Uncategorized

Membahagiakan Diri Sendiri Sebelum Membahagiakan Pembaca

Malam ini, di tengah hujan yang tak ada tanda-tanda akan mereda, ingatanku melayang kembali ke tahun 2014 dan 2015. Sebelum buku debutku terbit. Betapa menyenangkannya menjadi penulis–non published, amatir–pada masa itu. Aku menulis hanya semata-mata karena aku suka menulis. Tidak ada beban dan harapan apa-apa. Ya, sesekali bersedih dan menahan kecewa karena menerima surat penolakan dari penerbit atas naskah yang kukirimkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi selebihnya, aku bahagia dan sangat bersyukur hanya karena bisa menyelesaikan sebuah novel yang utuh.

Selain menulis, aku menghabiskan waktu dengan berangan-angan nanti aku akan begini dan begitu, melakukan ini dan itu, saat aku menjadi penulis terkenal. Apalagi masa-masa itu aku sedang aktif-aktifnya bermain Twitter dan mengikuti penulis-penulis yang sudah lebih dulu terbit bukunya. Ada beberapa penulis yang kutandai sebab aku nggak ingin bersikap seperti dirinya–sok ekslusif, kurang toleran, jauh dari pembaca, yang seperti itu. Ada lebih banyak lagi penulis yang ingin kujadikan teladan.

Hari-hariku kujalani dengan bahagia. Setiap malam aku semangat meriset calon naskah, menyusun outline, hingga berbulan-bulan duduk menulisnya. Bahkan merombak naskah-naskah yang pernah ditolak penerbit pun kujalani dengan ringan. Aku menganggap setiap prosesnya adalah pembelajaran. Pertumbuhan. Langkah menjadi penulis yang lebih baik daripada hari kemarin. Kurasa-rasa, pada masa itu aku sangat produktif.

Sekarang, delapan tahun telah berlalu sejak hari itu. Banyak sekali yang berubah. Aku masih menyukai menulis. Masih bahagia setiap kali memulai cerita baru dan menyelesaikan naskah tersebut. Tetapi begitu masuk aspek bisnis, semua kebahagiaan kalah oleh kekhawatiran. Penjualan buku ada di puncak daftar faktor pemicu kecemasan. Buku debutku, My Bittersweet Marriage, di luar dugaan mendapat sambutan luar biasa dari pembaca. Instant best seller, menurut penerbitnya. Sampai editoku pun terkagum-kagum.

Tahun berikutnya, buku kedua terbit. Secara tradisional/mayor. Otomatis aku menarget diriku sendiri. Performa buku tersebut haruslah lebih baik daripada buku debut, My Bittersweet Marriage. Harus terjual lebih banyak. Sebagai orang yang, pada waktu itu, aku nggak suka bermain Instagram–yang sedang populer–aku dituntut untuk aktif di sana. Sebab pembaca dan reviewer banyak beraktivitas di sana. Aku membangun akunku mulai dari nol dan memiliki seribuan followers. Penjualan bukuku masih sebagus tahun pertama tapi tidak ada peningkatan yang signifikan. Pada saat itu timbul pemikiran kalau seperti ini terus editor dan penerbit mungkin menilai aku nggak layak dapat kesempatan terbit lagi.

Selama 2018, aku tidak menerbitkan buku secara mayor. Karena aku merasa tertekan dan tidak bahagia. Tekanan datang dari diriku sendiri memang. Sebab penerbit atau siapa pun tidak pernah menarget ini dan itu. Beban itu begitu berat kurasa. Pada waktu itu sahabatku, Lily, mengatakan aku harus mencari cara untuk membahagiakan diriku sendiri dulu, sebelum membahagiakan pembaca. Selama setahun aku tidak kunjung menemukan jawabannya. Aku tetap menulis demi menjaga kewarasanku, tapi tidak mengirimkan naskah tersebut ke mana-mana.

Suatu di awal tahun 2019, hari editorku menghubungiku untuk mendiskusikan cover baru My Bittersweet Marriage. Beliau menanyakan apakah aku sedang menulis naskah atau punya naskah yang siap diterbitkan. Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan aku siap menerbitkan buku baru. Kepada semua pembaca setiaku, melalui berbagai kanal, aku mengumumkan terbitnya The Game Of Love. Sambutan mereka luar biasa. Kebahagiaan mereka bisa kurasakan. Setelah setahun tidak menikmati karyaku, rasa rindu mereka terobati.

Aku masih terus mencari cara bagaimana membahagiakan diriku sebelum membahagiakan pembaca. Bagaimana cara menghilangkan kekhawatiran akan jumlah followers dan jumlah buku terjual. Banyak waktu yang kuhabiskan untuk merenung dan menengok kembali perjalananku sejak awal menulis dulu. Sejak aku masih menjadi penulis cerpen di majalan dinding SMA-ku–yang kemudian berkembang menjadi majalah internal sekolah, lalu menjadi penulis dan editor di majalah komunitas IT di kampus, dan menulis fiksi di sela waktu luang saat menjalani manajemen trainee.

Aku belum mendapatkan jawabannya. Tetapi aku mulai mengubah cara pandangku. Fokusku harus berada pada hal-hal yang bisa kukendalikan. Kualitas karyaku dan usahaku mengenalkan buku-bukuku kepada pembaca, misalnya. Hal-hal yang berada di luar kuasaku, aku menyerahkan kembali kepada semesta. Apakah banyak orang akan menyukai dan membeli bukuku? Apakah orang akan mengikutiku di media sosial? Aku mengupayakan itu semua tercapai. Tapi karena melibatkan orang lain, maka hasilnya bukan terserah padaku.

Di luar sana banyak buku yang bagus tapi angka penjualannya buruk. Buku yang buruk–isinya, ceritanya–bisa menjadi best seller. Demikian juga sebaliknya. Buku bagus terjual banyak, buku buruk tidak laku. Ada orang yang mengurasi konten bagus di media sosial dan tidak mendapat tanggapan dari banyak orang. Konten nggak mutu bisa ramai. Sebagai penulis, kalau aku menghabiskan lebih banyak waktu untuk menganalisis dan memahami itu semua, aku nggak akan ada waktu untuk menulis buku. Aku belum mampu menggaji orang untuk mengurusi media sosialku 🙂 Sedikit demi sedikit, aku kembali menikmati dunia yang kucintai ini.

Aku bersemangat memulai proyek baru, tanpa memikirkan apakah buku terbaruku, Right Time To Fall In Love, menjadi best seller seperti A Wedding Come True dan lainnya atau tidak. Rencana promosi sudah kususun dan kueksekusi. Apakah nanti proyek yang kukerjakan ini mendapatkan kesempatan terbit atau tidak, aku belum memikirkan itu. Targetku adalah menyelesaikan naskah. Aku tidak tergesa menulisnya, tapi juga tidak menunda. Langkah selanjutnya akan kupikirkan saat naskah sudah siap nanti. Satu demi satu, supaya tidak membuatku cemas.

Melakukan yang terbaik yang aku bisa–tentu saja dengan memperhatikan kesehatan mentalku–sudah cukup. Dalam berbagai aspek. Aku senang berkarya, aku mencintai karyaku. Menulis menyelamatkanku hidupku berkali-kali, terutama saat aku depresi. Pada saat seperti itu, aku bahagia bisa sejenak melarikan diri dari tekanan dan tenggelam dalam dunia yang kureka. Dunia yang ideal hahaha. Bersama tokoh-tokoh rekaanku. Harapanku, pembaca pun juga mendapatkan rasa aman dan nyaman dalam buku-buku yang kutulis. Tokoh-tokohku menjadi teman mereka. Cerita-cerita yang kusajikan memberi mereka kebahagiaan, optimisme, dan wawasan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *