My Bookshelf

Hari Ini Setahun Yang Lalu

Cerita ini berawal dari sebuah obrolan santai dengan seorang teman berkebangsaan Denmark. Dia ingin menghabiskan hidup di negara hangat dan makan nasi sementara saya ingin merasakan tinggal di negara dingin dan makan roti. Sebuah obrolan yang membuat saya mendapatkan gagasan untuk sebuah premis cerita dengan menggabungkan unsur-unsur roman di dalamnya. Sebuah obrolan yang membuat saya ingin tahu lebih banyak lagi tentang negara dingin itu dan kehidupan di sana. (halaman v, My Bittersweet Marriage)

21 Maret 2016

Hari itu, bersamaan dengan hari ulang tahun sahabat terbaikku, pendukung utamaku, Instagram dan Facebook-ku banjir dengan foto-foto istimewa. Mention dan tag teman-teman kuliah, teman SMA, teman kursus bahasa Inggris, teman-teman kerja, teman-temanku sekelasku saat belajar menulis di Jogja, teman-teman Wattpad dan banyak lagi orang. Mereka memberitahuku bahwa mereka sudah membawa pulang buku pertamaku, My Bittersweet Marriage.

Aku masih ingat pada tahun 2015, setelah nunggu berbulan-bulan, akhirnya naskah yang kuajukan ke penerbit diterima. Nerima kabarnya hari Jumat, malam habis Magrib. Atau aku tahunya habis Magrib. Pada waktu itu, di sini, aku tidak punya banyak followers dan viewers. Aku mencoba percaya saja bahwa naskah yang sudah kutulis sebaik-baiknya, akan mendapat kepercayaan. Karena itu aku menjawab kekecewaan teman-teman yang kecil hati karena khawatir naskahnya tidak kunjung terbit karena tidak capai empat atau tujuh juta viewers, tidak selamanya seperti itu. Jalan kita tidak mudah. Nothing good is easy. 

Yang pertama terlintas dalam benakku ketika menerima kabar terbit, aku ingin menarik naskah dan memperbaikinya lagi. Aku belum puas betul dengan naskah itu dan aku merasa aku terlalu terburu-buru untuk menerbitkan. Tapi apa mau dikata, sudah terlanjur. Jadi seperti itulah adanya My Bittersweet Marriage.

Ada banyak pertanyaan dari teman-teman, kenapa aku menulis tentang Denmark, dalam My Bittersweet Marriage(dan The Danish Boss)

Ada banyak pertanyaan dari teman-teman, kenapa aku menulis tentang Denmark, dalam My Bittersweet Marriage(dan The Danish Boss). Jawabannya seperti paragraf pertama di atas. Tentu saja temanku berperan banyak dalam riset tentang Aarhus dan Denmark. Menyelesaikan novel tersebut adalah pencapain tertinggi dalam hidupku, mengalahkan rasa saat aku berhasil ada dalam 10 orang terbaik selepas management training program. Riset dan studi pustaka untuk novel itu(dan novel-novelku yang lain) perlu banyak waktu dan biaya. Misal harga buku yang berisi hasil penelitian dari Lembaga Peneliti Kebahagiaan Denmark, hampir Rp 300.000 satu eks. Belum lagi malam-malam yang kuhabiskan buat nanya-nanya sama temanku. Saat di Korea pun kubombardir dengan pertanyaan, kenapa ada bendera Denmark dalam setiap kue.

Selain teman, aku juga tahu beberapa orang yang mungkin berniat untuk memberiku kritik. Tapi sayang tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan dengan benar. Aku tidak pernah membenci kalian. Meski aku tidak tahu kenapa kalian membenciku–sayangnya, sering bukan karena karyaku–tapi karena kepo status Facebook-ku.  Lalu baper dan sensi sendiri. Ada juga yang sok menggurui diriku, dengan isi kuliah yang lucu. Kalau teman-teman berteman denganku di Facebook saat itu, saat awal terbit novel ini, kalian pasti ketawa bersamaku. Tapi sekarang sudah berlalu.

