My Books

Le Mariage Terbaru dari Ika Vihara x Elex Media: Right Time To Fall In Love

Blurb Right Time To Fall In Love:

Dari penulis A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage, pemenang The Wattys 2021 Kategori Romance:
Ketika rencananya untuk menikah dipupus takdir, Lamar Karlsson memutuskan pulang ke Indonesia. Meninggalkan segalanya–termasuk karier sebagai structural engineer–untuk memikirkan dan memetakan kembali masa depannya. Masa depan yang akan dilalui sendiri, tanpa risiko patah hati. Semua akan berjalan sempurna, seandainya Malissa Niharika–seorang environmental scientist–tidak mengetuk pintu rumah Lamar. Kini justru timbul masalah baru; Lamar tidak bisa mengusir Malissa dari pikirannya.

Setelah bangkit dari keterpurukan atas pengkhianatan dan skandal besar yang dilakukan almarhum suaminya, Malissa fokus membesarkan anak kembarnya. Waktu yang tersisa digunakan untuk menyelamatkan lingkungan melalui free store dan food rescue yang dirintisnya, sehingga mencari pasangan hidup tidak menjadi prioritas utama Malissa. Tetapi perkenalan dengan Lamar menyebabkan impian Malissa untuk memiliki pernikahan yang penuh cinta bersemi kembali.

Ini bukan waktu yang tepat untuk jatuh cinta, Lamar meyakinkan dirinya. Masih terlalu cepat. Namun Malissa menunjukkan kepada Lamar bahwa hati memiliki cara kerja sendiri yang tidak bisa diintervensi. Apakah Lamar akan mendengarkan kata hatinya untuk segera memberi kepastian kepada Malissa? Atau tetap bertahan di zona teman, yang aman tapi tanpa kesempatan hidup bahagia selama-lamanya bersama Malissa?

Menyambut Le Mariage Keenamku+Judul Ketujuhku Bersama Elex Media Komputindo

Sampai juga aku di titik ini. Saat menerbitkan Le Mariage pertamaku, My Bittersweet Marriage, awal 2016, aku sama sekali nggak berpikir jauh ke depan. Jangankan buku ketujuh, setelah buku kedua When Love Is Not Enough, aku sempat berpikir untuk tidak lanjut menjadi penulis. Aku masih menulis, tapi hanya untuk konsumsi sendiri. Kusimpan saja di laptop. Tetapi editorku di Elex Media menghubungiku dan bertanya apa ada naskah yang sudah siap diterbitkan. Karena masih menulis, maka aku masih punya naskah novel yang telah selesai. Yaitu The Game of Love. Karena nggak berpikir untuk menerbitkan buku tersebut, maka naskah yang kutulis nggak sepanjang bukuku yang lainnya.

Saat proses revisi, ada catatan dari editor, yang mengatakan bahwa saat membaca The Game of Love, pembaca akan tertarik dengan kisah-kisah tokoh yang lain. Tokoh yang di The Game of Love tidak menjadi tokoh utama. Catatan itu mendorongku untuk menulis buku selanjutnya, A Wedding Come True. A Wedding Come True terbit saat pandemi. Di tengah rasa pesimisku–takut buku tersebut nggak laku sebab kondisi ekonomi sedang lesu–A Wedding Come True malah menjadi bukuku yang paling sukses sepanjang karier menulisku. Best seller baik buku cetak maupun e-book.

Ide-ide baru terus muncul dan aku sadar aku ingin memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Kesempatan untuk meningkatkan kesadaran akan invisible disabilities, menceritakan tentang women in STEM–Science, Technology, Engineering, and Mathematic–sepertiku, dan membahas berbagai macam topik. Yang kupadukan dengan cerita romance yang manis, realistis, romantis, dan logis. Berapa pun jumlah pembaca bukuku, aku berharap dari sana sudah ada yang mengambil manfaat dari tulisanku. Sudut pandang mereka akan cinta dan kehidupan semakin bertambah. Wawasan semakin luas dan menjadi pribadi yang semakin toleran.

Dan sekarang aku berdiri di titik ini. Di buku ketujuhku. Le Mariage keenamku. Menghadirkan Right Time To Fall In Love. Tidak hanya kisah asmara Lamar dan Malissa yang kusajikan dengan manis, tapi aku juga membahas perubahan iklim, penyelamatan makanan dan barang-barang kebutuhan lain, structural engineering, single motherhood, dan beberapa topik lain.

Kalau kamu suka membaca cerita romance yang berbobot tapi tidak berat, kamu harus banget membaca Right Time To Fall In Love. Kalau ikut preorder, ada bonus booklet bab ekstra 65 halaman A6. Biar puas baca kisah Lamar, Malissa, dan si kembar yang lucu membangun keluarga.

My Books, Uncategorized

Review Novel The Perfect Match Karya Ika Vihara di Media Cetak

Berikut review The Perfect Match di media Kedaulatan Rakyat Mei 2022.

Menghilangkan Perfeksionisme dalam Diri Sendiri

Judul Buku : The Perfect Match
Penulis : Ika Vihara
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : 2021
Halaman : 371 halaman
ISBN : 978-623-00-2503-7

 

 

SEKERAS apapun usaha manusia menjadi sempurna, kita tidak akan pernah bisa mencapainya. Sebab, manusia memang diciptakan memiliki keterbatasan, kekurangan untuk saling membutuhkan satu sama lain. Kecenderungan perfeksionisme dalam diri justru dapat memberi pengaruh buruk pada kesehatan baik fisik dan mental.

Seperti tokoh utama dalam novel ini, Nalia Kahlana, yang berhenti mempercayai cinta dan pernikahan. Penyebabnya, masa lalu yang buruk kehilangan ibu dan ayah yang meninggalkannya tanpa alasan. Namun, segalanya berubah ketika ia bertemu dengan Edvind Raishard Rashid.

