menaikkan kepercayaan diriku dan menguatkan niatku untuk terus mengangkat topik-topik berbeda dalam setiap cerita yang kutulis. Baik cerpen maupun novel.

Aku tertarik mengikuti Lomba Teman Tulis 2022 setelah melihat temanya, yang menurutku lebih menantang daripada tema tahun sebelumnya. Apalagi, sebagai orang yang menyukai detail aku semakin nyaman karena disediakan juga subtema pilihan. Jadi ke mana aku harus melangkah sudah jelas. Tinggal mengikuti jalur saja, tanpa perlu takut tersesat.

‘Bertumbuh menjadi Tangguh’ adalah subtema yang kupilih. Sebab aku paling paham dengan kalimat tersebut. Bagaimana tidak, aku sedang menjalaninya dan tahu menjadi tangguh memerlukan perjuangan yang tidak mudah. I am not disabled, but I have disabilities. Hanya saja orang lain tidak bisa melihat kekuranganku. Atau, kalau aku biasa menyebutnya, invisible disabilities. Kekurangan yang tak tampak dari luar. Aku tidak bisa berjalan kaki dalam waktu lama, setelah lututku dioperasi tahun 2017. Ditambah aku menerima diagnosis general anxiety disorder, yang berjalan bersisian dengan depresi. Salah satu tanda aku sudah semakin tangguh adalah berani memberi tahu orang-orang terdekat, teman, atasan, rekan dekat dan siapa pun yang banyak berinteraksi denganku mengenai kondisiku.

Mau tidak mau, kondisi tersebut membuat cara hidupku harus disetel ulang. Disesuaikan kembali. Aku harus bisa menyentuh hati orang-orang di sekitarku harus agar mereka bisa mengakomodasi kebutuhanku. Misalnya membuat atasanku menyetujui aku pindah bekerja dari lantai 3 ke lantai 1, karena lututku tidak kuat naik tangga banyak-banyak. Dalam profesiku sebagai penulis, aku meminta kepada editorku untuk langsung menuju pokok keperluan saat mengirim WhatsApp, agar tidak memicu kecemasan. Ketika diundang menjadi narasumber di radio, universitas, dan lain-lain, aku meminta dikirimi dulu jadwal acara dan daftar pertanyaan. Sebagian besar orang mengerti, sebagian lainnya tetap bilang aku kelihatan baik-baik saja.

Sebagaimana novel-novel yang kutulis, dari pengalamanku itulah ketika membuat cerpen aku bercerita dari sudut pandang seorang wanita yang juga mendapatkan diagnosis dokter dan mengetahui dirinya memiliki invisible disabilities pada usia dewasa. Invisible disabilities yang kupilih untuk cerpen Sebaik-baik Manusia adalah autis dan ADHD. Alasan spesifik kenapa aku memilihnya, aku kurang tahu. Hahaha. Yang jelas pada masa-masa sebelum menulisnya, aku banyak membaca mengenai spektrum autisme. Bukan karena sedang meriset tulisan, tapi memang aku tertarik saja.

Tantangan Shiya, tokoh utama cerpen Sebaik-baik Manusia, sama denganku. Memberi tahu orang-orang terdekatnya mengenai kondisi barunya. Termasuk menghadapi kekhawatiran ibunya akan kemungkinan Shiya bisa mendapatkan pasangan hidup. Menyusun perjalanan Shiya semenjak kanak-kanak hingga dia dewasa, perjuangannya mendapatkan jawaban atas semua pertanyaannya, hingga memanfaatkan kekuatan supernya untuk membantu orang lain dalam 4.000 kata sempat membuatku pusing. Di mana harus memilih titik berat, mengatur pace—supaya tidak terlalu cepat, dan lain-lain adalah proses yang sangat sulit. Sampai aku ingin menyerah dan ingin menjadikannya novel hahaha. Karena pada saat bersamaan juga ada lomba pitching novel. Tetapi demi melihat panjang novel hanya 40.000 kata dan itu nanggung untuk ukuranku, maka aku tetap bertahan pada cerpen.

Oh, aku membuat blurb untuk cerpenku, atas permintaan penyelenggara lomba, sebagai berikut:

Sejak kecil Shiya merasa dirinya mendarat di planet yang salah. Sebab Shiya kesulitan mengikuti cara hidup dan berkomunikasi manusia. Bertahun-tahun Shiya mencari tahu apa yang membedakan dirinya dengan mereka. Tetapi jawaban baru dia dapatkan 20 tahun kemudian. Menerima diagnosis autis dan ADHD pada usia dewasa membuat Shiya terguncang. Ditambah, ibunya memintanya merahasiakan kenyataan itu, karena khawatir tidak akan ada laki-laki yang mau menikah dengan Shiya. Kini Shiya dihadapkan pada dua pilihan. Diam dan melanjutkan hidup seperti dulu namun dia menderita atau mengumumkan kondisinya, menanggung semua risiko yang menyertai, dan hidup dengan identitas baru yang membuatnya bahagia.

Karena aku penulis romance, maka aku sisipkan juga unsur romantis di dalamnya. Bagaimana Shiya bertemu cinta sejatinya, seseorang yang mau menerimanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pada saat dan dari jalan yang tidak disangka-sangka. Aku puas dengan hasilnya dan senang bisa menyelesaikannya. Bahkan aku berangan suatu hari nanti aku bisa menjadikan kisah Shiya menjadi novel hahaha. Kalau aku tidak terlalu malas untuk meriset lebih lanjut hehehe.

Aku mendapatkan pertanyaan dari salah satu teman di Instagram. Apa rahasianya bisa memenangkan lomba cerpen. Jawabannya adalah aku nggak tahu. Karena yang memutuskan memang atau tidak adalah juri. Dari sisi penulis, aku menyarankan untuk menulis cerpen yang benar-benar sesuai tema. Karena terbatasnya ruang, maka sebuah cerpen nggak boleh bertele-tele. Cerita harus menarik perhatian sejak kalimat pertama dan tentu saja, ada plot twist di akhir cerpen. Itu saja sih rumusku dalam menulis cerpen.

Kalau kamu ingin membacanya, cerpen Sebaik-baik Manusia nanti akan terbit dalam buku antologi. Bersama dengan sepuluh cerpen terbaik dalam Lomba Teman Tulis 2022. Aku akan mengumumkan lagi kalau sudah ada info lebih lanjut dari penerbit.

Thing That Makes Me Happy

Menang Lomba Cerpen Teman Tulis 2021

https://www.instagram.com/p/CTOpt62lmNx/

Late post! Cerpenku yang berjudul Sebaik-baik Pelajaran menang Lomba Cerpen Teman Tulis 2021 yang diselenggarakan oleh aplikasi Lontara untuk kategori umum. Pemenang diumumkan bulan September kemarin tapi aku baru bisa ‘merekam’ perjalanan itu sekarang. Karena sedang sangat sibuk revisi bukuku, The Promise of Forever, yang akan terbit bulan ini. Tiba-tiba diberi tahu editorku kalau tahun ini aku bisa menerbitkan dua buku itu, well, rasanya aku kaget, bingung, dan cemas. Tapi itu cerita untuk lain hari.

Yang tidak kalah mengagetkan–oke, sangat mengagetkan–adalah melihat namaku ada di daftar pemenang Lomba Cerpen Teman Tulis 2021. Sebagai pemenang pertama lagi. Untukku, penulis yang terbiasa dengan karya yang panjangnya 70.000 kata, bisa menyelesaikan tulisan sepanjang 3.000 kata adalah suatu pencapaian besar. Aku nggak menargetkan menang, hanya ingin membuktikan kepada diriku sendiri aku nggak hanya bisa menulis novel, tapi cerita pendek juga.

Tanggal 14 Juli 2021, temanku, Miss Tina, mengirimkan tautan Instagram padaku. Informasi lomba cerpen. Batas akhir pengumpulan tanggal 31 Juli 2021. Ada waktu dua minggu untuk menulis. Semestinya cukup. Kalau aku nggak sedang dalam proses revisi novel bersama editorku. Apalagi saat itu aku punya PR besar untuk mencari judul novel. Setelah dua judul yang kuajukan ditolak. Aku ragu apakah aku punya waktu untuk menulis cerpen. Tetapi, tema Lomba Cerpen Teman Tulis 2021 sangat ‘aku’ banget; keluarga. Ini salah satu tema yang selalu ada di dalam setiap novel yang kutulis. Jadi memasukkannya ke dalam cerpen terasa sangat menantang.