Juga ketemu pembajak-pembajak bukuku. Karena merekalah aku jadi tahu bahwa sebenarnya banyak yang tertarik untuk membaca bukuku, tapi terhalang biaya. Jadi membeli buku versi scan atau pdf atau apa dengan harga seperti shampoo sachet. Kalau aku sarankan, lebih baik pinjam ke teman buat baca daripada beli versi gelap seperti itu. Atau ke taman baca yang menyediakan bukuku. Seingatku, aku cukup banyak ngirim buku buat taman baca, supaya bisa dibaca gratis untuk teman-teman yang kebutuhan hidupnya mendesak.

Dalam tiap doaku, aku berharap bukuku bermanfaat untuk kita semua. Ada pemahaman dan sudut pandang baru tentang hidup dan cinta yang bisa kita dapat. Tentang Copenhagen, Aarhus, Denmark, programming, engineering, marriage, budaya dan banyak lagi. I hope I am not adding to negativity. I hope I am adding to positive energy. I wanna send out the ray of hope for you. I want to reach you, and be there for you, through my books. Aku ingin kita tahu bahwa membaca novel romance seperti karyaku ini tidak hanya memupuk imajinasi teman-teman, tapi menambah ilmu, meski sedikit, yang bermanfaat.

Aku mau mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman yang sudah memberi kesempatana padaku, yang bukan siapa-siapa ini, untuk dibaca dan dibeli karyanya. Sebagai(orang yang ngaku) penulis baru, hal tersebut sangat berarti. Terima kasih sudah memberikan rumah baru buat Afnan dan Hessa, bersama dengan karya-karya penulis hebat favorit teman-teman. Semoga aku akan bisa menjadi sehebat mereka Dan terima kasih sudah berteman denganku, dan The Mollers: My Bittersweet Marriage, When Love Is Not Enough, dan The Danish Boss. Juga Geek Play Love dan Bread Love(Jangan bilang belum punya bukuku satu pun huhuhu)

Sekarang dengan makin dikenal banyak orang, aku semakin merasa beban di pundakku semakin berat

Sekarang dengan makin dikenal banyak orang, aku semakin merasa beban di pundakku semakin berat. Aku nggak bisa sembarangan lagi menulis, walau untuk sekadar Twit atau status Facebook. Karena tulisan adalah alat paling efektif untuk mempengaruhi opini teman-teman. Banyak teman-teman yang ingin jadi penulis bertanya padaku, mencontoh diriku–meski aku merasa belum layak. Punya pembaca banyak bukan selamanya menjadi nikmat, tapi bisa juga ujian. They said, we don’t need to be Isaac Newton, Albert EInstein, Soren Kierkegaard, or any other famous scientists, philosophers, politicians or famous peope for my thought to be worthwhile. Aku tidak bisa memberi contoh yang buruk, seperti melempar hate speech, atau menyombongkan diri dengan berteman dengan kelompok tertentu.  Because I have followers and they listen and look up to me.

Uncategorized

Outline

Pembeda antara karya fiksi dengan non fiksi adalah alur atau jalan cerita. Mau cerita pendek, cerita panjang (novel), maupun cerita setengah panjang(novella) harus ada alur. Mau alur maju, mundur atau gabungan maju mundur cantik. Makanya kenapa orang banyak tidak suka baca nonfiksi. Karena tidak ada alur. Begitu-begitu saja dari awal sampai akhir.

Maka di sini, dalam fiksi, alur adalah perkara yang penting dalam sebuah naskah fiksi. Untuk memudahkan mengalirkan alur, kita bisa membuat alat bantu yang disebut outline. Atau gambaran jalan cerita. Gampangnya: menuliskan garis besar bagaimana nanti ceritaku akan berjalan! Alat bantu ini efektif sekali lho untuk membantu kita supaya tidak lupa dengan rencana awal cerita. Ibarat rel, outline ini akan menjaga kita supaya tetap berada di jalur yang benar, tidak melenceng dan selamat sampai tujuan, yaitu kata tamat.

