Uncategorized

Membahagiakan Diri Sendiri Sebelum Membahagiakan Pembaca

Malam ini, di tengah hujan yang tak ada tanda-tanda akan mereda, ingatanku melayang kembali ke tahun 2014 dan 2015. Sebelum buku debutku terbit. Betapa menyenangkannya menjadi penulis–non published, amatir–pada masa itu. Aku menulis hanya semata-mata karena aku suka menulis. Tidak ada beban dan harapan apa-apa. Ya, sesekali bersedih dan menahan kecewa karena menerima surat penolakan dari penerbit atas naskah yang kukirimkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi selebihnya, aku bahagia dan sangat bersyukur hanya karena bisa menyelesaikan sebuah novel yang utuh.

Selain menulis, aku menghabiskan waktu dengan berangan-angan nanti aku akan begini dan begitu, melakukan ini dan itu, saat aku menjadi penulis terkenal. Apalagi masa-masa itu aku sedang aktif-aktifnya bermain Twitter dan mengikuti penulis-penulis yang sudah lebih dulu terbit bukunya. Ada beberapa penulis yang kutandai sebab aku nggak ingin bersikap seperti dirinya–sok ekslusif, kurang toleran, jauh dari pembaca, yang seperti itu. Ada lebih banyak lagi penulis yang ingin kujadikan teladan.

Hari-hariku kujalani dengan bahagia. Setiap malam aku semangat meriset calon naskah, menyusun outline, hingga berbulan-bulan duduk menulisnya. Bahkan merombak naskah-naskah yang pernah ditolak penerbit pun kujalani dengan ringan. Aku menganggap setiap prosesnya adalah pembelajaran. Pertumbuhan. Langkah menjadi penulis yang lebih baik daripada hari kemarin. Kurasa-rasa, pada masa itu aku sangat produktif.

Sekarang, delapan tahun telah berlalu sejak hari itu. Banyak sekali yang berubah. Aku masih menyukai menulis. Masih bahagia setiap kali memulai cerita baru dan menyelesaikan naskah tersebut. Tetapi begitu masuk aspek bisnis, semua kebahagiaan kalah oleh kekhawatiran. Penjualan buku ada di puncak daftar faktor pemicu kecemasan. Buku debutku, My Bittersweet Marriage, di luar dugaan mendapat sambutan luar biasa dari pembaca. Instant best seller, menurut penerbitnya. Sampai editoku pun terkagum-kagum.

Tahun berikutnya, buku kedua terbit. Secara tradisional/mayor. Otomatis aku menarget diriku sendiri. Performa buku tersebut haruslah lebih baik daripada buku debut, My Bittersweet Marriage. Harus terjual lebih banyak. Sebagai orang yang, pada waktu itu, aku nggak suka bermain Instagram–yang sedang populer–aku dituntut untuk aktif di sana. Sebab pembaca dan reviewer banyak beraktivitas di sana. Aku membangun akunku mulai dari nol dan memiliki seribuan followers. Penjualan bukuku masih sebagus tahun pertama tapi tidak ada peningkatan yang signifikan. Pada saat itu timbul pemikiran kalau seperti ini terus editor dan penerbit mungkin menilai aku nggak layak dapat kesempatan terbit lagi.

Selama 2018, aku tidak menerbitkan buku secara mayor. Karena aku merasa tertekan dan tidak bahagia. Tekanan datang dari diriku sendiri memang. Sebab penerbit atau siapa pun tidak pernah menarget ini dan itu. Beban itu begitu berat kurasa. Pada waktu itu sahabatku, Lily, mengatakan aku harus mencari cara untuk membahagiakan diriku sendiri dulu, sebelum membahagiakan pembaca. Selama setahun aku tidak kunjung menemukan jawabannya. Aku tetap menulis demi menjaga kewarasanku, tapi tidak mengirimkan naskah tersebut ke mana-mana.

Suatu di awal tahun 2019, hari editorku menghubungiku untuk mendiskusikan cover baru My Bittersweet Marriage. Beliau menanyakan apakah aku sedang menulis naskah atau punya naskah yang siap diterbitkan. Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan aku siap menerbitkan buku baru. Kepada semua pembaca setiaku, melalui berbagai kanal, aku mengumumkan terbitnya The Game Of Love. Sambutan mereka luar biasa. Kebahagiaan mereka bisa kurasakan. Setelah setahun tidak menikmati karyaku, rasa rindu mereka terobati.

Aku masih terus mencari cara bagaimana membahagiakan diriku sebelum membahagiakan pembaca. Bagaimana cara menghilangkan kekhawatiran akan jumlah followers dan jumlah buku terjual. Banyak waktu yang kuhabiskan untuk merenung dan menengok kembali perjalananku sejak awal menulis dulu. Sejak aku masih menjadi penulis cerpen di majalan dinding SMA-ku–yang kemudian berkembang menjadi majalah internal sekolah, lalu menjadi penulis dan editor di majalah komunitas IT di kampus, dan menulis fiksi di sela waktu luang saat menjalani manajemen trainee.

Aku belum mendapatkan jawabannya. Tetapi aku mulai mengubah cara pandangku. Fokusku harus berada pada hal-hal yang bisa kukendalikan. Kualitas karyaku dan usahaku mengenalkan buku-bukuku kepada pembaca, misalnya. Hal-hal yang berada di luar kuasaku, aku menyerahkan kembali kepada semesta. Apakah banyak orang akan menyukai dan membeli bukuku? Apakah orang akan mengikutiku di media sosial? Aku mengupayakan itu semua tercapai. Tapi karena melibatkan orang lain, maka hasilnya bukan terserah padaku.

Di luar sana banyak buku yang bagus tapi angka penjualannya buruk. Buku yang buruk–isinya, ceritanya–bisa menjadi best seller. Demikian juga sebaliknya. Buku bagus terjual banyak, buku buruk tidak laku. Ada orang yang mengurasi konten bagus di media sosial dan tidak mendapat tanggapan dari banyak orang. Konten nggak mutu bisa ramai. Sebagai penulis, kalau aku menghabiskan lebih banyak waktu untuk menganalisis dan memahami itu semua, aku nggak akan ada waktu untuk menulis buku. Aku belum mampu menggaji orang untuk mengurusi media sosialku 🙂 Sedikit demi sedikit, aku kembali menikmati dunia yang kucintai ini.

Aku bersemangat memulai proyek baru, tanpa memikirkan apakah buku terbaruku, Right Time To Fall In Love, menjadi best seller seperti A Wedding Come True dan lainnya atau tidak. Rencana promosi sudah kususun dan kueksekusi. Apakah nanti proyek yang kukerjakan ini mendapatkan kesempatan terbit atau tidak, aku belum memikirkan itu. Targetku adalah menyelesaikan naskah. Aku tidak tergesa menulisnya, tapi juga tidak menunda. Langkah selanjutnya akan kupikirkan saat naskah sudah siap nanti. Satu demi satu, supaya tidak membuatku cemas.

Melakukan yang terbaik yang aku bisa–tentu saja dengan memperhatikan kesehatan mentalku–sudah cukup. Dalam berbagai aspek. Aku senang berkarya, aku mencintai karyaku. Menulis menyelamatkanku hidupku berkali-kali, terutama saat aku depresi. Pada saat seperti itu, aku bahagia bisa sejenak melarikan diri dari tekanan dan tenggelam dalam dunia yang kureka. Dunia yang ideal hahaha. Bersama tokoh-tokoh rekaanku. Harapanku, pembaca pun juga mendapatkan rasa aman dan nyaman dalam buku-buku yang kutulis. Tokoh-tokohku menjadi teman mereka. Cerita-cerita yang kusajikan memberi mereka kebahagiaan, optimisme, dan wawasan.

Uncategorized

RUANG KREATIF PENULIS

Hampir semua bukuku kutulis di sini. Di pojok sebuah ruangan di rumahku. Aku tidak memerlukan banyak peralatan untuk menulis naskah novel. Hanya laptop. Dibandingkan melihat pemandangan alam di depanku, aku lebih suka memandang novel-novelku yang sudah terbit. Dengan begitu aku menjadi yakin, jika dulu aku bisa menulis sebuah novel, sekarang aku juga pasti bisa. Kadang-kadang aku juga membaca ulang novel-novelku, saat aku merasa aku kehilangan ciri khas cara bertuturku. Hanya di sinilah aku bisa mengakomodasi semua kebutuhanku saat sedang menulis.

Aku tidak pernah menulis sambil mendengarkan lagu. Sebab lagu hanya akan membuatku ingin menyanyi dan kalau aku tidak tahu liriknya, aku akan tergoda untuk meng-google-nya. Untuk membatasi diriku dengan gangguan suara dari luar, aku mendengarkan suara-suara alam, yang selalu ada di playlist-ku. Saat sedang menulis bagian yang sedih, aku mendengarkan suara hujan. Bagian yang menyenangkan, aku mendengarkan suara kicau burung. Dengan begitu, walau aku berada di dalam kamar, aku merasa seperti berada di alam bebas.

Dulu aku menggunakan buku agenda untuk membuat jadwal menulis. Sekarang aku menggunakan Google Calendar. Sebab aku memiliki gangguan kecemasan, maka aku harus selalu membuat jadwal dan mem-break-down apa-apa yang harus kulakukan, sehingga tidak terlalu overwhelming. Tanpa penjadwalan, novel yang kutulis tidak akan pernah selesai. Jadwal menulisku biasanya mulai pukul delapan malam. Sampai minimal, pukul sepuluh. Kalau tidak ngantuk, ya dilanjutkan sampai tengah malam. Saat nggak ada naskah yang harus kuselesaikan–sambil menunggu terbit–aku tetap menulis. Bukan naskah, tapi jurnal. Untuk menjaga agar rutinitasku nggak terganggu.

Menjaga semangat untuk terus menulis adalah bagian tersulit dari perjalanan ini. Sebab menulis kini bukan lagi hobi, melainkan profesi. Sudah banyak tekanan yang kurasakan, misalnya penjualan buku, review dan lain-lain. Karena hobiku sudah hilang, maka aku harus menemukan hobi baru. Aku memilih menggambar. Tetapi karena aku nggak suka ribet dan repot, aku membeli wacom tablet untuk pemula. Ketika jenuh menulis, lewat video-video di YouTube, aku belajar menggambar.

Bukan hanya menggambar menjadi jalan untuk melepaskan penat dan sejenak menjadi tempat pelarian diriku dari tekanan sebagai penulis, aku juga bisa menghemat uang untuk memproduksi novelku yang terbit self-publishing. Karena aku bisa menggamar sendiri covernya. Yang terbaru adalah cover The Danish Boss dan Geek Play Love.

Meski aku mulai menyukai menggambar, aku nggak akan menjadikannya sebagai profesi. Kalau sampai itu terjadi, aku akan pusing lagi mencari hobi. Hehehe bukan deng. Aku akan tetap fokus menulis, karena aku lebih mencintai dunia tersebut. Dunia yang menyelamatkanku dari depresi dan gangguan kecemasan yang gelap dan menyesakkan. Aku berharap novel-novel yang kutulis sendirian di dalam sunyi, bisa menjadi cahaya dan teman bagi mereka yang membacanya.

 

My Books, Uncategorized

Review Novel The Perfect Match Karya Ika Vihara di Media Cetak

Berikut review The Perfect Match di media Kedaulatan Rakyat Mei 2022.

Menghilangkan Perfeksionisme dalam Diri Sendiri

Judul Buku : The Perfect Match
Penulis : Ika Vihara
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : 2021
Halaman : 371 halaman
ISBN : 978-623-00-2503-7

 

 

SEKERAS apapun usaha manusia menjadi sempurna, kita tidak akan pernah bisa mencapainya. Sebab, manusia memang diciptakan memiliki keterbatasan, kekurangan untuk saling membutuhkan satu sama lain. Kecenderungan perfeksionisme dalam diri justru dapat memberi pengaruh buruk pada kesehatan baik fisik dan mental.

Seperti tokoh utama dalam novel ini, Nalia Kahlana, yang berhenti mempercayai cinta dan pernikahan. Penyebabnya, masa lalu yang buruk kehilangan ibu dan ayah yang meninggalkannya tanpa alasan. Namun, segalanya berubah ketika ia bertemu dengan Edvind Raishard Rashid.

Edvind pria tampan dan cukup sukses berkarier sebagai dokter, yang tak pernah kesulitan mendapatkan teman kencan. Kegigihan Edvind untuk mengubah pandangan Nalia secara perlahan meruntuhkan pertahanannya. Kendati demikian, abandonment issue yang Nalia miliki melibatkan banyak pertimbangan akan hubungan asramanya dengan Edvind. (Hal 107)

Nalia hampir dapat mengendalikan abandonment issue yang ia miliki sebelum kemudian hal buruk menimpa kakaknya, Jari. Gloria kakak iparnya mengalami kritis saat melahirkan. Hal tersebut membuatnya kembali ragu dan takut akan masa lalu yang terulang, hingga memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Edvind.

Nasihat Gloria membuka kembali mata hati Nalia bahwa Edvind merupakan lelaki yang tepat untuknya. Tak seorang pun yang dapat memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Yang bisa kita lakukan hanya menjalani hidup saat ini sebaik-baiknya. Begitu pula hidup, akan lebih mudah jika selalu melihat ke depan.

“Waktu yang kita miliki di dunia ini singkat dan akan sia-sia kalau dilewati tanpa mencintai dan dicintai. Pergilah, berjuanglah. Pertaruhkan hatimu, pertaruhkan dirimu, pertaruhkanseluruh hidupmu.” (Hal 337)

Novel karya Ika Vihara ini menyajikan kisah romansa dengan dialog yang cerdas sesuai dengan profesi tokoh-tokoh di dalamnya. Seperti impian Edvind yang ingin menjadi ahli genetika dan kariernya sebagai dokter, ketertarikan
Nalia pada pendidikan inklusif serta Alesha, sepupu Edvind, seorang ahli kesehatan mental. Karya ini menambah wawasan kita seputar sains dan cara menyembuhkan trauma.

The Perfect Match mengingatkan pembaca bahwasannya satu kesalahan dalam hidup bukanlah cela, dan satu kegagalan tidak akan membuat kita hina sepanjang hidup.*

*) Marisa Rahmashifa, mahasiswi Sastra Inggris UIN Malang.

Uncategorized

Tahun ke-6 Menjadi Penulis

https://www.instagram.com/p/CbbZLLov2na/

 

ENAM TAHUN! Sudah enam tahun aku menjalani karier sebagai published author. Penulis profesional. Awal perjalanan dengan titel tersebut dimulai saat novel debutku, My Bittersweet Marriage, terbit melalui Elex Media pada minggu ketiga Maret 2016. Biasanya aku nggak hafal tanggal terbit novel-novelku, tapi khusus cerita Afnan dan Hessa ini, aku nggak akan pernah bisa melupakannya. Selain karena ingat nggak tidur selama lebih dari lima malam karena mengurus preorder buku perdanaku, aku juga nggak sabar mau pergi ke toko buku pas di tanggal terbit. Walaupun aku tahu buku sudah didistribusikan sebelum tanggal terbit, tapi aku ingin secara resmi mengunjungi ‘anak pertamaku’ pada hari lahrinya.

Tetapi … bukunya nggak ada😅 Menurut pegawai toko buku, My Bittersweet Marriage hanya datang sepuluh buku dan sudah habis. Aku bersyukur dan memaklumi itu, sebab beberapa minggu sebelumnya, aku mengobrol dengan editorku. My Bittersweet Marriage adalah buku debut sehingga oplah cetaknya tidak terlalu banyak. Itu pun masih dipotong dengan jumlah preorder yang di luar dugaan, menggerus buku yang baru keluar dari percetakan. Beberapa toko buku harus menunggu cetak ulang untuk bisa memajang My Bittersweet Marriage.

Hari itu juga, aku menuju toko buku lain. My Bittersweet Marriage tetap nggak kelihatan di bagian New Arrivals. Aku nggak tahu harus senang atau sedih. Senang karena buku debutku diminati banyak pembaca atau sedih sebab aku gagal mendapati namaku ada di toko buku. Setelah dibantu seorang pegawai, akhirnya aku melihatnya. Tumpukan My Bittersweet Marriage ada di tengah dan lebih dalam dibanding buku lain–menjelang habis. Oleh pegawai tersebut dipindahkan ke tepi. Aku bahagia banget. Jingkrak-jingkrak, bodo amat. Namaku ada di toko buku, bersisian dengan nama penulis-penulis hebat yang terkenal. Pegawai toko buku memberi selamat padaku, setelah aku sampaikan hari itu aku memulai hari baru sebagai penulis profesional.

Saat itu aku tidak memiliki pandangan apa-apa. Tidak punya rencana jangka panjang. Bahkan aku sempat berpikir mungkin aku akan bertahan sampai satu atau dua buku saja. Beberapa teman penulis yang sempat membantuku waktu itu, menghilang dari dunia literasi tidak lama kemudian. Bisa saja aku bernasib sama. Tetapi siapa yang menyangka, ENAM TAHUN KEMUDIAN aku masih menulis. Bukuku masih terbit. Masih selalu ditunggu-tunggu. Satu naskahku sudah ada di tangan editor sekarang.

Menerbitkan secara tradisional/mayor, self-published, dan premium melalui platform menulis digital sudah pernah kujalani. Aku menyatakan menulis adalah salah satu karier yang akan kupertahankan. Setelah melewati lima tahun pertama, bukan tidak mungkin aku akan bisa melalui lima tahun berikutnya. Pada beberapa titik, aku sering ingin berhenti menulis. Berhenti menerbitkan buku. Kehilangan motivasi melihat buku-bukuku dibajak dengan keji dan dibagikan cuma-cuma di Telegram, WhatsApp, situs-situs, dijual murah di Instagram dan market place. Setiap kali mendapati itu, rasanya apa yang kukerjakan sia-sia. Aku nggak mendapatkan apresiasi apa-apa, tapi pembajak menerima ucapan terima kasih bahkan donasi dari para penikmat hasil curian. Aku berharap akan ada solusi untuk masalah ini dan rezeki penulis tidak lagi dirampok.

Ditambah gangguan kecemasan yang kumiliki, aku nggak bisa membayangkan jauh ke depan. Aku harus menjalani hari satu demi satu. Dalam menulis, kata demi kata. Naskah demi naskah. Aku nggak mau membebani diriku, kecuali dengan satu tujuan; buku yang kutulis saat ini harus lebih baik daripada buku sebelumnya.

Sepanjang perjalanan aku banyak belajar. Dari para editor yang bekerja sama denganku, rekan-rekan sesama penulis, dan yang lebih penting, dari teman-teman pembaca. Yang paling sulit adalah belajar berani bicara di depan banyak orang. Dulu aku tidak pernah menyangka bahwa profesi ini akan mengharuskanku untuk pandai berkomunikasi secara verbal. Kalau dengan tulisan jangan ditanya lagi, salah satu bentuk komunikasi yang kusukai. Menjalani wawancara radio, mengadakan bedah buku di universitas, mengajar kelas menulis, menjadi narasumber talkshow, dan lain sebagainya, kini adalah bagian dari pekerjaanku sebagai penulis. Aku tidak memiliki pendidikan formal di bidang itu–aku lulus dari Fakultas Teknologi Elektro dan Komputer Cerdas, Institut Teknologi Sepuluh Nopember–maupun pelatihan di bidang itu. Setelah wawancara, aku selalu bertanya pada host, atau peserta yang mengikuti, apakah penjelesanku bisa dipahami dengan baik. Mereka menjawab bisa dan senang aku menjelaskan dengan runut, jadi kukira aku cukup piawai di sini hahaha.

Untuk sampai di titik ini, aku tidak sendirian. Ada orang-orang hebat yang membantuku. Yang pertama tentu saja Miss Tina. Tanpa beliau aku nggak akan bisa menulis dengan tenang. Kesabaran beliau dalam mengatur preorder, menghitung stok buku, dan banyak lagi printilan pekerjaan yang kutinggalkan di tangannya. Para editor Kak Afri, Kak Jia, Kak Mitha, dan lainnya, yang sudah membagikan ilmu padaku. Para penulis yang karyanya kunikmati dan menginspirasi. Teman-teman pembaca yang selalu menunggu karyaku berikutnya dan menyemangatiku untuk terus menulis. Terima kasih tak terhingga aku ucapkan. Tanpa kalian semua, perjalanan ini tidak akan bermakna.

Note:
Kamu bisa membaca My Bittersweet Marriage gratis di aplikasi iPusnas. Atau di Gramedia Digital, cukup Rp 45.000 bisa membaca semua bukuku di sana. My Bittersweet Marriage is not perfect–my first book!–but I gotta start somewhere, right?

My Books, Uncategorized

Daftar Pendek The Wattys 2021: Sepasang Sepatu Untuk Ava

Tahun ini adalah salah satu tahun terberat dalam hidupku. Dalam karierku sebagai penulis. Gelombang kedua Covid-19 membuatku kehilangan beberapa orang terdekat. Kerabat, teman, dan tetangga. Hampir setiap hari berita duka terus berdatangan. Sampai hatiku yang sudah patah berkali-kali ini berteriak ingin semua penderitaan ini berhenti. Level kecemasanku naik sepuluh kali lipat. Yang ingin kulakukan sepanjang hari adalah bergelung di tempat tidur, di bawah selimut tebal dan berharap semua itu hanya mimpi buruk.

Pilihanku untuk menyibukkan pikiranku adalah memperbaiki naskah cerita yang kutulis sekitar tahun 2014 atau 2015. Tidak ada judul untuk cerita itu. Nama salah satu tokoh utamanya pun harus kuganti, karena aku sudah memakai nama itu untuk nama tokoh utama di bukuku, A Wedding Come True.  Naskah tersebut hanya sepanjang 145 halaman dan jalan ceritanya tidak kompleks sama sekali. Sambil merombak naskah tersebut, aku mencari judul dan akhirnya aku memilih Sepasang Sepatu Untuk Ava. Nggak ada aroma-aroma Cinderella–kenapa sepatu selalu identik dengannya hahaha–tapi memang sepasang sepatu di sini memegang peran penting untuk kemajuan hubungan Ava dan Manal.Tapi aku tahu, menuruti apa yang diinginkan kecemasanku, adalah keputusan yang nggak sehat. Nggak akan kesehatan mentalku menjadi lebih baik. Jadi setiap pagi aku tetap turun dari tempat tidur, mandi, dan bekerja seperti biasa. Saat itu semua pegawai belum kembali ke kantor. Sebisa mungkin aku memilih tempat bekerja yang jauh dari ranjang atau sofa. Aku menjadwalkan setiap kegiatan dengan teliti dan mendetail, sehingga aku tahu di bagian mana ada waktu luang. Waktu luang ini harus kuisi, atau pikiranku akan bergerak liar ke mana-mana.

Sambil menulis ulang, aku mengunggahnya di Wattpad. Tujuanku adalah ‘mentraktir’ teman-teman setiaku di sana, yang menemani perjalanan menulisku selama 6 tahun. Karena aku hampir nggak pernah mengunggah cerita tamat di sana. Sebagian orang berpendapat cerita yang kutulis selalu serius, atau bahkan dibilang berat. Berkaca dari sana, aku nggak begitu mempermasalahkan berapa pun jumlah view yang kudapat. Mereka yang bisa menyukai ceritaku akan benar-benar membacanya dan mendapatkan manfaat. Yang nggak kalah penting juga, aku dan mereka jadi punya kesempatan mengobrol di kolom komentar. Menambah teman, bertukar pikiran.

Saat banner dan button The Wattys 2021 muncul di halaman karya, aku menekannya. Karena, kenapa tidak. Aku belum memikirkan langkah selanjutnya untuk Sepasang Sepatu Untuk Ava; apakah akan mengirimkan ke penerbit, menerbitkannya sendiri, atau lainnya. Selama aku membuat keputusan, aku mengikutkan Sepasang Sepatu Untuk Ava dalam kompetisi tahunan The Wattys yang diadakan Wattpad. Jujur saja, awalnya aku nggak berpikir Ava akan bisa masuk daftar pendek. Karena aku yakin, banyak cerita dengan viewers lebih banyak dariku(saat kuikutkan kompetisi hanya sekitar 150.000 saja)yang juga ikut serta. Kalau membicarakan paltform menulis online kan nggak bisa dipungkiri ukuran kesuksesan adalah banyaknya view.

Kompetisi ini juga menjadi kesempatan baik untuk mengasah kemampuanku membuat logline dan sinopsis. Dari dulu aku lemah di dua bagian tersebut. Eliminasi pertama pasti dimulai dari sana. Jadi keberhasilanku masuk ke daftar pendek sudah menjadi penyemangat bagiku, bahwa aku bisa membuat logline dan sinopsis dengan baik. Suatu hari nanti kalau aku ingin mengajukan cerita tersebut ke penerbit, aku sudah nggak perlu pusing lagi memikirkan sinopsis.

Kalau kamu adalah seorang penulis, yang sedang berjuang memperkenalkan karyamu di suatu platform, aku ingin meyakinkanmu untuk nggak mempermasalahkan jumlah views. Menulislah sebaik-baiknya. Naskah yang berkualitas, walaupun tidak mainstream, akan tetap mendapatkan jalan untuk bersinar.

Sekarang Sepasang Sepatu Untuk Ava masih harus berada di Wattpad. Belum bisa diapa-apakan. Bersama finalis lain menunggu pengumuman pemenang nanti tanggal 4 Desember 2021. Kamu bisa membacanya gratis di Wattpad ikavihara.

Uncategorized

Jantungku Berdetak Untuk Siapa

Karya Ika Vihara

 

Suara pengamen yang menyanyi dengan suara seadanya, diiringi suara gitar yang dipetik ala kadarnya, ditingkahi suara tawa dua orang remaja, membuat tenda kaki lima ini semakin berisik saja. Azan Isya juga terdengar nyaring dari masjid di seberang tenda ini. Sepertinya aku memilih waktu yang salah untuk makan malam. Pengamen bersuara sumbang itu tetap tidak mau diam, bahkan seperti ingin mengalahkan suara azan. Sambil menyodorkan kantong bekas permen. Dua orang remaja memasukkan receh sambil masih tertawa-tawa.