Tanggal 14 Juli malam aku duduk di meja dan memandangi monthly spread di jurnalku. Mencoba menyelip-nyelipkan jadwal menulis cerpen di antara padatnya proses menerbitkan buku. Karena aku perlu 3.000 kata, aku membaginya menjadi tiga hari. Perhari 1.000 kata. Namun di jadwal aku meluangkan tiga hari, sebab yang aku perlu mendaftar ide dan memilih mana yang bisa dipakai, kemudian membuat outline. Riset perlu, tapi nggak seintensif novel, jadi aku masih bisa melakukannya di sela-sela merevisi naskah.

Seperti biasa, aku nggak bisa membuat judul. Tetapi seperti biasa juga, aku nggak pernah memusingkan itu, Yang penting naskah cerpennya selesai dulu. Prinsipku dalam menulis cerpen ada lima; harus bisa membuat pembaca/juri baper sejak kalimat pertama, nggak boleh boros kata, sudut pandang jelas, dan nggak boleh boros kata kalimat–ruang terbatas, dan ada plot twist. Jadi ketika bisa menulis cerita dengan menerapkan lima prinsip tersebut, aku merasa puas. Bangga kepada diriku sendiri.

Hambatan dalam menulis cerpen tersebut, yang nomor satu, adalah BAPER sendiri. Iya, dadaku sesak dan sudut mataku menghangat–nangis. Aku memang ingin menguras air mata pembaca–ya kalau nggak sampai, paling nggak pembaca tersentuh hatinya. Indikasi itu akan berhasil, kalau aku sendiri saat menulis menangis. Kalau mataku sudah penuh air mata, aku harus berhenti menulis. Nggak kelihatan lihat layar.

Yang kedua, hambatannya adalah memilih judul. Aku jadi ingat saat bedah buku kemarin ditanya masalah judul. Aku bilang itu bagian yang nggak kusukai dalam menulis apa pun. Bahkan saat mengajukan naskah ke penerbit tahun 2016, yang akhirnya terbit sebagai buku debutku My Bittersweet Marriage, judulku nggak jelas banget. Tetapi aku punya editor yang menjadi teman diskusi menentukan judul. Sedangkan cerpen ini, aku nggak punya teman diskusi. Banyak yang kukhawatirkan saat membuat judul. Apakah dari situ isi ceritanya tertebak jadi orang nggak mau baca, atau apakah judulku mewakili ceritaku. Macam-macam. Belum lagi memikirkan mau pakai bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Akhirnya aku pilih Sebaik-baik Pelajaran. Ini merangkum isi cerita tapi juga–kurasa–membuat orang ingin tahu pelajaran apa yang kumaksud.

Naskah selesai, masalah timbul saat harus mengunggah. Di formulir ada kolom sinopsis. SINOPSIS. Aku belum pernah membuat sinosis cerpen. Sinopsis novel saja aku perlu waktu sangat lama buat bikin. Menceritakan novel sepanjang 70.000 kata menjadi 500 kata adalah suatu siksaan bagiku. Karena bagiku setiap bagian itu penting hahaha. Aku nggak tega kalau ada bagian yang nggak ikut kutulis.

Aku mengeluh kepada Miss Tina karena aku harus bikin sinopsis cerpen. Berapa panjang? Berapa kalimat? Berapa paragraf? Karena aku nggak punya waktu untuk mempelajari cara sinopsis cerpen, maka aku bikin saja sebisaku. Yang penting formulirnya bisa terkirim. Itu lebih baik daripada cerpennya nggak kukumpulkan, hanya diam di komputerku saja.

Sewaktu diumumkan sepuluh cerpen favorit juri–untuk di-vote menjadi pemenang favorit pembaca–cerpenku nggak ada. Aku pikir ya sudah, berarti cerpenku nggak berpeluang menang. Padahal aku sudah lihat di IGTV Lontara bahwa cerpen juara I dan II nggak dimasukkan dalam favorit demi menghindari menang dua kali. Tetapi karena aku pesimis aku lupa kenyataan itu.

Siang hari, habis panas-panasan beraktivitas di luar, aku membuka beranda Instagram. Scroll, scroll, scroll. Ada pengumuman pemenang. Aku bimbang mau lihat nggak ya. Takut kecewa hahaha. Tetapi kalau nggak dilihat nanti malam nggak bisa tidur. Akhirnya sambil berdoa, aku geser gambarnya. JUDUL CERPENKU ADA DI SANA. DI TENGAH. Kucek-kucek mata. Cubit-cubit lengan. Minta orang di sebelahku memastikan. Lalu aku baca komentar. Ada yang mengenaliku dan bilang ‘Ini Kak Ika Vihara yang itu yang menang ya?’ Apa aku Kak Ika Vihara yang itu?

Aku langsung berteriak,”Ibu, anakmu bisa menulis cerpen!” Teman-temanku kasih selamat. Dan wow, sampai uang hadiah ditransfer aku masih belum bisa percaya aku menang lomba cerpen. Bukan untuk pertama kalinya, tapi bertahun-tahun setelah aku pernah menang dan nggak pernah lagi menulis cerpen, ternyata aku bisa membuktikan kepada diriku sendiri aku mampu melakukannya.

Beberapa hari yang lalu, perwakilan penerbit menghubungiku. Menyampaikan cerpen Sebaik-baik Pelajaran akan terbit dalam buku kumpulan cerpen bersama cerpen-cerpen terpilih lainnya. Aduh, aku nggak sabar banget buat mendapatkannya dan membaca karya teman-teman yang lain di sana. Pasti bagus-bagus semua. Kamu mau punya buku itu juga? Hubungi aku di IG/Twitter ikavihara, nanti aku kasih tahu caranya.

 

Thing That Makes Me Happy

Done Is Better Than Perfect

Itu adalah salah satu prinsip yang kupegang teguh sebagai seorang penulis, sejak buku pertama hingga judul keenam, The Promise of Forever, yang akan terbit bulan Oktober nanti. Tanpa tulisan itu, yang kupasang besar-besar di dinding kamarku, dan di buku catatan, aku tidak akan pernah mengirimkan naskah kepada editor. Karena aku akan terus membaca ulang dan merevisi naskahku, mungkin sampai aku mati. Sebab kesempurnaan itu tidak akan pernah bisa tercapai, walaupun aku menghabiskan banyak waktu untuk mewujudkannya.

Setiap kali mengerjakan sebuah naskah, aku hanya memberi kesempatan kepadaku dua kali membaca ulang. Otomatis, dua kali pula merevisi. Sudah pasti hasilnya tidak sempurna. Kalau mau dibaca ulang seratus kali, aku akan selalu menemukan bagian–bahkan hanya satu kata–yang harus kuedit. Ini sangat tidak sehat. Jadi, setelah punya naskah yang menurutku sudah baik, aku akan mendiamkannya miniman dua minggu. Selepas itu, aku memberi kesempatan pada diriku untuk dua kali membaca ulang naskah dan dua kali merevisi. Kalau sudah habis kuota itu, aku menyatakan naskah itu selesai dan mengirimkan kepada editor. Nanti aku akan merevisi lagi sesuai masukan dari editor. Pada proses ini pun, aku membatasi diriku untuk membaca ulang satu kali dan menahan diri untuk tidak mengganti apa pun selain pada bagian yang ditandai oleh editor.

Energi dan waktu bukanlah sumber daya yang tak terbatas. Aku harus menggunakannya dengan bijaksana. Sebagai penulis tugasku tidak hanya menulis naskah saja. Ada memikirkan cover, blurb, kelengkapan terbit lain, melakukan promosi, dan banyak lagi. Kalau energi dan waktuku habis hanya untuk membuat naskahku sempurna, karier menulisku akan berakhir sebelum kumulai.

