My Bookshelf

The Soul of a Butterfly

 

Aku akan membagi apa yang kudapat dari buku yang sedang kubaca. Autobiografi Muhhammad Ali yang berjudul The Soul of a Butterfly. Buku ini ditulis bareng anaknya, Hana Yasmeen Ali. Bagiku, ini buku terbaik yang kubaca sepanjang tahun 2016. Buku yang ditulis oleh seorang petinju. Kenapa ada kata Butterfly di judulnya? Karena jargon sang legenda. Sting like a bee, float like a butterfly.
Selain kenyataan dia disleksia, tidak kuliah, diperlakukan sebagai second class citizen karena berkulit hitam—sampai masuk ke restoran hamburger aja dilarang, converted to muslim, dan banyak hal menarik lain, ternyata Ali suka menulis puisi. Karena dia terkenal (he is The Greatest sportsman who ever lived anyway) sebagai petinju, bukan sastrawan, puisi-puisinya dikritik dan diejek habis-habisan. Orang bilang bahasanya tidak nyastra (apa ya padanan kata ini? Tidak meliuk begitu lho), puisinya jelek, dangkal, dan macam-macam.

Apa juga yang diharapkan orang-orang? Seorang petinju tidak boleh menulis puisi? Yang boleh menulis hanya mereka yang sastrawan? Padahal puisi-puisi tersebut ditulis Ali hanya untuk mengungkapkan perasaannya. Seperti ketika pertama kali menang medali emas Olimpiade Roma 1960, sebelum menghadapi Sony Liston, setelah dengan brutal mengalahkan Joe Frazier, saat mensyukuri hidayah menjadi muslim, atau sebelum memberi kuliah di Harvard University. Continue reading “The Soul of a Butterfly”