My Books, Thing That Makes Me Happy

MENJADI PENULIS: DARI NOL HINGGA TAHUN KETUJUH

Hingga hari ini semua masih terasa seperti mimpi. Tepat pada bulan Maret yang lalu, aku memasuki tahun ketujuhku sebagai penulis profesional. Sebuah pencapaian yang sangat luar biasa untukku, yang tidak pernah membayangkan akan berhasil menerbitkan buku. Lebih-lebih bertahan selama ini.

Perjalanan karierku sebagai penulis diawali ketika aku patah hati. Seseorang yang kucintai, pada tahun 2011 mencampakkanku. Tidak ada penjelasan yang kuterima, tapi aku menyimpulkan dia meninggalkanku karena aku tidak melangkah secepat dirinya. Dalam bidang akademik. Untuk mengisi waktu luang, yang tiba-tiba banyak karena aku tidak lagi menghabiskan waktu dengannya, aku menulis. Mencurahkan isi hati tapi melalui tokoh fiksi. Pendek-pendek saja. Bahkan aku mengikuti suatu program menulis 30 hari yang diadakan sebuah penerbit, walaupun pada akhirnya aku tidak terpilih untuk mentoring.

Tahun 2012 adalah salah satu tahun yang terberat dalam hidupku. Dalam sebuah acara team building di Gunung Salak, aku terjatuh lemas, sesak napas, dan sakit di dada. Tim medis sudah membantuku dengan oksigen dan segala macam, hingga aku bisa pulang dengan selamat. Tetapi aku tetap merasa sangar khawatir. Aku yakin aku kena serangan jantung. Ke mana-mana aku berobat, menjalani tes ini dan itu, sampai salah satu dokter menyarankan aku ke psikiater. Dan ternyata aku terkena serangan panik.

Menulis kembali menjadi salah satu alat terapiku. Di sanalah aku menemukan ketenangan dan kenyamanan. Aku mencari tahu mengenai invisible disabilities dan kesehatan mental, lalu aku memasukkannya sebagai tema dalam tulisanku. Selain itu, aku juga rajin mengikuti beberapa lomba cerpen. Lebih sering kalah. Hanya dua kali aku mencapai posisi runner up.

Percobaanku menulis novel dimulai tahun 2013. Pada saat itu kesulitan menyelesaikan satu naskah utuh. Dapat satu atau dua bab, aku berhenti. Sepanjang tahun begitu. Karena banyak faktor. Salah satu yang terbesar adalah kehabisan bahan bakar. Aku tidak punya cukup modal untuk menulis tapi aku memaksakan menulis. Sehingga aku tidak tahu harus mengisi 200 halaman dengan apa.

Aku mulai mempelajari apa saja yang harus dipersiapkan penulis untuk menyelesaikan sebuah novel, pada tahun 2014. Aku belajar membuat outline, membuat daftar kebutuhan cerita–untuk diriset, dan membuat jadwal. Hasil dari belajarku dan ketekunanku adalah sebuah novel berjudul The Danish Boss. Bisa menuliskan kata tamat benar-benar membanggakan dan membahagiakan. Tidak peduli mau novel itu jelek atau bagus, kekurangannya berapa banyak, dan lain-lain ketidaksempurnaan lain, aku tetap merayakan keberhasilan itu.

Sebab The Danish Boss memberikan kebahagiaan kepadaku, aku berpikir bisa jadi orang lain akan merasakan hal yang sama. Dimulailah perjalanan The Danish Boss mencari penerbit. Karena aku tahu diri aku masih hijau, maka aku membidik penerbit kecil, yang beberapa bukunya kusukai. Surat penolakan langsung datang sebulan kemduian. Kaget, kecewa, dan patah hati. Seburuk itukah novelku?

Untuk melupakan kesedihan tersebut, aku menulis cerita baru. Setelah berbulan-bulan bekerja keras, lahirlah Geek Play Love. Keinginanku untuk membagi kebahagiaan yang kurasakan dengan pembaca kembali tumbuh. Mungkin karena euforia berhasil menyelesaikan satu novel lagi. Aku kembali rajin mengirimkan Geek Play Love bersama The Danish Boss. Penolakan dan tidak ada jawaban adalah kenyataan demi kenyataan yang harus kuhadapi. Di tengah kekecewaan yang bertubi-tubi, aku meyakini, paling tidak, aku berlatih menyusun surat pengantar, sinopsis, penilaian cerita, dan CV penulis.


Buku debutku, My Bittersweet Marriage, akhirnya terbit tahun 2016. Setelah mengirimkan naskah, sinopsis, dan segala yang diperlukan, kemudian menunggu kurang lebih tiga bulan, Mbak Afriyanti Pardede dari penerbit Elex Media Komputindo memberi kesempatan kepadaku. My Bittersweet Marriage adalah naskah ketiga yang kutulis. Pelarian dari patah hati atas penolakan The Danish Boss dan Geek Play Love. Bahagianya luar biasa. Sampai sekarang pun aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.

When Love Is Not Enough menjadi buku keduaku yang terbit secara tradisional/mayor pada tahun 2017. Cerita yang menguras air mata, menurut banyak pembaca. Tepat pada tanggal terbit, aku menjalani operasi lutut kanan. Sehingga aku menyimak antusiasme teman-teman akan kisah Linus dan Lilja dari atas ranjang rumah sakit. Dalam kondisi puasa jelang operasi. Sampai tiga bulan kemudian, aku masih harus membatasi gerakku. Untungnya ketidaknyamanan itu tertutupi dengan kebahagiaan menerbitkan buku.

Pada 2018, aku sempat memutuskan untuk berhenti menerbitkan buku. Karena berbagai alasan. Niat itu kuutarakan kepada sahabatku. Aku nggak mengirimkan naskah kepada editorku. Menerbitkan dua buku sudah cukup memenuhi rasa penasaranku di dunia perbukuan. Aku tetap menulis, karena aku menyukai kegiatan itu. Rencanaku nanti kalau aku ingin, aku akan menerbitkan secara mandiri.

Awal tahun 2019, editorku menghubungiku untuk membahas My Bittersweet Marriage yang diterbitkan ulang dengan cover baru. Beliau bertanya apa ada naskah yang bisa diterbitkan dan beliau janji akan mempercepat proses terbitnya. Karena aku tidak pernah berhenti menulis, aku bisa mengirimkan naskah pada hari itu juga. Empat bulan kemudian, The Game of Love terbit. Bisa comeback setelah dua tahun rasanya seperti debut ulang. Bahagianya, antusiasmenya, kecemasannya, semuanya sama besarnya.

Pandemi datang di saat aku dan editor sudah selesai merevisi novel keempat, A Wedding Come True. Tentu saja alu khawatir ketika kita semua harus tinggal di rumah. Karena banyak proses yang harus disesuaikan, di antaranya pegawai penerbit dan percetakan yang tidak beroperasi seperti biasanya. Toko buku pun tutup semua. Preorder yang telanjur dimulai tetap kulanjutkan meskipun aku tidak tahu apakah buku akan dicetak sesuai jadwal. Teman-teman mulai bingung dan bertanya ketika penerbit dan toko buku Gramedia mengumumkan gerai Gramedia tutup imbas dari dilarangnya mall untuk buka. Untungnya, jelang berakhirnya masa preorder, penerbit membantu dengan mencetak buku sesuai jumlah preorder. Bahkan aku mengadakan dua kali preorder, yang kedua di tanggal terbit baru.

Editor bertanya apakah aku ingin e-book dirilis lebih dulu. Namun, karena selama pandemi The Game of Love banyak dibajak dan dibagikan di grup WA dan telegram, aku memutuskan untuk menunda penerbitan e-book A Wedding Come True. Seperti sebelum pandemi, e-book A Wedding Come True terbit setelah buku cetak. Dan langsung mencatatkan rekor–pribadiku–sebagai e-book paling laris pada minggu terbit di aplikasi Gramedia Digital.

Masih dalam masa pandemi, Juni tahun 2021, buku kelimaku, The Percect Match, terbit. Tepat saat hendak mulai proses revisi, laptopku kehujanan. Demi menghemat, aku membawanya ke service center untuk diperbaiki. Terpaksa aku bekerja tengah malam dengan laptop adikku, karena jawdal penerbitan buku tidak bisa ditunda. Sebelum servis, aku sudah mengopi HDD laptop ke penyimpana eksternal. Aku kuliah di Fakultas Teknologi Elektro dan Komputer Cerdas, adalah jawabanku kepada pembaca saat mereka tanya kok aku ngerti komputer hahaha. Sayangnya, aku tetap beli laptop baru karena laptop lama yang menemaniku sejak aku menulis When Love Is Not Enough tak terselamatkan.

Aku juga mendapat diagnosis depresi dan gangguan kecemasan pada awal tahun 2021. Sebelum sampai pada diagnosis itu, lebih dulu aku banyak duduk di ruang tunggu rumah sakit. Sebab alu merasa dadaku sakit. Sama seperti dulu, sebelum ke psikiater, aku lebih dulu bicara dengan berbagai spesialis termasuk jantung. Selama menunggu, aku membuat plotting novel, mendaftar kebutuhan cerita, dan proses-proses lain yang kuperlukan untuk menulis selanjutnya.

Untuk pertama kali aku memenangkan lomba cerpen di tahun 2021. Karyaku Sebaik-baik Pelajaran menjadi juara pertama Lomba Teman Tulis 2021. Aku berhak mendapat hadiah uang dan cerpen tersebut di terbitkan dalam antologi bersama sepuluh karya terpilih.

November 2021, buku keenam The Promise of Forever lahir. Aku sendiri pun terkejut dengan pencapaian ini. Di antara kondisi mentalku yang membutuhkan sangat banyak perhatian dan pemgertian, aku masih bisa menyelesaikan sebuah novel. Dan terbit! Pada tahap ini, aku memutuskan akan memberi tahu siapa pun yang mengundangku ke sebuah acara–sebagai narasumber–bahwa aku memiliki invisible disabilites. Panitia pertama yang mengakomodasi kebutuhan khususku berasal dari Universitas Jenderal Soedirman. Sehingga saat acara–yang hadir 75 orang!!!–aku tidak terserang panic dan anxiety attack.

Cerpen keduaku, Sebaik-baik Manusia kembali memenangkan lomba juga pada 2022. Ini menjadi modal keyakinan yang besar untuk menuju novelku selanjutnya.

Right Time To Fall In Love, buku ketujuhku lahir tahun 2022. Rintangan terbesar adalah mendapatkan ISBN. Prosesnya lebih lama daripada biasanya. Plus, aku harus mengumpulkan surat pernyataan keaslian naskah ke Perpusnas dengan ditandatangani dan dibubuhi materai. Suatu proses yang menurutku konyol. Sudah tahun 2022 masa masih pakai kertas seperti itu. Kok kalah sama Wattpad dan aplikasi lain, yang bisa tanda-tangan secara digital. Akibatnya tanggal terbit pun berubah dan ini membuat proses preorder menjadi kacau. Aku berusaha sabar dan berharap yang terbaik saja. Right Time To Fall In Love adalah bukuku yang tidak terdaftar dalam bestseller langsung pada bulan terbit.

Baru pada bulan Maret yang lalu, bulan anniversary-ku sebagai penulis, penerbit mengumumkan buku terbaruku, Right Time To Fall In Love, meraih predikat bestseller. Meskipun itu tidak pernah menjadi tujuan utamaku dalam menulis, tapi mengetahui Right Time To Fall In Love menyusul novel-novel sebelumnya di tangga tinggi penjualan membuatku merasa lega.

Selain menerbitkan buku secara tradisional, aku juga menerbitkan beberapa novel secara independen, yaitu The Danish Boss, Geek Play Love, Midsommar, Bellamia, Savara: You Belong With Me, dan antologi bab ekstra Midnatt.

Novelku selanjutnya, The Dance of Love, akan terbit pada tahun ini lewat penerbit Elex Media Komputindo. Dan akan menjadi judul kedelapanku bersama Elex Media. Harapanku, paling tidak, aku bisa menerbitkan sampai buku kesepuluh.

Selama menjadi penulis profesional, aku mengerti ada banyak hal yang berada di luar kuasaku. Di antaranya apakah orang akan membeli novelku dan apakah mereka akan menyukai karyaku. Bahkan menentukan bukuku akan terbit atau tidak, aku tidak punya kendali. Karena itu masalah rezeki, yang menjadi misteri dan hanya diketahui Yang Maha Kuasa. Yang bisa kukontrol adalah kualitas tulisanku. Bukuku selanjutnya akan selalu lebih baik dari buku sebelumnya. Sebab aku selalu belajar dan akan terus belajar.

Aku tidak akan pernah berhenti menulis. Karena menulis membuatku bahagia dan menjauhkankanu dari depresi dan gangguan kecemasan. Mungkin suatu hari nanti orang tak akan lagi mau membeli novelku, tapi mereka tidak menyuruhku berhenti.

My Bookshelf

WRITING HANGOVER

Hangover. Aku nggak tahu dalam bahasa Indonesia dialihbahasakan menjadi kata apa. Di luar negeri, orang mengalami hangover setelah kebanyakan minum alkohol. Malam mereka mabuk, lalu tidur dan paginya pusing, lemes, bingung–ini yang disebut hangover. Katanya, kalau tidur–setelah mabuk–cukup lama, nggak akan kena hangover parah. Tapi meski kita nggak minum, kita juga bisa kena ‘hangover‘ di berbagai aspek kehidupan. Book hangover, kita baca buku yang bagus banget sampai beberapa hari kita cuma pengen membayang-bayangkan apa yang sudah kita baca, kita baca ulang, dan nggak ada niat buat melakukan hal lain. Diajak temen ke mall aja males, soalnya lebih pengen melamu. Cara menyembuhkannya sama seperti alcohol hangover, dibiarkan saja beberapa hari. Nanti setelah otak dan tubuh kita pulih, kita baca buku lagi. Kalau ketemu buku yang bagus.

Sekarang ini, aku mengalami hangover lain. WRITING HANGOVER. Kalau menyelesaikan naskah dan menerbitkannya adalah proses drinking–alias mabok, setelahnya aku hangover. Seperti sekarang, aku mengalami Bellamia hangover. Setelah berbulan-bulan bergulat dengan naskah dan buku Bellamia, susah sekali buatku untuk keluar dari karakter Gavin. Setiap nyoba nulis, yang keluar Gavin lagi Gavin lagi. Warna tulisanku juga mirip-mirip Bellamia. Tulisanku disorientasi, persis seperti orang hangover setelah mabok parah.