Aku sudah pernah berada di posisi ingin mempersembahkan suatu naskah yang sempurna untuk editor dan buku yang sempurna untuk pembaca. Dan aku belajar banyak dari sana. Ketika aku menjadikan kesempurnaan sebagai tujuan, aku terjebak dalam kekhawatiran. Khawatir orang akan menemukan kesalahan-kesalahan kecil yang terdapat dalam naskah atau buku dan memberiku penilaian buruk. Sehingga aku akan mengambil kaca pembesar dan meneliti naskahku, huruf per huruf. Betapa melelahkannya melakukan ini. Kesempurnaan juga akan membuatku tersesat. Karena tidak tahu ke mana aku harus mendapatkannya, aku akan lebih memilih untuk tidak melakukan apa-apa.

Kesalahan bukanlah sesuatu yang tak termaafkan. Kalau aku menulis buku sepanjang 80.000 kata, ada kesalahan ketik sepuluh huruf, aku akan memaafkan diriku sendiri. Karena itu hanya berapa persen saja? Ketika sudah melewati proses revisi, proof reading dan seterusnya, lalu masih ada kesalahan, aku menyatakan kesalahan itu memang ditakdirkan ada di situ. Hahaha.

Banyak orang bertanya kenapa aku bisa produktif menulis. Jawabannya hanya satu. Aku tidak memikirkan jelek atau baik naskah yang sedang kukerjakan. Tidak memilirkan sempurna atau tidak nanti hasilnya. Yang kulakukan hanya menulis dan menulis saja. Tentu saja berdasarkan hasil riset. Ada naskah-naskah yang kudiamkan saja di folder di laptop, ada yang kunilai bagus dan harus dibaca oleh banyak orang, jadi harus terbit.

Seperti yang kukatakan dalam Note From The Author dalam bukuku, The Perfect Match, menuntut diri menjadi sempurna, atau melakukan segala sesuatu dengan sempurna,hanya akan membuat kita stres dan kondisi itu akan memengaruhi kesehatan fisik dan mental kita. Kalau kita sayang pada diri kita, kita akan fokus pada menyelesaikan suatu tugas, dengan baik, daripada terus mengusahan tugas itu selesai dengan sempurna.

My Bookshelf, Thing That Makes Me Happy

Kenapa Aku Menulis Cerita Romance?

Jawabannya tidak sesederhana ‘karena aku menyukai genre romance’.

Suatu waktu, aku mendapatkan kesempatan berharga untuk bekerja bersama seorang editor yang luar biasa. Dari beliau aku banyak sekali belajar, tidak cuma tentang menulis, tapi tentang hidup dan sebagainya. Aku belum mencantumkan nama beliau di sini karena permintaan izinku melalu WhatsApp belum dijawab. Masih jelas terekam di ingatanku, beliau mengatakan kalau aku mau mengurangi kadar romance di dalam naskah yang kutulis, aku bisa masuk ke genre literary fiction. Beliau yakin aku mampu membuat karya yang berbeda pada genre itu. Di sana aku akan lebih bebas mengeksplorasi segala tingkah-laku manusia—aku sudah melakukan ini di buku-bukuku hingga menyampaikan kritik sosial—aku juga selalu menyertakan ini di dalam tulisanku. Tidak harus mengerem karena khawatir pembaca romance tidak mendapat kepuasan dari bukuku.

Hingga kini, aku selalu menuliskan saran tersebut di dalam buku jurnalku, pada awal tahun, saat menuliskan resolusi—yang jarang terlaksana itu—bahwa aku akan mencoba menulis naskah di luar genre romance. Literary fiction atau nonfiksi. Tetapi aku nggak tahu kenapa aku belum mulai melakukannya. Aku masih menikmati proses menulis cerita romance. Ideku masih banyak dan aku ingin mengeksekusi sampai selesai.

Jadi, apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan ‘kenapa aku menulis cerita romance’?

Di mataku, romance adalah genre tertua dan paling utama di dunia. Nggak akan ada aku, kamu, atau mereka kalau nggak ada romance. Adam, manusia pertama yang diciptakan Tuhan, suatu ketika menyadari dirinya berbeda dari malaikat. Level malaikat tentu berbeda dengan manusia, kalau terus mengikut standard malaikat, bisa jadi manusia tidak mampu. Karena tidak mau menjadi minoritas, Adam meminta kepada Tuhan supaya dihadirkan manusia lain. Apa Tuhan menciptakan adik untuk Adam? Atau paman? Nggak. Tuhan menciptakan pasangan untuk Adam, seseorang yang kelak membuatnya mengetahui apa itu cinta. Menengok sejarah tersebut, ketertarikanku pada genre romance sangat wajar.

Semua jenis genre yang ada, menurutku, kalau nggak diselipkan sedikit romance, nggak akan terlihat manusiawi. Aku membaca Naruto, komik, ceritanya kental budaya tradisional Jepang, dari volume satu sampai habis. Tujuh puluh dua buku kubaca. Tentu aku menemukan banyak pelajaran dari perjuangan Naruto—yang saat masih SD selalu bilang suatu saat dia akan menjadi Hokage(kira-kira selevel presiden kalau zaman sekarang) lalu ketika dewasa berhasil mencapainya. Tetapi aku menunggu-nunggu romansanya. Iya, ada cinta segitiga, mencintai dari jauh, salah mengenali perasaan, dan banyak lagi di sana. Kalau Naruto sampai menikah sama Sakura, aku akan ngamuk hahaha.

Bahkan membaca biografi atau autobiografi seseorang pun, aku senang setiap kali sampai di bagian mereka jatuh cinta. Sebab memang kodratnya manusia, yang dilahirkan memiliki hati, harus ada cinta dalam keseharian mereka. Seperti yang kukatakan dalam bukuku The Game of Love,”Mencintai adalah satu-satunya bakat alam yang dibawa setiap manusia ketika mereka dilahirkan.  Kasihan bagi orang-orang yang menolak menggunakan kemampuan itu.”

Romance adalah genre fiksi paling aman yang bisa kubaca. Orang dengan serangan kecemasan sepertiku harus ekstra hati-hati dalam memilih buku. Aku pernah sekali membaca buku thriller dan aku langsung imsonia seminggu penuh. Membaca The Hunger Game juga membuatku mual, bukan ceritanya nggak bagus, tapi karena mentalku nggak mengizinkanku untuk melihat kemiskinan dijadikan motivasi untuk mengadu manusia. Ya memang aku harus berhati-hati memilih cerita romansa, sebab seringkali di dalamnya terdapat ekploitasi kekerasan dan kekejaman juga.

Itu alasan terpenting kenapa aku berada di genre ini. Dari awal menulis hingga sekarang. Beberapa tahun terakhir aku merasa genre romance diturunkan kualitasnya oleh sebagian orang. Ada yang sengaja mengubah romance menjadi buku porno, nyaris stensilan. Isinya sangat kosong, selling point-nya adalah scene-scene seks, yang dibarengi dengan penyiksaan atau kekerasan. Bagaimana bisa seseorang membuat tokoh laki-laki yang menyombong telah berhasil melalukan hubungan seksual padahal pihak satunya tidak berkenan?

Kalau laki-laki yang memerkosa dibuat terdengar keren, gagah, hebat karena memaksakan kehendak, bisa-bisa para remaja beranggapan bahwa hubungan seksual itu tidak harus dilandasi satu keinginan yang sama, dengan pemaksaan—dan kekerasan—pun boleh. Asal kalau hamil dinikahi seperti di novel. Ya masa kita tega meliaht adik-adik kita tercinta menikah dengan seseorang yang tidak menghormatinya pada kesempatan pertama? Karena ceritanya dibuat hanya berdasarkan imajinasi—tidak dilandasi pengetahuan yang mumpuni apalagi riset yang cukup—jadinya dia tidak tahu seperti apa orangtua harus bersikap. Tahunya kalau ada laki-laki kaya—jadi kayanya juga tidak jelas tahu-tahu jadi CEO atau siapa saja yang mengenakan jas—lantas langsung bertanya kapan anak perempuannya dinikahi. Pelecehan atau yang lain tak lagi jadi perhatian penulis.

Belum lagi mereka yang mempromosikan pernikahan usia kanak-kanak dalam novel yang dikategorikan romance. Mau mengajari pembaca buat melanggar hukum atau bagaimana. Kalau aku mendaftar semua hal yang kunilai semakin merendahkan kasta romance, aku akan perlu lebih dari satu buku. Sebentar lagi aku akan dibilang sok jadi polisi moral. Dunia hancur kalau semua orang nggak peduli pada moral.

Aku dan bukuku-bukuku hadir untuk ikut—bersama penulis-penulis baik lain—menaikkan kasta romance. Supaya romance tidak diasosiasikan dengan pronografi, bucin, pelakor, dan kejelekan-kejelekan lain. Apa cara yang kupilih? Tentu aku tidak akan mencantumkan segala yang kusebutkan di atas tadi. Bukan tanpa adegan bercinta, aku menuliskannya waktu Alwin baru menikah sama Edna. Itu bagian dari kehidupan, tinggal kita bagaimana meramu supaya momen tersebut tersebut sakral, bukan berubah brutal. Aku juga memotivasi kita semua untuk menjadi pribadi yang lebih baik, meningkatkan kualitas diri, lalu melangkah ke tempat yang baik supaya bertemu dengan jodoh yang baik dulu. Aku menyarankan agar kita semua menyelesaikan sekolah atau kuliah, berdiri dulu dia atas kaki sendiri, supaya kekuatan tawar di dalam pernikahan meningkat. Mengubah nasib dan memutus rantai kemiskinan itu melalui pendidikan, bukan pernikahan. Aku menunjukkan pernikahan nggak selamanya indah. selalu meyakinkan bahwa posisi laki-laki tidak berada di atas perempuan. Silakan berpendidikan tinggi, amat tinggi, dan tetap akan ada laki-laki yang tidak kerdil jiwanya yang akan menjadi jodoh kita.

Mungkin upayaku masih jauh dari kata berhasil. Tetapi aku tidak akan berhenti. Walaupun pembaca bukuku tidak akan sebanyak buku-buku dengan konten yang kuhindari tadi, itu serius pembaca cerita semacam itu banyaaaaaak sekali, tapi aku tahu suatu hari nanti aku akan tersenyum bahagia karena aku telah berkontribusi untuk kebaikan. Juga, aku senang karena sudah ikut melindungi genre favoritku dari tangan-tangan orang tak bertanggung-jawab.


Sumber gambar: Freepik.com

Thing That Makes Me Happy

Jangan Pernah Hapus Naskahmu!

 

Seperti yang kukatakan dalam novel Savara, ditolak merupakan salah satu ketakutan terbesar manusia. Saat melamar kerja atau minta izin kepada orangtua, pasti dalam hati tebersit kekhawatiran bagaimana nanti kalau tidak diterima atau tidak diizinkan. Meskipun sudah sering ditolak berkali-kali, tetap saja hati kita nggak akan pernah siap 100% untuk legowo menerima penolakan berikutnya. Berbagai macam cara kita lakukan untuk menghibur diri bahwa kejadian itu bukan akhir dari segalanya. Masih ada hari esok dan ketika kita berusaha, hasil yang akan kita peroleh akan lebih baik.

Ketika memutuskan untuk menjadi penulis, aku tahu bahwa naskah ditolak penerbit adalah salah satu tahapan yang harus kulalui—dan mungkin sebagian besar penulis lain—dan nggak bisa kuhindari. Begitu bangga dan bahagianya aku menyelesaikan satu naskah, yang menurutku bagus, aku segera menulis sinopsis dan proposal. Harap-harap cemas menunggu berbulan-bulan dan aku mendapat e-mail yang menyatakan bahwa penerbit tidak bisa menerbitkan naskahku. Dua minggu aku mencoba berdamai dengan penolakan pertamaku. Setelah itu aku membaca ulang semuanya dan membuat perbaikan. Juga belajar membuat sinopsis. Plus mendaftar ikut pelatihan menulis. Setelah itu, masih juga naskahku ditolak di sana-sini. Satu setengah tahun berlalu untuk proses menunggu dan berharap ini.

Menyerah bukan pilihan. Aku mengistirahatkan naskah tersebut dan menulis naskah baru. Setelah yakin dan mendapat saran dari teman sesama penulis, kukirimkan kepada penerbit. Setelah menunggu tiga bulan, akhirnya diterima. My Bittersweet Marriage, buku pertamaku, terbit juga.  Editor memintaku untuk menyiapkan buku berikutnya dan aku mulai menyusun ancang-ancang untuk menulis lagi. Tentu saja naskah itu nantinya diterbitkan sebagai buku keduaku, When Love Is Not Enough.

Meski sudah bernaung di bawah satu penerbit, aku masih rajin mengirimkan naskah ke penerbit lain. Sudah punya basis pembaca dan pernah menerbitkan buku bukan jaminan naskah akan mudah diterima. Aku masih tetap ditolak-tolak juga. Seperti sebelumnya, naskah-naskah yang ditolak kusimpan dengan baik. Selain itu aku juga rajin ikut lomba menulis. Naskah-naskah yang tidak menang, aku simpan juga.

Aku tahu ada beberapa orang yang memutuskan menghapus naskah mereka karena terlalu menyakitkan melihat bukti kegagalan tersebut. Atau sebagai bentuk pelampiasan dari rasa kesal. Bisa juga karena menganggap karya yang mereka hasilkan nggak berharga. Kalau kalian ingin melakukan hal yang sama, JANGAN! Kalau sudah terlanjur melakukan, JANGAN LAGI!

Ketahuilah, berdasarkan pengalamanku, kalau kita yakin naskah kita bagus, alasan ditolaknya naskah kita bukan karena jelek. Tapi tak sesuai dengan yang dicari penerbit. Pada saat itu. Suatu saat nanti bisa jadi ada perubahan pada warna naskah yang dicari. Aku percaya setiap naskah punya rezeki masing-masing. Naskah-naskahku yang dulu ditolak itu, kini dua naskah sudah diterbitkan. Dengan tetap mengusahakan segala cara tentu saja. Bahkan aku pernah ikut acara bincang kepenulisan, kemudian ada teman yang aktif bergerak di bidang literasi mengenalkanku dengan seorang editor yang tengah. Setelah ngobrol, aku memberanikan diri minta nomor WhatsApp. Temanku sampai terkejut. Tapi karena dikasih, aku simpulkan beliau nggak keberatan. Bulan berikutnya aku mengirim pesan, bertanya apakah beliau mau membaca naskahku. Ternyata beliau suka dan semua mengalir sesuai keinginanku.

Pengalaman terbaruku, tahun 2018 lalu aku menulis naskah dan mengikutkan untuk lomba. Sayangnya naskahku tidak masuk dalam 5 terbaik. Hingga bulan ini, aku tidak memiliki rencana apa-apa untuk naskah tersebut. Sampai aku mengirimkan kepada Kak Jia Effendi dan beliau memberi kesempatan untuk naskah Surat Terakhir Dari Rovaniemi setelah membaca sinopsis dan isi naskah.

Bagaimana jadinya kalau naskah-naskah tersebut kulupakan atau kuhapus hanya karena aku sangat kecewa ditolak terus oleh penerbit? Pasti akan semakin lama lagi aku menerbitkan buku.

Sepanjang tahun 2013 hingga tahun 2019, aku banyak menulis naskah. Ada yang selesai. Sebagian besar tidak selesai. Hanya dapat lima atau enam bab, lantas macet. Tidak ada yang kuhapus. Karena semua naskah tersebut bisa didaur ulang. Ketika menulis naskah baru, aku cari-cari apakah ada bagian-bagian dari naskah lama—yang tidak terbit, yang tidak selesai—yang bisa kugunakan. Jadi aku tinggal salin dan tempel, cukup membantu mempercepat proses penulisan.

Aku pernah membaca tulisan Erin Bow. Katanya tidak ada tulisan yang sia-sia. Layaknya petani yang mengalami gagal panen karena tomatnya busuk semua dan memanfaatkan tomat tersebut sebagai pupuk. Atau pembuat keju yang mengepel lantai menggunakan air dadih sisa produksi. Tulisan kita juga sama. Selain terus mencari kesempatan untuk menerbitkan, kalian juga bisa menggunakan kembali bagian-bagian naskah untuk membuat sesuatu baru.

Punya naskah ‘belum berhasil’ seperti yang kusebutkan di atas? Rajin-rajinlah membaca dan mengingat garis besar isinya. Supaya ketika menulis naskah lagi, sudah tahu harus mencuplik yang mana. Supaya cepat nambah jumlah kata dan kita merasa ringan melanjutkan. Itu aku. Semakin semangat kalau melihat tulisanku sudah panjang. Ingin segera menulis kata tamat.

