Uncategorized

Jantungku Berdetak Untuk Siapa

Karya Ika Vihara

 

Suara pengamen yang menyanyi dengan suara seadanya, diiringi suara gitar yang dipetik ala kadarnya, ditingkahi suara tawa dua orang remaja, membuat tenda kaki lima ini semakin berisik saja. Azan Isya juga terdengar nyaring dari masjid di seberang tenda ini. Sepertinya aku memilih waktu yang salah untuk makan malam. Pengamen bersuara sumbang itu tetap tidak mau diam, bahkan seperti ingin mengalahkan suara azan. Sambil menyodorkan kantong bekas permen. Dua orang remaja memasukkan receh sambil masih tertawa-tawa.

Aku tidak lapar. Tadi aku hanya berjalan kaki menghabiskan waktu sepulang bekerja. Lalu memutuskan mampir makan nasi goreng di tenda kecil di samping minimarket dua puluh empat jam.

Saat aku sedang menimbang-nimbang hendak makan apa, kurasakan ponsel di dalam tasku bergetar. Aku memperhatikan nama yang muncul di layar. Dia. Orang terakhir di muka bumi yang ingin kuajak bicara malam ini. Atau selamanya. Aku menarik napas berat sebelum memutuskan akan menjawab atau tidak.

Tetapi aku merindukannya. Aku ingin mendengar suaranya.

“Berisiknya. Kamu di mana?” Tanyanya setelah aku mengatakan halo dengan suara yang sedemikian pelan.

“Makan. Warung.” Aku menjawab pendek-pendek.

“Sama siapa?”

“Sendiri.”

“Kok sendiri? Kamu kenapa?”

Karena aku lebih suka menjalani hidupku sendiri, tanpa risiko patah hati.

Aku hanya menggumam,”Nggak papa.”

“Tunggu di situ ya!”

Jangan pernah menemuiku lagi. Ingin aku berteriak keras di telinganya. Tetapi panggilang sudah berakhir. Dan seperti yang selalu kulakukan selama ini, aku menunggunya. Kalau dia memintaku menunggunya, aku akan melakukannya.

Makanan di depanku tidak lagi menyita perhatianku. Karena aku sibuk memikirkan apa yang akan kukatakan saat dia tiba di sini nanti. Apakah aku harus meminta maaf, walaupun aku tidak bersalah? Sepuluh menit kemudian aku melihat mobilnya berhenti di seberang warung.

Aku menghela napas, mengunyah pelan nasi gorengku. Khas nasi goreng pinggir jalan; keras, berwarna merah saus, dengan rasa vetsin yang mendominasi.

“Hei.” Dengan tenang dia duduk di kursi plastik di depanku. Lalu menatapku lekat-lekat.

Aku menunduk, berusaha menyibukkan diri dengan mencari suwiran ayam di gundukan nasi goreng di piringku. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Susah sekali.

“Kenapa kok diam aja? Kamu marah?” Tanyanya.

Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.

“Dua hari ini kamu diam. Nggak pernah mau ngomong sama aku. Aku salah apa?”

Aku meletakkan sendok dan garpuku, batal menyuap acar bersama nasi gorengku.

“Aku malu. Hari Kamis itu seharusnya aku nggak marah-marah sama kamu. Walaupun….” Tiba-tiba kerongkonganku tersekat oleh rasa sakit yang balik menghujam bahkan sebelum kata-kata itu keluar dari bibirku. “Aku nggak punya hak buat mengatur hidupmu. Aku bukan siapa-siapa. Aku malu, aku merasa aku… lancang.”

Seminggu yang lalu aku memarahinya, bahkan meneriakinya. Sebab dia mengatakan dia akan berangkat road trip. Selama enam belas jam. Padahal malam itu dia mengerjakan tesis sampai dini hari. Keesokan paginya dia tidak pergi ke kantor karena sakit kepala.

“Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Katanya waktu itu.

Sejak saat itu aku tidak bicara dengannya. Siapa aku ini, sampai mengatu-atur hidupnya. Bukan tempatku untuk mengkhawatirkannya. Karena seperti yang kubilang, aku bukan siapa-siapanya.

“Kamu nggak habis makannya?” Dia mengambil sendok, dan memakan nasi goreng di piringku.

Kenyataan bahwa dia kembali dengan selamat, tidak kurang satu apapun membuatku sedikit lega. Mungkin dia benar. Dia tidak memerlukanku untuk mencemaskannya. Mungkin juga dia sudah melupakan tingkahku yang tidak masuk akal minggu lalu.

“Kapan kamu ke Semeru?” Nasi goreng di piringku sudah separuh habis, berpindah ke perutnya.

Dia menatapku lekat-lekat, mungkin bertanya-tanya bagaimana aku tahu rencananya, padahal dia belum menceritakannya padaku.

“Hari Kamis pagi minggu depan.”

Aku tersenyum. Kali ini aku tak akan berkomentar apa-apa. Karena aku sudah semakin menyadari posisiku dalam hidupnya. Hanya karena dia baik padaku, bukan berarti aku adalah orang yang istimewa. Baginya, aku hanyalah orang yang tak sengaja dikenalnya tiga bulan yang lalu.

“Besok temani aku ya. Beli peralatan hiking,” pintanya sebelum beranjak untuk membayar nasi gorengku, yang sudah tandas dan menyisakan dua buah cabe hijau saja.

Kami berjalan bersisian menyeberang jalan raya.

“Aku senang kamu mengkhawatirkanku waktu itu. Kamu nggak perlu merasa bersalah. Katakan saja semua yang ingin kamu katakana padaku. Kalau kamu marah, kalau kamu nggak setuju, kalau kamu senang, apa saja. Aku selalu senang mendengarnya karena….”

Aku urung membuka pintu mobil dan menoleh ke arahnya.

“Karena kamu… berarti,” lanjutnya.

 

***

 

“Aku sudah mau naik ke Semeru.” Setelah membaca satu kalimat di layar ponselku, aku kembali melamun.

