My Bookshelf, Thing That Makes Me Happy

Kenapa Aku Menulis Cerita Romance?

Jawabannya tidak sesederhana ‘karena aku menyukai genre romance’.

Suatu waktu, aku mendapatkan kesempatan berharga untuk bekerja bersama seorang editor yang luar biasa. Dari beliau aku banyak sekali belajar, tidak cuma tentang menulis, tapi tentang hidup dan sebagainya. Aku belum mencantumkan nama beliau di sini karena permintaan izinku melalu WhatsApp belum dijawab. Masih jelas terekam di ingatanku, beliau mengatakan kalau aku mau mengurangi kadar romance di dalam naskah yang kutulis, aku bisa masuk ke genre literary fiction. Beliau yakin aku mampu membuat karya yang berbeda pada genre itu. Di sana aku akan lebih bebas mengeksplorasi segala tingkah-laku manusia—aku sudah melakukan ini di buku-bukuku hingga menyampaikan kritik sosial—aku juga selalu menyertakan ini di dalam tulisanku. Tidak harus mengerem karena khawatir pembaca romance tidak mendapat kepuasan dari bukuku.

Hingga kini, aku selalu menuliskan saran tersebut di dalam buku jurnalku, pada awal tahun, saat menuliskan resolusi—yang jarang terlaksana itu—bahwa aku akan mencoba menulis naskah di luar genre romance. Literary fiction atau nonfiksi. Tetapi aku nggak tahu kenapa aku belum mulai melakukannya. Aku masih menikmati proses menulis cerita romance. Ideku masih banyak dan aku ingin mengeksekusi sampai selesai.

Jadi, apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan ‘kenapa aku menulis cerita romance’?

Di mataku, romance adalah genre tertua dan paling utama di dunia. Nggak akan ada aku, kamu, atau mereka kalau nggak ada romance. Adam, manusia pertama yang diciptakan Tuhan, suatu ketika menyadari dirinya berbeda dari malaikat. Level malaikat tentu berbeda dengan manusia, kalau terus mengikut standard malaikat, bisa jadi manusia tidak mampu. Karena tidak mau menjadi minoritas, Adam meminta kepada Tuhan supaya dihadirkan manusia lain. Apa Tuhan menciptakan adik untuk Adam? Atau paman? Nggak. Tuhan menciptakan pasangan untuk Adam, seseorang yang kelak membuatnya mengetahui apa itu cinta. Menengok sejarah tersebut, ketertarikanku pada genre romance sangat wajar.

Semua jenis genre yang ada, menurutku, kalau nggak diselipkan sedikit romance, nggak akan terlihat manusiawi. Aku membaca Naruto, komik, ceritanya kental budaya tradisional Jepang, dari volume satu sampai habis. Tujuh puluh dua buku kubaca. Tentu aku menemukan banyak pelajaran dari perjuangan Naruto—yang saat masih SD selalu bilang suatu saat dia akan menjadi Hokage(kira-kira selevel presiden kalau zaman sekarang) lalu ketika dewasa berhasil mencapainya. Tetapi aku menunggu-nunggu romansanya. Iya, ada cinta segitiga, mencintai dari jauh, salah mengenali perasaan, dan banyak lagi di sana. Kalau Naruto sampai menikah sama Sakura, aku akan ngamuk hahaha.

Bahkan membaca biografi atau autobiografi seseorang pun, aku senang setiap kali sampai di bagian mereka jatuh cinta. Sebab memang kodratnya manusia, yang dilahirkan memiliki hati, harus ada cinta dalam keseharian mereka. Seperti yang kukatakan dalam bukuku The Game of Love,”Mencintai adalah satu-satunya bakat alam yang dibawa setiap manusia ketika mereka dilahirkan.  Kasihan bagi orang-orang yang menolak menggunakan kemampuan itu.”

Romance adalah genre fiksi paling aman yang bisa kubaca. Orang dengan serangan kecemasan sepertiku harus ekstra hati-hati dalam memilih buku. Aku pernah sekali membaca buku thriller dan aku langsung imsonia seminggu penuh. Membaca The Hunger Game juga membuatku mual, bukan ceritanya nggak bagus, tapi karena mentalku nggak mengizinkanku untuk melihat kemiskinan dijadikan motivasi untuk mengadu manusia. Ya memang aku harus berhati-hati memilih cerita romansa, sebab seringkali di dalamnya terdapat ekploitasi kekerasan dan kekejaman juga.