Ah, malas, ah, buat apa bikin outline segala? Aku kan udah biasa nulis. Judul tulisanku udah belasan viewers-ku milyaran. Nulis ya nulis aja, apa yang aku lagi aku pengen. Pernah berpikir gitu?

Boleh-boleh saja. Hanya saja, ada beberapa keuntungan kalau kita punya outline. Continue reading “Outline”

My Bookshelf

BACHA POSH

I would love to be anything in the world

But not a woman

Pernah menyesal dilahirkan sebagai seorang wanita? Atau pernah menyesal melahirkan anak perempuan?

Tentu orang tidak bisa memilih akan dilahirkan dengan jenis kelamin apa. Seorang anak terlahir ke dunia dengan membawa salah satu dari dua gender, laki-laki atau perempuan. Lalu bagaimana jika seorang anak memiliki keduanya? Tidak, bukan kelamin ganda. Hanya saja, dia mendapat kehormatan untuk menjadi bacha posh.

Jenny Nordberg, penulis buku The Underground Girls of Kabul, mewawancarai banyak wanita di Afghanistan, berbagai usia dan profesi, lalu menuliskan kisahnya dalam buku ini. Tentang para wanita yang menghabiskan sepertiga dari masa hidupnya dengan menyembunyikan jenis kelaminnya.

Nama mereka adalah bacha posh.  Dalam bahasa Dari. Salah satu bahasa yang jamak digunakan di Afghanistan. Kalau dialihbahasakan, bacha posh anak-anak perempuan yang disuruh oleh orangtuanya untuk berpura-pura jadi anak laki-laki—mulai dari cara berpakaian hingga bersikap. Seorang bacha posh hampir pasti bisa ditemui di setiap keluarga yang tidak dikaruniai anak laki-laki. Hadirnya mereka, dimaksudkan untuk untuk menjaga kehormatan keluarga.

Masyarakat Afghanistan menggunakan sistem patrilineal, yang mana, kehormatan setiap keluarga ada di tangan laki-laki. Segala warisan termasuk nama belakang akan diturunkan kepada anak-anak laki. Sehingga kehadiran seorang anak laki-laki adalah penting. Tetapi di negara ini, dianggap sangat penting. Akibatnya, setiap wanita di sana selalu memiliki tekad, cita-cita mutlak, dalam dirinya untuk bisa melahirkan paling tidak satu anak laki dalam pernikahannya. Sekali dia tidak bisa memenuhi cita-cita tersebut, maka dia akan dianggap tidak normal dan mendapat cap buruk: dokhtar zai. Atau wanita sial yang hanya bisa melahirkan anak perempuan.

Always alone

Always an example of weakness

My shoulders are heavy

with the weight of pains

Seorang ibu, jika pulang dari bidan membawa pulang anak laki-laki, dia akan dipuja-puja oleh mertuanya. Dihadiahi kambing, diberi susu setiap hari, dan berbagai kemudahan lain. Sementara jika melahirkan anak perempuan, dia dikurung di dalam kamar dan diberi makan biji-bijian kering saja. Apalagi kalau wanita tersebut sudah melahirkan dua atau tiga anak perempuan, dan lagi-lagi perempuan. Semakin banyak melahirkan anak perempuan, semakin dianggap sebagai mimpi buruk. Orang-orang akan mencap sang suami sebagai meraat, dalam bahasa Pashto, alias laki-laki yang sial tidak punya anak laki-laki.

Bidan pun, di dalam ruang bersalin akan mengatakan kalimat penyesalan saat memberitahu bahwa bayi yang lahir adalah perempuan. Lalu, menyarankan kepada sang ibu untuk berbohong saja, mengatakan kepada semua orang bahwa dia melahirkan bayi laki-laki. Pura-pura punya anak laki-laki, dengan mendandani anak perempuannya, atau bacha posh, dianggap lebih baik daripada tidak punya anak laki-laki sama sekali. Continue reading “BACHA POSH”