My Bookshelf

BACHA POSH

I would love to be anything in the world

But not a woman

Pernah menyesal dilahirkan sebagai seorang wanita? Atau pernah menyesal melahirkan anak perempuan?

Tentu orang tidak bisa memilih akan dilahirkan dengan jenis kelamin apa. Seorang anak terlahir ke dunia dengan membawa salah satu dari dua gender, laki-laki atau perempuan. Lalu bagaimana jika seorang anak memiliki keduanya? Tidak, bukan kelamin ganda. Hanya saja, dia mendapat kehormatan untuk menjadi bacha posh.

Jenny Nordberg, penulis buku The Underground Girls of Kabul, mewawancarai banyak wanita di Afghanistan, berbagai usia dan profesi, lalu menuliskan kisahnya dalam buku ini. Tentang para wanita yang menghabiskan sepertiga dari masa hidupnya dengan menyembunyikan jenis kelaminnya.

Nama mereka adalah bacha posh.  Dalam bahasa Dari. Salah satu bahasa yang jamak digunakan di Afghanistan. Kalau dialihbahasakan, bacha posh anak-anak perempuan yang disuruh oleh orangtuanya untuk berpura-pura jadi anak laki-laki—mulai dari cara berpakaian hingga bersikap. Seorang bacha posh hampir pasti bisa ditemui di setiap keluarga yang tidak dikaruniai anak laki-laki. Hadirnya mereka, dimaksudkan untuk untuk menjaga kehormatan keluarga.

Masyarakat Afghanistan menggunakan sistem patrilineal, yang mana, kehormatan setiap keluarga ada di tangan laki-laki. Segala warisan termasuk nama belakang akan diturunkan kepada anak-anak laki. Sehingga kehadiran seorang anak laki-laki adalah penting. Tetapi di negara ini, dianggap sangat penting. Akibatnya, setiap wanita di sana selalu memiliki tekad, cita-cita mutlak, dalam dirinya untuk bisa melahirkan paling tidak satu anak laki dalam pernikahannya. Sekali dia tidak bisa memenuhi cita-cita tersebut, maka dia akan dianggap tidak normal dan mendapat cap buruk: dokhtar zai. Atau wanita sial yang hanya bisa melahirkan anak perempuan.

Always alone

Always an example of weakness

My shoulders are heavy

with the weight of pains

Seorang ibu, jika pulang dari bidan membawa pulang anak laki-laki, dia akan dipuja-puja oleh mertuanya. Dihadiahi kambing, diberi susu setiap hari, dan berbagai kemudahan lain. Sementara jika melahirkan anak perempuan, dia dikurung di dalam kamar dan diberi makan biji-bijian kering saja. Apalagi kalau wanita tersebut sudah melahirkan dua atau tiga anak perempuan, dan lagi-lagi perempuan. Semakin banyak melahirkan anak perempuan, semakin dianggap sebagai mimpi buruk. Orang-orang akan mencap sang suami sebagai meraat, dalam bahasa Pashto, alias laki-laki yang sial tidak punya anak laki-laki.

Bidan pun, di dalam ruang bersalin akan mengatakan kalimat penyesalan saat memberitahu bahwa bayi yang lahir adalah perempuan. Lalu, menyarankan kepada sang ibu untuk berbohong saja, mengatakan kepada semua orang bahwa dia melahirkan bayi laki-laki. Pura-pura punya anak laki-laki, dengan mendandani anak perempuannya, atau bacha posh, dianggap lebih baik daripada tidak punya anak laki-laki sama sekali.

Sejak keluar dari ruang bersalin itulah, si bayi perempuan mulai hidup sebagai anak laki-laki. Nanti dia akan sekolah di tempat laki-laki sekolah, berpakaian seperti anak laki-laki, dia bisa keluar rumah tanpa didampingi mahram, boleh bekerja sambilan, makan lebih banyak dan enak daripada sauadara perempuannya, dan apa saja keistimewaan yang dinikmati laki-laki, dia dapatkan. Hingga, suatu saat dia tidak bisa lagi melawan kodrat: menstruasi.

Saat itu tiba dia akan kembali menjadi gadis, memakai baju wanita, berhijab, dan tinggal di rumah. Banyak di antara mereka yang masih merasa dirinya adalah laki-laki hingga dewasa. Banyak juga yang menikah, tapi tidak tertarik—jenis tertarik kepada lawan jenis—kepada suaminya. Apakah mereka tumbuh menjadi penyuka sesama jenis? Para bacha posh yang diwawancara Jenny tidak mengakui, tapi dari analisa psikologis yang dipaparkan, mungkin sekali.

Until what time must I accept to suffer?

When will nature announce my release?

Segala daya upaya dilakukan seorang ibu untuk mempunyai setidaknya seorang anak laki-laki. Memenuhi cita-cita mutlak agar dianggap sebagai wanita normal. Makan ramu-ramuan dan sebagainya. Termasuk berkali-kali hamil dan berharap melahirkan anak laki-laki. Harapan hidup seorang wanita di sana adalah 42 tahun, rata-rata usia wanita menikah 16 tahun dan mereka menghabiskan 25 tahun jatah hidup dengan hamil. Betapa sulitnya.