Jika kalian semua tengah berjuang menembus penerbit terbaik pilihan kalian, sedang sering-seringnya ditolak, selalu ingatlah bahwa kualitas tulisan kalian semakin meningkat bersama kegagalan-kegagalan tersebut. Asalkan kalian selalu ingat untuk terus mencari di mana kurangnya dan memperbaikinya. Yang penting lagi, jangan pernah berhenti. Tetaplah menulis meski pembaca kalian cuma satu: diri kalian sendiri.

Thing That Makes Me Happy

THE LITTLE MATCHMAKER

Sebuah Cerita Pendek oleh Ika Vihara

Banyak orang bilang aku punya sembilan nyawa. Meski mereka tidak pernah tahu sekarang nyawaku tinggal berapa. Sering juga orang mengatakan aku pandai mengelabui malaikat pencabut nyawa. Aku tidak mudah mati, katanya. Bahkan beberapa dari mereka percaya aku bisa hidup selamanya. Ah, manusia. Seandainya aku bisa bicara bahasa mereka, aku akan meluruskan semua pemikiran tidak masuk akal itu.

Sama dengan mereka, aku hanya punya satu kesempatan hidup. Tetapi, berbeda dengan manusia yang rapuh—fisik dan mentalnya, aku sangat kuat. Kecelakaan yang membuat tulang manusia patah, hanya akan membuat tubuhku pegal-pegal. Ini bukan karena aku punya sembilan nyawa. Baca buku banyak-banyak, manusia, jangan sibuk membaca status orang lain di media sosial. Sebagai hewan yang tidak manja, anatomi tubuhku diciptakan untuk mengakomodasi itu. Luas permukaan tubuhku lebih besar dibandingkan dengan berat badanku, jadi benturan tidak akan mudah membuatku terluka parah. Otot dan tulangku lebih lentur daripada milik manusia, sehingga aku bisa bergerak lebih cepat menghindari kecelakaan. Tuhan menakdirkan aku untuk hidup di pohon, karena itu aku memiliki keahlian untuk menghindari jatuh. Atau jika aku harus jatuh, aku akan mencari posisi jatuh yang paling aman. Refleksku bagus sekali, manusia tidak akan pernah bisa menandingiku.

Meski aku kuat begitu, bukan berarti manusia boleh seenaknya menyiksaku. Menelantarku. Seperti mereka, aku punya hati dak tidak suka diberi harapan palsu. Sering manusia berjanji akan selalu merawatku dan menyayangiku, tapi setelah mereka bosan, mereka meninggalkanku di tempat yang tidak kukenal. Di mana aku tidak tahu arah pulang. Majikanku yang lama melakukannya. Mereka meninggalkanku di pinggir jalan tanpa alasan.

“Mumu!”

Uh, aku benci sekali nama itu. Kalau aku bisa bicara, aku akan memberitahu Kazia—majikanku selama sepuluh tahun ini—bahwa dulu namaku adalah Isadora. Hanya karena Kazia cantik dan harum—aku suka setiap dia memelukku—juga sangat baik hati, aku mengizinkannya memanggilku Mumu.

“Mumu?”

Aku menggeliat dan tidak bergerak dari posisiku di kasur di depan televisi. Ya, Kazia yang berhati baik itu membuatkanku kasur setelah menyatakan akan membawaku pulang. Sampai sekarang aku masih ingat hari itu. Hari di mana aku resmi menjadi anggota keluarga ini. Tidak, aku tidak mengeong, mengiba-iba supaya orang membawaku pulang. Meski susah—sebab terbiasa hidup di dalam rumah—selama tiga hari aku berjuang melawan kerasnya dunia. Termasuk menghindari satu kucing hitam besar yang ingin memerkosaku.

Waktu itu aku sedang duduk di depan toko, berteduh menghindari gerimis. Perutku lapar, tidak ada sisa makanan di tempat sampah di sekitar toko. Aku belum bisa menangkap binatang—tikus atau apa—sebab aku terbiasa diberi makan. Tidak ada yang mengajariku dan aku tahu, kalau ingin hidup lebih lama, aku harus segera belajar. Karena tidak tahu harus berbuat apa untuk menghilangkan lapar, hari itu aku memilih untuk tidur. Ketika aku membuka mata beberapa saat kemudian, di depanku sudah berjongkok seorang bidadari yang sangat cantik. Kukira aku sudah mati karena kelaparan hari itu. Gadis cantik di depanku terus bicara padaku, mengatakan bahwa sama sepertiku, dia juga tengah merasa sendirian. Bahwa dia baru pulang dari memakamkan ibunya.

Karena tidak ingin membiarkan gadis cantik itu menangis seorang diri, aku mengikutinya sampai ke sini. Malam itu Kazia bercerita banyak padaku, mengenai dukanya dan aku mendengarkan semuanya. Tidak tahan melihatnya banjir air mata, aku mulai menari-nari dengan konyol. Seumur hidup belum pernah aku berusaha berdiri dengan dua kaki selama lebih dari lima menit. Seperti yang sudah kuduga, Kazia tertawa. Gadis itu lebih cantik saat tertawa.

Seminggu kemudian aku membawakannya hadiah. Seekor tikus yang susah-payah kutangkap. Makhluk tidak berguna itu sudah lama berkeliaran di gudang dan membuat ayah Kazia kesal setengah mati. Bukannya berterima kasih padaku, Kazia malah menyuruhku melepaskan tikus itu. Dengan alasan kasihan. Kurasa bodoh dan baik hati hampir tidak ada bedanya. Tetapi karena Kazia yang meminta, aku menuruti. Untungnya sampai hari ini tidak ada lagi tikus yang berani tinggal di sini.

“Kamu sakit?” Kazia duduk di lantai di sebelah kasurku dan menggaruk punggungku.

Nikmat sekali. Aku mendesah dan membalik badan.

Aku tidak sakit, aku hanya merasa tua. Dalam hati aku tahu umurku tidak akan lama lagi. Kucing tidak hidup selamanya. Bahkan umur kami lebih pendek daripada manusia.

“Kita sudah lama bersama, Mumu, aku nggak ingin kamu pergi dan aku sendirian lagi di sini.” Jemari Kazia yang sangat halus menggaruk perutku. “Jadi kalau kamu sakit, kamu harus kasih tahu aku. Supaya kita bisa segera mencari obatnya.”

Kazia sudah kehilangan ibunya. Lima tahun kemudian, dia kehilangan ayahnya. Kakak laki-lakinya tinggal di negara yang sangat jauh. Kalau aku harus mati juga, siapa yang menemani Kazia? Saat seperti ini aku benar-benar berharap aku punya sembilan nyawa.

Kazia berdiri dan berjalan ke kamar. Tidak lama kemudian, dia sudah ganti baju dan bergerak ke dapur. Biasanya aku duduk di bawah meja makan, menunggu Kazia menjatuhkan makanan manusia yang yang sangat kusukai. Meski belakangan Kazia bersikeras ingin mengatur dietku. Diet. Aku tidak perlu diet. Meski tua dan selalu makan enak, aku tetap merasa seksi, tidak kelebihan berat badan, sebab aku suka bergerak ke sana kemari. Namun kali ini aku terlalu lelah untuk mengekori Kazia. Aku memejamkan mata dan memikirkan cara bagaimana aku bisa mendapatkan teman yang setia untuk Kazia, ketika aku mati nanti. Tidak mungkin aku melahirkan anak. Karena Kazia sudah menutup kesempatan itu. Gadis ini punya banyak kasih sayang dan cinta dalam dirinya. Sayang sekali jika orang lain—atau hewan lain—tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmatinya.

Huaaammmmm … Aku menguap lebar dan memutuskan untuk memikirkan itu besok. Satu yang pasti. Lebih baik Kazia hidup serumah dengan manusia—laki-laki kalau bisa—daripada bersama kucing tua sakit-sakitan sepertiku.

***

“Kamu bukan kucing liar,” kata seorang laki-laki muda yang berjongkok di sampingku. “Tubuhmu terlalu bersih. Dan kamu pakai kalung. Rumahmu di mana?”