Aku selalu menyangkal kenyataan bahwa aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Di antara persahabatan kami. Karena aku tahu dia menganggapku tak lebih dari teman berbagi cerita.

Malam-malam setelah lelah kerja, sudah mati gaya tapi belum mengantuk juga, kami akan berbagi kutipan dari buku biografi Einstein, idola kami karena sama-sama orang teknik, lantas menghubungkan dengan ketololan-ketololan yang kami lakukan selama ini. Atau dia bermain gitar, dan aku menyanyi. Biasanya kami mencoba lagu-lagu baru. Atau dia menceritakan aibnya, kejadian paling memalukan dalam hidupnya, dan dia bersumpah belum pernah menceritakannya kepada siapapun juga. Lalu aku terbahak-bahak mendengarnya.

”Aku bahkan rela nyeritain aibku,  buat bikin kamu tertawa,” katanya setelah tawaku reda.

Pada akhir pekan aku menungguinya membongkar motor tua. Dia menjelaskan benda apa saja di tangannya, dan aku mendengarkan dengan senang hati. Atau dia bekerja sambil mendengarkan aku bercerita mengenai podcast yang kudengarkan hari ini.

Pernah juga tiba-tiba, pada suatu hari Minggu, dia datang ke rumahku dan menarik tanganku dengan tergesa.

“Ikut aku ke pasar situ yuk.”

“Mau ngapain?”

“Beli cupang.”

“Hah? Cupang yang ikan itu?”

“Iya. Ikan yang paling kuat. Kutinggal pergi beberapa hari saja tetap hidup. Mau ikut?”

Aku mengangguk. Jadilah lima belas menit kemudian aku asyik mengamati ikan-ikan berenang ke sana kemari sementara dia mengobrol dengan penjualnya.

“Dory!” seruku ketika melihat ikan berwarna biru, di dalam kantong plastik bening yang menggantung di depan mataku.

When life gets you down, keep swimming.” Dia berdiri di sebelahku, menyentuh plastik berisi ikan mirip Dory yang sedang berenang dan mengutip salah satu percakapan di film Finding Nemo.

“Aku nggak bisa berenang,” jawabku saat itu.

I’ll have you a ride.”

Aku tertawa mendengarnya.

“Aku lebih suka Marlyn.” Aku menunjuk ikan berwarna oranye di depanku.

Saat kami meninggalkan pasar, dia menyerahkan kantung plastik berisi ikan berwarna jingga. Yang kurawat seperti aku merawat diriku sendiri hingga saat ini. Yang selalu kupandangi saat aku merindukannya.

Hatiku menyemai harapan. Berharap hanya kepadakulah dia membagi suka dan dukanya. Walau seringkali keraguan datang menerpaku. Tak mungkin itu terjadi. Laki-laki sepertinya pasti banyak memiliki banyak teman wanita. Yang dengan senang hati menghabiskan waktu dengannya.

Sering aku bertanya-tanya, apakah suatu hari nanti dia akan memandangku lebih dari sekadar teman. Sebagai seorang kekasih yang selalu ada untuknya. Kesadaran baru lalu menghantamku. Aku tidak cukup cantik, aku tidak cukup menarik, dan tidak cukup hebat untuk menjadi seseorang yang istimewa dalam hidupnya.

Perutku mencelos melihat unggahan media sosialnya. Miss you. Aku membaca tulisan di sana. Sayangnya aku tak punya cukup keberanian untuk menanyakan siapa yang dia rindukan.

Aku tidak bernah merasa segelisah ini dalam hidupku. Sampai kadang aku menyalahkan takdir, yang membuatku bertemu dan berkenalan dengannya.

 

***

 

Aku mengeraskan volume musik di telingaku saat berjalan pelan melintasi garbarata. Di sekelilingku, sebagian orang berjalan sembari bercengkerama, sebagian lainnya tergesa. Mungkin orang tercinta sudah menunggu di terminal kedatangan bandara. Ini perjalanan ketujuhbelasku pada tahun ini. Perjalanan yang sekarang kulakukan seorang diri.

Sendiri. Satu kata ini terus mencekikku tiada henti. Aku menghela napas. Jam di ponselku menunjukkan pukul 21.00. Waktu Indonesia Barat. Biasanya aku melewatkannya dengan terjaga merindukannya. Hingga sesak dadaku.

Dia laksana mimpi indah, singgah sebentar dalam tidurku, lalu menghilang tanpa ada buktinya. Hanya kenangan samar akan mimpi itu yang kupunya saat aku terjaga.

Aku berdiri di samping conveyor belt menunggu koperku meluncur di depanku. Ponselku bergetar halus di saku jaket.

“Ya, Ka….” Sapaku setelah mengecek siapa yang menelpon.

“Di mana, Jas?”

“Di bandara. Sudah mendarat.” Aku mengambil koperku. “Aku naik taksi aja, Ka. SMS alamatmu, tunggu aku di sana.”

“Padahal nggak papa kalau aku jemput di bandara.”

“Ini sudah di taksi, Ka. SMS alamatmu ya. See you soon.” Aku memutus sambungan dan mengantre taksi.

Aku merapatkan jaketku. Bukan angin malam yang membuat tulang-tulangku ngilu. Tetapi ketidakhadirannya. Beberapa kali kami melakukan perjalanan bersama. Apakah semua itu akan terulang lagi?

Aku menggelengkan kepala. Melarang diriku berandai-andai.

Di dalam taksi aku memejamkan mata. Perlu waktu dua jam untuk sampai di ujung timur Surabaya. Aku menggenggam erat ponselku. Di tengah rasa lelah dan pusingnya kepala menahan keinginan untuk menangis, aku tertidur.

Begitu terbangun, aku melihat Saka melambaikan tangan dan tersenyum lebar. Dia menyambutku, yang tengah berusaha mengenyahkan bayangan orang itu. Yang sudah lebih dari satu tahun ini mengabaikanku.

“Hai, Ka.” Aku tersenyum dan mengizinkan Saka membawakan koperku.

Aku berusaha ceria demi teman baikku ini. “Thank you.”

“Sudah siap jalan-jalan malam ini?” Saka tertawa lebar sambil menyuruhku duduk di kursi tamu.

“Aku nginap di mana?” Ada yang lebih penting daripada jalan-jalan menghabiskan malam di Surabaya.

“Itu sudah dipesan. Sudah beres.”

Tanpa kusadari, aku kembali menghela napas, seolah-olah beban kenangan itu terlalu keras menghimpitku. Dan mengikutiku ke mana saja aku menuju. Padahal aku ke sini karena ingin meninggalkan sosoknya dan segala tentangnya jauh di seberang laut sana.

“Besok makan di warung pelangi, ya, Jas.”

“Pelangi? Di mana?” Aku mengernyit bingung. Aku pernah tinggal di Surabaya selama lebih dari empat tahun, tapi tidak pernah mendengar nama warung Pelangi.

“Di matamu.”

Untuk pertama kalinya dalam satu tahun ini, aku tertawa lepas menanggapi gurauan Saka. Satu tahun yang kuhabiskan dengan sia-sia, karena aku terus mengingat dan menangisi orang itu. Dalam satu tahun ini, aku mengerti apa artinya malam yang terasa panjang. Malam yang kuisi dengan bergerak-gerak gelisah tanpa kutahu kapan aku akan bisa memejamkan mata dan sejenak melupakan dunia.

Ajakan Saka, teman baikku saat kuliah dulu, untuk menghabiskan akhir pekan di Surabaya, adalah kabar baik bagi hatiku yang tersisa separuh ini. Separuhnya lagi terbawa orang yang memilih menghindariku itu. Tanpa kutahu apa alasannya.

Tetapi dia ada di hati dan kepalaku. Seharusnya itu sudah cukup membuatku merasa tak sendirian lagi kan?

“Kenapa wajah kamu mendung begitu, Jas?”

Pertanyaan Saka sama dengan yang sering kutanyakan pada diriku sendiri. Dan aku tak pernah bisa menjelaskan.

“Ada yang mematahkan hatimu?”

Aku tertawa getir. “Dia nggak salah apa-apa. Akulah yang terlalu berani berharap, padahal dia … dia di luar jangkauanku.”

“Ada orang yang menerimamu dengan semua kekurangan dan kelebihanmu.” Saka berdiri tegak di depanku.

Baru kusadari Saka tinggi sekali. Wajahku berjarak tidak lebih dari sepuluh centimeter dari dada Saka. Di malam yang sangat hening ini, aku bisa mendengar suara detak jantungnya. Yang sangat kencang menembus dadanya.

Detik ini juga aku tahu jantung Saka berdetak untuk siapa. Untukku.

Lalu jantungku? Berdetak untuk siapa?

END

Cerpen ini ditulis untuk mengikuti seleksi Kampus Fiksi tahun 2016

Thing That Makes Me Happy

Jangan Pernah Hapus Naskahmu!

 

Seperti yang kukatakan dalam novel Savara, ditolak merupakan salah satu ketakutan terbesar manusia. Saat melamar kerja atau minta izin kepada orangtua, pasti dalam hati tebersit kekhawatiran bagaimana nanti kalau tidak diterima atau tidak diizinkan. Meskipun sudah sering ditolak berkali-kali, tetap saja hati kita nggak akan pernah siap 100% untuk legowo menerima penolakan berikutnya. Berbagai macam cara kita lakukan untuk menghibur diri bahwa kejadian itu bukan akhir dari segalanya. Masih ada hari esok dan ketika kita berusaha, hasil yang akan kita peroleh akan lebih baik.

Ketika memutuskan untuk menjadi penulis, aku tahu bahwa naskah ditolak penerbit adalah salah satu tahapan yang harus kulalui—dan mungkin sebagian besar penulis lain—dan nggak bisa kuhindari. Begitu bangga dan bahagianya aku menyelesaikan satu naskah, yang menurutku bagus, aku segera menulis sinopsis dan proposal. Harap-harap cemas menunggu berbulan-bulan dan aku mendapat e-mail yang menyatakan bahwa penerbit tidak bisa menerbitkan naskahku. Dua minggu aku mencoba berdamai dengan penolakan pertamaku. Setelah itu aku membaca ulang semuanya dan membuat perbaikan. Juga belajar membuat sinopsis. Plus mendaftar ikut pelatihan menulis. Setelah itu, masih juga naskahku ditolak di sana-sini. Satu setengah tahun berlalu untuk proses menunggu dan berharap ini.

Menyerah bukan pilihan. Aku mengistirahatkan naskah tersebut dan menulis naskah baru. Setelah yakin dan mendapat saran dari teman sesama penulis, kukirimkan kepada penerbit. Setelah menunggu tiga bulan, akhirnya diterima. My Bittersweet Marriage, buku pertamaku, terbit juga.  Editor memintaku untuk menyiapkan buku berikutnya dan aku mulai menyusun ancang-ancang untuk menulis lagi. Tentu saja naskah itu nantinya diterbitkan sebagai buku keduaku, When Love Is Not Enough.

Meski sudah bernaung di bawah satu penerbit, aku masih rajin mengirimkan naskah ke penerbit lain. Sudah punya basis pembaca dan pernah menerbitkan buku bukan jaminan naskah akan mudah diterima. Aku masih tetap ditolak-tolak juga. Seperti sebelumnya, naskah-naskah yang ditolak kusimpan dengan baik. Selain itu aku juga rajin ikut lomba menulis. Naskah-naskah yang tidak menang, aku simpan juga.

Aku tahu ada beberapa orang yang memutuskan menghapus naskah mereka karena terlalu menyakitkan melihat bukti kegagalan tersebut. Atau sebagai bentuk pelampiasan dari rasa kesal. Bisa juga karena menganggap karya yang mereka hasilkan nggak berharga. Kalau kalian ingin melakukan hal yang sama, JANGAN! Kalau sudah terlanjur melakukan, JANGAN LAGI!