Bagaimana kalau sudah berkali-kali melahirkan tidak tetap tidak keluar anak laki-laki juga? Maka suami akan menikah lagi. Dengan wanita yang lebih muda, sangat muda, dengan harapan, bisa memberikan keturunan laki-laki. Kalau tidak punya anak laki-laki juga dari istri kedua? Ya menikah lagi. Mau semiskin apa pun, tetap akan menikah dua, tiga, empat kali, demi mendapat anak laki-laki.

Menantu yang bisa memberi cucu laki-laki, bakal menjadi kesayangan ibu mertua. Ini yang menyebalkan, karena setelah menikah wanita wajib ikut tinggal di rumah suaminya, yang mana, kebanyakan tinggal bersama orangtua. Yang tidak punya anak laki-laki? Melakukan pekerjaan rumah tangga yang berat. Tidak mendapatkan prioritas makanan bergizi. Plus kebanyakan pernikahan melibatkan kekerasan. Baik oleh suami maupun oleh mertua. Pemicunya, salah satunya, dianggap sebagai wanita kelas dua, hanya karena tidak bisa punya anak laki-laki.

Sekali lagi, hidup akan lebih sulit jika tidak bisa punya bayi laki-laki. Atau tidak terlahir sebagai laki-laki.

When I want to talk

My tongue is blamed

My voice causes pain

Crazy ears can’t tolerate me

Jarang ada anak perempuan berpendidikan tinggi. Bahkan di daerah-daerah luar Kabul, banyak yang tidak bisa membaca. Tidak banyak pula wanita yang bekerja. Kalau bekerja, disarankan mereka menjadi guru di sekolah khusus perempuan.

Anak-anak perempuan, ketika sudah mendapatkan mestruasi pertama, akan dicarikan suami oleh ayahnya. Dicarikan. Dijodohkan. Semakin cepat menikah, semakin bagus. Mulut yang harus diberi makan, berkurang satu. Plus, ada hadiah dari calon suami kepada keluarga istri. Mereka menikah di usia anak-anak. Bukan dengan orang pilihan mereka.

Bahkan, anak perempuan masih dipakai sebagai alat pembayar hutang. Saat sang ayah berhutang kepada seseorang dan tidak bisa membayar, maka dia menyerahkan anak perempuannya untuk dinikahi. Tidak masalah jadi istri keberapa. Yang penting hutang dihapuskan dan tidak ada keributan. Dari pernikahan semacam ini sangat mungkin menimbulkan kekerasa rumah tangga. Karena … bisa jadi ada rasa kurang hormat dari seorang suami yang mendapatkan istri sebagai pengganti sejumlah uang.

Bagaimana jika seorang anak perempuan menjadi korban pelecehan seksual? Maka dia akan dihukum. Sudah jadi korban masih pula dihukum. Karena dianggap menggoda laki-laki. Karena melakukan kegiatan suami istri di luar nikah. Atau kalau tidak ingin dihukum, dia harus menikah dengan pelaku pelecehan. Lagi-lagi, sudah jadi korban, dipaksa tinggal dengan orang yang melecehkannya, seumur hidup. Mengabdi sebagai istri.

Selain tingginya angka buta huruf, angka bunuh diri juga sama. Banyak wanita yang depresi dan bunuh diri. Padahal tanpa bunuh diri pun, harapan hidup mereka juga tetap singkat. Siapa yang tidak cepat mati kalau terlalu banyak kehawatiran seperti itu?

I would love to be anything in nature

But not a woman

Not an Afghan woman

Jadi, apakah tidak ingin bersyukur hidup di Indonesia? Meski ada bebeberapa suku yang memakai sistem patrilineal, kita tetap menganggap anak perempuan dan anak laki-laki sama-sama berharga, sama-sama membanggakan. Ada kesempatan yang sama untuk sekolah, bekerja, dan apa saja. Ada perlindungan hukum yang jelas untuk kita, wanita. Our country is the easiest place to be a woman.

 

Catatan:

Progres baca buku The Underground Girls of Kabul baru sampai halaman 37 dari 306 halaman.

Kutipan dari puisi karya Jenny Nordberg, berjudul But Not an Afghan Woman

4 thoughts on “BACHA POSH”

  1. Kakak selalu membuat semua hal terasa baru dan mengejutkan. Memberi pandangan pandangan baru dari setiap sisi yang berbeda. Menginspirasi. Maju terus ya kak :))
    Oh ya kak, Dance of Love nya bagus aku suka, pasti kak harus ada bagian 2 dan bagian bagian selanjutnya, karna setiap karya kakak selalu penuh kejutan.

  2. Dikotaku toko bukunya sangat minim, pas baca sedikit tentang The Underground Girls of Kabul jadi pengen baca novelnya, aku udah cari diweb Gramedia dan toko buku online lainnya ga ketemu ?, kakak beli dimana?. aku jadi teringat novel The Kite Runner

    1. Halo 🙂
      Bukunya nggak ada di Gramedia. Itu buku berbahasa Inggris. Kamu pengen baca? Kalo mau bisa pinjam punyaku, tapi kl dikirim lewat pos, kamu ganti ongkir pergi-pulang 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *