My Books

The Perfect Match: Deleted Scene

Selama menulis The Perfect Match, ada bagian-bagian yang tak kusertakan dalam naskah final. Ada berbagai pertimbangan, salah satunya adalah melemahkan abandonment issue yang dimiliki Nalia. Seperti bagian di bawah ini. Kalau kamu sudah baca bukunya, apa kamu bisa menebak kira-kira di bagian mana seharusnya potongan ini berada?

***

“Astra masih berusaha mengubah keputusanmu?” Setelah meletakkan teh herbal dan pisang goreng cokelat di meja, Gloria menarik kursi di seberang Nalia dan duduk.

Siang ini, setelah pulang dari kampus, Nalia memutuskan datang ke rumah kakaknya. Kakak iparnya sedang cuti karena akan melahirkan dua minggu lagi.

“Aku nggak tahu lagi harus ngomong apa.” Nalia mengangkat cangkir putih yang baru saja dihidangkan dan menghirup aroma lavender yang menenangkan. Seminggu yang lalu Nalia membatalkan rencana pernikahan. Semua biaya pernikahan yang telah dikeluarkan sudah diganti oleh Nalia. Semua. “Kenapa dia nggak bisa terima aku nggak juga bisa mencintainya sampai sekarang? Besok pun aku nggak akan bisa mencintainya.

“Seharusnya dia berterima kasih padaku karena aku menyelamatkannya dari pernikahan tanpa cinta. Tapi dia tetap bilang nggak masalah aku nggak mencintainya, dia akan memberiku waktu untuk mencoba lagi. Belajar mencintainya. Cinta kok dipelajari.”

“Menurutku dia benar, Nalia,” kata Gloria hati-hati. “Cinta adalah keterampilan. Seperti menjahit, memasak, berenang, dan lain-lain, ada banyak keterampilan yang nggak kita miliki sejak lahir. Kita harus belajar dan berlatih keras kalau ingin memilikinya.”

“Cara berlatihnya gimana? Aku sudah pacaran tiga kali. Semua kujalani dengan serius dan aku berusaha mencintai mereka. Tapi aku tetap nggak bisa. Perasaanku kepada mereka cuma sebatas tertarik … dan aku senang aja nggak jomlo. Lebih dari itu … membayangkan seumur hidup terikat dengan mereka, aku nggak bisa.”

Ketika Nalia menceritakan kepada Gloria mengenai rencana pernikahannya dengan Astra, Gloria tidak begitu antusias mendengarnya. Menurut Gloria, ada sesuatu yang kurang di antara Nalia dan Astra. Sesuatu yang, masih menurut Gloria, tidak akan membuat pernikahan mereka menyenangkan. Berjalan dengan baik, bisa saja, kalau kedua belak pihak sama-sama bekerja. Tetapi menyenangkan? Belum tentu. Saran Gloria pada waktu itu, Astra dan Nalia sebaiknya menunda dulu rencana tersebut. Tetapi Nalia tidak mau mendengar.

“Mungkin memang aku belum siap. Nggak akan siap. Karena aku….” Nalia urung melanjutkan karena ponsel di dalam tasnya bunyi panjang. Setelah mengecek nama penelepon, Nalia menatap kakak iparnya, meminta izin menerima panggilan. Ada perjanjian di antara Nalia dan teman-temannya—Alesha, Edna, dan Renae—bahwa mereka hanya akan menelepon tanpa mengirim pesan tersebih dahulu—bertanya sibuk atau tidak—jika ada keperluan yang benar-benar mendesak.

“Hei, Lesha,” sapa Nalia setelah Gloria mengangguk dan tersenyum.

“Nalia, Edna … di rumah sakit. Ada kebakaran di E&E….”

Nalia mendorong mundur kursinya ke belakang. “Di rumah sakit mana?”

Belum selesai Alesha menyebutkan nama rumah sakit, Nalia sudah mengakhiri sambungan untuk memesan taksi. “Glo, aku harus ke rumah sakit. Edna di sana, ada kebaran di bakery-nya. Maaf, kayaknya hari ini aku nggak bisa nemenin Jenna belajar.”

Nalia hanya mengajar pada hari Senin, Selasa dan Rabu. Sehingga hari Kamis dan Jumat bisa dimanfaatkan untuk datang ke kampus—menyelesaikan revisi tesisnya dan bersiap untuk menempuh pendidikan doktor. Jenna, anak pertama Jari dan Gloria, terlahir dengan autisme. Semenjak Jenna lahir empat tahun yang lalu, Nalia semakin yakin pada jalan yang dipilihnya. Neurodiversity. Harapan Nalia, dalam waktu dekat, ketika bertemu Jenna orang tidak akan melihat kondisi Jenna sebagai perbedaan, melainkan keragaman.

Gloria memeluk adik iparnya dan tersenyum menenangkan. “Nggak apa-apa, Sayang. Hati-hati di jalan ya. Semoga nggak terjadi sesuatu yang serius pada temanmu ya.”