Ketahuilah, berdasarkan pengalamanku, kalau kita yakin naskah kita bagus, alasan ditolaknya naskah kita bukan karena jelek. Tapi tak sesuai dengan yang dicari penerbit. Pada saat itu. Suatu saat nanti bisa jadi ada perubahan pada warna naskah yang dicari. Aku percaya setiap naskah punya rezeki masing-masing. Naskah-naskahku yang dulu ditolak itu, kini dua naskah sudah diterbitkan. Dengan tetap mengusahakan segala cara tentu saja. Bahkan aku pernah ikut acara bincang kepenulisan, kemudian ada teman yang aktif bergerak di bidang literasi mengenalkanku dengan seorang editor yang tengah. Setelah ngobrol, aku memberanikan diri minta nomor WhatsApp. Temanku sampai terkejut. Tapi karena dikasih, aku simpulkan beliau nggak keberatan. Bulan berikutnya aku mengirim pesan, bertanya apakah beliau mau membaca naskahku. Ternyata beliau suka dan semua mengalir sesuai keinginanku.

Pengalaman terbaruku, tahun 2018 lalu aku menulis naskah dan mengikutkan untuk lomba. Sayangnya naskahku tidak masuk dalam 5 terbaik. Hingga bulan ini, aku tidak memiliki rencana apa-apa untuk naskah tersebut. Sampai aku mengirimkan kepada Kak Jia Effendi dan beliau memberi kesempatan untuk naskah Surat Terakhir Dari Rovaniemi setelah membaca sinopsis dan isi naskah.

Bagaimana jadinya kalau naskah-naskah tersebut kulupakan atau kuhapus hanya karena aku sangat kecewa ditolak terus oleh penerbit? Pasti akan semakin lama lagi aku menerbitkan buku.

Sepanjang tahun 2013 hingga tahun 2019, aku banyak menulis naskah. Ada yang selesai. Sebagian besar tidak selesai. Hanya dapat lima atau enam bab, lantas macet. Tidak ada yang kuhapus. Karena semua naskah tersebut bisa didaur ulang. Ketika menulis naskah baru, aku cari-cari apakah ada bagian-bagian dari naskah lama—yang tidak terbit, yang tidak selesai—yang bisa kugunakan. Jadi aku tinggal salin dan tempel, cukup membantu mempercepat proses penulisan.

Aku pernah membaca tulisan Erin Bow. Katanya tidak ada tulisan yang sia-sia. Layaknya petani yang mengalami gagal panen karena tomatnya busuk semua dan memanfaatkan tomat tersebut sebagai pupuk. Atau pembuat keju yang mengepel lantai menggunakan air dadih sisa produksi. Tulisan kita juga sama. Selain terus mencari kesempatan untuk menerbitkan, kalian juga bisa menggunakan kembali bagian-bagian naskah untuk membuat sesuatu baru.

Punya naskah ‘belum berhasil’ seperti yang kusebutkan di atas? Rajin-rajinlah membaca dan mengingat garis besar isinya. Supaya ketika menulis naskah lagi, sudah tahu harus mencuplik yang mana. Supaya cepat nambah jumlah kata dan kita merasa ringan melanjutkan. Itu aku. Semakin semangat kalau melihat tulisanku sudah panjang. Ingin segera menulis kata tamat.

Jika kalian semua tengah berjuang menembus penerbit terbaik pilihan kalian, sedang sering-seringnya ditolak, selalu ingatlah bahwa kualitas tulisan kalian semakin meningkat bersama kegagalan-kegagalan tersebut. Asalkan kalian selalu ingat untuk terus mencari di mana kurangnya dan memperbaikinya. Yang penting lagi, jangan pernah berhenti. Tetaplah menulis meski pembaca kalian cuma satu: diri kalian sendiri.

Thing That Makes Me Happy

Berhenti Menulis

 

14 November 2018. Pukul 23.27. Aku mengatakan kepada seseorang bahwa aku ingin berhenti menulis. Seseorang tersebut tertawa, nggak menanggapi serius apa yang kukatakan. Dia hanya melambaikan tangan dan mengatakan, “I have a feeling after a few weeks you will reach out for the pen again. Writing runs in your blood.”

Aku sendiri nggak tahu kenapa aku sampai bisa mengeluarkan kalimat seperti itu. Seseorang tersebut selalu benar. Rasanya aku nggak bisa membayangkan aku akan menyebut diriku apa, selain penulis. Tanpa sebuah karya, aku hanya manusia biasa. Dan aku ingin menjadi lebih dari biasa.

Keinginan untuk berhenti menulis bukan muncul karena nggak ada yang mau membaca tulisanku. Bukan. Selama ini aku selalu bersyukur aku punya jumlah teman yang cukup banyak yang bersedia mengeluarkan uang untuk membeli bukuku. Sesuatu yang sungguh kuhargai. Banyak penulis lain yang lebih hebat dariku, yang lebih terkenal, tulisan mereka jaminan bagus, namun ternyata beberapa orang masih bersedia memberi kesempatan untuk tulisanku, penulis kemarin sore ini.

Aku ingin berhenti menulis bukan karena aku nggak punya ide lagi. Tabungan ideku masih banyak. Sebuku penuh. Bahkan saat mengatakan aku ingin berhenti, aku punya dua tabungan naskah. Satu sedang direviu oleh seorang editor independen, mantan editor di sebuah penerbit besar. Lainnya sedang kuendapkan. Writer’s block nggak pernah menjadi masalah bagiku.