Tadi aku menghabiskan hari dengan berkeliling dan saat menuju rumah Kazia, hujan turun. Aku berteduh di sini, di atas keset sebuah rumah berdinding merah muda. Dulu seorang nenek tinggal di sini dan nenek itu baik sekali padaku. Suka memberiku makan dan minum. Juga mengizinkanku tidur siang di keset tebal dan empuk ini. Sering nenek itu bercerita mengenai banyak hal padaku. Tidak seperti manusia, aku pandai menjaga rahasia. Selain itu aku adalah pendengar yang baik. Kata Kazia, pendengar yang baik adalah orang yang memperhatikan apa yang dikatakan lawan bicaranya dan tidak menyela. Setelah sang nenek meninggal, rumah ini kosong. Meski begitu aku masih suka mampir. Anak laki-laki ini aku tidak tahu siapa. Baru pertama kali kutemui. Tetapi aku tahu dia orang baik. Iya, aku bisa menilai seseorang adalah kawan atau ancaman dengan sekali lihat. Karena aku memang hebat seperti itu.

Aku ingin pulang, tapi aku lelah. Sebentar lagi gelap dan Kazia pasti panik mencariku. Ah, aku teringat kalung di leherku. Dulu Kazia memesan kalung ini khusus untukku. Laki-laki muda tersebut mengerti ketika aku menegakkan tubuhku dan menyodorkan leherku padanya.

“Ah, namamu Mumu.” Dia membaca papan kecil berbentuk kepala kucing di leherku. Kazia menuliskan alamat singkat dan nomor teleponnya di sana. Meski aku belum pernah tersesat, aku harus mengakui bahwa Kazia sangat cerdas.

“Kamu tinggal di dekat sini.” Melihatku lemas tidak bertenaga, laki-laki itu tersenyum dan mengangkat tubuhku. “Baiklah, baiklah, aku akan mengantarmu pulang.”

Dengan begini aku bisa menghemat tenaga. Siang tadi aku hanya makan sedikit. Gigiku sakit sekali. Mungkin besok Kazia akan membawaku ke dokter, kalau dia tahu. Biaya dokter tidak murah, aku tahu. Tetapi kadang aku tidak bisa menahan rasa sakit dan membiarkan Kazia tahu. Sebab sudah kehilangan kedua orangtuanya karena sakit, Kazia seperti tidak mau menganggap remeh gejala sakit yang kurasakan.

“Mumu!” Kazia berlari menyongsong ketika laki-laki muda itu melangkah ke teras rumah. “Ke mana saja kamu? Bikin khawatir aja.”

“Dia tidur-tiduran di teras rumah nenekku.” Laki-laki muda itu yang menjawab.

Mereka saling bertatapan. Aku menggelengkan kepala. Orang yang sedang menggendongku ini jelas sedang terpesona kepada Kazia. Laki-laki mana yang tidak? Kazia menurunkan padangannya dan tersenyum tersipu. Percaya padaku, ini adalah awal yang sempurna bagi jalan hidup kedua orang ini. Kecuali kalau laki-laki ini sama berengseknya dengan mantan pacar Kazia. Yang menikah dengan sahabat Kazia tepat tiga bulan setelah ayah Kazia meninggal. Pada hari itu Kazia kehilangan sahabat dan kepercayaan terhadap cinta. Tidak pernah lagi Kazia tertarik untuk berteman dekat dengan siapa pun. Kecuali denganku, yang tidak akan pernah menyakiti dan mengkhianatinya.

Kalau sampai laki-laki ini menyakiti Kazia, aku akan mencakar mukanya. Tidak akan kubiarkan Kazia hidup berlinangan air mata seperti itu lagi. Kali ini aku akan memberi laki-laki ini kesempatan untuk membuka hati Kazia. Sebab aku tidak ingin Kazia menghabiskan sisa hidupnya sendirian dan aku tidak mungkin bisa menemani sampai Kazia tua.

“Terima kasih sudah membawa Mumu pulang.” Kazia mengulurkan tangan dan mengambil-alih untuk menggendongku. “Apa … kamu tinggal di sekitar sini?”

Aku bangga pada Kazia yang kembali menemukan kemampuannya berbicara. Tidak melongo seperti orang dungu hanya karena sedang jatuh cinta.

“Baru seminggu. Di rumah nenekku. Rumah nomor 23.”

Perutku lapar, teriakku. Anak-anak muda ini bisa pacaran besok-besok. Sekarang kucing tua yang lelah ini lebih membutuhkan makanan dan tidur lebih cepat.

“Sudah waktunya Mumu makan malam. Apa….” Kazia menelan ludah. Kebiasaan jika dia sedang gugup. Untung dia terlihat semakin terlihat cantik saat sedang gugup. Dengan tidak sabar aku menunggu apa yang akan dia katakan. “Apa kamu mau ikut makan bersama kami?”

“Sebagai ucapan terima kasihku … karena … kamu mengantarkan Mumu.” Cepat-cepat Kazia menambahkan, sebelum laki-laki muda di depannya buka suara.

***

“Mumu! Mumu, lihat kami beli apa untukmu?” Suara riang Kazia terdengar begitu pintu rumah terbuka.

Aku sudah tidak tertarik lagi dengan apa pun yang diberikan Kazia padaku. Waktuku sudah semakin dekat. Yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana caranya mati tanpa harus membuat Kazia menangis. Air mata Kazia adalah satu-satunya hal yang tidak ingin kulihat. Mungkin aku akan bangkit dari kubur untuk menghapusnya, jika sampai dia menangis tersedu-sedu di hari kematianku.

Selama ini aku tidak menunjukkan kepada Kazia rasa sakit yang menjalari seluruh tubuhku. Tidak ada gunanya pergi ke dokter. Memang usiaku hanya akan sampai di sini. Tidak akan bisa diperpanjang lagi.

Kazia dan Hale—laki-laki yang mengantarku pulang lima bulan lalu—mendekati kasurku dengan membawa benang yang digulung membentuk bola berwarna merah. Dulu aku suka sekali bermain benang bersama Kazia. Sekarang, aku lebih suka tidur.

“Kamu ngapain aja seharian ini, Mumu? Kenapa kamu selalu capek setiap aku pulang?” Kazia menggaruk punggungku. “Mumu, aku ada kabar baik dan kabar buruk. Kamu mau dengar yang mana?”

Terserah. Aku punya kabar yang lebih buruk, jawabku.

“Kabar baiknya … aku dan Hale ingin menikah.” Kazia mengangkat tubuhku dan memamerkan senyum lebarnya tepat di depan wajahku.

Bukan pekerjaan mudah menjodohkan kedua orang ini. Hampir setiap hari aku harus berjalan—terseok-seok dengan tenaga seadanya—ke rumah nomor 23 dan memaksa Hale untuk mengantarku pulang. Setelah aku kenyang dan tidur karena kelelahan, Hale dan Kazia duduk di teras. Dari tempat tidurku di samping televisi, aku bisa mendengar dengan jelas suara tawa mereka.

“Kabar buruknya, aku harus meninggalkanmu tiga hari, karena Hale dan aku akan mengunjungi rumah orangtuanya,” lanjut Kazia. “Kamu akan di rumah sendirian. Tapi aku sudah meminta Leila untuk datang ke sini setiap hari. Menyiapkan makanan dan minumanmu.”

Kenapa Kazia tetap memperlakukanku seperti anak-anak? Yang perlu dijaga orang dewasa. Dalam dunia kucing, aku sudah termasuk nenek-nenek. Pengalaman hidupku sudah banyak. Aku bisa hidup sendiri. Baiklah, kalau dengan menugaskan orang untuk menjagaku membuat hati Kazia tenang, aku tidak akan mengeluh. Tidak semua kucing diberi perhatian seperti ini oleh manusia. Betapa beruntungnya aku di usia senjaku, aku mendesah.

Hale tertawa melihatku kembali meringkuk dan siap mendengkur. Satu tangannya mengelus kepalaku dan tangan lainnya memeluk Kazia. Aku bahagia karena Kazia sudah menemukan belahan jiwanya. Gadis terbaik di seluruh dunia itu berhak mendapatkan laki-laki yang sama baiknya. Sejak membawa Hale ke rumah ini untuk pertama kali, aku sudah tahu dia adalah laki-laki yang tepat untuk Kazia. Bagaimana aku tahu? Itu rahasiaku dan manusia tidak perlu tahu.

***

Lebih baik aku mati kalau bernapas saja sakit sekali seperti ini. Lebih menyakitkan lagi melihat tatapan sedih Kazia. Kurang dari sebulan lagi gadis terbaikku ini akan menikah. Seharusnya dia menghabiskan waktunya dengan penuh harapan dan kegembiraan. Bukan duduk di samping kandangku dan membelai perutku. Kalimat-kalimat lembut penuh cinta terus keluar dari bibirnya. Aku berusaha memberitahunya bahwa aku selalu mencintainya. Bahwa aku akan terus menjaganya meski aku tidak lagi ada di dunia ini. Kazia tidak akan sendiri mengantarku pergi. Sudah ada Hale yang menggenggam tangannya dan mereka akan selalu bersama hingga maut memisahkan mereka.

Sungguh aku berharap aku bisa mengatakan kepada Kazia bahwa dia adalah manusia terbaik yang pernah kutemui sepanjang hidupku. Di dunia ini, aku tidak tahu apakah ada kucing lain yang seberuntung diriku. Dihujani dengan kasih sayang dan cinta oleh seseorang seperti Kazia. Ketika aku berkeliling di sekitar sini, aku melihat banyak teman-temanku menderita. Mereka ditelantarkan dan disiksa. Dipisahkan dari anak-anak mereka. Menderita sakit berkepanjangan. Kami adalah makhluk yang kuat, aku pernah bilang. Tetapi kami tetap memiliki batas. Sebab kami bukan Tuhan. Seandainya saja semua manusia bersikap seperti Kazia. Tidak perlu memelihara teman-temanku di rumah mereka. Mereka hanya perlu meletakkan makanan di sana dan di sini untuk teman-temanku. Hal penting lain yang dibutuhkan teman-temanku adalah kebiri—sesuatu yang tidak bisa kami lakukan sendiri—supaya populasi kami tidak terus meningkat.

Kadang-kadang manusia berpikir untuk apa menolong hewan ketika banyak manusia yang masih memerlukan pertolongan. Kenapa pula memberi makan binatang, saat banyak orang yang masih kelaparan. Masih banyak gelandangan, kenapa harus memikirkan rumah untuk seekor kucing? Manusia, kalian bisa berbicara, kalian bisa berpikir, dan kalian bisa bekerja. Semua itu adalah modal dasar untuk hidup. Kalian diciptakan untuk mengubah nasib kalian sendiri. Seburuk-buruknya hidup kalian, kalian masih bisa meminta makanan kepada orang lain. Kami? Kalau tidak ada sisa-sisa makanan atau hewan-hewan kecil yang bisa kami temukan, kami akan hidup dalam keadaan lapar selama berhari-hari. Sebab sekeras apa pun kami mengemis, manusia tidak akan paham apa yang kami butuhkan. Kalau aku punya kemampuan untuk bicara dan berpikir layaknya manusia, aku akan rajin belajar, aku akan berlatih keterampilan, lalu mengubah nasib.

“I love you, Mumu,” bisik Kazia.

“I love you too, Kazia.” Jika aku diizinkan mengucapkan kalimat terakhir dalam bahasa manusia, aku ingin mengatakan bahwa Kazia tidak hanya cantik wajahnya, namun hati dan perangainya juga. Selamanya aku ingin Kazia mempercayai satu hal itu.

Harapan terakhirku sebelum aku mati, aku ingin teman-temanku di luar sana sempat bertemu dengan seseorang yang sama luar biasanya dengan Kazia.

Terima kasih untuk semuanya, Kazia….

Wajah cantik Kazia semakin mengabur. Lalu semuanya semakin menggelap. Ada seorang anak perempuan kecil tengah menungguku di depan sana. Tidak jauh. Hanya di seberang sungai. Dia tersenyum lebar sekali, memamerkan gigi yang rapi dan putih. Ada lesung pipit di kedua pipinya. Mata anak itu mengingatkanku pada Kazia. Aku tidak tahu dia siapa, mungkin majikan baruku di kehidupan selanjutnya.

Lututku tidak lagi sakit. Kepalaku tidak lagi berat. Mataku bisa melihat dengan baik. Napasku kembali teratur.

Selamat tinggal, Kazia….

Sore ini Hale menggali lubang dalam-dalam di bawah pohon mangga besar di halaman rumah Kazia. Salah satu tempat favoritku, selain pelukan dan pangkuan Kazia. Setiap siang, jika tidak berkeliling, aku senang tidur-tiduran di sana.

“Supaya tidak ada yang mengganggu Mumu di peristirahatan terakhirnya,” alasannya.

Sambil tersenyum pedih Kazia melepaskan kalung di leherku.

“Dia bebas sekarang dan dia boleh memilih nama yang dia sukai,” kata Kazia. “Sering aku merasa … aku bisa mendengar Mumu protes karena nggak suka dengan nama yang kupilih.”

Untuk terakhir kali Kazia melarikan jari-jarinya di atas bulu-buluku—sebelum Hale menimbun tubuhku dengan tanah—dan berdoa semoga di surga aku bisa mendapatkan ayam goreng kesukaanku. Saking sukanya, aku pernah mencuri sepotong ayam dari piring Kazia. Selama lima menit Kazia menguliahiku, bahwa sebagai kucing yang beradab aku harus meminta dengan sopan jika menginginkan sesuatu. Lalu Kazia menggerutu karena merasa gagal mendidikku. Tetapi Kazia selalu memaafkanku, karena dia adalah gadis terbaik di seluruh dunia.

“Hari di mana aku menemukan Mumu di teras rumahku dan aku membawanya ke sini adalah salah satu hari terbaik dalam hidupku.” Aku belum terlalu jauh melangkah menuju kehidupan selanjutnya ketika aku mendengar suara Hale. “Seminggu pertama di kota ini aku merasa kesepian. Aku belum punya teman. Mumu adalah teman pertamaku. Berkat Mumu juga, aku bertemu kekasihku.”

“Mungkin itu tugas terakhir dari Tuhan untuk Mumu.” Kali ini suara Kazia yang sangat kusukai terdengar. “Dia nggak pernah membiarkanku sedih sendirian. Kamu lihat, Mumu, aku nggak menangisi kepergianmu. Aku sedih. Aku kehilangan sahabat terbaikku. Tapi aku nggak akan menangis. Karena kamu nggak suka melihatku menangis. Kami akan selalu mengingatmu dan selamanya berterima kasih padamu. Ah, Hale…..”

“Ya?” Hale meremas tangan Kazia.

“Kalau aku memelihara kucing lagi, kucing kampung seperti Mumu, apa kamu tetap akan mau menikah denganku?” Mendengar pertanyaan Kazia kepada Hale, aku tertawa. Sudah pasti Hale akan memenuhi apa saja yang diminta Kazia.

Setelah mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kali, Kazia dan Hale berjalan menuju teras rumah dengan bergandengan tangan. Tugasku di dunia sudah selesai. Sambil tersenyum lebar aku meloncat ke pelukan gadis kecil berbaju putih yang menungguku dengan tangan terbuka. Aku sudah menyiapkan hadiah istimewa, yang akan kukirimkan nanti tepat di hari pernikahan mereka.

END

 

Teman-teman, bukan tanpa alasan aku menulis cerita pendek ini. Cerita ini kutulis spesial untuk Mumu. Aku sertakan foto Mumu di atas. Mata Mumu hanya berfungsi sebelah. Mumu adalah salah satu kucing yang beruntung sebab dia hidup bersama seseorang yang amat menyayanginya. Namun sayang, ada banyak Mumu-mumu lain di luar sana yang tidak seberuntung itu dan membutuhkan bantuan kita. Memang kita tidak bisa menampung semua kucing di rumah kita. Juga kita tidak bisa memberi makan semua kucing di negara ini. Namun, kita bisa mencegah peningkatan populasi kucing. Saat ini temanku sedang melakukan kebiri untuk kucing-kucing di sekitar tempat tinggalnya. Biaya yang diperlukan untuk sekali kebiri adalah Rp 150.000. Dana untuk kebiri bersumber dari tabungan pribadinya.

