Selama menulis The Perfect Match, ada bagian-bagian yang tak kusertakan dalam naskah final. Ada berbagai pertimbangan, salah satunya adalah melemahkan abandonment issue yang dimiliki Nalia. Seperti bagian di bawah ini. Kalau kamu sudah baca bukunya, apa kamu bisa menebak kira-kira di bagian mana seharusnya potongan ini berada?
***
“Astra masih berusaha mengubah keputusanmu?” Setelah meletakkan teh herbal dan pisang goreng cokelat di meja, Gloria menarik kursi di seberang Nalia dan duduk.
Siang ini, setelah pulang dari kampus, Nalia memutuskan datang ke rumah kakaknya. Kakak iparnya sedang cuti karena akan melahirkan dua minggu lagi.
“Aku nggak tahu lagi harus ngomong apa.” Nalia mengangkat cangkir putih yang baru saja dihidangkan dan menghirup aroma lavender yang menenangkan. Seminggu yang lalu Nalia membatalkan rencana pernikahan. Semua biaya pernikahan yang telah dikeluarkan sudah diganti oleh Nalia. Semua. “Kenapa dia nggak bisa terima aku nggak juga bisa mencintainya sampai sekarang? Besok pun aku nggak akan bisa mencintainya.
“Seharusnya dia berterima kasih padaku karena aku menyelamatkannya dari pernikahan tanpa cinta. Tapi dia tetap bilang nggak masalah aku nggak mencintainya, dia akan memberiku waktu untuk mencoba lagi. Belajar mencintainya. Cinta kok dipelajari.”
“Menurutku dia benar, Nalia,” kata Gloria hati-hati. “Cinta adalah keterampilan. Seperti menjahit, memasak, berenang, dan lain-lain, ada banyak keterampilan yang nggak kita miliki sejak lahir. Kita harus belajar dan berlatih keras kalau ingin memilikinya.”
“Cara berlatihnya gimana? Aku sudah pacaran tiga kali. Semua kujalani dengan serius dan aku berusaha mencintai mereka. Tapi aku tetap nggak bisa. Perasaanku kepada mereka cuma sebatas tertarik … dan aku senang aja nggak jomlo. Lebih dari itu … membayangkan seumur hidup terikat dengan mereka, aku nggak bisa.”
Ketika Nalia menceritakan kepada Gloria mengenai rencana pernikahannya dengan Astra, Gloria tidak begitu antusias mendengarnya. Menurut Gloria, ada sesuatu yang kurang di antara Nalia dan Astra. Sesuatu yang, masih menurut Gloria, tidak akan membuat pernikahan mereka menyenangkan. Berjalan dengan baik, bisa saja, kalau kedua belak pihak sama-sama bekerja. Tetapi menyenangkan? Belum tentu. Saran Gloria pada waktu itu, Astra dan Nalia sebaiknya menunda dulu rencana tersebut. Tetapi Nalia tidak mau mendengar.
“Mungkin memang aku belum siap. Nggak akan siap. Karena aku….” Nalia urung melanjutkan karena ponsel di dalam tasnya bunyi panjang. Setelah mengecek nama penelepon, Nalia menatap kakak iparnya, meminta izin menerima panggilan. Ada perjanjian di antara Nalia dan teman-temannya—Alesha, Edna, dan Renae—bahwa mereka hanya akan menelepon tanpa mengirim pesan tersebih dahulu—bertanya sibuk atau tidak—jika ada keperluan yang benar-benar mendesak.
“Hei, Lesha,” sapa Nalia setelah Gloria mengangguk dan tersenyum.
“Nalia, Edna … di rumah sakit. Ada kebakaran di E&E….”
Nalia mendorong mundur kursinya ke belakang. “Di rumah sakit mana?”
Belum selesai Alesha menyebutkan nama rumah sakit, Nalia sudah mengakhiri sambungan untuk memesan taksi. “Glo, aku harus ke rumah sakit. Edna di sana, ada kebaran di bakery-nya. Maaf, kayaknya hari ini aku nggak bisa nemenin Jenna belajar.”