Lantas kenapa aku ingin berhenti? Karena aku lelah. Menerbitkan buku memang menyenangkan. Tetapi pada waktu bersamaan, melelahkan. Lepas menulis, tugasku nggak selesai. Aku harus mencarikan bukuku rumah baru, di rak buku teman-teman sekalian. Iya, itu namanya promosi. Apa yang harus kulakukan untuk promosi sungguh menghabiskan energi. Aku membagikan cerita gratis untuk mengenalkan tulisanku, harus memikirkan bahan untuk diunggah di media sosial. Sebab pendapatanku sebagai penulis masih kecil–setelah dikurangi biaya riset dan sebagainya untuk menulis, aku nggak bisa menyewa fotografer atau media content creator. Semua kukerjakan sendiri. Pendapatan royalti kusisihkan untuk membeli laptop dengan double processor, tablet gambar, dan kamera yang bagus. Ada waktu-waktu yang harus kupakai untuk belajar Photoshop dan Illustrator secara mandiri. Untungnya banyak orang yang membagi ilmu melalui situs berbagi video maupun blog-blog.

Aku nggak pernah mengeluhkan proses tersebut selama ini, karena aku memang suka belajar hal baru. Tetapi karena aku manusia biasa, ada masa di mana aku berharap aku hanya perlu menulis dan tugas lainnya dikerjakan orang lain. Supaya energiku nggak habis. Agar aku bisa menggunakan waktu untuk lebih banyak lagi membaca buku. Suatu saat mungkin akan tercapai, kalau bukuku laku sejuta kopi.

Ah, aku ingat sesuatu. Dosenku saat kuliah dulu, salah satu supervisorku saat aku mengerjakan undergraduate thesis, bertanya padaku mengenai penulisan dan penerbitan naskah fiksi. Aku merasa tersanjung, sebab ternyata ada orang yang mengamati perjalanan karierku sebagai seorang penulis dan merasa aku pantas untuk dimintai sedikit pengetahuan. Kepada beliau, dengan jujur aku mengatakan bahwa proses menulis, menerbitkan, mempromosikan dan seterusnya sangat melelahkan.

Bukan aku berniat menakut-nakuti penulis baru. Banyak penulis yang lebih baru dariku malah lebih terkenal dan mendapatkan pendapatan yang lebih besar, sehingga bisa mencari orang yang bisa membantu mereka untuk promosi dengan imbalan tertentu. Rezeki orang selalu berbeda dan aku tahu apa yang kudapatkan nggak mencerminkan apa yang orang lain akan dapatkan. Bisa jadi kalian viral di media sosial lalu menjadi populer dalam waktu satu malam. Atau satu bulan. Atau ada jalan lain.

Tahun depan, aku merasa aman jika aku berhenti menulis selama setengah tahun. Ada dua naskah yang bisa diterbitkan. Kalau rasa lelahku sudah hilang dan rasa rindu untuk menulis datang, aku akan mulai lagi.

 

 

Thing That Makes Me Happy

Di Balik The Dance of Love

Beberapa waktu yang lalu, seminggu sekali aku sempat mengunggah cerita The Dance of Love di sini. Kemudian, terhenti. Alasannya sepele dan lazim banget. Macet di tengah jalan. Aku nggak tahu gimana aku harus melanjutkannya. Bisa jadi karena aku salah start. Atau mungkin karena aku nggak bisa mengikuti outline yang kubikin. Kalau aku boleh menyebut, saat itu aku mengalami konstipasi dalam menulis. Di kepalaku ada banyak hal yang ingin kutulis, tapi meski kupaksa semua itu keluar dari kepalaku, tetap tidak bisa. Mirip seperti orang yang kesulitan, sorry, buang air besar.

Sebenarnya itu bukan kali pertama aku menulis cerita The Dance of Love. Dulu juga sempat pernah kutulis dan kuunggah. Nggak sanggup lanjut juga. Niatnya saat menulis cerita tersebut, aku ingin konsisten menulis seminggu dua ribu hingga tiga ribu kata. Nanti, dua puluh minggu kemudian, atau lima bulan, aku akan punya satu naskah utuh.

Tetapi itu semua nggak akan pernah terjadi. Sebab aku malah menunda-nunda menyelesaikan naskah. Hari Senin, kupikir besok aja, hari ini sudah capek. Besok malamnya, aku punya alasan lagi untuk menunda menulis. Begitu terus, malah akhirnya nggak nulis apa-apa.

Kemudian, aku memutuskan untuk kembali ke jadwal menulisku yang sebelumnya. Seperti ketika aku menulis My Bittersweet Marriage, When Love Is Not Enough, Bellamia, Midsommar, dan buku-bukuku yang lain. Dengan cara menulis setiap malam, sebanyak yang kubisa. Dalam waktu dua puluh hingga tiga puluh hari, The Dance of Love tersebut harus selesai.

Aku memulai menulis dari nol. Kurombak dari outline, deskripsi tokoh, semuanya. Tidak ada sedikit pun dari dua naskah terdahulu yang kupakai. Benar-benar kuawali dari halaman putih kosong. Berkali-kali aku bengong di depan laptop dan membatin, aduh apa lagi yang harus kutulis, bisa nggak aku menghasilkan seribu kata malam ini, dan macam-macam lagi.

Marathon menulis naskah seperti itu ada risikonya. Bisa bikin frustrasi karena kita seperti membuat diri kita sendiri dikejar deadline. Kalau sudah frustrasi, biasanya kata dan kalimat sulit sekali keluar. Atau kalau bisa, nggak akan natural. Cara menyiasatinya, begitu mulai tertekan, aku tinggalkan laptopku. Lalu ngobrol dengan keluarga, chatting dengan teman-teman,  nonton streaming badminton, membaca buku, dan cuma duduk-duduk di teras. Selama menulis, aku hampir menghilang dari media sosial, cuma muncul beberapa hari sekali untuk update.

Apa naskah The Dance of Love berhasil kuselesaikan? Ya, dalam waktu dua puluh satu hari. Hanya saja, aku merasa nggak puas. Seperti biasa. Setelah kuendapkan selama seminggu, aku membukanya lagi dan membaca ulang. Paragraf pembuka sudah pasti kuperbaiki. Lalu beberapa bagian di bagian tengah dan akhir.