Apa yang bisa teman-teman lakukan untuk membantu Mumu-mumu lain?

  1. Kalian bisa mengebiri kucing-kucing di lingkungan kalian masing-masing
  2. Kalian bisa berdonasi melaui Kita Bisa << klik
  3. Bagikan tautan cerita ini melalui media sosial kalian, instant messenger(WhatsApp, Line, dsb), bulletin board di sekolah, maupun media lain.

Terima kasih karena sudah mau membaca cerita pendek ini. Salam sayang dariku dan Mumu.

Ika Vihara

Thing That Makes Me Happy

Dear Me

 

 

Engkau adalah inspirasi terbesarku.
Segala hal, sekecil apapun itu, bisa terlihat menarik ketika kamu memandangnya. Kamu selalu melihat jauh ke balik permukaan, menemukan sesuatu yang luput dari perhatian orang lain. Kamu tidak takut untuk menyampaikan perbedaan itu. Meski sebagai konsekuensinya, teman-teman dan orang-orang di sekelilingmumenganggapmu aneh.

Orang tidak habis pikir kenapa kamu tahan menghabiskan waktu berjam-jam sendirian hanya dengan melukis, menulis, atau hanya mencoret-coret kertas, sekadar menuangkan isi pikiranmu yang seperti tidak ada habisnya.

Namun kamu memilih tidak memedulikan mereka.

Terima kasih kepada orangtuamu yang selalu membacakan cerita ketika kamu belum bisa membaca. Terima kasih kepada orangtuamu yang bersedia membelikanmu buku-buku karena kamu selalu haus membaca. Saat itu anak-anak sebayamu jarang ada yang gemar membaca. Tetapi kamu berani menjadi berbeda.

Buku pertamamu berkaitan dengan alam semesta. Luar angkasa, samudera, dan sejenisnya. Tidak semua anak seberuntung dirimu dulu. Kegemaranmu membaca terus dipupuk oleh kedua orangtuamu. sehingga pada masa dewasamu, kamu memetik hasilnya.

Kamu tidak pernah mau menutupi kenyataan bahwa kamu tahu lebih banyak hal daripada teman dan orang-orang di sekelilingmu. Tak apa bagimu jika menurut mereka pengetahuan dan wawasan tidak akan bisa membuat perutmu kenyang. Nanti jika sudah sama-sama usia senja, kita akan bisa melihat siapa yang memiliki ingatan lebih tajam. Kamu atau orang yang tidak mau membaca buku tersebut.

Sekali lagi, kamu benar-benar beruntung. Aku, dirimu yang kini telah dewasa, berterima kasih untuk semua itu. Di sinilah dirimu sekarang. Sudah menerbitkan buku dan sedang menulis buku yang lain. Kamu tengah berusaha menambah sudut pandang orang lain terhadap cinta dan kehidupan melalui tulisanmu.

Kamu menghadapi banyak tantangan. Kadang kamu ragu apakah upayamu ada manfaatnya. Kamu berjuang. Kamu bekerja lebih keras daripada orang lain karena kamu tidak punya modal apa-apa.

Jalan yang kau lalui akan semakin terjal. Mungkin akan perlu waktu lama dan mengubah arah untuk menuju cita-cita. Sepanjang jalan kamu berkenalan dengan banyak orang. Beberapa tetap menjadi temanmu, tapi lebih banyak yang melupakanmu. Apa pun itu, kamu akan sampai di sana. Aku bangga padamu. Kamu beruntung bisa mengerjakan apa yang kamu sukai.
Semua akan baik-baik saja. Selalu baik-baik saja. Jangan menyerah.
Vihara
Thing That Makes Me Happy

Berhenti Menulis

 

14 November 2018. Pukul 23.27. Aku mengatakan kepada seseorang bahwa aku ingin berhenti menulis. Seseorang tersebut tertawa, nggak menanggapi serius apa yang kukatakan. Dia hanya melambaikan tangan dan mengatakan, “I have a feeling after a few weeks you will reach out for the pen again. Writing runs in your blood.”

Aku sendiri nggak tahu kenapa aku sampai bisa mengeluarkan kalimat seperti itu. Seseorang tersebut selalu benar. Rasanya aku nggak bisa membayangkan aku akan menyebut diriku apa, selain penulis. Tanpa sebuah karya, aku hanya manusia biasa. Dan aku ingin menjadi lebih dari biasa.

Keinginan untuk berhenti menulis bukan muncul karena nggak ada yang mau membaca tulisanku. Bukan. Selama ini aku selalu bersyukur aku punya jumlah teman yang cukup banyak yang bersedia mengeluarkan uang untuk membeli bukuku. Sesuatu yang sungguh kuhargai. Banyak penulis lain yang lebih hebat dariku, yang lebih terkenal, tulisan mereka jaminan bagus, namun ternyata beberapa orang masih bersedia memberi kesempatan untuk tulisanku, penulis kemarin sore ini.

Aku ingin berhenti menulis bukan karena aku nggak punya ide lagi. Tabungan ideku masih banyak. Sebuku penuh. Bahkan saat mengatakan aku ingin berhenti, aku punya dua tabungan naskah. Satu sedang direviu oleh seorang editor independen, mantan editor di sebuah penerbit besar. Lainnya sedang kuendapkan. Writer’s block nggak pernah menjadi masalah bagiku.

Lantas kenapa aku ingin berhenti? Karena aku lelah. Menerbitkan buku memang menyenangkan. Tetapi pada waktu bersamaan, melelahkan. Lepas menulis, tugasku nggak selesai. Aku harus mencarikan bukuku rumah baru, di rak buku teman-teman sekalian. Iya, itu namanya promosi. Apa yang harus kulakukan untuk promosi sungguh menghabiskan energi. Aku membagikan cerita gratis untuk mengenalkan tulisanku, harus memikirkan bahan untuk diunggah di media sosial. Sebab pendapatanku sebagai penulis masih kecil–setelah dikurangi biaya riset dan sebagainya untuk menulis, aku nggak bisa menyewa fotografer atau media content creator. Semua kukerjakan sendiri. Pendapatan royalti kusisihkan untuk membeli laptop dengan double processor, tablet gambar, dan kamera yang bagus. Ada waktu-waktu yang harus kupakai untuk belajar Photoshop dan Illustrator secara mandiri. Untungnya banyak orang yang membagi ilmu melalui situs berbagi video maupun blog-blog.

Aku nggak pernah mengeluhkan proses tersebut selama ini, karena aku memang suka belajar hal baru. Tetapi karena aku manusia biasa, ada masa di mana aku berharap aku hanya perlu menulis dan tugas lainnya dikerjakan orang lain. Supaya energiku nggak habis. Agar aku bisa menggunakan waktu untuk lebih banyak lagi membaca buku. Suatu saat mungkin akan tercapai, kalau bukuku laku sejuta kopi.

Ah, aku ingat sesuatu. Dosenku saat kuliah dulu, salah satu supervisorku saat aku mengerjakan undergraduate thesis, bertanya padaku mengenai penulisan dan penerbitan naskah fiksi. Aku merasa tersanjung, sebab ternyata ada orang yang mengamati perjalanan karierku sebagai seorang penulis dan merasa aku pantas untuk dimintai sedikit pengetahuan. Kepada beliau, dengan jujur aku mengatakan bahwa proses menulis, menerbitkan, mempromosikan dan seterusnya sangat melelahkan.

Bukan aku berniat menakut-nakuti penulis baru. Banyak penulis yang lebih baru dariku malah lebih terkenal dan mendapatkan pendapatan yang lebih besar, sehingga bisa mencari orang yang bisa membantu mereka untuk promosi dengan imbalan tertentu. Rezeki orang selalu berbeda dan aku tahu apa yang kudapatkan nggak mencerminkan apa yang orang lain akan dapatkan. Bisa jadi kalian viral di media sosial lalu menjadi populer dalam waktu satu malam. Atau satu bulan. Atau ada jalan lain.

Tahun depan, aku merasa aman jika aku berhenti menulis selama setengah tahun. Ada dua naskah yang bisa diterbitkan. Kalau rasa lelahku sudah hilang dan rasa rindu untuk menulis datang, aku akan mulai lagi.