Uncategorized

Jantungku Berdetak Untuk Siapa

Karya Ika Vihara

 

Suara pengamen yang menyanyi dengan suara seadanya, diiringi suara gitar yang dipetik ala kadarnya, ditingkahi suara tawa dua orang remaja, membuat tenda kaki lima ini semakin berisik saja. Azan Isya juga terdengar nyaring dari masjid di seberang tenda ini. Sepertinya aku memilih waktu yang salah untuk makan malam. Pengamen bersuara sumbang itu tetap tidak mau diam, bahkan seperti ingin mengalahkan suara azan. Sambil menyodorkan kantong bekas permen. Dua orang remaja memasukkan receh sambil masih tertawa-tawa.

Aku tidak lapar. Tadi aku hanya berjalan kaki menghabiskan waktu sepulang bekerja. Lalu memutuskan mampir makan nasi goreng di tenda kecil di samping minimarket dua puluh empat jam.

Saat aku sedang menimbang-nimbang hendak makan apa, kurasakan ponsel di dalam tasku bergetar. Aku memperhatikan nama yang muncul di layar. Dia. Orang terakhir di muka bumi yang ingin kuajak bicara malam ini. Atau selamanya. Aku menarik napas berat sebelum memutuskan akan menjawab atau tidak.

Tetapi aku merindukannya. Aku ingin mendengar suaranya.

“Berisiknya. Kamu di mana?” Tanyanya setelah aku mengatakan halo dengan suara yang sedemikian pelan.

“Makan. Warung.” Aku menjawab pendek-pendek.

“Sama siapa?”

“Sendiri.”

“Kok sendiri? Kamu kenapa?”

Karena aku lebih suka menjalani hidupku sendiri, tanpa risiko patah hati.

Aku hanya menggumam,”Nggak papa.”

“Tunggu di situ ya!”

Jangan pernah menemuiku lagi. Ingin aku berteriak keras di telinganya. Tetapi panggilang sudah berakhir. Dan seperti yang selalu kulakukan selama ini, aku menunggunya. Kalau dia memintaku menunggunya, aku akan melakukannya.

Makanan di depanku tidak lagi menyita perhatianku. Karena aku sibuk memikirkan apa yang akan kukatakan saat dia tiba di sini nanti. Apakah aku harus meminta maaf, walaupun aku tidak bersalah? Sepuluh menit kemudian aku melihat mobilnya berhenti di seberang warung.

Aku menghela napas, mengunyah pelan nasi gorengku. Khas nasi goreng pinggir jalan; keras, berwarna merah saus, dengan rasa vetsin yang mendominasi.

“Hei.” Dengan tenang dia duduk di kursi plastik di depanku. Lalu menatapku lekat-lekat.

Aku menunduk, berusaha menyibukkan diri dengan mencari suwiran ayam di gundukan nasi goreng di piringku. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Susah sekali.

“Kenapa kok diam aja? Kamu marah?” Tanyanya.

Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.

“Dua hari ini kamu diam. Nggak pernah mau ngomong sama aku. Aku salah apa?”

Aku meletakkan sendok dan garpuku, batal menyuap acar bersama nasi gorengku.

“Aku malu. Hari Kamis itu seharusnya aku nggak marah-marah sama kamu. Walaupun….” Tiba-tiba kerongkonganku tersekat oleh rasa sakit yang balik menghujam bahkan sebelum kata-kata itu keluar dari bibirku. “Aku nggak punya hak buat mengatur hidupmu. Aku bukan siapa-siapa. Aku malu, aku merasa aku… lancang.”

Seminggu yang lalu aku memarahinya, bahkan meneriakinya. Sebab dia mengatakan dia akan berangkat road trip. Selama enam belas jam. Padahal malam itu dia mengerjakan tesis sampai dini hari. Keesokan paginya dia tidak pergi ke kantor karena sakit kepala.

“Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Katanya waktu itu.

Sejak saat itu aku tidak bicara dengannya. Siapa aku ini, sampai mengatu-atur hidupnya. Bukan tempatku untuk mengkhawatirkannya. Karena seperti yang kubilang, aku bukan siapa-siapanya.

“Kamu nggak habis makannya?” Dia mengambil sendok, dan memakan nasi goreng di piringku.

Kenyataan bahwa dia kembali dengan selamat, tidak kurang satu apapun membuatku sedikit lega. Mungkin dia benar. Dia tidak memerlukanku untuk mencemaskannya. Mungkin juga dia sudah melupakan tingkahku yang tidak masuk akal minggu lalu.