Masih saja aku merasa nggak yakin dengan naskah tersebut. Rasanya aku banyak menulis paragraf deskriptif dan naratif. Meskipun kalimat-kalimat yang kubikin sudah lincah dan paragraf tersebut berperan mengalirkan cerita, aku agak ragu. Karena aku ingat, dulu aku pernah mengirim naskah ke penerbit, aku diminta untuk mengganti paragraf semacam itu dengan dialog. Alasannya sebab pembaca lebih suka buku yang banyak dialognya. Gundahlah diriku.

Tetapi alhamdulillah, aku punya guru dan panutanku, seorang editor yang hebat, Mbak Tari, yang bersedia membaca naskah tersebut dan memberiku masukan. Beliau belum mengirim balik naskah The Dance of Love kepadaku, tetapi sudah menyebut di status Facebook-nya bahwa …. she loves it.

Apakah aku akan mengunggah The Dance of Love di sini? Insyaallah, jika aku sudah menerima lagi naskahku dan masukan dari Mbak Tari sudah kulakasanakan.

Thing That Makes Me Happy

THING THAT MAKES ME HAPPY (2): HEARTFELT MESSAGE

 

Is it wonderful that my books will have traveled farther than I have?

Or … frightening?

Sampai pada titik ini, aku tahu bahwa lebih mudah untuk berhenti menulis daripada menjaga kebiasaan baik tersebut. Iya, bagiku menulis adalah sebuah kebiasaan, bukan pekerjaan, bukan pula hobi. Sebuah kegiatan, sebelum disebut sebagai kebiasaan, harus dilakukan dulu berulang-ulang. Aku tidak tahu apa yang kutulis, tapi aku tetap menulis. Mau nanti ada hasilnya–diterbitkan–atau tidak–teronggok saja–namanya kebiasaan akan selalu kulakukan. Karena itu, tiga tahun sejak aku menulis kalimat pertamaku, aku berada di posisi yang berbeda, a well-practiced-writer.

Seperti kusebutkan dalam bukuku When Love Is Not Enough, aku tidak pernah sendirian dalam menulis sebuah buku. Ada banyak sekali orang yang membantuku. Yang paling berperan besar adalah teman-teman semua yang membaca bukuku dan menunggu buku selanjutnya. Tanpa kalian, aku tidak akan pernah sampai pada Midsommar dan Midnatt.

Bersama dengan jauhnya perjalanan bukuku ke tempat-tempat yang belum pernah kukunjungi, aku mendapatkan banyak teman yang belum pernah kutemui. Tapi tidak masalah. Definisi teman jauh lebih dalam daripada itu. Bagiku semua yang telah membaca bukuku adalah temanku. Yang paling membuatku bahagia adalah, jika teman-temanku mengirimkan sebaris atau dua baris kalimat melalui media sosialku, e-mail, atau LINE dan WhatsApp.

Setiap kali aku merasa ingin berhenti menulis, aku membaca kembali pesan-pesan dari teman-teman. Aku ingin berhenti menulis bukan karena malas atau apa. Tapi karena aku merasa upayaku untuk memberi perubahan baik pada dunia, melalui tulisan, tidak akan pernah ada gunanya. Apa kontribusiku, orang yang menulis 350 halaman buku, akan ada pengaruhnya bagi kehidupan lebih dari tujuh miliar penduduk bumi? Dari situ aku sering berpikir bahwa diriku kecil sekali dan aku tidak akan bisa berbuat banyak.

Pesan dari teman-teman membuatku memiliki tujuan baru. Aku tidak perlu mengubah dunia, karena belum bisa. Tapi aku bisa membuat perubahan baik pada hidup beberapa orang. Yang membaca bukuku, tentu saja. Orang yang tadinya tidak tahu mengenai Aarhus, Lund, Seasonal Affective Dissorder, dan sebagainya yang kujelaskan di novelku, menjadi tahu. Yang tadinya tidak begitu tertarik dengan dunia STEM(Science, Technology, Engineering, and Mathematics), sekarang mulai banyak yang berdiskusi denganku. Yang mulanya tidak percaya bahwa pendidikanlah yang mengubah hidup kita, bukan menikah dengan orang kaya, sekarang beberapa sudah menyampaikan bahwa mereka berhasil kuliah di tempat-tempat jauh seperti Afnan, Lilja, Mikkel, atau Dinar, dari novel-novelku.

Bukuku adalah hidupku. Aku ingin sekali hidupku bermanfaat bagi orang lain, sekecil apa pun itu. Dan aku bahagia ketika teman-teman menceritakan kebaikan yang didapat dari bukuku. Semua lebih berharga daripada status best seller, kurasa.

Ah, aku jadi ingat, tadi malam di Instagram, ada yang mengunggah semua foto bukuku yang sudah dan sedang dia baca, dan dalam caption-nya, Mbak Maya mengatakan bahwa rezeki tidak hanya berupa materi, tetapi ada bentuk lain, salah satunya: teman. Aku seratus persen menyetujui. Teman-teman semua alah rezeki paling berharga yang akan selalu kusyukuri–supaya ditambah–dan sampai kapan pun teman-teman akan selalu menjadi harta yang paling berharga dalam hidupku. Terima kasih sudah berteman denganku selama ini.

We are never far apart. Since friendship doesn’t count  miles, it is measured by heart.

 

My Bookshelf

WRITING HANGOVER

Hangover. Aku nggak tahu dalam bahasa Indonesia dialihbahasakan menjadi kata apa. Di luar negeri, orang mengalami hangover setelah kebanyakan minum alkohol. Malam mereka mabuk, lalu tidur dan paginya pusing, lemes, bingung–ini yang disebut hangover. Katanya, kalau tidur–setelah mabuk–cukup lama, nggak akan kena hangover parah. Tapi meski kita nggak minum, kita juga bisa kena ‘hangover‘ di berbagai aspek kehidupan. Book hangover, kita baca buku yang bagus banget sampai beberapa hari kita cuma pengen membayang-bayangkan apa yang sudah kita baca, kita baca ulang, dan nggak ada niat buat melakukan hal lain. Diajak temen ke mall aja males, soalnya lebih pengen melamu. Cara menyembuhkannya sama seperti alcohol hangover, dibiarkan saja beberapa hari. Nanti setelah otak dan tubuh kita pulih, kita baca buku lagi. Kalau ketemu buku yang bagus.