Aku tidak lapar. Tadi aku hanya berjalan kaki menghabiskan waktu sepulang bekerja. Lalu memutuskan mampir makan nasi goreng di tenda kecil di samping minimarket dua puluh empat jam.

Saat aku sedang menimbang-nimbang hendak makan apa, kurasakan ponsel di dalam tasku bergetar. Aku memperhatikan nama yang muncul di layar. Dia. Orang terakhir di muka bumi yang ingin kuajak bicara malam ini. Atau selamanya. Aku menarik napas berat sebelum memutuskan akan menjawab atau tidak.

Tetapi aku merindukannya. Aku ingin mendengar suaranya.

“Berisiknya. Kamu di mana?” Tanyanya setelah aku mengatakan halo dengan suara yang sedemikian pelan.

“Makan. Warung.” Aku menjawab pendek-pendek.

“Sama siapa?”

“Sendiri.”

“Kok sendiri? Kamu kenapa?”

Karena aku lebih suka menjalani hidupku sendiri, tanpa risiko patah hati.

Aku hanya menggumam,”Nggak papa.”

“Tunggu di situ ya!”

Jangan pernah menemuiku lagi. Ingin aku berteriak keras di telinganya. Tetapi panggilang sudah berakhir. Dan seperti yang selalu kulakukan selama ini, aku menunggunya. Kalau dia memintaku menunggunya, aku akan melakukannya.

Makanan di depanku tidak lagi menyita perhatianku. Karena aku sibuk memikirkan apa yang akan kukatakan saat dia tiba di sini nanti. Apakah aku harus meminta maaf, walaupun aku tidak bersalah? Sepuluh menit kemudian aku melihat mobilnya berhenti di seberang warung.

Aku menghela napas, mengunyah pelan nasi gorengku. Khas nasi goreng pinggir jalan; keras, berwarna merah saus, dengan rasa vetsin yang mendominasi.

“Hei.” Dengan tenang dia duduk di kursi plastik di depanku. Lalu menatapku lekat-lekat.

Aku menunduk, berusaha menyibukkan diri dengan mencari suwiran ayam di gundukan nasi goreng di piringku. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Susah sekali.

“Kenapa kok diam aja? Kamu marah?” Tanyanya.

Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.

“Dua hari ini kamu diam. Nggak pernah mau ngomong sama aku. Aku salah apa?”

Aku meletakkan sendok dan garpuku, batal menyuap acar bersama nasi gorengku.

“Aku malu. Hari Kamis itu seharusnya aku nggak marah-marah sama kamu. Walaupun….” Tiba-tiba kerongkonganku tersekat oleh rasa sakit yang balik menghujam bahkan sebelum kata-kata itu keluar dari bibirku. “Aku nggak punya hak buat mengatur hidupmu. Aku bukan siapa-siapa. Aku malu, aku merasa aku… lancang.”

Seminggu yang lalu aku memarahinya, bahkan meneriakinya. Sebab dia mengatakan dia akan berangkat road trip. Selama enam belas jam. Padahal malam itu dia mengerjakan tesis sampai dini hari. Keesokan paginya dia tidak pergi ke kantor karena sakit kepala.

“Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Katanya waktu itu.

Sejak saat itu aku tidak bicara dengannya. Siapa aku ini, sampai mengatu-atur hidupnya. Bukan tempatku untuk mengkhawatirkannya. Karena seperti yang kubilang, aku bukan siapa-siapanya.

“Kamu nggak habis makannya?” Dia mengambil sendok, dan memakan nasi goreng di piringku.

Kenyataan bahwa dia kembali dengan selamat, tidak kurang satu apapun membuatku sedikit lega. Mungkin dia benar. Dia tidak memerlukanku untuk mencemaskannya. Mungkin juga dia sudah melupakan tingkahku yang tidak masuk akal minggu lalu.

“Kapan kamu ke Semeru?” Nasi goreng di piringku sudah separuh habis, berpindah ke perutnya.

Dia menatapku lekat-lekat, mungkin bertanya-tanya bagaimana aku tahu rencananya, padahal dia belum menceritakannya padaku.

“Hari Kamis pagi minggu depan.”

Aku tersenyum. Kali ini aku tak akan berkomentar apa-apa. Karena aku sudah semakin menyadari posisiku dalam hidupnya. Hanya karena dia baik padaku, bukan berarti aku adalah orang yang istimewa. Baginya, aku hanyalah orang yang tak sengaja dikenalnya tiga bulan yang lalu.

“Besok temani aku ya. Beli peralatan hiking,” pintanya sebelum beranjak untuk membayar nasi gorengku, yang sudah tandas dan menyisakan dua buah cabe hijau saja.

Kami berjalan bersisian menyeberang jalan raya.

“Aku senang kamu mengkhawatirkanku waktu itu. Kamu nggak perlu merasa bersalah. Katakan saja semua yang ingin kamu katakana padaku. Kalau kamu marah, kalau kamu nggak setuju, kalau kamu senang, apa saja. Aku selalu senang mendengarnya karena….”

Aku urung membuka pintu mobil dan menoleh ke arahnya.

“Karena kamu… berarti,” lanjutnya.

 

***

 

“Aku sudah mau naik ke Semeru.” Setelah membaca satu kalimat di layar ponselku, aku kembali melamun.

Aku selalu menyangkal kenyataan bahwa aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Di antara persahabatan kami. Karena aku tahu dia menganggapku tak lebih dari teman berbagi cerita.

Malam-malam setelah lelah kerja, sudah mati gaya tapi belum mengantuk juga, kami akan berbagi kutipan dari buku biografi Einstein, idola kami karena sama-sama orang teknik, lantas menghubungkan dengan ketololan-ketololan yang kami lakukan selama ini. Atau dia bermain gitar, dan aku menyanyi. Biasanya kami mencoba lagu-lagu baru. Atau dia menceritakan aibnya, kejadian paling memalukan dalam hidupnya, dan dia bersumpah belum pernah menceritakannya kepada siapapun juga. Lalu aku terbahak-bahak mendengarnya.

”Aku bahkan rela nyeritain aibku,  buat bikin kamu tertawa,” katanya setelah tawaku reda.

Pada akhir pekan aku menungguinya membongkar motor tua. Dia menjelaskan benda apa saja di tangannya, dan aku mendengarkan dengan senang hati. Atau dia bekerja sambil mendengarkan aku bercerita mengenai podcast yang kudengarkan hari ini.

Pernah juga tiba-tiba, pada suatu hari Minggu, dia datang ke rumahku dan menarik tanganku dengan tergesa.

“Ikut aku ke pasar situ yuk.”

“Mau ngapain?”

“Beli cupang.”

“Hah? Cupang yang ikan itu?”

“Iya. Ikan yang paling kuat. Kutinggal pergi beberapa hari saja tetap hidup. Mau ikut?”

Aku mengangguk. Jadilah lima belas menit kemudian aku asyik mengamati ikan-ikan berenang ke sana kemari sementara dia mengobrol dengan penjualnya.

“Dory!” seruku ketika melihat ikan berwarna biru, di dalam kantong plastik bening yang menggantung di depan mataku.

When life gets you down, keep swimming.” Dia berdiri di sebelahku, menyentuh plastik berisi ikan mirip Dory yang sedang berenang dan mengutip salah satu percakapan di film Finding Nemo.

“Aku nggak bisa berenang,” jawabku saat itu.

I’ll have you a ride.”

Aku tertawa mendengarnya.

“Aku lebih suka Marlyn.” Aku menunjuk ikan berwarna oranye di depanku.

Saat kami meninggalkan pasar, dia menyerahkan kantung plastik berisi ikan berwarna jingga. Yang kurawat seperti aku merawat diriku sendiri hingga saat ini. Yang selalu kupandangi saat aku merindukannya.

Hatiku menyemai harapan. Berharap hanya kepadakulah dia membagi suka dan dukanya. Walau seringkali keraguan datang menerpaku. Tak mungkin itu terjadi. Laki-laki sepertinya pasti banyak memiliki banyak teman wanita. Yang dengan senang hati menghabiskan waktu dengannya.

Sering aku bertanya-tanya, apakah suatu hari nanti dia akan memandangku lebih dari sekadar teman. Sebagai seorang kekasih yang selalu ada untuknya. Kesadaran baru lalu menghantamku. Aku tidak cukup cantik, aku tidak cukup menarik, dan tidak cukup hebat untuk menjadi seseorang yang istimewa dalam hidupnya.

Perutku mencelos melihat unggahan media sosialnya. Miss you. Aku membaca tulisan di sana. Sayangnya aku tak punya cukup keberanian untuk menanyakan siapa yang dia rindukan.

Aku tidak bernah merasa segelisah ini dalam hidupku. Sampai kadang aku menyalahkan takdir, yang membuatku bertemu dan berkenalan dengannya.

 

***

 

Aku mengeraskan volume musik di telingaku saat berjalan pelan melintasi garbarata. Di sekelilingku, sebagian orang berjalan sembari bercengkerama, sebagian lainnya tergesa. Mungkin orang tercinta sudah menunggu di terminal kedatangan bandara. Ini perjalanan ketujuhbelasku pada tahun ini. Perjalanan yang sekarang kulakukan seorang diri.

Sendiri. Satu kata ini terus mencekikku tiada henti. Aku menghela napas. Jam di ponselku menunjukkan pukul 21.00. Waktu Indonesia Barat. Biasanya aku melewatkannya dengan terjaga merindukannya. Hingga sesak dadaku.

Dia laksana mimpi indah, singgah sebentar dalam tidurku, lalu menghilang tanpa ada buktinya. Hanya kenangan samar akan mimpi itu yang kupunya saat aku terjaga.

Aku berdiri di samping conveyor belt menunggu koperku meluncur di depanku. Ponselku bergetar halus di saku jaket.

“Ya, Ka….” Sapaku setelah mengecek siapa yang menelpon.

“Di mana, Jas?”

“Di bandara. Sudah mendarat.” Aku mengambil koperku. “Aku naik taksi aja, Ka. SMS alamatmu, tunggu aku di sana.”

“Padahal nggak papa kalau aku jemput di bandara.”

“Ini sudah di taksi, Ka. SMS alamatmu ya. See you soon.” Aku memutus sambungan dan mengantre taksi.

Aku merapatkan jaketku. Bukan angin malam yang membuat tulang-tulangku ngilu. Tetapi ketidakhadirannya. Beberapa kali kami melakukan perjalanan bersama. Apakah semua itu akan terulang lagi?

Aku menggelengkan kepala. Melarang diriku berandai-andai.

Di dalam taksi aku memejamkan mata. Perlu waktu dua jam untuk sampai di ujung timur Surabaya. Aku menggenggam erat ponselku. Di tengah rasa lelah dan pusingnya kepala menahan keinginan untuk menangis, aku tertidur.

Begitu terbangun, aku melihat Saka melambaikan tangan dan tersenyum lebar. Dia menyambutku, yang tengah berusaha mengenyahkan bayangan orang itu. Yang sudah lebih dari satu tahun ini mengabaikanku.

“Hai, Ka.” Aku tersenyum dan mengizinkan Saka membawakan koperku.

Aku berusaha ceria demi teman baikku ini. “Thank you.”

“Sudah siap jalan-jalan malam ini?” Saka tertawa lebar sambil menyuruhku duduk di kursi tamu.

“Aku nginap di mana?” Ada yang lebih penting daripada jalan-jalan menghabiskan malam di Surabaya.

“Itu sudah dipesan. Sudah beres.”

Tanpa kusadari, aku kembali menghela napas, seolah-olah beban kenangan itu terlalu keras menghimpitku. Dan mengikutiku ke mana saja aku menuju. Padahal aku ke sini karena ingin meninggalkan sosoknya dan segala tentangnya jauh di seberang laut sana.

“Besok makan di warung pelangi, ya, Jas.”

“Pelangi? Di mana?” Aku mengernyit bingung. Aku pernah tinggal di Surabaya selama lebih dari empat tahun, tapi tidak pernah mendengar nama warung Pelangi.

“Di matamu.”

Untuk pertama kalinya dalam satu tahun ini, aku tertawa lepas menanggapi gurauan Saka. Satu tahun yang kuhabiskan dengan sia-sia, karena aku terus mengingat dan menangisi orang itu. Dalam satu tahun ini, aku mengerti apa artinya malam yang terasa panjang. Malam yang kuisi dengan bergerak-gerak gelisah tanpa kutahu kapan aku akan bisa memejamkan mata dan sejenak melupakan dunia.

Ajakan Saka, teman baikku saat kuliah dulu, untuk menghabiskan akhir pekan di Surabaya, adalah kabar baik bagi hatiku yang tersisa separuh ini. Separuhnya lagi terbawa orang yang memilih menghindariku itu. Tanpa kutahu apa alasannya.

Tetapi dia ada di hati dan kepalaku. Seharusnya itu sudah cukup membuatku merasa tak sendirian lagi kan?

“Kenapa wajah kamu mendung begitu, Jas?”

Pertanyaan Saka sama dengan yang sering kutanyakan pada diriku sendiri. Dan aku tak pernah bisa menjelaskan.

“Ada yang mematahkan hatimu?”

Aku tertawa getir. “Dia nggak salah apa-apa. Akulah yang terlalu berani berharap, padahal dia … dia di luar jangkauanku.”

“Ada orang yang menerimamu dengan semua kekurangan dan kelebihanmu.” Saka berdiri tegak di depanku.

Baru kusadari Saka tinggi sekali. Wajahku berjarak tidak lebih dari sepuluh centimeter dari dada Saka. Di malam yang sangat hening ini, aku bisa mendengar suara detak jantungnya. Yang sangat kencang menembus dadanya.

Detik ini juga aku tahu jantung Saka berdetak untuk siapa. Untukku.

Lalu jantungku? Berdetak untuk siapa?

END

Cerpen ini ditulis untuk mengikuti seleksi Kampus Fiksi tahun 2016

Uncategorized

Di Antara Dua Pilihan

Menjadi Penulis Terkenal atau Penulis Sukses?

Suatu malam di bulan ini, aku menerima pesan WhatsApp dari temanku. Dia bertanya,”Menurutmu, penulis itu selebritis atau bukan?” Belum sempat aku menjawab, dia sudah mengirimkan beberapa pesan yang menjelaskan kenapa dia melemparkan pertanyaan itu. Temanku mendapati seorang penulis dengan star syindrome—bahasa yang dipakai temanku—padahal bukunya tidak bermutu. Ini aku hanya mengulang kalimat temanku, bukan pernyataan dariku. Sebab aku tidak pernah mengatakan sebuah buku itu jelek. Seperti apa pun kualitas sebuah tulisan, selalu bisa memeriku pelajaran; jangan menulis seperti itu atau menulislah sebagus itu.

Di dunia ini, ada banyak buku yang membuatku berpikir bahwa, sayang sekali kertas, uang, waktu, dan berbagai sumber daya lain digunakan untuk menerbitkannya. Hanya karena tulisan tersebut saat diunggah online—melalui aplikasi yang dia pilih—tidak dilihat sekian ratus ribu orang. Upaya editor untuk merombak cerita tersebut kurang berhasil. Sedangkan banyak calon-calon penulis yang kualitas tulisannya lebih baik, susah menembus penerbit mayor.Bahkan aku pernah merasa sangat heran—mendekati tidak percaya—ada buku yang terbit lantas penulisnya mengatakan dia tidak menyangka cerita pertamanya yang ditulis disukai banyak orang. Padahal dia tidak pernah belajar dasar-dasar kepenulisan. Otomatis, dia tidak tahu bagaimana membangun struktur cerita dan sebagainya. Bagiku, itu seperti kita menyajikan suatu hidangan untuk orang lain, padahal kita tidak pernah memasak sama sekali sebelumnya. Walaupun bisa dimakan, kelas dan kualitasnya tentu beda dengan menu yang dimasak dan dihidangkan oleh koki yang mengikuti kursus atau sekolah memasak sebelumnya.

Sewaktu aku mengadakan sesi tanya-jawab dengan pembaca, ada yang bertanya kepadaku, pentingkah mengikuti pelatihan menulis kalau seseorang ingin menjadi penulis. Hampir aku menjawab tidak usah, coba saja peruntungan dengan menulis cerita yang tidak jelas—tidak jelas alurnya, tidak jelas temanya, tidak jelas pesannya, tidak jelas cara penyampaiannya, tidak jelas perkembangan tokoh-tokohnya, dan lain-lain—lalu bikinlah mirip seperti sinetron atau FTV di layar kaca. Tetapi aku tidak menyampaikan itu. Mengikuti pelatihan menulis itu penting. Aku sendiri juga ikut, dibimbing guru-guru yang tidak asing lagi di dunia sastra Indonesia. Paling tidak, di sana kita kenal dengan teman-teman sesama calon penulis. Nantinya kita dan teman-teman bisa saling menilai tulisan dan memberi saran, sebelum menyajikan kepada orang-orang di luar lingkaran.