Edvind pria tampan dan cukup sukses berkarier sebagai dokter, yang tak pernah kesulitan mendapatkan teman kencan. Kegigihan Edvind untuk mengubah pandangan Nalia secara perlahan meruntuhkan pertahanannya. Kendati demikian, abandonment issue yang Nalia miliki melibatkan banyak pertimbangan akan hubungan asramanya dengan Edvind. (Hal 107)

Nalia hampir dapat mengendalikan abandonment issue yang ia miliki sebelum kemudian hal buruk menimpa kakaknya, Jari. Gloria kakak iparnya mengalami kritis saat melahirkan. Hal tersebut membuatnya kembali ragu dan takut akan masa lalu yang terulang, hingga memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Edvind.

Nasihat Gloria membuka kembali mata hati Nalia bahwa Edvind merupakan lelaki yang tepat untuknya. Tak seorang pun yang dapat memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Yang bisa kita lakukan hanya menjalani hidup saat ini sebaik-baiknya. Begitu pula hidup, akan lebih mudah jika selalu melihat ke depan.

“Waktu yang kita miliki di dunia ini singkat dan akan sia-sia kalau dilewati tanpa mencintai dan dicintai. Pergilah, berjuanglah. Pertaruhkan hatimu, pertaruhkan dirimu, pertaruhkanseluruh hidupmu.” (Hal 337)

Novel karya Ika Vihara ini menyajikan kisah romansa dengan dialog yang cerdas sesuai dengan profesi tokoh-tokoh di dalamnya. Seperti impian Edvind yang ingin menjadi ahli genetika dan kariernya sebagai dokter, ketertarikan
Nalia pada pendidikan inklusif serta Alesha, sepupu Edvind, seorang ahli kesehatan mental. Karya ini menambah wawasan kita seputar sains dan cara menyembuhkan trauma.

The Perfect Match mengingatkan pembaca bahwasannya satu kesalahan dalam hidup bukanlah cela, dan satu kegagalan tidak akan membuat kita hina sepanjang hidup.*

*) Marisa Rahmashifa, mahasiswi Sastra Inggris UIN Malang.

My Books

MENANG “THE WATTYS” KATEGORI ROMANCE

Ini cerita yang sangat terlambat. Pengumuman pemenang dilakukan pada bulan Desember 2021 dan aku baru menceritakan di blog sekarang. Aku sudah mengabarkan di Instagram dan Twitter lebih dulu. Karena lebih mudah dan cepat. Meskipun begitu, aku tetap ingin membagi pengalaman memenangkan kompetisi yang diikuti oleh banyak penulis di platform Wattpad ini.

Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, ini adalah tahun pertama keikutsertaanku dalam kompetisi The Wattys. Sepasang Sepatu Untuk Ava dimulai dan selesai pada kurun waktu yang tepat, selaras dengan yang tertulis dalam peraturan lomba. Dari peserta yang begitu banyak, aku tidak menyangka Ava akan menjadi juara pertama untuk kategori romance. Kemenangan ini berarti banyak untukku. Namaku diumumkan di halaman home/beranda Wattpad Indonesia dan dalam daftar bacaan resmi Wattpad Indonesia. Dengan begitu, mereka yang dulu belum kenal Ika Vihara akan tahu. Namaku—sebagai penulis—akan semakin dikenal. Kunjungan ke profil Wattpadku dan daftar karya juga akan meningkatkan popularitasku. Walaupun sedikit hahaha.

Dengan cerita Sepasang Sepatu Untuk Ava yang bisa dibaca dengan gratis selama setahun di Wattpad, aku berharap akan lebih banyak lagi pembaca yang ketagihan dengan tulisanku dan membaca karya-karyaku yang lain. Aku juga ingin meningkatkan pengikut di Wattpad sampai 50.000. Sudah hampir tercapai.

Kemenangan ini juga membuktikan aku bisa membuat logline cerita—satu kalimat saja—dan sinopsis 500 kata. Berdasarkan e-mail pemberitahuan Daftar Pendek/Short list, mereka baru membaca lebih dalam dan lebih lengkap untuk karya-karya yang masuk dalam daftar pendek. Karena Sepasang Sepatu Untuk Ava sudah menarik perhatian juri, maka aku menyimpulkan aku sudah bisa, sudah berhasil menulis logline dan sinopsis dengan baik.

Cerita yang memenangkan penghargaan The Wattys diharuskan berada di Wattpad selama satu tahun, sejak diumumkan masuk Daftar Pendek. Ini menjawab pertanyaan teman-teman, kapan Sepasang Sepatu Untuk Ava diterbitkan menjadi buku cetak. Tahun 2022. Sekitar bukan Desember. Meskipun aku belum tahu bagaimana caranya. Apakah secara tradisional atau tidak tradisional. Nanti saja dipikirkan kalau sudah waktunya.

Juga, seharusnya bisa menjawab pesan-pesan dari kakak-kakak editor dari berbagai platform maupun penerbit yang bertanya apakah aku bersedia menerbitkan Sepasang Sepatu Untuk Ava bersama mereka. Jawabannya belum bisa. Karena aku sudah bersedia menayangkan cerita ini dengan gratis di Wattpad. Sebelum aku menang The Wattys, sudah banyak penawaran-penawaran penerbitan yang kuterima. Setelah The Wattys, semakin banyak lagi. Terima kasih sudah menghubungiku dan menilai aku layak berkarya bersama anda.

Sepasang Sepatu Untuk Ava membuatku semakin percaya untuk berkarya sesuai dengan keyakinanku sendiri. Tidak perlu mengikut apa yang sedang trend atau viral atau laris. Kalau aku percaya karyaku membawa manfaat untukku dan mereka yang membacanya, membawa kebaikan padaku dan pada mereka yang membacanya, tidak menjerumuskan pembaca ke dalam pemikiran atau perbuatan yang destruktif, aku akan menulisnya. Aku akan memublikasikan. Karya yang ditulis dengan hati, akan menyentuh hati orang lain juga. Karya yang baik pasti akan menemukan jalan untuk bertemu dengan pembacanya, bagaimana pun caranya.