Sekarang ini, aku mengalami hangover lain. WRITING HANGOVER. Kalau menyelesaikan naskah dan menerbitkannya adalah proses drinking–alias mabok, setelahnya aku hangover. Seperti sekarang, aku mengalami Bellamia hangover. Setelah berbulan-bulan bergulat dengan naskah dan buku Bellamia, susah sekali buatku untuk keluar dari karakter Gavin. Setiap nyoba nulis, yang keluar Gavin lagi Gavin lagi. Warna tulisanku juga mirip-mirip Bellamia. Tulisanku disorientasi, persis seperti orang hangover setelah mabok parah.

Kalau ada penulis yang ‘istirahat’ nulis lama, mungkin dia sedang hangover. Nggak tahu harus nulis apa setelah buku terbarunya terbit. Itu wajar dan lumrah. Tapi aku nggak mau hangover lama, sampai setahun atau lebih begitu. Dua tiga bulan cukuplah, kalau memungkinkan.

Sebagai penulis–kemarin sore–pasti kita ingin nulis sesuatu yang berbeda. Kalau nggak bisa berbeda daripada penulis lain, paling nggak berbeda dari buku kita sebelumnya. Jangankan pembaca, aku aja bosan nulisnya kalau seperti itu. Kalau sudah sukses dengan cerita model A, biasanya penulis bikin yang semodel, karena main aman:pembaca suka. Tulisan hangover. Kalau aku sebagai pembaca, ya aku cari buku lainlah. Ngapain baca cerita yang mirip. Tapi sekarang makin susah cari buku yang seger dan beda.

Anyway, balik lagi ke writing hangover. Yang pertama kulakukan adalah membaca buku. Kubeli buku lucu seperti Pants Are Everything, nggak ngangak juga. Masih mabok Gavin. Buku yang serius, seperti Without Their Permission–malah pingin mabok Dinar. Kuaduk-aduk terus segmen biografi. Sekalian riset buat karakter di naskah selanjutnya. Sekali terpuk dua lalat. Karena waktu yang tersedia buat nulis dan baca, nggak banyak. Dan aku nggak bisa menulis kalau nggak banyak membaca. Banyaakkk banget. Setelah baca dua buku penuh–sebulan, aku bisa lepas dari hangover dan bisa nulis lagi. Tanpa teringat Gavin seperti apa.

Setelah nggak begitu hangover lagi, aku nulis naskah ‘jembatan’. Perantara antara Bellamia dan buku selanjutnya–cerita tentang Savara dan cerita tentang Mikkel Moller. Setuju sama dua cerita itu? Jembatan yang kupilih adalah Midsommar, prequel Mikkel, cerita dia saat masih pacaran. Karena rencananya cerita ini bakal ada dalam marriage lit seperti My Bittersweeet Marriage dan When Love Is Not Enough. Midommar mungkin bakalan ada sedikit-sedikit bagian yang mirip sama Bellamia dan Gavin-nya. Tapi nggak papa, yang penting saat ngerjain buku yang sesungguhnya, Midnatt, aku sudah keluar dari pengaruh Bellamia dan Gavin. Savara sudah kuselesaikan sebelum Bellamia, tinggal perbaikan di sana-sini dan kurasa Bellamia nggak akan mempengaruhi.

Dan Midsommar bisa dibaca gratis, seperti halnya naskah ‘jembatan’-ku yang lain. Link ada di bawah.

P.S: Aku juga punya sebuah rencana, yang sampai sekarang masih belum kuketahui bakalan bikin temen-temen seneng atau … nggak. Tunggu saja kaabr dariku, semoga dalam waktu dekat.

 

Link buat baca gratis naskah ‘jembatan’-ku:

Midsommar karya Ika Vihara

The Danis Boss karya Ika Vihara

Link baca gratis terkait:

Bellamia karya Ika Vihara

Geek Play Love karya Ika Vihara

My Bookshelf

WRITER’S BLOCK? GAYA-GAYAAN AJA

Judul tersebut adalah pendapatku. Menurutku yang suka nulis status di sosmed bahwa dia sedang mengalami writer’s block itu cuma sedang gaya aja. Biar kelihatan hebat? Ya malah enggak. Kalau hebat ya lancar nulisnya. Kalau ngeluh kena writer’s block mah ya….. MALES itu namanya. Gak perlu dikeren-kerenin.

Meski aku penulis newbie, yang baru nerbitin buku tahun 2016 bulan Maret, yha buku pertamaku adalah MY BITTERSWEET MARRIAGE(<<klik untuk tahu apa itu) terbit melalui Elex Media, tapi aku sering dapat  pertanyaan ini. Gimana cara mengatasi writer’s block. Jawabanku selalu ‘nggak tahu’. Karena belum pernah mengalami.

Apa aku pernah kesulitan ngerjain suatu project menulis? JAWABANNYA SERING. Aku sering bongkar-pasang naskah karena menemui jalan terjal untuk menyelesaikannya. Naskah Midsommar, cerita berikutnya soal The Mollers, kali ini Mikkel, sampai sebanyak ini filenya. Kukerjakan dari tahun lalu.

Tapi apa aku menyebut itu sebagai writer’s block? Nggak sama sekali. Itu cuma karena aku kurang ‘engage’ atau ‘kawin’ dengan jalan cerita, tokoh, dan hal-hal pelengkap. Biasanya setiap kali menyelesaikan satu outline, aku punya rasa penasaran dalam diriku, misal aduh gak sabar mau baca seperti apa konfliknya, seperti apa ending-nya. Karena pengen cepert baca, makanya aku cepet selesaikan nulisnya. Enaknya jadi aku, yang nulis, kalau aku kurang suka dengan konflik atau ending, aku bisa ganti. Kalau pembaca, ya silakan nikmati apa yang diberikan penulis heheheheh.