Nalia menggumamkan terima kasih dan mencium pipi Gloria, lalu bergegas keluar rumah ketika ada notifikasi bahwa mobil yang dipesan Nalia sudah tiba. Dalam hati Nalia berdoa semoga Edna baik-baik saja. Tadi malam Edna mengabari bahwa dirinya sedang hamil anak pertamanya. Suami Edna, Alwin Hakkinen, sedang melakukan perjalanan terkait pekerjaan di Eropa. Kepada Nalia Edna menjelaskan sebenarnya Edna ingin ikut, tapi dirinya terlanjur menerima pesanan beberapa kue pengantin untuk hari Sabtu dan Minggu ini.

Nalia melambaikan tangan kepada Gloria, kemudian masuk ke taksi. Semoga tidak terjadi apa-apa pada kandungan Edna. Sebagai teman terdekat Edna, Nalia tahu Edna tidak akan bisa berdiri tegak jika harus kehilangan janin di kandungannya. Suda terlalu banyak kehilangan yang harus dihadapi Edna sepanjang usianya. Selamanya Edna adalah teman yang istimewa bagi Nalia. Sebelum kenal dengan Edna—saat hari pertama masuk SMA—Nalia adalah orang yang sulit berteman. Diajak berteman, Nalia tidak antusias. Mengajak berteman lebih dulu? Nalia tidak mau melakukannya.

Hingga suatu ketika, Edna—yang duduk satu meja dengan Nalia di kelas—tidak masuk sekolah. Guru menyampaikan bahwa kedua orangtua Edna meninggal karena mengalami kecelakaan di tanah suci. Pada waktu itu ingatan Nalia bergerak menuju hari-hari setelah kematian ibunya. Di mana Nalia sangat berharap dia tidak sendirian dan punya teman berbagi. Setelah menimbang-nimbang, malamnya Nalia menelepon Edna. Persahabatan mereka terbentuk pada hari itu. Ednalah yang memaksa Nalia keluar dari cangkang dan membuka diri kepada dunia. Kepada semua temannya di sekolah, Edna mengenalkan Nalia. Bahkan sampai mereka dewasa seperti ini, Edna tidak pernah berhenti memastikan Nalia juga punya teman. Memastikan Nalia tahu bagaimana mencari teman. Yang terbaik di antara semua teman adalah Alesha dan Renae.

Dua puluh menit kemudian, Nalia masuk ke rumah sakit dan berjalan menuju ruang rawat Edna. Petunjuk yang dikirimkan Alesha melalui WhatsApp sangat jelas. Ketika Nalia tiba, dia mendapati Alesha bercakap-cakap dengan seorang laki-laki. Kalau melihat pakaian yang dikenakan, laki-laki itu seorang dokter. Nalia tidak ingat dia pernah pergi ke rumah sakit dan mendapati dokter seperti itu. Dari postur tubuhnya, profesi yang tepat untuknya adalah pemain sepak bola. Atau perenang. Ukuran tubuhnya saja membuat orang terintimidasi. Nalia bertaruh laki-laki tersebut tidak pernah takut menghadapi siapa pun.

Badannya tinggi sekali. Dan tegap. Karena Nalia payah jika disuruh membuat perkiraan, Nalia tidak bisa menebak berapa centimeter. Alesha yang tinggi saja puncak kepalanya hanya menyentuh pundak laki-laki itu. Kedua kakinya nampak kukuh seperti pangkal pohon yang bisa bertahan ratusan tahun. Dada bidangnya menyempit di bagian pinggang dan pinggul. Tidak seperti Astra, yang mulai memelihara belut di perut, milik laki-laki itu, dari kejauhan saja, bisa dipastikan padat dan keras.

“Nalia.” Alesha mendengar langkah kaki Nalia dan dengan gerakan tangan, meminta Nalia mendekat. “Sorry, aku bikin kamu panik. Edna nggak papa. Dia shocked, lecet-lecet sama menghirup asap. Sudah ditangani dokter dan dia sedang tidur. Ini kenalin, sepupuku, Edvind. Dia dokter di sini. Ed, ini Nalia.”

Seandainya bentuk badan Edvind tidak cukup membuat Nalia—dan wanita mana pun terpukau—mereka harus melihat wajah Edvind. Semua orang yang akan membuat iklan dan memerlukan laki-laki tampan dan seksi sebagai pemeran, pasti akan langsung menyetujui kalau Edvind melamar. Tulang-tulang rahangnya membentuk konstruksi wajah yang … Nalia tidak tahu harus menyebutnya apa. Aristochratic? Bibirnya sensual. Hidungnya mengingatkan Nalia pada paruh elang. Warna bola matanya hitam, sehitam alisnya yang tidak kalah sempurna. Rambut hitamnya pendek dan rapi.

Laki-laki itu mengulurkan tangan, menyeringai seksi dan menyalami Nalia. Sentuhan kecil—yang biasa dilakukan Nalia dengan banyak orang—membuat Nalia tersentak. Ada sesuatu yang bangkit di dalam diri Nalia dan Nalia tidak bisa menjelaskan itu apa. Demi Tuhan, Nalia, ini bukan pertama kali kamu salaman dengan laki-laki, kenapa harus berdebar-debar begitu?