Ada salah seorang yang kukagumi mengatakan, berkaryalah dengan sungguh-sungguh. Karya yang berkualitas, yang meninggalkan nilai-nilai kebaikan di dalam diriku dan pembaca—tanpa mereka sadari bahkan—yang mengubah diriku dan orang lain menjadi pribadi lebih baik adalah yang paling dibutuhkan di dunia ini. Viral atau terkenal adalah bonus dan jangan dijadikan tujuan. Sebab kalau seperti itu, aku pasti akan berhenti berkarya.

Kamu bisa membaca Sepasang Sepatu Untuk Ava, gratis di Wattpad.

Thing That Makes Me Happy

Done Is Better Than Perfect

Itu adalah salah satu prinsip yang kupegang teguh sebagai seorang penulis, sejak buku pertama hingga judul keenam, The Promise of Forever, yang akan terbit bulan Oktober nanti. Tanpa tulisan itu, yang kupasang besar-besar di dinding kamarku, dan di buku catatan, aku tidak akan pernah mengirimkan naskah kepada editor. Karena aku akan terus membaca ulang dan merevisi naskahku, mungkin sampai aku mati. Sebab kesempurnaan itu tidak akan pernah bisa tercapai, walaupun aku menghabiskan banyak waktu untuk mewujudkannya.

Setiap kali mengerjakan sebuah naskah, aku hanya memberi kesempatan kepadaku dua kali membaca ulang. Otomatis, dua kali pula merevisi. Sudah pasti hasilnya tidak sempurna. Kalau mau dibaca ulang seratus kali, aku akan selalu menemukan bagian–bahkan hanya satu kata–yang harus kuedit. Ini sangat tidak sehat. Jadi, setelah punya naskah yang menurutku sudah baik, aku akan mendiamkannya miniman dua minggu. Selepas itu, aku memberi kesempatan pada diriku untuk dua kali membaca ulang naskah dan dua kali merevisi. Kalau sudah habis kuota itu, aku menyatakan naskah itu selesai dan mengirimkan kepada editor. Nanti aku akan merevisi lagi sesuai masukan dari editor. Pada proses ini pun, aku membatasi diriku untuk membaca ulang satu kali dan menahan diri untuk tidak mengganti apa pun selain pada bagian yang ditandai oleh editor.

Energi dan waktu bukanlah sumber daya yang tak terbatas. Aku harus menggunakannya dengan bijaksana. Sebagai penulis tugasku tidak hanya menulis naskah saja. Ada memikirkan cover, blurb, kelengkapan terbit lain, melakukan promosi, dan banyak lagi. Kalau energi dan waktuku habis hanya untuk membuat naskahku sempurna, karier menulisku akan berakhir sebelum kumulai.

Aku sudah pernah berada di posisi ingin mempersembahkan suatu naskah yang sempurna untuk editor dan buku yang sempurna untuk pembaca. Dan aku belajar banyak dari sana. Ketika aku menjadikan kesempurnaan sebagai tujuan, aku terjebak dalam kekhawatiran. Khawatir orang akan menemukan kesalahan-kesalahan kecil yang terdapat dalam naskah atau buku dan memberiku penilaian buruk. Sehingga aku akan mengambil kaca pembesar dan meneliti naskahku, huruf per huruf. Betapa melelahkannya melakukan ini. Kesempurnaan juga akan membuatku tersesat. Karena tidak tahu ke mana aku harus mendapatkannya, aku akan lebih memilih untuk tidak melakukan apa-apa.

Kesalahan bukanlah sesuatu yang tak termaafkan. Kalau aku menulis buku sepanjang 80.000 kata, ada kesalahan ketik sepuluh huruf, aku akan memaafkan diriku sendiri. Karena itu hanya berapa persen saja? Ketika sudah melewati proses revisi, proof reading dan seterusnya, lalu masih ada kesalahan, aku menyatakan kesalahan itu memang ditakdirkan ada di situ. Hahaha.

Banyak orang bertanya kenapa aku bisa produktif menulis. Jawabannya hanya satu. Aku tidak memikirkan jelek atau baik naskah yang sedang kukerjakan. Tidak memilirkan sempurna atau tidak nanti hasilnya. Yang kulakukan hanya menulis dan menulis saja. Tentu saja berdasarkan hasil riset. Ada naskah-naskah yang kudiamkan saja di folder di laptop, ada yang kunilai bagus dan harus dibaca oleh banyak orang, jadi harus terbit.

Seperti yang kukatakan dalam Note From The Author dalam bukuku, The Perfect Match, menuntut diri menjadi sempurna, atau melakukan segala sesuatu dengan sempurna,hanya akan membuat kita stres dan kondisi itu akan memengaruhi kesehatan fisik dan mental kita. Kalau kita sayang pada diri kita, kita akan fokus pada menyelesaikan suatu tugas, dengan baik, daripada terus mengusahan tugas itu selesai dengan sempurna.

My Books

From Zero To Happily Ever After

Perjalanan Novel The Perfect Match dari Ide di Kepalaku Menjadi Buku di Tanganmu

Saat live di Instagram tanggal 19 Juni yang lalu, ada yang menanyakan seperti apa sih perjalanan The Perfect Match, sejak di kandungan ibunya–aku–hingga lahir dan disukai oleh banyak pembaca. Perjalanannya panjang. Total waktu yang diperlukan dari menggodok ide hingga bukunya terbit adalah 9 bulan. Benar-benar seperti mengandung bayi manusia.

Yang paling memakan waktu adalah proses meriset kebutuhan cerita. Ada banyak hal baru yang harus kupelajari dan kupahami, sehingga aku bisa menenunnya ke dalam jalan cerita. The Perfect Match ber-genre romance, yang manis dan romantis, dengan beberapa tema yaitu cinta(tema utama), inklusivitas, dan kesehatan mental(dalam buku ini abandonment issue). Masih seperti semua novel-novel karyaku terdahulu, The Perfect Match juga tetap logis dan realistis. Kamu akan merasakan pengalaman berbeda dalam membaca novel romance, saat kamu membaca The Perfect Match.

Aku menjelaskan proses kreatif yang kulalui dalam rangkaian cuitan yang bisa kamu baca dengan mengklik kotak di bawah. Kamu tidak perlu punya akun Twitter untuk bisa membacanya, berurutan dari atas ke bawah.

Semoga bermanfaat. Mungkin kamu bisa mangadaptasi proses-proses tersebut untuk berkarya. Atau sekadar menjadi pengetahuan di balik buku favoritmu. Terima kasih sudah menyukai karya-karya Ika Vihara, terutama Edvind dan Nalia dalam The Perfect Match.

Thing That Makes Me Happy

Jangan Pernah Hapus Naskahmu!

 

Seperti yang kukatakan dalam novel Savara, ditolak merupakan salah satu ketakutan terbesar manusia. Saat melamar kerja atau minta izin kepada orangtua, pasti dalam hati tebersit kekhawatiran bagaimana nanti kalau tidak diterima atau tidak diizinkan. Meskipun sudah sering ditolak berkali-kali, tetap saja hati kita nggak akan pernah siap 100% untuk legowo menerima penolakan berikutnya. Berbagai macam cara kita lakukan untuk menghibur diri bahwa kejadian itu bukan akhir dari segalanya. Masih ada hari esok dan ketika kita berusaha, hasil yang akan kita peroleh akan lebih baik.

Ketika memutuskan untuk menjadi penulis, aku tahu bahwa naskah ditolak penerbit adalah salah satu tahapan yang harus kulalui—dan mungkin sebagian besar penulis lain—dan nggak bisa kuhindari. Begitu bangga dan bahagianya aku menyelesaikan satu naskah, yang menurutku bagus, aku segera menulis sinopsis dan proposal. Harap-harap cemas menunggu berbulan-bulan dan aku mendapat e-mail yang menyatakan bahwa penerbit tidak bisa menerbitkan naskahku. Dua minggu aku mencoba berdamai dengan penolakan pertamaku. Setelah itu aku membaca ulang semuanya dan membuat perbaikan. Juga belajar membuat sinopsis. Plus mendaftar ikut pelatihan menulis. Setelah itu, masih juga naskahku ditolak di sana-sini. Satu setengah tahun berlalu untuk proses menunggu dan berharap ini.

Menyerah bukan pilihan. Aku mengistirahatkan naskah tersebut dan menulis naskah baru. Setelah yakin dan mendapat saran dari teman sesama penulis, kukirimkan kepada penerbit. Setelah menunggu tiga bulan, akhirnya diterima. My Bittersweet Marriage, buku pertamaku, terbit juga.  Editor memintaku untuk menyiapkan buku berikutnya dan aku mulai menyusun ancang-ancang untuk menulis lagi. Tentu saja naskah itu nantinya diterbitkan sebagai buku keduaku, When Love Is Not Enough.

Meski sudah bernaung di bawah satu penerbit, aku masih rajin mengirimkan naskah ke penerbit lain. Sudah punya basis pembaca dan pernah menerbitkan buku bukan jaminan naskah akan mudah diterima. Aku masih tetap ditolak-tolak juga. Seperti sebelumnya, naskah-naskah yang ditolak kusimpan dengan baik. Selain itu aku juga rajin ikut lomba menulis. Naskah-naskah yang tidak menang, aku simpan juga.

Aku tahu ada beberapa orang yang memutuskan menghapus naskah mereka karena terlalu menyakitkan melihat bukti kegagalan tersebut. Atau sebagai bentuk pelampiasan dari rasa kesal. Bisa juga karena menganggap karya yang mereka hasilkan nggak berharga. Kalau kalian ingin melakukan hal yang sama, JANGAN! Kalau sudah terlanjur melakukan, JANGAN LAGI!

Ketahuilah, berdasarkan pengalamanku, kalau kita yakin naskah kita bagus, alasan ditolaknya naskah kita bukan karena jelek. Tapi tak sesuai dengan yang dicari penerbit. Pada saat itu. Suatu saat nanti bisa jadi ada perubahan pada warna naskah yang dicari. Aku percaya setiap naskah punya rezeki masing-masing. Naskah-naskahku yang dulu ditolak itu, kini dua naskah sudah diterbitkan. Dengan tetap mengusahakan segala cara tentu saja. Bahkan aku pernah ikut acara bincang kepenulisan, kemudian ada teman yang aktif bergerak di bidang literasi mengenalkanku dengan seorang editor yang tengah. Setelah ngobrol, aku memberanikan diri minta nomor WhatsApp. Temanku sampai terkejut. Tapi karena dikasih, aku simpulkan beliau nggak keberatan. Bulan berikutnya aku mengirim pesan, bertanya apakah beliau mau membaca naskahku. Ternyata beliau suka dan semua mengalir sesuai keinginanku.

Pengalaman terbaruku, tahun 2018 lalu aku menulis naskah dan mengikutkan untuk lomba. Sayangnya naskahku tidak masuk dalam 5 terbaik. Hingga bulan ini, aku tidak memiliki rencana apa-apa untuk naskah tersebut. Sampai aku mengirimkan kepada Kak Jia Effendi dan beliau memberi kesempatan untuk naskah Surat Terakhir Dari Rovaniemi setelah membaca sinopsis dan isi naskah.

Bagaimana jadinya kalau naskah-naskah tersebut kulupakan atau kuhapus hanya karena aku sangat kecewa ditolak terus oleh penerbit? Pasti akan semakin lama lagi aku menerbitkan buku.

Sepanjang tahun 2013 hingga tahun 2019, aku banyak menulis naskah. Ada yang selesai. Sebagian besar tidak selesai. Hanya dapat lima atau enam bab, lantas macet. Tidak ada yang kuhapus. Karena semua naskah tersebut bisa didaur ulang. Ketika menulis naskah baru, aku cari-cari apakah ada bagian-bagian dari naskah lama—yang tidak terbit, yang tidak selesai—yang bisa kugunakan. Jadi aku tinggal salin dan tempel, cukup membantu mempercepat proses penulisan.

Aku pernah membaca tulisan Erin Bow. Katanya tidak ada tulisan yang sia-sia. Layaknya petani yang mengalami gagal panen karena tomatnya busuk semua dan memanfaatkan tomat tersebut sebagai pupuk. Atau pembuat keju yang mengepel lantai menggunakan air dadih sisa produksi. Tulisan kita juga sama. Selain terus mencari kesempatan untuk menerbitkan, kalian juga bisa menggunakan kembali bagian-bagian naskah untuk membuat sesuatu baru.

Punya naskah ‘belum berhasil’ seperti yang kusebutkan di atas? Rajin-rajinlah membaca dan mengingat garis besar isinya. Supaya ketika menulis naskah lagi, sudah tahu harus mencuplik yang mana. Supaya cepat nambah jumlah kata dan kita merasa ringan melanjutkan. Itu aku. Semakin semangat kalau melihat tulisanku sudah panjang. Ingin segera menulis kata tamat.

Jika kalian semua tengah berjuang menembus penerbit terbaik pilihan kalian, sedang sering-seringnya ditolak, selalu ingatlah bahwa kualitas tulisan kalian semakin meningkat bersama kegagalan-kegagalan tersebut. Asalkan kalian selalu ingat untuk terus mencari di mana kurangnya dan memperbaikinya. Yang penting lagi, jangan pernah berhenti. Tetaplah menulis meski pembaca kalian cuma satu: diri kalian sendiri.

My Books

NEW PROJECT

Soooo, aku punya utang janji kepada teman-teman semua untuk menerbitkan cerita Mikkel dan Savara. Insyaallah aku akan memenuhinya. Semoga bisa bersamaan, jadi bonusnya bisa digabung jadi satu, yang besar dan banyak sekalian 😀

Progres? Savara sudah kuserahkan pada editor–yang sama dengan editor Bellamia–untuk mendapat koreksi. Sedangkan Mikkel, rencananya wedding lit juga, masih kutulis sampai bab I. Semoga aku bisa menyelesaikan dengan cepat.

Karena eh karena, di sela-sela aku menyelesaikan dua utangku, aku ada poject kejutan. Akan ada buku baru. Buku apa? Seperti yang kutulis pada gambar di atas. Dari quote buku apa? Hahaha yep, Geek Play Love. Setelah self published dengan penjualan bagus, aku memutuskan untuk merelakan buku tersebut diterbitkan mass market. Akan ada di toko-toko buku di dekat kita.

Pada buku versi baru, secara jalan cerita tidak ada yang berubah. Dinar dan Jasmine kenal di mana kita sudah tahu. Apa pekerjaan Dinar, gimana sifat Dinar, dan manisnya Jasmine, semua sudah tahu. Konflik juga tidak berubah. Ending tidak berubah. Lalu ada bedanya dengan versi SP? Bedanya adalah penambajan 11.000 kata, atau lebih. Kira-kira 100 halaman, atau lebih. Di antaranya ada penambahan cerita di bagian Dinar sedang di Graz, Austria. Sebelumnya hanya sekilas kuceritakan, di versi baru aku perpanjang dan perluas. Juga bagian saat mereka berkunjung ke kampung halaman Dinar, semakin kuperdalam. Dan di beberapa tempat lain aku menambahkan bagian-bagian yang mendukung alur cerita.

Untuk teman-teman yang ingin lebih lama menikmati kisah Dinar dan Jasmine, silakan nanti beli buku versi baru. Untuk yang cukup dengan hanya tahu ceritanya, buku versi self-published sudah cukup. Aku belum tahu apa akan ada edisi khusus berbonus. Lihat peminat, mungkin kalau ada bonus, bakalan cerita si berat hehehe.

My Books

Freebie: Baca Cerita The Mollers Gratis Di sini

 

Siapa The Mollers? Keluarga rekaanku. Aku sudah menuliscerita mereka sebanyak tiga judul. Bukan buku bersambung. Tokoh utamanya ganti-ganti, cuma nama belakangnya Moller semua. Sampai hari ini masih ada cerita mereka yang bisa dibaca gratis melalui link di bawah ini:

Midsommar Chapter 1 sd 6
The Dance of Love Chapter 1, 2, dan 3

The Danish Boss Chapter 1 sd 20

Sedangkan buku-buku The Mollers yang sudah ada di toko buku adalah:

My Bittersweet Marriage

Afnan Moller. Half-Danish. Memutuskan untuk menjadi warga negara Denmark, mengikuti ayahnya, saat usia 18 tahun.  Mikrobiologis di Aarhus University Hospital. Sudah tinggal di Aarhus selama 12 tahun dan akan tinggal di sana sampai akhir hayat. Sebagai muslim, menemukan calon istri yang seiman di sana sulit sekali. Ditambah kesibukannya–pekerjaan, seminar, dan sebagainya–

Hessa. 27 tahun. Ibunya sudah ribut menyuruhnya menikah, sebelum dilangkah adiknya yang sudah dilamar. Masalahnya, bagaimana menemukan orang yang bisa membuatnya jatuh cinta? Saat sedang pusing memikirkan cinta, ibunya memberitahu bahwa ada laki-laki yang tertarik dengannya. Hessa memperlajari profil Afnan, dengan bantuan internet, dan, mau tidak mau, mengakui bahwa dia terpikat dengan sepasang mata biru seperti samudera tersebut. Masalah besarnya hanya satu. Afnan tidak tinggal di sini. Dia tinggal di Denmark dan tidak punya waktu untuk saling mengenal. Yang diinginkan Afnan adalah menikah dan membawa istrinya tinggal di Aarhus. Bagaimana rasanya meninggalkan semua hidupnya di sini, untuk hidup di sebuah tempat yang namanya saja tidak pernah dia dengar? Bagaimana rasanya meninggalkan keluarga, sahabat, dan pekerjaan, demi hidup bersama laki-laki yang baru ditemui tiga kali?

When Love is Not Enough

We will meet:

Lilja Moller. 28 tahun. Berdarah Denmark. Baru saja pindah ke Indonesia dan bekerja di perusahaan keluarga.Menikah dengan Linus, orang yang sudah dia kenal sejak lahir, dan tidak bisa lagi menghitung betapa besar dia mencintai Linus. Mencintainya sebagai teman, kakak, kekasih dan ayah dari almarhum anak perempuannya. Tetapi cinta saja tidak cukup menahan Lily untuk tetap menghidupkan pernikahan mereka. Sehingga Lily menyimpulkan pernikahan mereka tidak layak dipertahankan. Sambil menahan rasa sakit akibat patah hati, Lily bersumpah tidak akan lagi mempertaruhkan dirinya untuk disakiti lagi.