Kalau ada penulis yang ‘istirahat’ nulis lama, mungkin dia sedang hangover. Nggak tahu harus nulis apa setelah buku terbarunya terbit. Itu wajar dan lumrah. Tapi aku nggak mau hangover lama, sampai setahun atau lebih begitu. Dua tiga bulan cukuplah, kalau memungkinkan.

Sebagai penulis–kemarin sore–pasti kita ingin nulis sesuatu yang berbeda. Kalau nggak bisa berbeda daripada penulis lain, paling nggak berbeda dari buku kita sebelumnya. Jangankan pembaca, aku aja bosan nulisnya kalau seperti itu. Kalau sudah sukses dengan cerita model A, biasanya penulis bikin yang semodel, karena main aman:pembaca suka. Tulisan hangover. Kalau aku sebagai pembaca, ya aku cari buku lainlah. Ngapain baca cerita yang mirip. Tapi sekarang makin susah cari buku yang seger dan beda.

Anyway, balik lagi ke writing hangover. Yang pertama kulakukan adalah membaca buku. Kubeli buku lucu seperti Pants Are Everything, nggak ngangak juga. Masih mabok Gavin. Buku yang serius, seperti Without Their Permission–malah pingin mabok Dinar. Kuaduk-aduk terus segmen biografi. Sekalian riset buat karakter di naskah selanjutnya. Sekali terpuk dua lalat. Karena waktu yang tersedia buat nulis dan baca, nggak banyak. Dan aku nggak bisa menulis kalau nggak banyak membaca. Banyaakkk banget. Setelah baca dua buku penuh–sebulan, aku bisa lepas dari hangover dan bisa nulis lagi. Tanpa teringat Gavin seperti apa.

Setelah nggak begitu hangover lagi, aku nulis naskah ‘jembatan’. Perantara antara Bellamia dan buku selanjutnya–cerita tentang Savara dan cerita tentang Mikkel Moller. Setuju sama dua cerita itu? Jembatan yang kupilih adalah Midsommar, prequel Mikkel, cerita dia saat masih pacaran. Karena rencananya cerita ini bakal ada dalam marriage lit seperti My Bittersweeet Marriage dan When Love Is Not Enough. Midommar mungkin bakalan ada sedikit-sedikit bagian yang mirip sama Bellamia dan Gavin-nya. Tapi nggak papa, yang penting saat ngerjain buku yang sesungguhnya, Midnatt, aku sudah keluar dari pengaruh Bellamia dan Gavin. Savara sudah kuselesaikan sebelum Bellamia, tinggal perbaikan di sana-sini dan kurasa Bellamia nggak akan mempengaruhi.

Dan Midsommar bisa dibaca gratis, seperti halnya naskah ‘jembatan’-ku yang lain. Link ada di bawah.

P.S: Aku juga punya sebuah rencana, yang sampai sekarang masih belum kuketahui bakalan bikin temen-temen seneng atau … nggak. Tunggu saja kaabr dariku, semoga dalam waktu dekat.

 

Link buat baca gratis naskah ‘jembatan’-ku:

Midsommar karya Ika Vihara

The Danis Boss karya Ika Vihara

Link baca gratis terkait:

Bellamia karya Ika Vihara

Geek Play Love karya Ika Vihara

My Books

Freebie: Baca Cerita The Mollers Gratis Di sini

 

Siapa The Mollers? Keluarga rekaanku. Aku sudah menuliscerita mereka sebanyak tiga judul. Bukan buku bersambung. Tokoh utamanya ganti-ganti, cuma nama belakangnya Moller semua. Sampai hari ini masih ada cerita mereka yang bisa dibaca gratis melalui link di bawah ini:

Midsommar Chapter 1 sd 6
The Dance of Love Chapter 1, 2, dan 3

The Danish Boss Chapter 1 sd 20

Sedangkan buku-buku The Mollers yang sudah ada di toko buku adalah:

My Bittersweet Marriage

Afnan Moller. Half-Danish. Memutuskan untuk menjadi warga negara Denmark, mengikuti ayahnya, saat usia 18 tahun.  Mikrobiologis di Aarhus University Hospital. Sudah tinggal di Aarhus selama 12 tahun dan akan tinggal di sana sampai akhir hayat. Sebagai muslim, menemukan calon istri yang seiman di sana sulit sekali. Ditambah kesibukannya–pekerjaan, seminar, dan sebagainya–

Hessa. 27 tahun. Ibunya sudah ribut menyuruhnya menikah, sebelum dilangkah adiknya yang sudah dilamar. Masalahnya, bagaimana menemukan orang yang bisa membuatnya jatuh cinta? Saat sedang pusing memikirkan cinta, ibunya memberitahu bahwa ada laki-laki yang tertarik dengannya. Hessa memperlajari profil Afnan, dengan bantuan internet, dan, mau tidak mau, mengakui bahwa dia terpikat dengan sepasang mata biru seperti samudera tersebut. Masalah besarnya hanya satu. Afnan tidak tinggal di sini. Dia tinggal di Denmark dan tidak punya waktu untuk saling mengenal. Yang diinginkan Afnan adalah menikah dan membawa istrinya tinggal di Aarhus. Bagaimana rasanya meninggalkan semua hidupnya di sini, untuk hidup di sebuah tempat yang namanya saja tidak pernah dia dengar? Bagaimana rasanya meninggalkan keluarga, sahabat, dan pekerjaan, demi hidup bersama laki-laki yang baru ditemui tiga kali?

When Love is Not Enough

We will meet:

Lilja Moller. 28 tahun. Berdarah Denmark. Baru saja pindah ke Indonesia dan bekerja di perusahaan keluarga.Menikah dengan Linus, orang yang sudah dia kenal sejak lahir, dan tidak bisa lagi menghitung betapa besar dia mencintai Linus. Mencintainya sebagai teman, kakak, kekasih dan ayah dari almarhum anak perempuannya. Tetapi cinta saja tidak cukup menahan Lily untuk tetap menghidupkan pernikahan mereka. Sehingga Lily menyimpulkan pernikahan mereka tidak layak dipertahankan. Sambil menahan rasa sakit akibat patah hati, Lily bersumpah tidak akan lagi mempertaruhkan dirinya untuk disakiti lagi.

Linus Zainulin. Linus the Genius, kata Lily. 30 tahun. Merasa sudah memiliki kehidupan yang sempurna. Mendapatkan pekerjaan yang paling dia minati di salah satu perusahaan terbesar di dunia di Munich, Jerman. Hobinya, bermain sepak bola mendatangkan keuntungan finansial dan ketenaran. Menikah dengan gadis impiannya, sahabat terbaiknya, Lily Moller. Yang cantik dan cerdas. Seolah ingin membuktikan bahwa tidak pernah ada sesuatu yang sempurna, Linus menghancurkan pernikahan mereka dan Lily memilih untuk pergi. Meninggalkannya dalam tumpukan penyesalan. Bagaimana cara mendapatkan Lily kembali? Bagaimana cara memenangkan hatinya lagi? Bisakah pernikahan dibangun oleh satu orang saja?