“Hei, Nalia.”

Nalia mengerjapkan mata. Bahkan suara Edvind pun melengkapi kesempurnaan sosoknya. Dalam. Ramah. Percaya diri. Dan penuh rasa ingin tahu. Mungkin dokter harus punya semua kualifikasi itu.

“Kenapa Alesha dan Edna nggak pernah bilang mereka punya teman secantik kamu?”

Oh, and a big flirt. Laki-laki seperti ini yang dibutuhkan Nalia. Yang tidak mencari hubungan serius dan yang tidak beranggapan bahwa semua hubungan harus berakhir dengan pernikahan seperti Astra.

“Karena aku dan Edna tahu kalau kamu nggak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekatinya?” Alesha menatap garang sepupunya. “Behave, Ed. Jangan macam-macam. She’s off limit. Laki-laki sepertimu, yang nggak bisa berkencan dengan wanita yang sama lebih dari tiga kali, nggak berhak bersamanya. Aku dan Edna nggak akan diam, kalau kamu mempermainkan teman kami.”

Nalia mengedipkan sebelah mata dan melemparkan senyum terbaiknya kepada Edvind. Memberi kode bahwa Edvind boleh melanjutkan apa saja rencana yang dimiliki untuk mendekati Nalia. Untuk mempermainkan Nalia. Atau mereka bisa saling mempermainkan. Bermain bersama. Setelah pusing membatalkan rencana pernikahan, Nalia sedang tidak ingin mencari calon suami. Yang dia perlukan adalah laki-laki yang bisa menemaninya saat dia ingin berkencan di malam minggu seperti pasangan-pasangan lain.

“Oh, she’s worth the risk. She’s worth everything.” Walau berbicara kepada Alesha, tapi tatapan mata Edvind tertuju pada Nalia. Hati Nalia, tanpa bisa dikendalikan, melambung tinggi dan perut Nalia menghangat. “Lagi pula, Alesha, apa kamu dan Edna nggak pernah berpikir bahwa aku nggak pernah serius berhubungan sama wanita, itu karena aku belum bertemu dengan wanita yang tepat?”

***

Selengkapnya baca cerita Nalia dalam novel The Perfect Match, karya Ika Vihara, dari penerbit Elex Media. Tersedia di seluruh toko buku di Indonesia. E-book bisa dibaca melalui aplikasi Gramedia Digital, baik single edition, fiction package maupun Full Premium Package. E-book juga tersedia di Google Playstore.

My Books

From Zero To Happily Ever After

Perjalanan Novel The Perfect Match dari Ide di Kepalaku Menjadi Buku di Tanganmu

Saat live di Instagram tanggal 19 Juni yang lalu, ada yang menanyakan seperti apa sih perjalanan The Perfect Match, sejak di kandungan ibunya–aku–hingga lahir dan disukai oleh banyak pembaca. Perjalanannya panjang. Total waktu yang diperlukan dari menggodok ide hingga bukunya terbit adalah 9 bulan. Benar-benar seperti mengandung bayi manusia.

Yang paling memakan waktu adalah proses meriset kebutuhan cerita. Ada banyak hal baru yang harus kupelajari dan kupahami, sehingga aku bisa menenunnya ke dalam jalan cerita. The Perfect Match ber-genre romance, yang manis dan romantis, dengan beberapa tema yaitu cinta(tema utama), inklusivitas, dan kesehatan mental(dalam buku ini abandonment issue). Masih seperti semua novel-novel karyaku terdahulu, The Perfect Match juga tetap logis dan realistis. Kamu akan merasakan pengalaman berbeda dalam membaca novel romance, saat kamu membaca The Perfect Match.

Aku menjelaskan proses kreatif yang kulalui dalam rangkaian cuitan yang bisa kamu baca dengan mengklik kotak di bawah. Kamu tidak perlu punya akun Twitter untuk bisa membacanya, berurutan dari atas ke bawah.

Semoga bermanfaat. Mungkin kamu bisa mangadaptasi proses-proses tersebut untuk berkarya. Atau sekadar menjadi pengetahuan di balik buku favoritmu. Terima kasih sudah menyukai karya-karya Ika Vihara, terutama Edvind dan Nalia dalam The Perfect Match.

Thing That Makes Me Happy

THE LITTLE MATCHMAKER

Sebuah Cerita Pendek oleh Ika Vihara

Banyak orang bilang aku punya sembilan nyawa. Meski mereka tidak pernah tahu sekarang nyawaku tinggal berapa. Sering juga orang mengatakan aku pandai mengelabui malaikat pencabut nyawa. Aku tidak mudah mati, katanya. Bahkan beberapa dari mereka percaya aku bisa hidup selamanya. Ah, manusia. Seandainya aku bisa bicara bahasa mereka, aku akan meluruskan semua pemikiran tidak masuk akal itu.