Linus Zainulin. Linus the Genius, kata Lily. 30 tahun. Merasa sudah memiliki kehidupan yang sempurna. Mendapatkan pekerjaan yang paling dia minati di salah satu perusahaan terbesar di dunia di Munich, Jerman. Hobinya, bermain sepak bola mendatangkan keuntungan finansial dan ketenaran. Menikah dengan gadis impiannya, sahabat terbaiknya, Lily Moller. Yang cantik dan cerdas. Seolah ingin membuktikan bahwa tidak pernah ada sesuatu yang sempurna, Linus menghancurkan pernikahan mereka dan Lily memilih untuk pergi. Meninggalkannya dalam tumpukan penyesalan. Bagaimana cara mendapatkan Lily kembali? Bagaimana cara memenangkan hatinya lagi? Bisakah pernikahan dibangun oleh satu orang saja?

 

Give Away, My Books, My Bookshelf

Review Buku – Bellamia by Ika Vihara

Review ini aku copy dari web salah satu pembaca, Tari. Terima kasih untuk reviewnya 🙂

Bellamia

Oh wow! Kalian semua harus baca novel ini. Ini novel pertama Ika Vihara yang kubaca dan aku bakalan menjamin kalau novel ini manis banget. Manis yang berbeda dari novel romance lain. Manis yang realistis. Sejak kalimat pembuka aku sudah disuguhi kalimat-kalimat yang berbobot. Dari halaman pertama sampai habis bikin bahagia, bikin tersipu, bikin marah, bikin kesel, bikin ketawa dan bikin iri! Iri banget aku sama Amia.

“Aku tahu kamu bisa melakukan apa aja sendiri, Amia. Apa tidak bisa kamu pura-pura tidak bisa? Biar aku ada gunanya.”

Amia tertawa, Gavin terdengar putus asa.

“Tolong antar aku pulang.” Amia memutuskan.

Aku suka banget sama buku ini dan nggak ragu buat bilang Ika adalah salah satu penulis favoritku sekarang. Ika memilih tokoh engineerpower engineer, yang setiap hari bikinin kita listrik dan pekerjaan tersebut jadi terdengar keren dan mulia. Aku nggak akan marah lagi kalau listrik mati, karena ingat Gavin lembur kalau itu terjadi.

Teknik menulis Ika sudah jempol. Kalimat-kalimatnya mengalir, interaksi antartokoh pas, ya seperti kita bercakap sehari-hari sama teman, pacar, orangtua. Semua serba realistis. Sampai aku percaya Gavinku ada di sekitarku dan Amia adalah sainganku. Plus, banyak pengetahuan yang kudapat dari sini. Aku jadi tahu kalau Einstein pernah punya kesimpulan soal jatuh cinta.

Aku sedang iseng Google rekomenasi buku dan sampai pada blog pribadi penulis. Dan aku yakin aku mau baca buku ini setelah baca blurb-nya:

Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun teman SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin—dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan—mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat.

Merahasiakan hubungan dari semua orang.

Dari situ saja aku sudah dijanjikan sesuatu yang berbeda: simulasi terorisme! Di kantorku juga ada seperti itu tapi kenapa nggak ada ‘Gavin’ yang mendatangiku.

“Bapak ngapain di sini?”

Jus kemasan tetrapak menempel di pipi Amia.

“Menjenguk pegawai yang cedera karena simulasi.” Gavin meletakkan jus jeruk itu di pangkuan Amia dan dia sendiri duduk di kursi besi panjang di sebelah kanan Amia.

“Kenapa Bapak repot-repot?” Amia tidak pernah mendengar cerita ada top management menjenguk staf seperti dirinya.

“Karena aku bertanggung jawab terhadap keselamatan semua pegawai?”

Ini memang cerita tentang interoffice romance, alias cinta lokasi di kantor. Ini memang cerita tentang atasan dan bawahan. Di saat aku bosan dengan model cerita Cinderella, (bawahan dengan CEO, red), Ika membuat cerita ini berbeda. Seperti yang kubilang, Gavin adalah power engineer, yang cerdas, berkharisma, tampan, dan percaya diri. Kecintaan Gavin pada engineering, listrik, dan kemaslahatan umat betul-betul disampaikan dengan baik sampai aku berpikir, ini yang engineer penulisnya atau Gavin? Amia berasal dari keluarga berada, berpendidikan, puas dengan hidupnya yang sekarang dan tidak menginginkan apa-apa lagi. Kecuali cinta. Dan Amia ini keras kepala banget nggak mau mencari cinta di kantor.

Cerita yang lengkap sekali. Meski Amia dan Gavin menghadapi masalah, bukan cuma mereka yang bertambah dewasa, tapi aku, dan mungkin pembaca yang lain juga. Betul-betul cerita ini layak untuk dibaca dan sampai dengan bulan Oktober ini, ini adalah buku romance terbaik yang pernah kubaca.

Jadi … kembali ke interoffice romance, hari pertama Amia bertemu dengan Gavin, atasannya yang paling atas, Amia tidak menyangkal kalau dia terpersona pada Gavin. Well, Mia, siapa yang nggak? Dan Gavin pada pertemuan mereka yang pertama juga, dengan cerdik langsung memanfaatkan posisinya lebih tinggi dari Amia, untuk mendekatinya. Jempol.

“Apa kamu tahu alamat ini?” Gavin menunjukkan kertas putih itu kepada Amia.

“Tahu, Pak.” Sejak lahir dia tinggal di sini, tentu saja tahu.

“Antar saya ke sana.” Gavin berdiri. Memang ada GPS. Pengisi suaranya juga wanita. Tapi kalau tersedia GPS alami—penduduk lokal—yang menarik dan cantik seperti ini, semua laki-laki akan melupakan software navigasi tersebut. Gavin tersenyum dalam hati. Memuji dirinya atas keputusan cerdas yang baru dibuatnya.

Amia sadar kalau Gavin tertarik padanya dan Amia berusaha untuk menghindar dari potensi drama yang mungkin terjadi kalau teman-temannya tahu atasan/idola mereka tertarik pada Amia. Bahkan Amia menolak berteman dengan Gavin.

“Saya bisa dipecat kalau manggil bos pakai nama langsung.” Sampai hari ini Amia masih tahu adat dan tidak akan memanggil atasannya seperti yang diinginkan Gavin.

“Ini, kan, di luar kantor, Amia.”

“Karena di luar kantor, saya nggak wajib menuruti perintah Bapak.” Amia berargumen.

“Kenapa?”

“Karena Bapak atasan saya di kantor. Bukan di luar,” jawabnya putus asa.

“You got it? Kita bukan atasan dan bawahan sekarang. Karena tidak di kantor, seperti yang kamu bilang sendiri. Teman?” Gavin puas dengan kemenangannya.

Shit. Amia mengeluh dalam hati.

Tapi Gavin pantang menyerah. Dia tetap berusaha menginginkan kesempatan dari Amia, meski jawaban yang didapat dari Amia tetap ‘tidak.’

“Jadi apa akan ada second date?”

Amia batal melangkah saat mendengar pertanyaan Gavin.

“Nggak. Dan tadi bukan date.” Demi apa pun di dunia ini, kenapa kegiatan makan es krim disebut kencan oleh laki-laki ini?

“I deserve a date, Amia.” Dalam bulan ini, kalau tidak bisa berkencan dengannya, sebaiknya dia mati saja.

Menarik sekali melihat bagaimana Gavin berusaha mengubah pemikiran Amia mengenai office romance. Karena Gavin menghabiskan banyak waktu di kantor, gimana mungkin dia akan ketemu jodoh di luar sana? Sedangkan Amia, berusaha untuk memegang prinsip hidupnya bahwa menjalin hubungan dengan teman sekantor adalah bencana.

Ah, jangan pikir ini akan sama dengan cerita romance lain. Tidak ada orang ketiga yang mengganggu mereka. Yang membuat menarik, penulis bisa bikin konflik yang hanya melibatkan dua tokoh ini. Perasaanku teraduk-aduk selama mereka berkonflik. KESAL, MARAH, MENDUKUNG AMIA, TAPI JUGA INGIN PUK-PUK GAVIN. Semua konflik itu malah membuat kedua tokoh utama menjadi semakin matang dan dewasa. Pembaca juga ikut kecipratan menjadi bijak.

Aku suka semua bagian dari buku ini. Cara berpikir Amia dan Gavin, cara mereka instropeksi diri, cara mereka menyampaikan perasaan, cara bertengkar bahkan. Bagaimana perjuangan mereka untuk menemukan kebahagiaan. Aku lega banget setiap kali Amia atau Gavin berhasil melewati satu ujian hidup.

Orang rajin mengganti oli mesin setiap tiga ribu kilometer. Servis seribu kilometer atau sepuluh kilometer. Jadi kenapa tidak menerapkan aturan ini pada kekasih mereka? Seorang kekasih perlu untuk dihubungi dan dikabari secara berkala. Sehari sekali. Dua hari sekali. Bertemu seminggu sekali—minmal. Diberi perhatian dan disayang. Supaya hubungan mereka tidak macet di tengah jalan.

Aku selalu suka cerita yang membuatku percaya bahwa semua orang di dunia ini bisa mendapatkan kisah cinta yang indah. Bellamia ini salah satunya. Membumi. Apa yang terjadi pada Amia bisa terjadi padaku, pada kita. Gavin bisa ditemui di sekitar kita. Kalau tidak jadi engineer, mungkin Gavinku dokter. Juga buku ini menenangkan hatiku dari galauku yang sedang menunggu datangnya kekasih hati.

“Akan ada balasan kebahagian untukmu, Mia. Walaupun nanti bukan dengan Riyad, akan ada cinta lain untukmu. Akan ada orang yang mencintaimu sebesar rasa cintamu padanya. Yang dengan yakin akan memilihmu di antara banyak wanita di dunia.”

5 bintang dariku!

Oh ya, ada excerpt dari Bellamia yang bisa dibaca di blog pribadi Ika. Bisa dibaca dan siapa tau jatuh cinta kayak aku.

Juga sedang ada give away. Hadiahnya novel Bellamia bertanda tangan penulisnya.

Ada review yang kebanyakan bintang 5 di Goodreads.

Follow fanpage penulisnya dan ada cerita gratis yang dibagikan setiap minggu!

My Books

Bellamia: The Excerpt

 


Are you in mood to test Bellamia? Here the excerpt special for you.

Mau bagaimana lagi. Terpaksa Amia membawa kakinya ke depan pintu. Wow! Ini akan jadi kali pertama Amia masuk ke ruangan power plant manager. Sebelumnya belum pernah sama sekali. Tidak pernah ada urusan dengan mereka. Ragu-ragu Amia mengetuk pintu. Tidak ada sahutan. Setelah tiga kali mengetuk dan memikirkan risiko buku-buku jarinya patah, Amia memutuskan untuk mendorong pintu lalu melongokkan kepala. Tatapannya terpaku pada meja besar di ruangan itu. Kosong. Tidak tampak keberadaan manusia.

Repot sekali mencari orang bernama Gavin ini, Amia sedikit jengkel. Erik juga memberi informasi tidak jelas sama sekali. Apa tidak bisa sekalian pakai tagging koordinat di mana persisnya posisi Gavin? Sudah berapa puluh menit waktunya terbuang sia-sia?

“Ya?” Sebuah suara membuat Amia melompat dan menjatuhkan amplopnya.

A deep baritone. Mata Amia bergerak mencari sumber suara.

“Astaga!” Amia mengelus dada dan menengok ke kiri. Orang yang dia curigai bernama Gavin itu sedang santai membaca koran di sofa.