 

Give Away, My Books, My Bookshelf

Review Buku – Bellamia by Ika Vihara

Review ini aku copy dari web salah satu pembaca, Tari. Terima kasih untuk reviewnya 🙂

Bellamia

Oh wow! Kalian semua harus baca novel ini. Ini novel pertama Ika Vihara yang kubaca dan aku bakalan menjamin kalau novel ini manis banget. Manis yang berbeda dari novel romance lain. Manis yang realistis. Sejak kalimat pembuka aku sudah disuguhi kalimat-kalimat yang berbobot. Dari halaman pertama sampai habis bikin bahagia, bikin tersipu, bikin marah, bikin kesel, bikin ketawa dan bikin iri! Iri banget aku sama Amia.

“Aku tahu kamu bisa melakukan apa aja sendiri, Amia. Apa tidak bisa kamu pura-pura tidak bisa? Biar aku ada gunanya.”

Amia tertawa, Gavin terdengar putus asa.

“Tolong antar aku pulang.” Amia memutuskan.

Aku suka banget sama buku ini dan nggak ragu buat bilang Ika adalah salah satu penulis favoritku sekarang. Ika memilih tokoh engineerpower engineer, yang setiap hari bikinin kita listrik dan pekerjaan tersebut jadi terdengar keren dan mulia. Aku nggak akan marah lagi kalau listrik mati, karena ingat Gavin lembur kalau itu terjadi.

Teknik menulis Ika sudah jempol. Kalimat-kalimatnya mengalir, interaksi antartokoh pas, ya seperti kita bercakap sehari-hari sama teman, pacar, orangtua. Semua serba realistis. Sampai aku percaya Gavinku ada di sekitarku dan Amia adalah sainganku. Plus, banyak pengetahuan yang kudapat dari sini. Aku jadi tahu kalau Einstein pernah punya kesimpulan soal jatuh cinta.

Aku sedang iseng Google rekomenasi buku dan sampai pada blog pribadi penulis. Dan aku yakin aku mau baca buku ini setelah baca blurb-nya:

Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun teman SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin—dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan—mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat.

Merahasiakan hubungan dari semua orang.

Dari situ saja aku sudah dijanjikan sesuatu yang berbeda: simulasi terorisme! Di kantorku juga ada seperti itu tapi kenapa nggak ada ‘Gavin’ yang mendatangiku.

“Bapak ngapain di sini?”

Jus kemasan tetrapak menempel di pipi Amia.

“Menjenguk pegawai yang cedera karena simulasi.” Gavin meletakkan jus jeruk itu di pangkuan Amia dan dia sendiri duduk di kursi besi panjang di sebelah kanan Amia.

“Kenapa Bapak repot-repot?” Amia tidak pernah mendengar cerita ada top management menjenguk staf seperti dirinya.

“Karena aku bertanggung jawab terhadap keselamatan semua pegawai?”

Ini memang cerita tentang interoffice romance, alias cinta lokasi di kantor. Ini memang cerita tentang atasan dan bawahan. Di saat aku bosan dengan model cerita Cinderella, (bawahan dengan CEO, red), Ika membuat cerita ini berbeda. Seperti yang kubilang, Gavin adalah power engineer, yang cerdas, berkharisma, tampan, dan percaya diri. Kecintaan Gavin pada engineering, listrik, dan kemaslahatan umat betul-betul disampaikan dengan baik sampai aku berpikir, ini yang engineer penulisnya atau Gavin? Amia berasal dari keluarga berada, berpendidikan, puas dengan hidupnya yang sekarang dan tidak menginginkan apa-apa lagi. Kecuali cinta. Dan Amia ini keras kepala banget nggak mau mencari cinta di kantor.

Cerita yang lengkap sekali. Meski Amia dan Gavin menghadapi masalah, bukan cuma mereka yang bertambah dewasa, tapi aku, dan mungkin pembaca yang lain juga. Betul-betul cerita ini layak untuk dibaca dan sampai dengan bulan Oktober ini, ini adalah buku romance terbaik yang pernah kubaca.

Jadi … kembali ke interoffice romance, hari pertama Amia bertemu dengan Gavin, atasannya yang paling atas, Amia tidak menyangkal kalau dia terpersona pada Gavin. Well, Mia, siapa yang nggak? Dan Gavin pada pertemuan mereka yang pertama juga, dengan cerdik langsung memanfaatkan posisinya lebih tinggi dari Amia, untuk mendekatinya. Jempol.

“Apa kamu tahu alamat ini?” Gavin menunjukkan kertas putih itu kepada Amia.

“Tahu, Pak.” Sejak lahir dia tinggal di sini, tentu saja tahu.

“Antar saya ke sana.” Gavin berdiri. Memang ada GPS. Pengisi suaranya juga wanita. Tapi kalau tersedia GPS alami—penduduk lokal—yang menarik dan cantik seperti ini, semua laki-laki akan melupakan software navigasi tersebut. Gavin tersenyum dalam hati. Memuji dirinya atas keputusan cerdas yang baru dibuatnya.

Amia sadar kalau Gavin tertarik padanya dan Amia berusaha untuk menghindar dari potensi drama yang mungkin terjadi kalau teman-temannya tahu atasan/idola mereka tertarik pada Amia. Bahkan Amia menolak berteman dengan Gavin.

“Saya bisa dipecat kalau manggil bos pakai nama langsung.” Sampai hari ini Amia masih tahu adat dan tidak akan memanggil atasannya seperti yang diinginkan Gavin.

“Ini, kan, di luar kantor, Amia.”

“Karena di luar kantor, saya nggak wajib menuruti perintah Bapak.” Amia berargumen.

“Kenapa?”

“Karena Bapak atasan saya di kantor. Bukan di luar,” jawabnya putus asa.

“You got it? Kita bukan atasan dan bawahan sekarang. Karena tidak di kantor, seperti yang kamu bilang sendiri. Teman?” Gavin puas dengan kemenangannya.

Shit. Amia mengeluh dalam hati.

Tapi Gavin pantang menyerah. Dia tetap berusaha menginginkan kesempatan dari Amia, meski jawaban yang didapat dari Amia tetap ‘tidak.’

“Jadi apa akan ada second date?”

Amia batal melangkah saat mendengar pertanyaan Gavin.

“Nggak. Dan tadi bukan date.” Demi apa pun di dunia ini, kenapa kegiatan makan es krim disebut kencan oleh laki-laki ini?

“I deserve a date, Amia.” Dalam bulan ini, kalau tidak bisa berkencan dengannya, sebaiknya dia mati saja.

Menarik sekali melihat bagaimana Gavin berusaha mengubah pemikiran Amia mengenai office romance. Karena Gavin menghabiskan banyak waktu di kantor, gimana mungkin dia akan ketemu jodoh di luar sana? Sedangkan Amia, berusaha untuk memegang prinsip hidupnya bahwa menjalin hubungan dengan teman sekantor adalah bencana.

Ah, jangan pikir ini akan sama dengan cerita romance lain. Tidak ada orang ketiga yang mengganggu mereka. Yang membuat menarik, penulis bisa bikin konflik yang hanya melibatkan dua tokoh ini. Perasaanku teraduk-aduk selama mereka berkonflik. KESAL, MARAH, MENDUKUNG AMIA, TAPI JUGA INGIN PUK-PUK GAVIN. Semua konflik itu malah membuat kedua tokoh utama menjadi semakin matang dan dewasa. Pembaca juga ikut kecipratan menjadi bijak.