Nalia hanya mengajar pada hari Senin, Selasa dan Rabu. Sehingga hari Kamis dan Jumat bisa dimanfaatkan untuk datang ke kampus—menyelesaikan revisi tesisnya dan bersiap untuk menempuh pendidikan doktor. Jenna, anak pertama Jari dan Gloria, terlahir dengan autisme. Semenjak Jenna lahir empat tahun yang lalu, Nalia semakin yakin pada jalan yang dipilihnya. Neurodiversity. Harapan Nalia, dalam waktu dekat, ketika bertemu Jenna orang tidak akan melihat kondisi Jenna sebagai perbedaan, melainkan keragaman.
Gloria memeluk adik iparnya dan tersenyum menenangkan. “Nggak apa-apa, Sayang. Hati-hati di jalan ya. Semoga nggak terjadi sesuatu yang serius pada temanmu ya.”
Nalia menggumamkan terima kasih dan mencium pipi Gloria, lalu bergegas keluar rumah ketika ada notifikasi bahwa mobil yang dipesan Nalia sudah tiba. Dalam hati Nalia berdoa semoga Edna baik-baik saja. Tadi malam Edna mengabari bahwa dirinya sedang hamil anak pertamanya. Suami Edna, Alwin Hakkinen, sedang melakukan perjalanan terkait pekerjaan di Eropa. Kepada Nalia Edna menjelaskan sebenarnya Edna ingin ikut, tapi dirinya terlanjur menerima pesanan beberapa kue pengantin untuk hari Sabtu dan Minggu ini.
Nalia melambaikan tangan kepada Gloria, kemudian masuk ke taksi. Semoga tidak terjadi apa-apa pada kandungan Edna. Sebagai teman terdekat Edna, Nalia tahu Edna tidak akan bisa berdiri tegak jika harus kehilangan janin di kandungannya. Suda terlalu banyak kehilangan yang harus dihadapi Edna sepanjang usianya. Selamanya Edna adalah teman yang istimewa bagi Nalia. Sebelum kenal dengan Edna—saat hari pertama masuk SMA—Nalia adalah orang yang sulit berteman. Diajak berteman, Nalia tidak antusias. Mengajak berteman lebih dulu? Nalia tidak mau melakukannya.
Hingga suatu ketika, Edna—yang duduk satu meja dengan Nalia di kelas—tidak masuk sekolah. Guru menyampaikan bahwa kedua orangtua Edna meninggal karena mengalami kecelakaan di tanah suci. Pada waktu itu ingatan Nalia bergerak menuju hari-hari setelah kematian ibunya. Di mana Nalia sangat berharap dia tidak sendirian dan punya teman berbagi. Setelah menimbang-nimbang, malamnya Nalia menelepon Edna. Persahabatan mereka terbentuk pada hari itu. Ednalah yang memaksa Nalia keluar dari cangkang dan membuka diri kepada dunia. Kepada semua temannya di sekolah, Edna mengenalkan Nalia. Bahkan sampai mereka dewasa seperti ini, Edna tidak pernah berhenti memastikan Nalia juga punya teman. Memastikan Nalia tahu bagaimana mencari teman. Yang terbaik di antara semua teman adalah Alesha dan Renae.
Dua puluh menit kemudian, Nalia masuk ke rumah sakit dan berjalan menuju ruang rawat Edna. Petunjuk yang dikirimkan Alesha melalui WhatsApp sangat jelas. Ketika Nalia tiba, dia mendapati Alesha bercakap-cakap dengan seorang laki-laki. Kalau melihat pakaian yang dikenakan, laki-laki itu seorang dokter. Nalia tidak ingat dia pernah pergi ke rumah sakit dan mendapati dokter seperti itu. Dari postur tubuhnya, profesi yang tepat untuknya adalah pemain sepak bola. Atau perenang. Ukuran tubuhnya saja membuat orang terintimidasi. Nalia bertaruh laki-laki tersebut tidak pernah takut menghadapi siapa pun.
Badannya tinggi sekali. Dan tegap. Karena Nalia payah jika disuruh membuat perkiraan, Nalia tidak bisa menebak berapa centimeter. Alesha yang tinggi saja puncak kepalanya hanya menyentuh pundak laki-laki itu. Kedua kakinya nampak kukuh seperti pangkal pohon yang bisa bertahan ratusan tahun. Dada bidangnya menyempit di bagian pinggang dan pinggul. Tidak seperti Astra, yang mulai memelihara belut di perut, milik laki-laki itu, dari kejauhan saja, bisa dipastikan padat dan keras.