Sebuah wajah muncul dari balik koran. My God! Baru kali ini dia bertemu laki-laki dan sukses membuatnya lupa bagaimana cara bernapas. Apa patung buatan Michelangelo benar-benar bisa hidup dan berjalan? Bagian bibir dan dagu seperti dipindahkan langsung dari wajah David. Rambut hitam legamnya sangat rapi, seperti dua menit lagi dia akan dipanggil masuk ke studio untuk membacakan berita. Matanya yang tersembunyi di dalam tulang dahi dan tulang pipi yang tinggi, menyorot tajam ke arah Amia.

“Masuk.” Lagi-lagi, suaranya membuat Amia tergeragap.

Setelah mengambil amplop cokelatnya di lantai, Amia melangkah masuk.

“Pak Gavin?” Amia memastikan. Sambil memperhatikan. Celana abu-abu dan kemeja hitam lengan panjang. Suram, Amia menghakimi dalam hati. Tapi seksi, dengan berat hati Amia menambahkan. Menurut perkiraan Amia, laki-laki itu mungkin seumuran dengan Adrien, kakaknya.

“Ini dari Pak Erik.” Amia tidak bisa menjelaskan isinya karena tadi lupa bertanya pada Erik. Gara-gara buru-buru ingin tebar pesona di lantai produksi.

“Apa ini?” Seperti yang sudah diduga Amia, Gavin pasti bertanya. Full of authority. Suaranya menuntut untuk diperhatikan. Seandainya sekarang mereka sedang berada di sebuah auditorium yang penuh sesak, Amia yakin ruangan tersebut akan senyap dan semua orang pasti mendengarkan dengan tenang apa saja yang dikatakan Gavin.

“Saya tidak tahu, Pak.”

“Bapak buka saja.” Amia menyarankan dan berusaha untuk tersenyum. Senyum yang sering membuat laki-laki menjadi terlalu ramah padanya, semoga berfungsi juga pada Gavin.

Isinya kunci mobil, kunci rumah, kartu akses, plus selembar kertas. Kenapa Erik menyuruh mengurus hal-hal seperti ini? Amia mengeluh dalam hati.

“Apa kamu tahu alamat ini?” Gavin menunjukkan kertas putih itu kepada Amia.

“Tahu, Pak.” Sejak lahir dia tinggal di sini, tentu saja tahu.

“Antar saya ke sana.” Gavin berdiri. Memang ada GPS. Pengisi suaranya juga wanita. Tapi kalau tersedia GPS alami—penduduk lokal—yang menarik dan cantik seperti ini, semua laki-laki akan melupakan software navigasi tersebut. Gavin tersenyum dalam hati. Memuji dirinya atas keputusan cerdas yang baru dibuatnya.

Otomatis Amia memanfaatkan kesempatan ini untuk memperhatikan postur tubuh Gavin. Mungkin laki-laki itu benar-benar David versi manusia. Bahu dan dadanya lebar. Perutnya tidak menyembul sama sekali. Lengannya padat. Kakinya panjang. Kulitnya cokelat. Tidak putih seperti Riyad, yang malas kena sinar matahari.

“Sekarang, Pak?” Dalam kepalanya, Amia memperkirakan selisih tinggi badan dengan atasan barunya. Sepatu sepuluh sentinya seperti tidak banyak membantu untuk membuat tinggi badannya—yang hanya 161 cm—naik secara signifikan.

“Iya. Kamu keberatan?” Nada bicaranya seperti mengancam, kamu berani menolak?

“Iya.” Amia menjawab dengan jujur. “Ini bukan jobdesc saya, kebetulan orang yang seharusnya mengurus ini sedang tidak masuk jadi supervisor saya minta tolong.”

“Ya, supervisormu sudah menyuruhmu ke sini, sekalian saja. Namamu siapa?”

“Amia.”

“Tunggu di sini.” Gavin berjalan ke mejanya.

Siapa yang kuasa menolak? Meskipun berusaha tidak terbawa pesonanya, laki-laki itu tetap atasannya. Amia kembali menjatuhkan pantat di sofa.

“Pak Peter.”

Dengan horor Amia menoleh ke arah Gavin yang sedang bicara di telepon. Dia menelepon kepala departemen Amia.

“Saya ingin minta bantuan dari salah satu pegawai Bapak. Namanya Amia.”

Sial betul orang yang namanya Gavin ini, Amia mengerang dalam hati.

“Sudah diizinkan.” Gavin berjalan keluar mendahului Amia. Mau tidak mau, Amia mengekor di belakangnya.

“Kalau ada telepon, tolong bilang saya keluar, ya.” Gavin berpesan kepada Melina yang sudah duduk lagi di kursinya. Yang diiyakan sambil tersenyum lebar oleh Melina.

“Turun dulu, Kak.” Amia pamit kepada Melina.

“Sering-sering ke sini, Am.” Melina menjawab, masih dengan ceria.

Tentu saja semua orang di lantai ini—para sekretaris kepala departemen—akan selalu ceria. Termasuk yang sudah punya anak dua seperti Melina. Ada atasan baru yang masih muda tetapi dewasa, berkharisma namun—Amia benci mengatakan ini—seksi. Mungkin kantor pusat salah merekrut orang. Mestinya Gavin difoto untuk cover majalah, bukan disuruh mengurus listrik.

“Kenapa ke lantai tiga?” Gavin menegur Amia yang memencet angka tiga di lift.

“Saya mau ambil tas saya, Pak.” Dompet dan ponsel Amia semua di sana.

“Itu buang-buang waktu dan kamu tidak akan memerlukan itu.”

“Bapak ini minta tolong kok ngatur.” Amia memberanikan diri untuk protes. Siang ini dia sudah berbaik hati menunda setumpuk pekerjaan untuk menemani Gavin menengok rumah baru dan dia tidak diperbolehkan membawa peralatan perang?

Setidaknya dia perlu membawa ponsel, siapa tahu ada apa-apa di jalan dan dia harus menghubungi seseorang. Atau untuk bergosip dengan Vara agar dia tidak bosan selama bersama atasannya. Amia kesulitan mengikuti langkah panjang Gavin. Sepatu dan rok pensilnya tidak mendukung untuk berjalan dengan cepat.

P.S:

Bellamia bisa didapatkan di toko buku terdekat.