“Aku rasa kamu kurang beruntung, seharusnya kamu lebih terkenal. Karena novel-novelmu itu lebih berbobot.” Adalah pesan lanjutan dari temanku, walaupun aku belum menjelaskan pendapatku mengenai ‘penulis itu selebritas atau bukan’. Aku mengatakan padanya, semesta tidak membuatku menjadi terkenal sebab aku tidak sanggup menjadi terkenal. Tanggung-jawabnya besar. Kalau kata Muhhamad Ali dalam bukunya The Soul of A Butterfly,”When people look up to us, even the way we speak to them can have a profound to effect them.” Apa saja yang keluar dari bibir kita—atau jari kita—akan dipercaya begitu saja oleh penggemar. Kita berbuat salah sebesar apa pun, penggemar kita siap menjadi massa yang akan mati-matian membela kita. Menyerang siapa saja yang tidak setuju dengan kita. Atau, justru meninggalkan kita.

Menjadi terkenal tidak pernah menjadi tujuanku semenjak aku mulai menulis—kelas satu SMP aku menang lomba cerpen, aku bertemu N.H. Dini dan Taufiq Ismail sewaktu kelas tiga SMA karena memangkan lomba lain dan sewaktu kuliah aku menjadi editor di majalah komunitas—sampai hari ini.

Alasan pertama, dunia ini penuh dengan orang terkenal yang tidak berkontribusi dalam membuat dunia ini menjadi lebik baik. Ada berapa banyak tayangan YouTube yang, setelah kita menghabiskan satu jam menonton, malah bikin semakin mager, bukan berkontemplasi? Atau berapa banyak buku yang membuat kita, secara tidak sadar, menganggap wajar adanya kekerasan di dalam sebuah hubungan? Aku ingin menjadi manusia berguna.

Kedua, aku paham di dunia ini banyak hal-hal terjadi di luar kuasaku. Menjadi terkenal adalah salah satunya. Aku tidak bisa memaksa orang untuk menyukai tulisanku atau untuk mengikutiku di media sosial dan di mana pun. Bobot bukuku bisa jadi diacungi dua jempol oleh dua ribu orang, tapi kalau sepuluh ribu lainnya tidak mencari bobot dalam sebuah novel, aku tidak bisa memarahi mereka kan? Yang bisa kukendalikan hanya satu; seberapa rajin aku belajar menulis, seberapa sering aku membaca—agar pikiranku tetap tajam, seberapa sering aku mengingatkan diriku bahwa aku mencintai menulis dan proses kreatif, sehingga aku bisa menjadi penulis yang lebih baik daripada kemarin, sehingga bukuku selanjutnya lebih baik daripada bukuku sebelumnya. Sungguh, sebagai manusia aku hanya bisa berusaha, sisanya bergantung pada semesta.

Aku ingin menjadi penulis sukses. Untuk menuju ke sana, aku harus bisa mendeskripsikan kesuksesan versiku. Kalau aku tidak punya definisi, aku tidak akan tahu apakah aku sudah meraihnya atau belum. Pengertianku pasti berbeda denganmu, atau semua orang. Suatu ketika aku bicara mengenai cerita baik dan ada yang, dengan percaya diri, menyarankan supaya semua orang tidak idealis. Tulis saja cerita yang disukai banyak orang—bahkan yang bukan seorang pembaca—dengan mengeksploitasi kekerasan, erotika, BDSM, atau pernikahan usia kanak-kanak, misalnya. Pasti akan disukai banyak orang, menjadi terkenal, dan tawaran menerbitkan cerita datang dari sana-sini. Baginya, itulah definisi sukses. Tidak masalah, aku menghormati itu.

Tetapi itu bukan kesuksesan yang kuinginkan. Aku ingin meninggalkan warisan. Aku ingin pembelajaran yang ditarik dari buku-bukuku tetap berguna—baik bagiku atau orang lain—walau lima puluh tahun telah berlalu dan aku tak lagi ada di dunia ini. Bahkan bisa dinasihatkan kepada anak dan cucu kita. Aku tidak bisa berjanji kepada siapa pun—termasuk diriku sendiri—bahwa aku akan bisa menjadi penulis terkenal. Tetapi aku bisa menjamin aku pasti sukses, sesuai dengan definisiku tersebut.

Aku tahu kalau aku berkarya dengan sepenuh hati, hasilnya akan jauh lebih memuaskan dan membahagiakan daripada yang pernah aku bayangkan.

Dan baru kusadari, aku tidak pernah menjawab pertanyaan temanku.

***

Ditulis oleh Ika Vihara, penulis buku best seller A Wedding Come True

Uncategorized

Tips Menulis Cerita Yang Menarik

Setiap aku mengadakan Q&A sebulan sekali—minggu keempat tiap-tiap bulan—pertanyaan bagaimana cara menulis cerita yang menarik atau cerita yang berbeda selalu muncul. Tidak bisa dipungkiri, guna menarik pembaca supaya mau membeli buku kita, atau menambah jumlah viewers kalau publikasi online, kita memang harus menawarkan cerita yang lain daripada yang lain.

Oh, karena aku menulis cerita roman, maka pengalaman yang kubagikan ini juga berkaitan dengan penulisan cerita roman.

Dalam menjawab pertanyan tersebut aku tidak pernah menyarankan supaya mereka mencari ide cerita baru, yang segar, atau yang belum pernah dipakai penulis lain sebelumnya. Sebab, kalau aku menyuruh mereka melakukan itu, berarti aku menghalangi mereka menerbitkan buku. Sampai lima tahun kemudian, cita-cita menulis sebuah buku pun belum tentu akan terwujud. Tetap menjadi angan-angan. Berapa umur dunia ini? Berapa banyak penulis yang ada sejak zaman pertama kali orang mengenal tulisan hingga hari ini? Berapa banyak buku yang sudah diterbitkan?

Kamu akan bangkrut sebelum menerima rupiah pertama dari buku yang kamu tulis. Uangmu habis untuk membeli seluruh judul yang telah diterbitkan. Waktumu habis untuk membaca semuanya. Tenagamu habis untuk mencatat ini ide yang sudah dipakai, ini yang belum, ini yang sudah dipakai seratus kali, ini baru sepuluh kali. Kapan akan mulai menulis kalau begitu caranya?

Aku tersenyum geli setiap ada pembaca buku yang mengatakan ide cerita sebuah buku tidak segar, biasa saja, sudah banyak dipakai, seperti cerita pada umumnya, dan sejenisnya. Kalau dia berpendapat begitu, kebetulan dia membeli dan membaca cerita dengan ide dasar sama. Sedangkan kalau ada yang berpendapat bahwa suatu ide cerita yang dibawa penulis berbeda dari yang lain atau belum pernah dia dapati sebelumnya, kebetulan dia tidak pernah membeli dan membaca cerita dengan ide dasar yang sama. Coba baca semua buku dulu, terbitan dalam atau luar negeri, pasti semua ide yang dianggap baru itu sudah pernah dipakai sebelumnya. Tidak hanya satu atau dua kali, bisa jadi puluhan kali.

Jadi apa yang harus dilakukan untuk membuat cerita yang menarik dan diminati, kalau hampir semua ide cerita sudah pernah dipakai semuanya?

Apa kamu suka mendengarkan lagu cinta? Ide dasar lagu cinta pada umumnya sama. Patah hati, jatuh cinta, kasih tak sampai, dan lain-lain. Didi Kempot dan Judika sama-sama banyak menyanyikan lagu mengenai patah hati. Tetapi ketika kamu mendengar mereka bernyanyi bergantian, pasti kamu akan bisa menangkap ciri khas mereka masing-masing. Dan ciri khas tersebut tidak berada pada ide dasar lagunya. Bersama Didi Kempot, patah hati pun kamu tetap bisa berjoget, menyanyi dengan riang, bahkan menjadikan rasa sakit itu sebagai candaan bersama teman. Sementara itu, mendengar Judika bernyanyi, saat patah hati bisa saja kamu justru semakin berdarah-darah.

Dalam menulis cerita pun sama. Kamu adalah penulis yang hebat ketika kamu bisa mengemas ide yang paling pasaran, paling klise, dalam cerita yang sangat menarik. Di dunia ini banyak sekali ide cerita yang luar biasa tapi tampak tidak berharga karena tersembunyi di balik cara penyampaian yang payah.

Itu dia kuncinya. Cara bertutur. Cara menyampaikan. Kamu harus punya ciri khas. Yang membuat tulisanmu—bukan ide ceritamu ya—berbeda dengan milik orang lain.

Sebelum menjadi penulis, tentu kamu adalah seorang pembaca. Jadi kamu pasti sudah membaca banyak buku bukan? Ambillah beberapa buku, kemudian kepada temanmu. Tutup matamu dan minta temanmu untuk memilih secara acak sebuah buku kemudian membacakan satu paragraf dari halaman mana pun. Jika tanpa melihat nama penulisnya pun kamu bisa menebak itu paragraf milik siapa, berarti kamu telah bisa mengenali sebuah voice.

Kamu pun juga bisa memilikinya. Ada beberapa hal yang menurutku memengaruhi cara bertutur.  Di antaranya, pendidikan. Latar belakangku adalah engineer, maka cara bertuturku di dalam buku adalah analitis. Kalau kamu seorang guru, seorang dokter, misalnya, pasti memiliki cara bertutur yang berbeda. Hal lain adalah kekayaan diksi, atau pilihan kata. Dari satu kata’melihat’ kalau kamu punya perbendaharaan diksi yang banyak, kamu bisa mengganti ‘melihat’ dengan kata lain, sehingga tidak membosankan. Cara menambah diksi, ya dengan banyak membaca buku. Kemudian, kamu juga harus bisa mengatur panjang dan pendek kalimat. Juga membuat penekanan-penekanan. Selain itu, kamu harus pandai membangun emosi pembaca. Kapan harus santai, melambung tinggi, bersimpati, ikut menangis, mengajak tertawa.

Hindarilah menjelaskan sesuatu secara mendetail. Pembaca itu pandai dan punya imajinasi. Kamu kasih pancingan dan dia akan menyelesaikan sendiri. Mungkin kamu adalah seorang ahli di bidang tertentu. Progammer misalnya. Tetapi tidak usah kelepasan menjelaskan IDE itu apa, object oriented itu apa. Sebab kamu bukan sedang menulis buku panduan pemrograman dasar.

Setelah itu yang harus kamu lakukan adalah berlatih, berlatih, dan terus berlatih. Satu kali menulis, mungkin cara bertuturmu masih sama dengan penulis A. Kedua kali, miripnya masih 70%. Nanti lama-lama kamu akan punya suara sendiri. Tidak boleh lelah. Sebelum bukuku terbit dan diminati pembaca, aku punya puluhan naskah yang tidak memuaskan. Naskah yang kutertawakan saat membacanya. Namun aku tak pernah menghapusnya. Karena idenya selalu bisa kudaur ulang.

Berdasarkan pengalamanku menulis selama ini, gabungan dari beberapa faktor di atas sudah cukup membuatmu memiliki ciri khas. Pembaca yang menyukai cara bertuturmu tidak akan lagi peduli pada ide cerita yang kamu pilih. Apa pun yang kamu berikan, mereka makan. Karena kamu menceritakannya dengan menarik.

Aku memang belum lama menulis buku, baru lima tahun ini. Tetapi sepanjang perjalanan aku terus belajar. Mungkin penulis lain punya cara sendiri untuk membangun voice mereka. Yang lebih baik, lebih efektif. Silakan kamu pilih mana yang cocok untuk kamu ikuti.

Selamat mencoba ya.

Uncategorized

Aku dan Impostor Syndrom

 

Semenjak memutuskan untuk menjadi penulis, published author, pada tahun 2016 dan menerbitkan buku melalui penerbit mayor, aku menyadari impostor syndrom perlahan muncul dalam diriku. Pada waktu aku nggak memulai proses tersebut dengan mudah. Ada orang-orang yang iri padaku, ada orang-orang yang membenci keberhasilanku, bermacam-macam tanggapan buruk yang kudapat. Semuanya bukan tentang bukuku, bukan tentang tulisanku, melainkan mengenai pribadiku. Sering aku dapat informasi dari teman, di forum sana aku diomongkan begini, di forum sini aku dikabarkan begini. Keadaan tidak mengenakkan tersebut masih diperparah oleh pendapat keluarga besarku. Banyak dari mereka mengatakan aku hanya buang-buang waktu menulis cerita-cerita khayalan. Lebih baik aku menggunakan waktu untuk mendesak laki-laki yang mendekatiku supaya menikahiku. Lima ratus buku yang kujual selama lima hari tidak ada artinya. Ya memang 500 buku itu sedikit, tapi bagiku yang belum pernah menjual buku, otu rekor.

Aku mulai rajin meragukan kemampuan dan kualitasku dalam menulis. Memang banyak orang memberikan pujian dan reviu positif, antusiasme pembaca juga tak menurun. tetapi tetap saja aku tidak yakin apakah aku sudah berada di dunia yang benar. Banyak penulis yang lebih hebat dariku, yang tulisannya lebih memukau. Lebih baik orang memakai uangnya untuk membeli karya mereka. Pikiran seperti itu terus menghantuiku. Pada saat buku keduaku hendak terbit, impostor syndrom tersebut semakin membuatku sulit melangkah. Dari berbagai reviu, orang mengatakan bahwa buku keduaku jauh lebih baik dari buku pertama. Kata mereka aku semakin lincah menulis, semakin dalam menggali emosi–membuat pembaca menangis lalu tersenyum bersama Lilja dan Linus.

Tetapi bukannya bersemangat segera menulis naskah selanjutnya, aku malah nggak tahu harus melakukan. Ada beberapa target yang kutetapkan, tetapi ketika tak tercapai, aku merasa ingin berhenti berusaha karena aku merasa nggak mampu. Seberapa bagus pun karyaku—atau apa pun yang kulakukan, hanya kekecewaan yang kudapati pada akhirnya. Aku berpikir orang-orang di sekitarku tentu meragukanku, membicarakan kegagalanku dan mengatakan kepada anak-anak mereka supaya realistis saja, jangan sampai melakukan kebodohan sepertiku.

Ketika melihat orang lain berprestasi, atau sukses, aku kagum dan mengucapkan selamat. Tapi dalam hati aku merasa nggak akan bisa melakukan hal yang sama. Aku tidak merasa iri. Hanya semakin merasa tidak bisa. Rasanya tiap hari aku hanya mempaving jalan menuju kegagalan. Semakin hari aku semakin tenggelam dalam lubang hitam bernama keraguan-raguan. Buku ketigaku dan seterusnya memang tetap terbit dan aku berusaha membuat buku selanjutnya lebih baik daripada sebelumnya.

Karena sadar impostor syndrom ini tidak baik untuk kewarasanku, aku memulai langkah-langkah kecil untuk memperbaiki cara berpikirku. Dalam sebuah buku jurnal, aku menulis kalimat-kalimat positif dari teman-teman yang kuterima melalui media sosial, WhatsApp, atau e-mail, mempercayai orang-orang yang memberiku tugas—sebab mereka tahu kemampuanku meski aku merasa tidak layak untuk tugas tersebut, berhenti membandingkan diriku dengan orang lain, mendaftar kelebihanku plus pencapaian yang harus kusyukuri, menyadarkan diriku bahwa kegagalan adalah bagian dari kehidupan, dan berpura-pura sukses sampai aku benar-benar sukses.

Bagaimanapun caranya aku harus yakin pada diriku sendiri. Sebab jika aku sendiri tidak yakin, bagaimana orang lain akan percaya? Oleh karena itu, resolusi tahun 2019-ku yang paling utama berkaitan dengan impostor syndrom yang kuderita. Di tahun baru aku ingin mencintai, menghargai, dan merawat diriku sendiri. Meski, nggak terkira banyaknya cinta, penghargaan, dan perhatian yang kudapat dari orang-orang terdekatku, kalian semua, dan sumber-sumber lain di luar diriku. Selama ini aku selalu berharap orang lain mencintai, menghargai dan perhatian padaku. Semua hanya karena aku lupa melakukan semua itu untuk diriku sendiri.
Semestinya aku sadar, bahwa cinta, penghargaan, dan perhatian dari orang lain bisa memudar. Jika itu terjadi, yang tersisa hanya aku, seseorang yang sering meragukan diri sendiri. Makanya tahun baru nanti aku ingin memperbaiki diri di dalam.
Memang tahun 2019 dan seterusnya aku akan tetap memiliki orang-orang yang mencintaiku dan membuatku bahagia. Namun aku ingin salah satu dari orang-orang tersebut adalah diriku sendiri.
Uncategorized

NEW BOOK: SAVARA

Dari sampul belakang buku:

“Aku berusaha untuk membalas perasaanmu, Darwin. Aku belum pernah merasa dicintai sedalam ini, oleh laki-laki.”
Supaya Darwin percaya, ingin sekali Vara bisa membalas kalimat cinta dari Darwin. Hanya satu kalimat. Aku juga mencintaimu. Tapi satu kalimat itu bahkan terlalu susah untuk keluar dari mulutnya. Karena kalimat itu tidak ada di dalam hatinya.
“Katakan padaku, Vara, apa yang harus kulakukan? Kadang-kadang aku merasa sulit sekali untuk mendapatkan hatimu.”
Hanya perlu satu tatapan mata, satu senyuman, satu tawa dan satu jam bercakap-cakap dengan Savara untuk membuat Darwin jatuh cinta. Darwin sempurna kehilangan hatinya setelah pertemuan ketiga. Tidak ada pilihan baginya selain memiliki Savara.
Namun Savara berulang kali meminta waktu. Sebab dia tidak mau memulai sebuah hubungan jika belum jatuh cinta. Sayangnya Darwin tidak tahu apakah dia sanggup menunggu lebih lama lagi.
BAB I SAVARA

Langkah Darwin terhenti saat mendengar suara Lea, keponakan kesayangannya, sedang ribut minta es krim. Kakinya sudah akan melangkah mendekati mereka ketika dia melihat Lea melintas digendong seorang gadis. Bukan Daisy, kakaknya, ibunya Lea. Tetapi seorang gadis cantik yang sedang tertawa lalu duduk di kursi memangku Lea. Darwin sudah siap menyaksikan adegan seorang gadis, dengan wajah kesal, marah-marah dan berteriak karena Lea merusak gaunnya yang sempurna. Gaun berwarna mint itu memang sempurna sekali untuk tubuhnya, ditunjang warna kulitnya, rambut hitamnya, tawanya  Darwin mengumpat menyadari dirinya sedang terpesona dengan seorang gadis yang baru pertama kali dilihatnya.

“Ah! Hahaha … Tante kedinginan kalau Lea jatuhin es krimnya di baju Tante.“

Tidak. Gadis itu tidak bereaksi seperti dugaannya—melipat wajah dan menggerutu—tetapi malah tertawa lalu mengelap bajunya dengan tisu. Wajahnya ketika  tertawa…. She laughs with her whole face. Darwin semakin terpukau. Seandainya saat ini malam hari dan gelap gulita, Darwin yakin seluruh ruangan ini akan tetap terang benderang di matanya. Her smile lights up the world. Or his world, to be exact. Darwin tidak bisa melepaskan pandangan dari gadis cantik itu.

Saat ini mendadak dirinya menyadari satu hal. Kenapa lagu cinta, novel, dan film roman menjadi industri yang keuntungannya mencapai miliaran dolar karena—pada satu titik tertentu—orang merasa hal-hal cengeng seperti ini menjadi sangat masuk akal. All people need love. All people need romantic relationship. Begitu juga dengan Darwin. Di waktu  yang tepat, ketika dia sedang tidak tahu di mana harus menemukan cinta, ada gadis yang menyedot perhatiannya. Gadis yang membuatnya lupa bagaimana cara bernapas.

“Cantik ya?”

Shit! You scared the hell…,” umpat Darwin, langsung berhenti saat melihat Daisy berdiri di sampingnya. Kakaknya, satu-satunya kakak yang dimilikinya, menikah dengan Adrien, kakak laki-laki dari pengantin wanita di resepsi kali ini.

“Mau kukenalkan? Biar bisa ngajak kencan.” Daisy tertawa pelan melihat adiknya sejak tadi tidak berkedip memperhatikan Vara.

Darwin tidak mengatakan apa-apa. Seandainya saja mengajak kencan seorang gadis bisa semudah itu. Menurut Darwin, ada beberapa pekerjaan sulit di dunia ini. Mulai dari memenangkan balap sepeda Tour De France dengan jarak tempuh 3.000 mil tanpa bantuan steroid dan obat dopping—banyak di antara pemenang itu selanjutnya diperiksa atau dibatalkan kemenangannya karena ketahuan curang—sampai pekerjaan sulit lain seperti memasukkan kembali pasta gigi yang sudah telanjur keluar ke dalam tube-nya. Di antara kedua pekerjaan mahasulit tersebut, ada pekerjaan yang tidak kalah sulit. Mengajak seorang wanita berkencan. Wanita istimewa yang benar-benar membuat jatuh cinta. Bukan wanita yang menjadi pengisi waktu luang atau untuk ditiduri lalu minggu depan berganti wanita lagi.

Kalau ada laki-laki di dunia ini yang mengatakan sebaliknya, bahwa mengajak wanita berkencan adalah pekerjaan paling mudah di dunia, semudah menekan tombol flush di toilet, menurutnya laki-laki itu hanya bermulut besar. Atau dia delusional.

“Apa kamu ada waktu hari Minggu nanti? Aku telanjur beli dua tiket konser dan temanku tidak bisa pergi.” Mengatakan ini sama dengan membuat laki-laki sengaja mengundang sebuah bencana hebat bernama penolakan. Bukankah ditolak adalah salah satu ketakutan terbesar manusia? Termasuk bagi laki-laki.

“Just go home and jerk off.”  Sebagian besar otak laki-laki memutuskan begini daripada mengambil risiko ditolak wanita.

Walaupun begitu, masih banyak laki-laki bernyali  untuk mengajak wanita berkencan. Sebab tetap ada kemungkinan—sekecil apa pun itu—wanita yang disukai juga menyukai mereka dan menerima ajakan kencannya.

Pandangan Darwin mengikuti Daisy yang melangkah mendekati gadis itu, yang hanya berjarak sepuluh langkah dari tempat Darwin berdiri. Sekali lagi gadis itu tertawa sambil mencium Lea yang kini digendong Daisy. Manis sekali. Kulitnya tidak putih seperti kulit Daisy. Itu yang membuatnya berbeda. Lebih memukau. Daripada gila karena gadis yang tidak dikenalnya, Darwin memutuskan bergerak mendekati Amia dan suaminya. Lebih cepat pergi dari sini lebih baik baginya.

“Selamat ya, Mia.” Darwin menyalami Amia lalu suaminya.

“Thank you…. Ah, Ini adiknya Kak Daisy. Namanya Darwin.” Amia mengenalkan Darwin kepada suaminya. “Eh, foto sekalian dulu kita,” ajak Amia.

“Tidak usah, Mia. Aku buru-buru.” Kalau mendatangi pesta pernikahan beramai-ramai bersama teman-temannya, Darwin dengan senang hati akan ikut berfoto. Kalau sendirian begini, berfoto bersama pengantin tampak menggelikan. Terlihat sangat putus asa sekali kalau dia harus berdiri di antara kedua mempelai.

“Kamu pasti dateng sendiri makanya nggak mau foto. Tapi…. ” Dan pintarnya, atau sialnya, Amia bisa menebak alasan sesungguhnya kenapa Darwin keberatan berfoto. “Vara! Sini!” Amia sedikit mengeraskan suaranya.

Kepala Darwin otomatis mengikuti arah pandangan Amia dan melihat gadis yang tadi bersama Lea mendekati mereka.

“Ada apa, Am? Ada yang bisa kubantu?” tanya gadis cantik itu—oke, baginya kata cantik susah ditinggalkan kalau menyangkut gadis bergaun panjang semata kaki itu—ketika sudah berdiri di dekat Amia.

“Ada. Foto, yuk. Temenin Darwin. Kasihan kondangan sendiri. Ini Darwin, adiknya Kak Daisy. Ini Vara. Savara. Mau, kan? Udah kucariin temen foto yang cantik begini.” Amia bicara dengan cepat lalu menarik Vara agar berdiri di sampingnya.

Darwin mengulurkan tangan untuk salaman dengan Vara sambil menyebutkan nama. Sementara gadis yang dikenalkan sebagai Vara itu hanya mengangguk sambil tersenyum samar. Mengecewakan. Tetapi tidak apa-apa. Setidaknya dia dan gadis itu bisa berada dalam satu foto. Meski tidak berdiri berdampingan, karena Darwin mengambil posisi di samping Gavin.

Vara lebih dulu meninggalkan mereka bertiga setelah sesi pemotretan selesai, ketika Darwin  bercakap sedikit dengan kedua mempelai. Saat mengamati sekelilingnya, Darwin melihat Vara sedang berdiri di samping meja empek-empek. Darwin tersenyum dan memutuskan untuk mengarahkan langkahnya ke sana.

“Keluarga Amia?” tanya Darwin setelah berdiri di dekat Vara.

“Teman.” Vara menerima semangkuk empek-empek dan mengucapkan terima kasih.

Darwin menyimpulkan Vara adalah salah satu anggota keluarga berdasarkan warna gaun Vara, yang sama seperti gaun yang dikenakan Daisy dan beberapa wanita di sini.

“Datang sendiri?” Darwin setengah berharap Vara tidak punya pasangan.

Vara tidak segera menjawab. Sepertinya hanya Vara yang merana sendirian di pesta pernikahan sahabatnya. Mata Vara menyapu ruangan dan tidak menemukan satu orang pun yang berdiri sendiri. Mendatangi kondangan sendirian itu menyedihkan. Saking menyedihkannya, sampai ada jasa sewa pasangan dengan tarif per jam sekian ratus ribu.

Catatan Penulis:

Sebelum membaca Savara, disarankan untuk membaca Bellamia dan Daisy Kedua cerita tersebut merupakan kisah dari dua sahabat Savara, Amia dan Daisy, yang banyak muncul dalam cerita Savara. Demi menghindari spoiler dan mengurangi keseruan.