Aku suka semua bagian dari buku ini. Cara berpikir Amia dan Gavin, cara mereka instropeksi diri, cara mereka menyampaikan perasaan, cara bertengkar bahkan. Bagaimana perjuangan mereka untuk menemukan kebahagiaan. Aku lega banget setiap kali Amia atau Gavin berhasil melewati satu ujian hidup.

Orang rajin mengganti oli mesin setiap tiga ribu kilometer. Servis seribu kilometer atau sepuluh kilometer. Jadi kenapa tidak menerapkan aturan ini pada kekasih mereka? Seorang kekasih perlu untuk dihubungi dan dikabari secara berkala. Sehari sekali. Dua hari sekali. Bertemu seminggu sekali—minmal. Diberi perhatian dan disayang. Supaya hubungan mereka tidak macet di tengah jalan.

Aku selalu suka cerita yang membuatku percaya bahwa semua orang di dunia ini bisa mendapatkan kisah cinta yang indah. Bellamia ini salah satunya. Membumi. Apa yang terjadi pada Amia bisa terjadi padaku, pada kita. Gavin bisa ditemui di sekitar kita. Kalau tidak jadi engineer, mungkin Gavinku dokter. Juga buku ini menenangkan hatiku dari galauku yang sedang menunggu datangnya kekasih hati.

“Akan ada balasan kebahagian untukmu, Mia. Walaupun nanti bukan dengan Riyad, akan ada cinta lain untukmu. Akan ada orang yang mencintaimu sebesar rasa cintamu padanya. Yang dengan yakin akan memilihmu di antara banyak wanita di dunia.”

5 bintang dariku!

Oh ya, ada excerpt dari Bellamia yang bisa dibaca di blog pribadi Ika. Bisa dibaca dan siapa tau jatuh cinta kayak aku.

Juga sedang ada give away. Hadiahnya novel Bellamia bertanda tangan penulisnya.

Ada review yang kebanyakan bintang 5 di Goodreads.

Follow fanpage penulisnya dan ada cerita gratis yang dibagikan setiap minggu!

My Books

Bellamia: The Excerpt

 


Are you in mood to test Bellamia? Here the excerpt special for you.

Mau bagaimana lagi. Terpaksa Amia membawa kakinya ke depan pintu. Wow! Ini akan jadi kali pertama Amia masuk ke ruangan power plant manager. Sebelumnya belum pernah sama sekali. Tidak pernah ada urusan dengan mereka. Ragu-ragu Amia mengetuk pintu. Tidak ada sahutan. Setelah tiga kali mengetuk dan memikirkan risiko buku-buku jarinya patah, Amia memutuskan untuk mendorong pintu lalu melongokkan kepala. Tatapannya terpaku pada meja besar di ruangan itu. Kosong. Tidak tampak keberadaan manusia.

Repot sekali mencari orang bernama Gavin ini, Amia sedikit jengkel. Erik juga memberi informasi tidak jelas sama sekali. Apa tidak bisa sekalian pakai tagging koordinat di mana persisnya posisi Gavin? Sudah berapa puluh menit waktunya terbuang sia-sia?

“Ya?” Sebuah suara membuat Amia melompat dan menjatuhkan amplopnya.

A deep baritone. Mata Amia bergerak mencari sumber suara.

“Astaga!” Amia mengelus dada dan menengok ke kiri. Orang yang dia curigai bernama Gavin itu sedang santai membaca koran di sofa.

Sebuah wajah muncul dari balik koran. My God! Baru kali ini dia bertemu laki-laki dan sukses membuatnya lupa bagaimana cara bernapas. Apa patung buatan Michelangelo benar-benar bisa hidup dan berjalan? Bagian bibir dan dagu seperti dipindahkan langsung dari wajah David. Rambut hitam legamnya sangat rapi, seperti dua menit lagi dia akan dipanggil masuk ke studio untuk membacakan berita. Matanya yang tersembunyi di dalam tulang dahi dan tulang pipi yang tinggi, menyorot tajam ke arah Amia.

“Masuk.” Lagi-lagi, suaranya membuat Amia tergeragap.

Setelah mengambil amplop cokelatnya di lantai, Amia melangkah masuk.

“Pak Gavin?” Amia memastikan. Sambil memperhatikan. Celana abu-abu dan kemeja hitam lengan panjang. Suram, Amia menghakimi dalam hati. Tapi seksi, dengan berat hati Amia menambahkan. Menurut perkiraan Amia, laki-laki itu mungkin seumuran dengan Adrien, kakaknya.

“Ini dari Pak Erik.” Amia tidak bisa menjelaskan isinya karena tadi lupa bertanya pada Erik. Gara-gara buru-buru ingin tebar pesona di lantai produksi.

“Apa ini?” Seperti yang sudah diduga Amia, Gavin pasti bertanya. Full of authority. Suaranya menuntut untuk diperhatikan. Seandainya sekarang mereka sedang berada di sebuah auditorium yang penuh sesak, Amia yakin ruangan tersebut akan senyap dan semua orang pasti mendengarkan dengan tenang apa saja yang dikatakan Gavin.

“Saya tidak tahu, Pak.”

“Bapak buka saja.” Amia menyarankan dan berusaha untuk tersenyum. Senyum yang sering membuat laki-laki menjadi terlalu ramah padanya, semoga berfungsi juga pada Gavin.

Isinya kunci mobil, kunci rumah, kartu akses, plus selembar kertas. Kenapa Erik menyuruh mengurus hal-hal seperti ini? Amia mengeluh dalam hati.

“Apa kamu tahu alamat ini?” Gavin menunjukkan kertas putih itu kepada Amia.

“Tahu, Pak.” Sejak lahir dia tinggal di sini, tentu saja tahu.

“Antar saya ke sana.” Gavin berdiri. Memang ada GPS. Pengisi suaranya juga wanita. Tapi kalau tersedia GPS alami—penduduk lokal—yang menarik dan cantik seperti ini, semua laki-laki akan melupakan software navigasi tersebut. Gavin tersenyum dalam hati. Memuji dirinya atas keputusan cerdas yang baru dibuatnya.

Otomatis Amia memanfaatkan kesempatan ini untuk memperhatikan postur tubuh Gavin. Mungkin laki-laki itu benar-benar David versi manusia. Bahu dan dadanya lebar. Perutnya tidak menyembul sama sekali. Lengannya padat. Kakinya panjang. Kulitnya cokelat. Tidak putih seperti Riyad, yang malas kena sinar matahari.

“Sekarang, Pak?” Dalam kepalanya, Amia memperkirakan selisih tinggi badan dengan atasan barunya. Sepatu sepuluh sentinya seperti tidak banyak membantu untuk membuat tinggi badannya—yang hanya 161 cm—naik secara signifikan.

“Iya. Kamu keberatan?” Nada bicaranya seperti mengancam, kamu berani menolak?

“Iya.” Amia menjawab dengan jujur. “Ini bukan jobdesc saya, kebetulan orang yang seharusnya mengurus ini sedang tidak masuk jadi supervisor saya minta tolong.”

“Ya, supervisormu sudah menyuruhmu ke sini, sekalian saja. Namamu siapa?”

“Amia.”

“Tunggu di sini.” Gavin berjalan ke mejanya.