Sama dengan mereka, aku hanya punya satu kesempatan hidup. Tetapi, berbeda dengan manusia yang rapuh—fisik dan mentalnya, aku sangat kuat. Kecelakaan yang membuat tulang manusia patah, hanya akan membuat tubuhku pegal-pegal. Ini bukan karena aku punya sembilan nyawa. Baca buku banyak-banyak, manusia, jangan sibuk membaca status orang lain di media sosial. Sebagai hewan yang tidak manja, anatomi tubuhku diciptakan untuk mengakomodasi itu. Luas permukaan tubuhku lebih besar dibandingkan dengan berat badanku, jadi benturan tidak akan mudah membuatku terluka parah. Otot dan tulangku lebih lentur daripada milik manusia, sehingga aku bisa bergerak lebih cepat menghindari kecelakaan. Tuhan menakdirkan aku untuk hidup di pohon, karena itu aku memiliki keahlian untuk menghindari jatuh. Atau jika aku harus jatuh, aku akan mencari posisi jatuh yang paling aman. Refleksku bagus sekali, manusia tidak akan pernah bisa menandingiku.

Meski aku kuat begitu, bukan berarti manusia boleh seenaknya menyiksaku. Menelantarku. Seperti mereka, aku punya hati dak tidak suka diberi harapan palsu. Sering manusia berjanji akan selalu merawatku dan menyayangiku, tapi setelah mereka bosan, mereka meninggalkanku di tempat yang tidak kukenal. Di mana aku tidak tahu arah pulang. Majikanku yang lama melakukannya. Mereka meninggalkanku di pinggir jalan tanpa alasan.

“Mumu!”

Uh, aku benci sekali nama itu. Kalau aku bisa bicara, aku akan memberitahu Kazia—majikanku selama sepuluh tahun ini—bahwa dulu namaku adalah Isadora. Hanya karena Kazia cantik dan harum—aku suka setiap dia memelukku—juga sangat baik hati, aku mengizinkannya memanggilku Mumu.

“Mumu?”

Aku menggeliat dan tidak bergerak dari posisiku di kasur di depan televisi. Ya, Kazia yang berhati baik itu membuatkanku kasur setelah menyatakan akan membawaku pulang. Sampai sekarang aku masih ingat hari itu. Hari di mana aku resmi menjadi anggota keluarga ini. Tidak, aku tidak mengeong, mengiba-iba supaya orang membawaku pulang. Meski susah—sebab terbiasa hidup di dalam rumah—selama tiga hari aku berjuang melawan kerasnya dunia. Termasuk menghindari satu kucing hitam besar yang ingin memerkosaku.

Waktu itu aku sedang duduk di depan toko, berteduh menghindari gerimis. Perutku lapar, tidak ada sisa makanan di tempat sampah di sekitar toko. Aku belum bisa menangkap binatang—tikus atau apa—sebab aku terbiasa diberi makan. Tidak ada yang mengajariku dan aku tahu, kalau ingin hidup lebih lama, aku harus segera belajar. Karena tidak tahu harus berbuat apa untuk menghilangkan lapar, hari itu aku memilih untuk tidur. Ketika aku membuka mata beberapa saat kemudian, di depanku sudah berjongkok seorang bidadari yang sangat cantik. Kukira aku sudah mati karena kelaparan hari itu. Gadis cantik di depanku terus bicara padaku, mengatakan bahwa sama sepertiku, dia juga tengah merasa sendirian. Bahwa dia baru pulang dari memakamkan ibunya.

Karena tidak ingin membiarkan gadis cantik itu menangis seorang diri, aku mengikutinya sampai ke sini. Malam itu Kazia bercerita banyak padaku, mengenai dukanya dan aku mendengarkan semuanya. Tidak tahan melihatnya banjir air mata, aku mulai menari-nari dengan konyol. Seumur hidup belum pernah aku berusaha berdiri dengan dua kaki selama lebih dari lima menit. Seperti yang sudah kuduga, Kazia tertawa. Gadis itu lebih cantik saat tertawa.

Seminggu kemudian aku membawakannya hadiah. Seekor tikus yang susah-payah kutangkap. Makhluk tidak berguna itu sudah lama berkeliaran di gudang dan membuat ayah Kazia kesal setengah mati. Bukannya berterima kasih padaku, Kazia malah menyuruhku melepaskan tikus itu. Dengan alasan kasihan. Kurasa bodoh dan baik hati hampir tidak ada bedanya. Tetapi karena Kazia yang meminta, aku menuruti. Untungnya sampai hari ini tidak ada lagi tikus yang berani tinggal di sini.

“Kamu sakit?” Kazia duduk di lantai di sebelah kasurku dan menggaruk punggungku.

Nikmat sekali. Aku mendesah dan membalik badan.

Aku tidak sakit, aku hanya merasa tua. Dalam hati aku tahu umurku tidak akan lama lagi. Kucing tidak hidup selamanya. Bahkan umur kami lebih pendek daripada manusia.

“Kita sudah lama bersama, Mumu, aku nggak ingin kamu pergi dan aku sendirian lagi di sini.” Jemari Kazia yang sangat halus menggaruk perutku. “Jadi kalau kamu sakit, kamu harus kasih tahu aku. Supaya kita bisa segera mencari obatnya.”