“Kapan kamu ke Semeru?” Nasi goreng di piringku sudah separuh habis, berpindah ke perutnya.

Dia menatapku lekat-lekat, mungkin bertanya-tanya bagaimana aku tahu rencananya, padahal dia belum menceritakannya padaku.

“Hari Kamis pagi minggu depan.”

Aku tersenyum. Kali ini aku tak akan berkomentar apa-apa. Karena aku sudah semakin menyadari posisiku dalam hidupnya. Hanya karena dia baik padaku, bukan berarti aku adalah orang yang istimewa. Baginya, aku hanyalah orang yang tak sengaja dikenalnya tiga bulan yang lalu.

“Besok temani aku ya. Beli peralatan hiking,” pintanya sebelum beranjak untuk membayar nasi gorengku, yang sudah tandas dan menyisakan dua buah cabe hijau saja.

Kami berjalan bersisian menyeberang jalan raya.

“Aku senang kamu mengkhawatirkanku waktu itu. Kamu nggak perlu merasa bersalah. Katakan saja semua yang ingin kamu katakana padaku. Kalau kamu marah, kalau kamu nggak setuju, kalau kamu senang, apa saja. Aku selalu senang mendengarnya karena….”

Aku urung membuka pintu mobil dan menoleh ke arahnya.

“Karena kamu… berarti,” lanjutnya.

 

***

 

“Aku sudah mau naik ke Semeru.” Setelah membaca satu kalimat di layar ponselku, aku kembali melamun.

Aku selalu menyangkal kenyataan bahwa aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Di antara persahabatan kami. Karena aku tahu dia menganggapku tak lebih dari teman berbagi cerita.

Malam-malam setelah lelah kerja, sudah mati gaya tapi belum mengantuk juga, kami akan berbagi kutipan dari buku biografi Einstein, idola kami karena sama-sama orang teknik, lantas menghubungkan dengan ketololan-ketololan yang kami lakukan selama ini. Atau dia bermain gitar, dan aku menyanyi. Biasanya kami mencoba lagu-lagu baru. Atau dia menceritakan aibnya, kejadian paling memalukan dalam hidupnya, dan dia bersumpah belum pernah menceritakannya kepada siapapun juga. Lalu aku terbahak-bahak mendengarnya.

”Aku bahkan rela nyeritain aibku,  buat bikin kamu tertawa,” katanya setelah tawaku reda.

Pada akhir pekan aku menungguinya membongkar motor tua. Dia menjelaskan benda apa saja di tangannya, dan aku mendengarkan dengan senang hati. Atau dia bekerja sambil mendengarkan aku bercerita mengenai podcast yang kudengarkan hari ini.

Pernah juga tiba-tiba, pada suatu hari Minggu, dia datang ke rumahku dan menarik tanganku dengan tergesa.

“Ikut aku ke pasar situ yuk.”

“Mau ngapain?”

“Beli cupang.”

“Hah? Cupang yang ikan itu?”

“Iya. Ikan yang paling kuat. Kutinggal pergi beberapa hari saja tetap hidup. Mau ikut?”

Aku mengangguk. Jadilah lima belas menit kemudian aku asyik mengamati ikan-ikan berenang ke sana kemari sementara dia mengobrol dengan penjualnya.

“Dory!” seruku ketika melihat ikan berwarna biru, di dalam kantong plastik bening yang menggantung di depan mataku.

When life gets you down, keep swimming.” Dia berdiri di sebelahku, menyentuh plastik berisi ikan mirip Dory yang sedang berenang dan mengutip salah satu percakapan di film Finding Nemo.

“Aku nggak bisa berenang,” jawabku saat itu.

I’ll have you a ride.”

Aku tertawa mendengarnya.

“Aku lebih suka Marlyn.” Aku menunjuk ikan berwarna oranye di depanku.

Saat kami meninggalkan pasar, dia menyerahkan kantung plastik berisi ikan berwarna jingga. Yang kurawat seperti aku merawat diriku sendiri hingga saat ini. Yang selalu kupandangi saat aku merindukannya.

Hatiku menyemai harapan. Berharap hanya kepadakulah dia membagi suka dan dukanya. Walau seringkali keraguan datang menerpaku. Tak mungkin itu terjadi. Laki-laki sepertinya pasti banyak memiliki banyak teman wanita. Yang dengan senang hati menghabiskan waktu dengannya.