“Nalia.” Alesha mendengar langkah kaki Nalia dan dengan gerakan tangan, meminta Nalia mendekat. “Sorry, aku bikin kamu panik. Edna nggak papa. Dia shocked, lecet-lecet sama menghirup asap. Sudah ditangani dokter dan dia sedang tidur. Ini kenalin, sepupuku, Edvind. Dia dokter di sini. Ed, ini Nalia.”
Seandainya bentuk badan Edvind tidak cukup membuat Nalia—dan wanita mana pun terpukau—mereka harus melihat wajah Edvind. Semua orang yang akan membuat iklan dan memerlukan laki-laki tampan dan seksi sebagai pemeran, pasti akan langsung menyetujui kalau Edvind melamar. Tulang-tulang rahangnya membentuk konstruksi wajah yang … Nalia tidak tahu harus menyebutnya apa. Aristochratic? Bibirnya sensual. Hidungnya mengingatkan Nalia pada paruh elang. Warna bola matanya hitam, sehitam alisnya yang tidak kalah sempurna. Rambut hitamnya pendek dan rapi.
Laki-laki itu mengulurkan tangan, menyeringai seksi dan menyalami Nalia. Sentuhan kecil—yang biasa dilakukan Nalia dengan banyak orang—membuat Nalia tersentak. Ada sesuatu yang bangkit di dalam diri Nalia dan Nalia tidak bisa menjelaskan itu apa. Demi Tuhan, Nalia, ini bukan pertama kali kamu salaman dengan laki-laki, kenapa harus berdebar-debar begitu?
“Hei, Nalia.”
Nalia mengerjapkan mata. Bahkan suara Edvind pun melengkapi kesempurnaan sosoknya. Dalam. Ramah. Percaya diri. Dan penuh rasa ingin tahu. Mungkin dokter harus punya semua kualifikasi itu.
“Kenapa Alesha dan Edna nggak pernah bilang mereka punya teman secantik kamu?”
Oh, and a big flirt. Laki-laki seperti ini yang dibutuhkan Nalia. Yang tidak mencari hubungan serius dan yang tidak beranggapan bahwa semua hubungan harus berakhir dengan pernikahan seperti Astra.
“Karena aku dan Edna tahu kalau kamu nggak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekatinya?” Alesha menatap garang sepupunya. “Behave, Ed. Jangan macam-macam. She’s off limit. Laki-laki sepertimu, yang nggak bisa berkencan dengan wanita yang sama lebih dari tiga kali, nggak berhak bersamanya. Aku dan Edna nggak akan diam, kalau kamu mempermainkan teman kami.”
Nalia mengedipkan sebelah mata dan melemparkan senyum terbaiknya kepada Edvind. Memberi kode bahwa Edvind boleh melanjutkan apa saja rencana yang dimiliki untuk mendekati Nalia. Untuk mempermainkan Nalia. Atau mereka bisa saling mempermainkan. Bermain bersama. Setelah pusing membatalkan rencana pernikahan, Nalia sedang tidak ingin mencari calon suami. Yang dia perlukan adalah laki-laki yang bisa menemaninya saat dia ingin berkencan di malam minggu seperti pasangan-pasangan lain.
“Oh, she’s worth the risk. She’s worth everything.” Walau berbicara kepada Alesha, tapi tatapan mata Edvind tertuju pada Nalia. Hati Nalia, tanpa bisa dikendalikan, melambung tinggi dan perut Nalia menghangat. “Lagi pula, Alesha, apa kamu dan Edna nggak pernah berpikir bahwa aku nggak pernah serius berhubungan sama wanita, itu karena aku belum bertemu dengan wanita yang tepat?”
***
Selengkapnya baca cerita Nalia dalam novel The Perfect Match, karya Ika Vihara, dari penerbit Elex Media. Tersedia di seluruh toko buku di Indonesia. E-book bisa dibaca melalui aplikasi Gramedia Digital, baik single edition, fiction package maupun Full Premium Package. E-book juga tersedia di Google Playstore.