Kazia sudah kehilangan ibunya. Lima tahun kemudian, dia kehilangan ayahnya. Kakak laki-lakinya tinggal di negara yang sangat jauh. Kalau aku harus mati juga, siapa yang menemani Kazia? Saat seperti ini aku benar-benar berharap aku punya sembilan nyawa.

Kazia berdiri dan berjalan ke kamar. Tidak lama kemudian, dia sudah ganti baju dan bergerak ke dapur. Biasanya aku duduk di bawah meja makan, menunggu Kazia menjatuhkan makanan manusia yang yang sangat kusukai. Meski belakangan Kazia bersikeras ingin mengatur dietku. Diet. Aku tidak perlu diet. Meski tua dan selalu makan enak, aku tetap merasa seksi, tidak kelebihan berat badan, sebab aku suka bergerak ke sana kemari. Namun kali ini aku terlalu lelah untuk mengekori Kazia. Aku memejamkan mata dan memikirkan cara bagaimana aku bisa mendapatkan teman yang setia untuk Kazia, ketika aku mati nanti. Tidak mungkin aku melahirkan anak. Karena Kazia sudah menutup kesempatan itu. Gadis ini punya banyak kasih sayang dan cinta dalam dirinya. Sayang sekali jika orang lain—atau hewan lain—tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmatinya.

Huaaammmmm … Aku menguap lebar dan memutuskan untuk memikirkan itu besok. Satu yang pasti. Lebih baik Kazia hidup serumah dengan manusia—laki-laki kalau bisa—daripada bersama kucing tua sakit-sakitan sepertiku.

***

“Kamu bukan kucing liar,” kata seorang laki-laki muda yang berjongkok di sampingku. “Tubuhmu terlalu bersih. Dan kamu pakai kalung. Rumahmu di mana?”

Tadi aku menghabiskan hari dengan berkeliling dan saat menuju rumah Kazia, hujan turun. Aku berteduh di sini, di atas keset sebuah rumah berdinding merah muda. Dulu seorang nenek tinggal di sini dan nenek itu baik sekali padaku. Suka memberiku makan dan minum. Juga mengizinkanku tidur siang di keset tebal dan empuk ini. Sering nenek itu bercerita mengenai banyak hal padaku. Tidak seperti manusia, aku pandai menjaga rahasia. Selain itu aku adalah pendengar yang baik. Kata Kazia, pendengar yang baik adalah orang yang memperhatikan apa yang dikatakan lawan bicaranya dan tidak menyela. Setelah sang nenek meninggal, rumah ini kosong. Meski begitu aku masih suka mampir. Anak laki-laki ini aku tidak tahu siapa. Baru pertama kali kutemui. Tetapi aku tahu dia orang baik. Iya, aku bisa menilai seseorang adalah kawan atau ancaman dengan sekali lihat. Karena aku memang hebat seperti itu.

Aku ingin pulang, tapi aku lelah. Sebentar lagi gelap dan Kazia pasti panik mencariku. Ah, aku teringat kalung di leherku. Dulu Kazia memesan kalung ini khusus untukku. Laki-laki muda tersebut mengerti ketika aku menegakkan tubuhku dan menyodorkan leherku padanya.

“Ah, namamu Mumu.” Dia membaca papan kecil berbentuk kepala kucing di leherku. Kazia menuliskan alamat singkat dan nomor teleponnya di sana. Meski aku belum pernah tersesat, aku harus mengakui bahwa Kazia sangat cerdas.

“Kamu tinggal di dekat sini.” Melihatku lemas tidak bertenaga, laki-laki itu tersenyum dan mengangkat tubuhku. “Baiklah, baiklah, aku akan mengantarmu pulang.”

Dengan begini aku bisa menghemat tenaga. Siang tadi aku hanya makan sedikit. Gigiku sakit sekali. Mungkin besok Kazia akan membawaku ke dokter, kalau dia tahu. Biaya dokter tidak murah, aku tahu. Tetapi kadang aku tidak bisa menahan rasa sakit dan membiarkan Kazia tahu. Sebab sudah kehilangan kedua orangtuanya karena sakit, Kazia seperti tidak mau menganggap remeh gejala sakit yang kurasakan.

“Mumu!” Kazia berlari menyongsong ketika laki-laki muda itu melangkah ke teras rumah. “Ke mana saja kamu? Bikin khawatir aja.”

“Dia tidur-tiduran di teras rumah nenekku.” Laki-laki muda itu yang menjawab.

Mereka saling bertatapan. Aku menggelengkan kepala. Orang yang sedang menggendongku ini jelas sedang terpesona kepada Kazia. Laki-laki mana yang tidak? Kazia menurunkan padangannya dan tersenyum tersipu. Percaya padaku, ini adalah awal yang sempurna bagi jalan hidup kedua orang ini. Kecuali kalau laki-laki ini sama berengseknya dengan mantan pacar Kazia. Yang menikah dengan sahabat Kazia tepat tiga bulan setelah ayah Kazia meninggal. Pada hari itu Kazia kehilangan sahabat dan kepercayaan terhadap cinta. Tidak pernah lagi Kazia tertarik untuk berteman dekat dengan siapa pun. Kecuali denganku, yang tidak akan pernah menyakiti dan mengkhianatinya.