Sering aku bertanya-tanya, apakah suatu hari nanti dia akan memandangku lebih dari sekadar teman. Sebagai seorang kekasih yang selalu ada untuknya. Kesadaran baru lalu menghantamku. Aku tidak cukup cantik, aku tidak cukup menarik, dan tidak cukup hebat untuk menjadi seseorang yang istimewa dalam hidupnya.

Perutku mencelos melihat unggahan media sosialnya. Miss you. Aku membaca tulisan di sana. Sayangnya aku tak punya cukup keberanian untuk menanyakan siapa yang dia rindukan.

Aku tidak bernah merasa segelisah ini dalam hidupku. Sampai kadang aku menyalahkan takdir, yang membuatku bertemu dan berkenalan dengannya.

 

***

 

Aku mengeraskan volume musik di telingaku saat berjalan pelan melintasi garbarata. Di sekelilingku, sebagian orang berjalan sembari bercengkerama, sebagian lainnya tergesa. Mungkin orang tercinta sudah menunggu di terminal kedatangan bandara. Ini perjalanan ketujuhbelasku pada tahun ini. Perjalanan yang sekarang kulakukan seorang diri.

Sendiri. Satu kata ini terus mencekikku tiada henti. Aku menghela napas. Jam di ponselku menunjukkan pukul 21.00. Waktu Indonesia Barat. Biasanya aku melewatkannya dengan terjaga merindukannya. Hingga sesak dadaku.

Dia laksana mimpi indah, singgah sebentar dalam tidurku, lalu menghilang tanpa ada buktinya. Hanya kenangan samar akan mimpi itu yang kupunya saat aku terjaga.

Aku berdiri di samping conveyor belt menunggu koperku meluncur di depanku. Ponselku bergetar halus di saku jaket.

“Ya, Ka….” Sapaku setelah mengecek siapa yang menelpon.

“Di mana, Jas?”

“Di bandara. Sudah mendarat.” Aku mengambil koperku. “Aku naik taksi aja, Ka. SMS alamatmu, tunggu aku di sana.”

“Padahal nggak papa kalau aku jemput di bandara.”

“Ini sudah di taksi, Ka. SMS alamatmu ya. See you soon.” Aku memutus sambungan dan mengantre taksi.

Aku merapatkan jaketku. Bukan angin malam yang membuat tulang-tulangku ngilu. Tetapi ketidakhadirannya. Beberapa kali kami melakukan perjalanan bersama. Apakah semua itu akan terulang lagi?

Aku menggelengkan kepala. Melarang diriku berandai-andai.

Di dalam taksi aku memejamkan mata. Perlu waktu dua jam untuk sampai di ujung timur Surabaya. Aku menggenggam erat ponselku. Di tengah rasa lelah dan pusingnya kepala menahan keinginan untuk menangis, aku tertidur.

Begitu terbangun, aku melihat Saka melambaikan tangan dan tersenyum lebar. Dia menyambutku, yang tengah berusaha mengenyahkan bayangan orang itu. Yang sudah lebih dari satu tahun ini mengabaikanku.

“Hai, Ka.” Aku tersenyum dan mengizinkan Saka membawakan koperku.

Aku berusaha ceria demi teman baikku ini. “Thank you.”

“Sudah siap jalan-jalan malam ini?” Saka tertawa lebar sambil menyuruhku duduk di kursi tamu.

“Aku nginap di mana?” Ada yang lebih penting daripada jalan-jalan menghabiskan malam di Surabaya.

“Itu sudah dipesan. Sudah beres.”

Tanpa kusadari, aku kembali menghela napas, seolah-olah beban kenangan itu terlalu keras menghimpitku. Dan mengikutiku ke mana saja aku menuju. Padahal aku ke sini karena ingin meninggalkan sosoknya dan segala tentangnya jauh di seberang laut sana.

“Besok makan di warung pelangi, ya, Jas.”

“Pelangi? Di mana?” Aku mengernyit bingung. Aku pernah tinggal di Surabaya selama lebih dari empat tahun, tapi tidak pernah mendengar nama warung Pelangi.

“Di matamu.”

Untuk pertama kalinya dalam satu tahun ini, aku tertawa lepas menanggapi gurauan Saka. Satu tahun yang kuhabiskan dengan sia-sia, karena aku terus mengingat dan menangisi orang itu. Dalam satu tahun ini, aku mengerti apa artinya malam yang terasa panjang. Malam yang kuisi dengan bergerak-gerak gelisah tanpa kutahu kapan aku akan bisa memejamkan mata dan sejenak melupakan dunia.