Itu alasan terpenting kenapa aku berada di genre ini. Dari awal menulis hingga sekarang. Beberapa tahun terakhir aku merasa genre romance diturunkan kualitasnya oleh sebagian orang. Ada yang sengaja mengubah romance menjadi buku porno, nyaris stensilan. Isinya sangat kosong, selling point-nya adalah scene-scene seks, yang dibarengi dengan penyiksaan atau kekerasan. Bagaimana bisa seseorang membuat tokoh laki-laki yang menyombong telah berhasil melalukan hubungan seksual padahal pihak satunya tidak berkenan?

Kalau laki-laki yang memerkosa dibuat terdengar keren, gagah, hebat karena memaksakan kehendak, bisa-bisa para remaja beranggapan bahwa hubungan seksual itu tidak harus dilandasi satu keinginan yang sama, dengan pemaksaan—dan kekerasan—pun boleh. Asal kalau hamil dinikahi seperti di novel. Ya masa kita tega meliaht adik-adik kita tercinta menikah dengan seseorang yang tidak menghormatinya pada kesempatan pertama? Karena ceritanya dibuat hanya berdasarkan imajinasi—tidak dilandasi pengetahuan yang mumpuni apalagi riset yang cukup—jadinya dia tidak tahu seperti apa orangtua harus bersikap. Tahunya kalau ada laki-laki kaya—jadi kayanya juga tidak jelas tahu-tahu jadi CEO atau siapa saja yang mengenakan jas—lantas langsung bertanya kapan anak perempuannya dinikahi. Pelecehan atau yang lain tak lagi jadi perhatian penulis.

Belum lagi mereka yang mempromosikan pernikahan usia kanak-kanak dalam novel yang dikategorikan romance. Mau mengajari pembaca buat melanggar hukum atau bagaimana. Kalau aku mendaftar semua hal yang kunilai semakin merendahkan kasta romance, aku akan perlu lebih dari satu buku. Sebentar lagi aku akan dibilang sok jadi polisi moral. Dunia hancur kalau semua orang nggak peduli pada moral.

Aku dan bukuku-bukuku hadir untuk ikut—bersama penulis-penulis baik lain—menaikkan kasta romance. Supaya romance tidak diasosiasikan dengan pronografi, bucin, pelakor, dan kejelekan-kejelekan lain. Apa cara yang kupilih? Tentu aku tidak akan mencantumkan segala yang kusebutkan di atas tadi. Bukan tanpa adegan bercinta, aku menuliskannya waktu Alwin baru menikah sama Edna. Itu bagian dari kehidupan, tinggal kita bagaimana meramu supaya momen tersebut tersebut sakral, bukan berubah brutal. Aku juga memotivasi kita semua untuk menjadi pribadi yang lebih baik, meningkatkan kualitas diri, lalu melangkah ke tempat yang baik supaya bertemu dengan jodoh yang baik dulu. Aku menyarankan agar kita semua menyelesaikan sekolah atau kuliah, berdiri dulu dia atas kaki sendiri, supaya kekuatan tawar di dalam pernikahan meningkat. Mengubah nasib dan memutus rantai kemiskinan itu melalui pendidikan, bukan pernikahan. Aku menunjukkan pernikahan nggak selamanya indah. selalu meyakinkan bahwa posisi laki-laki tidak berada di atas perempuan. Silakan berpendidikan tinggi, amat tinggi, dan tetap akan ada laki-laki yang tidak kerdil jiwanya yang akan menjadi jodoh kita.

Mungkin upayaku masih jauh dari kata berhasil. Tetapi aku tidak akan berhenti. Walaupun pembaca bukuku tidak akan sebanyak buku-buku dengan konten yang kuhindari tadi, itu serius pembaca cerita semacam itu banyaaaaaak sekali, tapi aku tahu suatu hari nanti aku akan tersenyum bahagia karena aku telah berkontribusi untuk kebaikan. Juga, aku senang karena sudah ikut melindungi genre favoritku dari tangan-tangan orang tak bertanggung-jawab.


Sumber gambar: Freepik.com