Kalau sampai laki-laki ini menyakiti Kazia, aku akan mencakar mukanya. Tidak akan kubiarkan Kazia hidup berlinangan air mata seperti itu lagi. Kali ini aku akan memberi laki-laki ini kesempatan untuk membuka hati Kazia. Sebab aku tidak ingin Kazia menghabiskan sisa hidupnya sendirian dan aku tidak mungkin bisa menemani sampai Kazia tua.

“Terima kasih sudah membawa Mumu pulang.” Kazia mengulurkan tangan dan mengambil-alih untuk menggendongku. “Apa … kamu tinggal di sekitar sini?”

Aku bangga pada Kazia yang kembali menemukan kemampuannya berbicara. Tidak melongo seperti orang dungu hanya karena sedang jatuh cinta.

“Baru seminggu. Di rumah nenekku. Rumah nomor 23.”

Perutku lapar, teriakku. Anak-anak muda ini bisa pacaran besok-besok. Sekarang kucing tua yang lelah ini lebih membutuhkan makanan dan tidur lebih cepat.

“Sudah waktunya Mumu makan malam. Apa….” Kazia menelan ludah. Kebiasaan jika dia sedang gugup. Untung dia terlihat semakin terlihat cantik saat sedang gugup. Dengan tidak sabar aku menunggu apa yang akan dia katakan. “Apa kamu mau ikut makan bersama kami?”

“Sebagai ucapan terima kasihku … karena … kamu mengantarkan Mumu.” Cepat-cepat Kazia menambahkan, sebelum laki-laki muda di depannya buka suara.

***

“Mumu! Mumu, lihat kami beli apa untukmu?” Suara riang Kazia terdengar begitu pintu rumah terbuka.

Aku sudah tidak tertarik lagi dengan apa pun yang diberikan Kazia padaku. Waktuku sudah semakin dekat. Yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana caranya mati tanpa harus membuat Kazia menangis. Air mata Kazia adalah satu-satunya hal yang tidak ingin kulihat. Mungkin aku akan bangkit dari kubur untuk menghapusnya, jika sampai dia menangis tersedu-sedu di hari kematianku.

Selama ini aku tidak menunjukkan kepada Kazia rasa sakit yang menjalari seluruh tubuhku. Tidak ada gunanya pergi ke dokter. Memang usiaku hanya akan sampai di sini. Tidak akan bisa diperpanjang lagi.

Kazia dan Hale—laki-laki yang mengantarku pulang lima bulan lalu—mendekati kasurku dengan membawa benang yang digulung membentuk bola berwarna merah. Dulu aku suka sekali bermain benang bersama Kazia. Sekarang, aku lebih suka tidur.

“Kamu ngapain aja seharian ini, Mumu? Kenapa kamu selalu capek setiap aku pulang?” Kazia menggaruk punggungku. “Mumu, aku ada kabar baik dan kabar buruk. Kamu mau dengar yang mana?”

Terserah. Aku punya kabar yang lebih buruk, jawabku.

“Kabar baiknya … aku dan Hale ingin menikah.” Kazia mengangkat tubuhku dan memamerkan senyum lebarnya tepat di depan wajahku.

Bukan pekerjaan mudah menjodohkan kedua orang ini. Hampir setiap hari aku harus berjalan—terseok-seok dengan tenaga seadanya—ke rumah nomor 23 dan memaksa Hale untuk mengantarku pulang. Setelah aku kenyang dan tidur karena kelelahan, Hale dan Kazia duduk di teras. Dari tempat tidurku di samping televisi, aku bisa mendengar dengan jelas suara tawa mereka.

“Kabar buruknya, aku harus meninggalkanmu tiga hari, karena Hale dan aku akan mengunjungi rumah orangtuanya,” lanjut Kazia. “Kamu akan di rumah sendirian. Tapi aku sudah meminta Leila untuk datang ke sini setiap hari. Menyiapkan makanan dan minumanmu.”

Kenapa Kazia tetap memperlakukanku seperti anak-anak? Yang perlu dijaga orang dewasa. Dalam dunia kucing, aku sudah termasuk nenek-nenek. Pengalaman hidupku sudah banyak. Aku bisa hidup sendiri. Baiklah, kalau dengan menugaskan orang untuk menjagaku membuat hati Kazia tenang, aku tidak akan mengeluh. Tidak semua kucing diberi perhatian seperti ini oleh manusia. Betapa beruntungnya aku di usia senjaku, aku mendesah.