Siapa yang kuasa menolak? Meskipun berusaha tidak terbawa pesonanya, laki-laki itu tetap atasannya. Amia kembali menjatuhkan pantat di sofa.

“Pak Peter.”

Dengan horor Amia menoleh ke arah Gavin yang sedang bicara di telepon. Dia menelepon kepala departemen Amia.

“Saya ingin minta bantuan dari salah satu pegawai Bapak. Namanya Amia.”

Sial betul orang yang namanya Gavin ini, Amia mengerang dalam hati.

“Sudah diizinkan.” Gavin berjalan keluar mendahului Amia. Mau tidak mau, Amia mengekor di belakangnya.

“Kalau ada telepon, tolong bilang saya keluar, ya.” Gavin berpesan kepada Melina yang sudah duduk lagi di kursinya. Yang diiyakan sambil tersenyum lebar oleh Melina.

“Turun dulu, Kak.” Amia pamit kepada Melina.

“Sering-sering ke sini, Am.” Melina menjawab, masih dengan ceria.

Tentu saja semua orang di lantai ini—para sekretaris kepala departemen—akan selalu ceria. Termasuk yang sudah punya anak dua seperti Melina. Ada atasan baru yang masih muda tetapi dewasa, berkharisma namun—Amia benci mengatakan ini—seksi. Mungkin kantor pusat salah merekrut orang. Mestinya Gavin difoto untuk cover majalah, bukan disuruh mengurus listrik.

“Kenapa ke lantai tiga?” Gavin menegur Amia yang memencet angka tiga di lift.

“Saya mau ambil tas saya, Pak.” Dompet dan ponsel Amia semua di sana.

“Itu buang-buang waktu dan kamu tidak akan memerlukan itu.”

“Bapak ini minta tolong kok ngatur.” Amia memberanikan diri untuk protes. Siang ini dia sudah berbaik hati menunda setumpuk pekerjaan untuk menemani Gavin menengok rumah baru dan dia tidak diperbolehkan membawa peralatan perang?

Setidaknya dia perlu membawa ponsel, siapa tahu ada apa-apa di jalan dan dia harus menghubungi seseorang. Atau untuk bergosip dengan Vara agar dia tidak bosan selama bersama atasannya. Amia kesulitan mengikuti langkah panjang Gavin. Sepatu dan rok pensilnya tidak mendukung untuk berjalan dengan cepat.

P.S:

Bellamia bisa didapatkan di toko buku terdekat.

Give Away, My Books

MY LATEST BOOK IS GOING LIVE: GIVE AWAY!

For the next 4 week, I am hosting special give away along with fellow bloggers. You’ll get a chance to win one of 4 copies of my latest book, Bellamia, signed by me. Don’t forget to make a stop and enter to win.

BLURB:

Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun teman SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin—dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan—mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat.

Merahasiakan hubungan dari semua orang.

Guess What? I’m revealing the first chapter of Bellamia and Daisy. Are you in the mood to taste it?

BELLAMIA

DAISY

P.S:

Novel Daisy itu gratis ya, jika membeli novel Bellamia melalui penulis/diriku. Caranya cukup nulis komentar aja. Di toko buku tanpa novel Daisy, dengan harga yang kira-kira sama.

My Books

5 Bellamia’s Fun Fact

  1. Nikola Tesla. Salah satu orang yang tulisannya–buku dan wawancaranya–kubaca sebelum membuat tokoh Gavin. Nggak semua orang kenal sama Tesla, kan? Kalau bicara listrik, pasti yang terlintas nama Thomas Alva Edison. Memang Tesla yang nggak banyak menerima penghargaan atas temuannya, karena hasil-hasil penelitiannya dicuri. Orang ini menarik, cerdas, teguh pada tujuannya untuk menciptakan sesuatu yang memudahkan hidup orang banyak dan  tidak menikah. Tapi aku nggak ingin Gavin jomblo seumur hidup.

    Memang benda temuan Tesla memberi penghidupan kepada Gavin, sebab dengan meneruskan apa yang sudah ditemukan engineer Kroasia-Amerika itu, gajinya menjadi besar. Hanya saja dia tidak akan mengikuti jejaknya untuk single seumur hidup.

  2. Versi pertama naskah Bellamia macet di tengah jalan. Aku hanya bisa menulis sampai bab ketiga dan nggak tahu gimana harus melanjutkannya. Premisnya sama, interoffice romance. Dengan Gavin sebagai world’s best engineer dan Amia adalah seseorang yang mengetuk pintu ruangannya. Akhirnya aku memutuskan untuk menghapus keseluruhan cerita yang sudah kutulis sepanjang 30 halaman. Aku menulis ulang di halaman kosong, sejak kalimat pertama.

    Gavin mengangguk dan menggeret kopernya begitu saja, tanpa merasa perlu mengucapkan terima kasih.

    “Sepertinyak Bapak lupa sesuatu.” Amia mengingatkan.

    “Apa?” Gavin memeriksa kamar hotelnya kalau ada barangnya yang tertinggal.

    “Terima kasih,” jawab Amia, menyindir Gavin yang tidak mengucapkan apa-apa.

    “Anytime.” Gavin menjawab dengan santai.

    Amia mengerutkan keningnya, orang ini bagaimana sih, disuruh mengucapkan terima kasih kok malah membalas ucapan terima kasih.

    “Maksud saya, Bapak lupa berterima kasih sama saya.” Harus sabar menghadapi Gavin in

    Di atas adalah salah satu bagian yang terhapus dari naskah awal Bellamia. Karena nggak pantes aja Amia ngikutin orang nggak dikenal ngambil koper di hotel, hahaha.

  3. Pada bagian surat Amia, ada bencana besar yang bikin aku nangis sesiangan di hari Minggu. Aku sudah menulis surat tersebut, di dokumen lain. Ketika kucari dan mau kugabungkan dengan keseluruhan naskah, aku nggak menemukan ‘surat’ tersebut. Aku perlu waktu untuk menyesali perbuatan bodohku itu, sebelum mengingat apa yang udah kutulis. Tapi nggak ingat juga, akhirnya aku bikin ‘surat’ baru. Dan kalimat favoritku dalam surat itu?

    Saat kamu menciumku untuk pertama kali, aku memperingatkan diriku untuk tidak terlibat masalah denganmu. Masalah yang sekarang kutahu apa namanya. Cinta.

  4. Bagian favoritku pada novel Bellamia adalah saat Gavin mendatangi Amia di rumah sakit dan memaksa untuk mengantarnya pulang. Awww … siapa yang nggak mau pada hari terburuknya, didatangi oleh laki-laki tampan dan perhatian seperti itu? Gyaaah … aku ingin pas operasi lutut dulu ada Gavin yang … memberi kejutan padaku.

    “HP ketinggalan di kantor jadi … hoi … hoi … apa nih?” Amia panik saat Gavin tiba-tiba mendorong kursi rodanya.

    “I’ll drive you home.”

    “No, thanks. Tolong, Pak! Saya nunggu Vara, kasihan nanti dia kecele kalau datang ke sini.” Akan lebih aman kalau dia pulang bersama sahabatnya daripada dengan atasannya.

  5. Makanan-makanan yang kusebutkan di dalam novel Bellamia adalah makanan favoritku–dan semua orang 😀 Oreo, yang dimakan Amia bareng Savara, lollipop yang diberikan Gavin untuk obat patah hatinya Amia, dan lainnya bisa ditemukan sendiri. Siapa yang nggak suka makan Oreo? Kalorinya besar sekali, untung Amia nggak takut gemuk.

    “Kamu pikir bagian apa yang paling enak dari ayam? Aku lebih suka makan kulitnya daripada ayamnya. Jadi kalau kamu nggak ingin aku membencimu seumur hidup, jangan sentuh kulit ayam di piringku.” Amia memperingatkan. “Ini peringatan terakhir.”

    BONUS:

  6. Ada bagian naskah Bellamia yang ditandai secara khusus oleh editor Bellamia, Mbak Niratisaya, karena beliau suka dengan attitude Amia dan Gavin pada bagian tersebut. Aku juga setuju dengan beliau. Bagian yang mana ya kira-kira?

    Aku tertarik sama kamu. Kalau kamu kerja sama, tidak akan melelahkan seperti ini.” Sebaiknya Amia tahu apa yang sesungguhnya dirasakan Gavin.

    “Tapi aku nggak suka sama kamu,” tukasnya.

    “Tidak masalah. Lama-lama kamu juga suka. It’s just a matter of time.” Tidak perlu buru-buru. Gavin punya banyak waktu.

    Menyebalkan sekali kan Gavin ini? Kalau quote Amia yang ditandai keren oleh editor adalah ini:

    Hidup ini bukan geladi bersih. Ini pertunjukan sesungguhnya. Jadi orang harus selalu menampilkan yang terbaik.

     

    Jadi, bagian mana dari novel Bellamia yang teman-teman sukai?

My Books

BELLAMIA THE NOVEL: AN OFFICE ROMANCE

Bellamia, masih berkenaan dengan engineers dan engineeering. Kali ini ada Gavin, the world’s best power engineer–menurut dia sendiri–yang baru saja pindah dari Dubai ke Indonesia dan di hari pertamanya bekerja, nasib baik berpihak padanya. Amia mengetuk pintu ruangannya.

“Apa kamu tahu alamat ini?” Gavin menunjukkan kertas itu kepada Amia.

“Tahu, Pak.” Sejak lahir dia tinggal di sini, tentu saja tahu.

“Antar saya ke sana.” Gavin berdiri. Memang ada GPS. Pengisi suaranya juga wanita. Tapi kalau tersedia GPS alami–penduduk lokal–yang menarik dan cantik seperti ini, semua laki-laki akan melupakan software navigasi tersebut.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun teman SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

“Nothing. Kamu tidak pulang?” Gavin mengalihkan topik pembiacaraan.

“Masih nunggu Vara ambil mobil.”

“Kenapa tidak minta dijemput Adrien?”

“HP ketinggalan di kantor jadi … hoi … hoi … apa nih?” Amia panik saat Gavin tiba-tiba mendorong kursi rodanya.

“I’ll drive you home.”

“No, thanks. Tolong, Pak! Saya nunggu Vara, kasihan nanti dia kecele kalau datang ke sini.” Akan lebih aman kalau dia pulang bersama sahabatnya daripada dengan atasannya.

“Pak, tolong! Saya sudah janji mau nunggu Vara!” Tentu saja Gavin tidak mendengarkan. “Astaga! Bapak nggak bisa memanfaatkan orang yang nggak berdaya gini.” Amia berteriak panik karena Gavin mengangkat tubuhnya dan mendudukkannya di kursi depan.

Amia adalah orang yang percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

“Aku sudah bilang aku tertarik sama kamu.” Harus berapa kali diulangi kalimat ini?

“Kenapa?” Amia menuntut penjelasan.

“Memangnya ada yang salah kalau aku tertarik sama kamu? Aku bukan sedang mengajak kamu menikah sekarang. Juga tidak minta kamu jadi pacarku.” Gavin menolak memberi alasan.

“Kamu atasanku. This is natural target for gossip. Dan Adrien bilang….” Tangannya mencengkeram erat gelas beningnya.

Yang menarik adalah bagaimana melihat usaha Gavin untuk meyakinkan Amia bahwa this relationship is worth the risk. She is worth the risk. Tapi Amia tidak mudah untuk diyakinkan. Ketika Gavin mulai menemukan jalan, Amia malah memberi satu syarat. Merahasiakan hubungan dari semua orang.

Anytime there is secrecy, there’s a cause for worry. hlmn 214

Kalau ingin membaca novel yang ringan tapi bergizi, Bellamia adalah pilihan yang tepat. Seperti biasa aku menyelipkan beberapa pengetahuan, dalam ranah trivia, bukan pendidikan, yang layak untuk diketahui.

Gavin tidak akan diam dan bernasib seperti Tesla, the greatest geek who ever lived. Dulu, saat dunia ini masih mengandalkan cahaya remang dari sebatang lilin, Tesla megurung diri di dalam rumahnya untuk membuat arus AC—listrik berarus bolak-balik—yang saat ini, berpuluh tahun setelah kematiannya, dipakai oleh setiap rumah di planet bumi. Karena sibuk seperti itu, Tesla tidak sempat menikah. Atau tidak ingin, karena pernikahan jelas akan mengganggu usahanya untuk menyelamatkan dunia.

Atau membukan mata tentang mengenai hidup dan kehidupan dan memandangnya dari sudut pandang lain?

Adrien dengan santai melanjutkan ceramah paginya. “Itu kan prinsip dasar meminta. Sama seperti berdoa, dilakukan dengan suara pelan dan lemah lembut. Mana ada orang berdoa dengan marah-marah? Kalau kita minta uang pada orangtua, pasti mintanya pelan-pelan dan baik-baik. Kalau mintanya sambil berteriak-teriak, malah tidak dikasih. Atau dikasih, tapi tidak ikhlas.”

Menarik juga untuk membaca apa kata editor Bellamia, Mbak Niratisaya:

Bellamia adalah sebuah cerita romance sederhana, yang dibuat pekat dan memikat oleh Vihara. Lewat karakter Gavin yang ambooooy level kepercayaan dirinya (tapi bener, cowok yg percaya diri lebih memikat. Asal sumbut, aka sesuai dengan penampakan dan pembawaan). Juga lewat Amia yang keras kepalanya melebihi batu–kepala baja mungkin sesuai buat cewek ini ketimbang kepala batu. Nggak ada yang bisa mengalahkan “kelebihan” mereka ini.

Tapi … kalau cinta sudah bicara, apa salah satu nggak mau “mengalah”?

Bellamia is going live. Grab your copy in bookstore.

Atau kalau mau beli Bellamia dapat bonus novel lain, Daisy, silakan menghubungi emailku novel.vihara(at)gmail(dot)com. Bayar satu buku dapat dua buku 😉

My Books

Coming Soon: Bellamia

Bulan Agustus nanti kita akan ketemu dengan pembuat listrik kesayangan kita, the world’s best power engineer ever, Gavin, dan bisa dipastikan tak akan lagi ada mati listrik di hati kita. Bercanda. Gavin adalah engineer favoritku selama aku menulis cerita dengan tokoh berlatar belakang engineering. Jangan lupa ditengok-tengok di toko buku kesayangan mulai bulan Agustus nanti dan mohon diberikan tempat di rak buku kita untuknya. Dia akan membangun pembangkit listrik tenaga cinta.

BELLAMIA

Blurb

Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun teman SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin—dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan—mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat. Merahasiakan hubungan dari semua orang.