Percaya pada sesuatu bernama writer’s block itu sama saja percaya dengan kunang-kunang adalah kuku orang mati. Dulu waktu masih kecil, belum ngerti, aku ngeri sendiri tiap ditakut-takutin temanku ketika lihat kunang-kunang. Aku lahir dan besar di desa dan dulu banyak hewan mengesankan itu. Dan sekarang, aku nggak takut sama mitos begituan. Aku malah nunggu-nunggu kapan kunang-kunang datang. Sama aja dengan writer’s block. Ketika belum ngerti dulu ya kukira itu adalah kiamat bagi seorang penulis. Tapi setelah ngerti … it is just a myth. It doesn’t exist.

Tapi, Kak Ika, tetep aja saat nulis kadang aku merasa nggak bisa melanjutkan. Itu gimana, Kak? Analisa saja nggak bisanya karena apa. Karena kurang bahan untuk ditulis? Silakan riset lagi. Karena kurang menguasai ide sehingga gak yakin? Ganti, tulis apa yang dekat dengan kita, apa yang kita kuasai. Karena kamu kurang cinta dengan jalan ceritanya? Revisi. Karena kamu kurang bisa menjiwai tokoh-tokoh dalam ceritamu? Hidupkan mereka dalam kepalamu setiap saat, misal ketika makan bakso bayangkan kalau Mikkel dan Lil yang duduk di sini, mereka bakal ngapain aja dan ngobrolin apa.

Bukan itu semua? Itu bisa jadi karena jenuh. Lho kalau cinta sama menulis, kalau memang nulis itu passion kita, mana mungkin kita bosan? Megabintang sepakbola kayak Cristiano Ronaldo itu nggak latihan skill dan fisik terus. Dia juga punya hobi lain. Pergi liburan juga. Karena memang kita perlu penyegaran. Rehat. Jadi, meski bukan liburan ke Bahama seperti Ronaldo, kita bisa juga melakukannya dengan biaya yang lebih murah.

Baca Buku

Ini cara paling efektif untuk mengatasi mitos tersebut. Manfaatnya banyak. Pertama, menghibur. Kedua, menyegarkan otak. Ketiga, menginspirasi. Keempat, merangsang kita untuk berpikir. Kelima, kalau pilih buku yang tepat bisa sekalian riset pustaka. Dan banyak lagi. Tapi kalau mau dapat semua manfaat itu sekaligus: pilih buku yang bagus. Buku yang bagus itu buku yang kalau kita baca, kita pengen nulis. Sebagus buku yang sedang kita baca.

Piknik

Royalti belum turun, nggak bisa ke Bali. Ya piknik aja di ruang terbuka hijau di dekat rumah. Kalau saranku, pikniknya di luar ruangan. Yang kena udara bebas. Nggak usah bawa gadget. Bawa buku boleh. Karena dalam buku The Courage To Be Creative yang kubaca, di situ disebutkan

Your insights my come through other connections with nature.

Modern research corroborates the link between natural surroundings and creativity. One study found that ‘interacting with nature has real, measurable benefits to creative problem solving’ increasing performance by a full 50 percent.

Udara segar dan pemandangan yang bagus itu membuat stres berkurang. Apalagi kalau dinikmati sambil jalan kaki. Merenung yang paling baik itu sambil melangkah, atau berjalan. Makanya penemu seperti Tesla, panutan Gavin di Bellamia, setiap hari berjalan 10 km karena memang pada saat itu bisa berpikir lebih baik.

Lalu masih dari buku yang sama, dengan jalan-jalan menikmati alam, kita akan daat kejutan tak terduga dari … alam–sumber inspirasi terbesar kita. Mungkin kita akan dapat sudut pandang baru. Atau inspirasi bahkan.

You may find a particular place or object that inspires you. It might be an old oak tree that seems to carry ancient wisdom, ora a boulder that affords you a beautiful view when you sit on it. Your muse in nature will select you….

StarSpiration

Alias duduk di bawah langit malam. Malam-malam yang dihabiskan dengan memandang langit, katanya, lebih bermakna daripada malam-malam yang dihabiskan dengan menonton televisi. Kalau kita menatap langit, yang luas, maka mau gak mau otak kita bakalan berpikir. Kenapa orang-orang zaman dahulu bisa menemukan petunjuk arah menggunakan langit? Ya karena malam-malamnya dihabiskan di luar ruangan. Bukan duduk nonton TV dan main HP. Mitologi mengenai konstalasi bintang yang indah juga dihasilkan oleh orang yang mengamati langit bukan layar TV. Misalnya tentang konstalasi Andromeda, yang digambarkan sebagai anak dari Cassiopeia, yang dikorbankan oleh ibunya sendiri untuk monster laut Cetus, lalu diselamatkan oleh Perseus. Mau bikin cerita hebat seperti itu?

Stargazing is a therapy, kata B.J Miller, pllative care di University of California, dalam wawancara di buku Tools of Titans. Memandang langit bisa bikin jiwa dan pikiran menjadi lapang. Coba kalau tak percaya.

Hobi Lain

Pisang itu bagus untuk kesehatan. Tapi apa setiap hari kita makan pisang? Makan apel juga sesekali. Menulis itu memang banyak manfaatnya. Tapi apa harus setiap hari menulis? Bisa diselingi dengan hobi lain. Hobi itu, kata kartun Upin dan Ipin, dilakukan di waktu luang dan bermanfaat. Nggak akan ada ruginya dijalani. Aku suka menjahit. Dan nanti bisa saja aku bikin tokoh novel yang punya hobi sama. Aku gak perlu riset, karena sudah menjalani sendiri.

Masih percaya bahwa kita bisa terjangkit writer’s block?


Semua foto adalah dokumentasi pribadiku.