Hale tertawa melihatku kembali meringkuk dan siap mendengkur. Satu tangannya mengelus kepalaku dan tangan lainnya memeluk Kazia. Aku bahagia karena Kazia sudah menemukan belahan jiwanya. Gadis terbaik di seluruh dunia itu berhak mendapatkan laki-laki yang sama baiknya. Sejak membawa Hale ke rumah ini untuk pertama kali, aku sudah tahu dia adalah laki-laki yang tepat untuk Kazia. Bagaimana aku tahu? Itu rahasiaku dan manusia tidak perlu tahu.

***

Lebih baik aku mati kalau bernapas saja sakit sekali seperti ini. Lebih menyakitkan lagi melihat tatapan sedih Kazia. Kurang dari sebulan lagi gadis terbaikku ini akan menikah. Seharusnya dia menghabiskan waktunya dengan penuh harapan dan kegembiraan. Bukan duduk di samping kandangku dan membelai perutku. Kalimat-kalimat lembut penuh cinta terus keluar dari bibirnya. Aku berusaha memberitahunya bahwa aku selalu mencintainya. Bahwa aku akan terus menjaganya meski aku tidak lagi ada di dunia ini. Kazia tidak akan sendiri mengantarku pergi. Sudah ada Hale yang menggenggam tangannya dan mereka akan selalu bersama hingga maut memisahkan mereka.

Sungguh aku berharap aku bisa mengatakan kepada Kazia bahwa dia adalah manusia terbaik yang pernah kutemui sepanjang hidupku. Di dunia ini, aku tidak tahu apakah ada kucing lain yang seberuntung diriku. Dihujani dengan kasih sayang dan cinta oleh seseorang seperti Kazia. Ketika aku berkeliling di sekitar sini, aku melihat banyak teman-temanku menderita. Mereka ditelantarkan dan disiksa. Dipisahkan dari anak-anak mereka. Menderita sakit berkepanjangan. Kami adalah makhluk yang kuat, aku pernah bilang. Tetapi kami tetap memiliki batas. Sebab kami bukan Tuhan. Seandainya saja semua manusia bersikap seperti Kazia. Tidak perlu memelihara teman-temanku di rumah mereka. Mereka hanya perlu meletakkan makanan di sana dan di sini untuk teman-temanku. Hal penting lain yang dibutuhkan teman-temanku adalah kebiri—sesuatu yang tidak bisa kami lakukan sendiri—supaya populasi kami tidak terus meningkat.

Kadang-kadang manusia berpikir untuk apa menolong hewan ketika banyak manusia yang masih memerlukan pertolongan. Kenapa pula memberi makan binatang, saat banyak orang yang masih kelaparan. Masih banyak gelandangan, kenapa harus memikirkan rumah untuk seekor kucing? Manusia, kalian bisa berbicara, kalian bisa berpikir, dan kalian bisa bekerja. Semua itu adalah modal dasar untuk hidup. Kalian diciptakan untuk mengubah nasib kalian sendiri. Seburuk-buruknya hidup kalian, kalian masih bisa meminta makanan kepada orang lain. Kami? Kalau tidak ada sisa-sisa makanan atau hewan-hewan kecil yang bisa kami temukan, kami akan hidup dalam keadaan lapar selama berhari-hari. Sebab sekeras apa pun kami mengemis, manusia tidak akan paham apa yang kami butuhkan. Kalau aku punya kemampuan untuk bicara dan berpikir layaknya manusia, aku akan rajin belajar, aku akan berlatih keterampilan, lalu mengubah nasib.

“I love you, Mumu,” bisik Kazia.

“I love you too, Kazia.” Jika aku diizinkan mengucapkan kalimat terakhir dalam bahasa manusia, aku ingin mengatakan bahwa Kazia tidak hanya cantik wajahnya, namun hati dan perangainya juga. Selamanya aku ingin Kazia mempercayai satu hal itu.

Harapan terakhirku sebelum aku mati, aku ingin teman-temanku di luar sana sempat bertemu dengan seseorang yang sama luar biasanya dengan Kazia.

Terima kasih untuk semuanya, Kazia….

Wajah cantik Kazia semakin mengabur. Lalu semuanya semakin menggelap. Ada seorang anak perempuan kecil tengah menungguku di depan sana. Tidak jauh. Hanya di seberang sungai. Dia tersenyum lebar sekali, memamerkan gigi yang rapi dan putih. Ada lesung pipit di kedua pipinya. Mata anak itu mengingatkanku pada Kazia. Aku tidak tahu dia siapa, mungkin majikan baruku di kehidupan selanjutnya.

Lututku tidak lagi sakit. Kepalaku tidak lagi berat. Mataku bisa melihat dengan baik. Napasku kembali teratur.

Selamat tinggal, Kazia….

Sore ini Hale menggali lubang dalam-dalam di bawah pohon mangga besar di halaman rumah Kazia. Salah satu tempat favoritku, selain pelukan dan pangkuan Kazia. Setiap siang, jika tidak berkeliling, aku senang tidur-tiduran di sana.

“Supaya tidak ada yang mengganggu Mumu di peristirahatan terakhirnya,” alasannya.

Sambil tersenyum pedih Kazia melepaskan kalung di leherku.