Baca bab I Bellamia di sini.

 

Catatan:

Ada bonus Novella Daisy/14.000 kata hanya bisa didapatkan selama masa pre order novel Bellamia, sd tgl 23 Juli. Tokoh dari cerita ini adalah kakak dari Amia dalam Bellamia. Hubungi email bellamiabook@gmail.com 🙂

Baca bab I novella Daisy di sini.

My Bookshelf

Hari Ini Setahun Yang Lalu

Cerita ini berawal dari sebuah obrolan santai dengan seorang teman berkebangsaan Denmark. Dia ingin menghabiskan hidup di negara hangat dan makan nasi sementara saya ingin merasakan tinggal di negara dingin dan makan roti. Sebuah obrolan yang membuat saya mendapatkan gagasan untuk sebuah premis cerita dengan menggabungkan unsur-unsur roman di dalamnya. Sebuah obrolan yang membuat saya ingin tahu lebih banyak lagi tentang negara dingin itu dan kehidupan di sana. (halaman v, My Bittersweet Marriage)

21 Maret 2016

Hari itu, bersamaan dengan hari ulang tahun sahabat terbaikku, pendukung utamaku, Instagram dan Facebook-ku banjir dengan foto-foto istimewa. Mention dan tag teman-teman kuliah, teman SMA, teman kursus bahasa Inggris, teman-teman kerja, teman-temanku sekelasku saat belajar menulis di Jogja, teman-teman Wattpad dan banyak lagi orang. Mereka memberitahuku bahwa mereka sudah membawa pulang buku pertamaku, My Bittersweet Marriage.

Aku masih ingat pada tahun 2015, setelah nunggu berbulan-bulan, akhirnya naskah yang kuajukan ke penerbit diterima. Nerima kabarnya hari Jumat, malam habis Magrib. Atau aku tahunya habis Magrib. Pada waktu itu, di sini, aku tidak punya banyak followers dan viewers. Aku mencoba percaya saja bahwa naskah yang sudah kutulis sebaik-baiknya, akan mendapat kepercayaan. Karena itu aku menjawab kekecewaan teman-teman yang kecil hati karena khawatir naskahnya tidak kunjung terbit karena tidak capai empat atau tujuh juta viewers, tidak selamanya seperti itu. Jalan kita tidak mudah. Nothing good is easy. 

Yang pertama terlintas dalam benakku ketika menerima kabar terbit, aku ingin menarik naskah dan memperbaikinya lagi. Aku belum puas betul dengan naskah itu dan aku merasa aku terlalu terburu-buru untuk menerbitkan. Tapi apa mau dikata, sudah terlanjur. Jadi seperti itulah adanya My Bittersweet Marriage.

Ada banyak pertanyaan dari teman-teman, kenapa aku menulis tentang Denmark, dalam My Bittersweet Marriage(dan The Danish Boss)

Ada banyak pertanyaan dari teman-teman, kenapa aku menulis tentang Denmark, dalam My Bittersweet Marriage(dan The Danish Boss). Jawabannya seperti paragraf pertama di atas. Tentu saja temanku berperan banyak dalam riset tentang Aarhus dan Denmark. Menyelesaikan novel tersebut adalah pencapain tertinggi dalam hidupku, mengalahkan rasa saat aku berhasil ada dalam 10 orang terbaik selepas management training program. Riset dan studi pustaka untuk novel itu(dan novel-novelku yang lain) perlu banyak waktu dan biaya. Misal harga buku yang berisi hasil penelitian dari Lembaga Peneliti Kebahagiaan Denmark, hampir Rp 300.000 satu eks. Belum lagi malam-malam yang kuhabiskan buat nanya-nanya sama temanku. Saat di Korea pun kubombardir dengan pertanyaan, kenapa ada bendera Denmark dalam setiap kue.

Selain teman, aku juga tahu beberapa orang yang mungkin berniat untuk memberiku kritik. Tapi sayang tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan dengan benar. Aku tidak pernah membenci kalian. Meski aku tidak tahu kenapa kalian membenciku–sayangnya, sering bukan karena karyaku–tapi karena kepo status Facebook-ku.  Lalu baper dan sensi sendiri. Ada juga yang sok menggurui diriku, dengan isi kuliah yang lucu. Kalau teman-teman berteman denganku di Facebook saat itu, saat awal terbit novel ini, kalian pasti ketawa bersamaku. Tapi sekarang sudah berlalu.

Juga ketemu pembajak-pembajak bukuku. Karena merekalah aku jadi tahu bahwa sebenarnya banyak yang tertarik untuk membaca bukuku, tapi terhalang biaya. Jadi membeli buku versi scan atau pdf atau apa dengan harga seperti shampoo sachet. Kalau aku sarankan, lebih baik pinjam ke teman buat baca daripada beli versi gelap seperti itu. Atau ke taman baca yang menyediakan bukuku. Seingatku, aku cukup banyak ngirim buku buat taman baca, supaya bisa dibaca gratis untuk teman-teman yang kebutuhan hidupnya mendesak.

Dalam tiap doaku, aku berharap bukuku bermanfaat untuk kita semua. Ada pemahaman dan sudut pandang baru tentang hidup dan cinta yang bisa kita dapat. Tentang Copenhagen, Aarhus, Denmark, programming, engineering, marriage, budaya dan banyak lagi. I hope I am not adding to negativity. I hope I am adding to positive energy. I wanna send out the ray of hope for you. I want to reach you, and be there for you, through my books. Aku ingin kita tahu bahwa membaca novel romance seperti karyaku ini tidak hanya memupuk imajinasi teman-teman, tapi menambah ilmu, meski sedikit, yang bermanfaat.

Aku mau mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman yang sudah memberi kesempatana padaku, yang bukan siapa-siapa ini, untuk dibaca dan dibeli karyanya. Sebagai(orang yang ngaku) penulis baru, hal tersebut sangat berarti. Terima kasih sudah memberikan rumah baru buat Afnan dan Hessa, bersama dengan karya-karya penulis hebat favorit teman-teman. Semoga aku akan bisa menjadi sehebat mereka Dan terima kasih sudah berteman denganku, dan The Mollers: My Bittersweet Marriage, When Love Is Not Enough, dan The Danish Boss. Juga Geek Play Love dan Bread Love(Jangan bilang belum punya bukuku satu pun huhuhu)

Sekarang dengan makin dikenal banyak orang, aku semakin merasa beban di pundakku semakin berat

Sekarang dengan makin dikenal banyak orang, aku semakin merasa beban di pundakku semakin berat. Aku nggak bisa sembarangan lagi menulis, walau untuk sekadar Twit atau status Facebook. Karena tulisan adalah alat paling efektif untuk mempengaruhi opini teman-teman. Banyak teman-teman yang ingin jadi penulis bertanya padaku, mencontoh diriku–meski aku merasa belum layak. Punya pembaca banyak bukan selamanya menjadi nikmat, tapi bisa juga ujian. They said, we don’t need to be Isaac Newton, Albert EInstein, Soren Kierkegaard, or any other famous scientists, philosophers, politicians or famous peope for my thought to be worthwhile. Aku tidak bisa memberi contoh yang buruk, seperti melempar hate speech, atau menyombongkan diri dengan berteman dengan kelompok tertentu.  Because I have followers and they listen and look up to me.