“Dia bebas sekarang dan dia boleh memilih nama yang dia sukai,” kata Kazia. “Sering aku merasa … aku bisa mendengar Mumu protes karena nggak suka dengan nama yang kupilih.”

Untuk terakhir kali Kazia melarikan jari-jarinya di atas bulu-buluku—sebelum Hale menimbun tubuhku dengan tanah—dan berdoa semoga di surga aku bisa mendapatkan ayam goreng kesukaanku. Saking sukanya, aku pernah mencuri sepotong ayam dari piring Kazia. Selama lima menit Kazia menguliahiku, bahwa sebagai kucing yang beradab aku harus meminta dengan sopan jika menginginkan sesuatu. Lalu Kazia menggerutu karena merasa gagal mendidikku. Tetapi Kazia selalu memaafkanku, karena dia adalah gadis terbaik di seluruh dunia.

“Hari di mana aku menemukan Mumu di teras rumahku dan aku membawanya ke sini adalah salah satu hari terbaik dalam hidupku.” Aku belum terlalu jauh melangkah menuju kehidupan selanjutnya ketika aku mendengar suara Hale. “Seminggu pertama di kota ini aku merasa kesepian. Aku belum punya teman. Mumu adalah teman pertamaku. Berkat Mumu juga, aku bertemu kekasihku.”

“Mungkin itu tugas terakhir dari Tuhan untuk Mumu.” Kali ini suara Kazia yang sangat kusukai terdengar. “Dia nggak pernah membiarkanku sedih sendirian. Kamu lihat, Mumu, aku nggak menangisi kepergianmu. Aku sedih. Aku kehilangan sahabat terbaikku. Tapi aku nggak akan menangis. Karena kamu nggak suka melihatku menangis. Kami akan selalu mengingatmu dan selamanya berterima kasih padamu. Ah, Hale…..”

“Ya?” Hale meremas tangan Kazia.

“Kalau aku memelihara kucing lagi, kucing kampung seperti Mumu, apa kamu tetap akan mau menikah denganku?” Mendengar pertanyaan Kazia kepada Hale, aku tertawa. Sudah pasti Hale akan memenuhi apa saja yang diminta Kazia.

Setelah mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kali, Kazia dan Hale berjalan menuju teras rumah dengan bergandengan tangan. Tugasku di dunia sudah selesai. Sambil tersenyum lebar aku meloncat ke pelukan gadis kecil berbaju putih yang menungguku dengan tangan terbuka. Aku sudah menyiapkan hadiah istimewa, yang akan kukirimkan nanti tepat di hari pernikahan mereka.

END

 

Teman-teman, bukan tanpa alasan aku menulis cerita pendek ini. Cerita ini kutulis spesial untuk Mumu. Aku sertakan foto Mumu di atas. Mata Mumu hanya berfungsi sebelah. Mumu adalah salah satu kucing yang beruntung sebab dia hidup bersama seseorang yang amat menyayanginya. Namun sayang, ada banyak Mumu-mumu lain di luar sana yang tidak seberuntung itu dan membutuhkan bantuan kita. Memang kita tidak bisa menampung semua kucing di rumah kita. Juga kita tidak bisa memberi makan semua kucing di negara ini. Namun, kita bisa mencegah peningkatan populasi kucing. Saat ini temanku sedang melakukan kebiri untuk kucing-kucing di sekitar tempat tinggalnya. Biaya yang diperlukan untuk sekali kebiri adalah Rp 150.000. Dana untuk kebiri bersumber dari tabungan pribadinya.

Apa yang bisa teman-teman lakukan untuk membantu Mumu-mumu lain?

  1. Kalian bisa mengebiri kucing-kucing di lingkungan kalian masing-masing
  2. Kalian bisa berdonasi melaui Kita Bisa << klik
  3. Bagikan tautan cerita ini melalui media sosial kalian, instant messenger(WhatsApp, Line, dsb), bulletin board di sekolah, maupun media lain.

Terima kasih karena sudah mau membaca cerita pendek ini. Salam sayang dariku dan Mumu.

Ika Vihara

My Books

Coming Soon: Bellamia

Bulan Agustus nanti kita akan ketemu dengan pembuat listrik kesayangan kita, the world’s best power engineer ever, Gavin, dan bisa dipastikan tak akan lagi ada mati listrik di hati kita. Bercanda. Gavin adalah engineer favoritku selama aku menulis cerita dengan tokoh berlatar belakang engineering. Jangan lupa ditengok-tengok di toko buku kesayangan mulai bulan Agustus nanti dan mohon diberikan tempat di rak buku kita untuknya. Dia akan membangun pembangkit listrik tenaga cinta.

BELLAMIA

Blurb

Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun teman SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin—dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan—mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat. Merahasiakan hubungan dari semua orang.

Baca bab I Bellamia di sini.

 

Catatan:

Ada bonus Novella Daisy/14.000 kata hanya bisa didapatkan selama masa pre order novel Bellamia, sd tgl 23 Juli. Tokoh dari cerita ini adalah kakak dari Amia dalam Bellamia. Hubungi email bellamiabook@gmail.com 🙂

Baca bab I novella Daisy di sini.