Ajakan Saka, teman baikku saat kuliah dulu, untuk menghabiskan akhir pekan di Surabaya, adalah kabar baik bagi hatiku yang tersisa separuh ini. Separuhnya lagi terbawa orang yang memilih menghindariku itu. Tanpa kutahu apa alasannya.

Tetapi dia ada di hati dan kepalaku. Seharusnya itu sudah cukup membuatku merasa tak sendirian lagi kan?

“Kenapa wajah kamu mendung begitu, Jas?”

Pertanyaan Saka sama dengan yang sering kutanyakan pada diriku sendiri. Dan aku tak pernah bisa menjelaskan.

“Ada yang mematahkan hatimu?”

Aku tertawa getir. “Dia nggak salah apa-apa. Akulah yang terlalu berani berharap, padahal dia … dia di luar jangkauanku.”

“Ada orang yang menerimamu dengan semua kekurangan dan kelebihanmu.” Saka berdiri tegak di depanku.

Baru kusadari Saka tinggi sekali. Wajahku berjarak tidak lebih dari sepuluh centimeter dari dada Saka. Di malam yang sangat hening ini, aku bisa mendengar suara detak jantungnya. Yang sangat kencang menembus dadanya.

Detik ini juga aku tahu jantung Saka berdetak untuk siapa. Untukku.

Lalu jantungku? Berdetak untuk siapa?

END

Cerpen ini ditulis untuk mengikuti seleksi Kampus Fiksi tahun 2016

My Bookshelf

WRITING HANGOVER

Hangover. Aku nggak tahu dalam bahasa Indonesia dialihbahasakan menjadi kata apa. Di luar negeri, orang mengalami hangover setelah kebanyakan minum alkohol. Malam mereka mabuk, lalu tidur dan paginya pusing, lemes, bingung–ini yang disebut hangover. Katanya, kalau tidur–setelah mabuk–cukup lama, nggak akan kena hangover parah. Tapi meski kita nggak minum, kita juga bisa kena ‘hangover‘ di berbagai aspek kehidupan. Book hangover, kita baca buku yang bagus banget sampai beberapa hari kita cuma pengen membayang-bayangkan apa yang sudah kita baca, kita baca ulang, dan nggak ada niat buat melakukan hal lain. Diajak temen ke mall aja males, soalnya lebih pengen melamu. Cara menyembuhkannya sama seperti alcohol hangover, dibiarkan saja beberapa hari. Nanti setelah otak dan tubuh kita pulih, kita baca buku lagi. Kalau ketemu buku yang bagus.

Sekarang ini, aku mengalami hangover lain. WRITING HANGOVER. Kalau menyelesaikan naskah dan menerbitkannya adalah proses drinking–alias mabok, setelahnya aku hangover. Seperti sekarang, aku mengalami Bellamia hangover. Setelah berbulan-bulan bergulat dengan naskah dan buku Bellamia, susah sekali buatku untuk keluar dari karakter Gavin. Setiap nyoba nulis, yang keluar Gavin lagi Gavin lagi. Warna tulisanku juga mirip-mirip Bellamia. Tulisanku disorientasi, persis seperti orang hangover setelah mabok parah.

Kalau ada penulis yang ‘istirahat’ nulis lama, mungkin dia sedang hangover. Nggak tahu harus nulis apa setelah buku terbarunya terbit. Itu wajar dan lumrah. Tapi aku nggak mau hangover lama, sampai setahun atau lebih begitu. Dua tiga bulan cukuplah, kalau memungkinkan.

Sebagai penulis–kemarin sore–pasti kita ingin nulis sesuatu yang berbeda. Kalau nggak bisa berbeda daripada penulis lain, paling nggak berbeda dari buku kita sebelumnya. Jangankan pembaca, aku aja bosan nulisnya kalau seperti itu. Kalau sudah sukses dengan cerita model A, biasanya penulis bikin yang semodel, karena main aman:pembaca suka. Tulisan hangover. Kalau aku sebagai pembaca, ya aku cari buku lainlah. Ngapain baca cerita yang mirip. Tapi sekarang makin susah cari buku yang seger dan beda.

Anyway, balik lagi ke writing hangover. Yang pertama kulakukan adalah membaca buku. Kubeli buku lucu seperti Pants Are Everything, nggak ngangak juga. Masih mabok Gavin. Buku yang serius, seperti Without Their Permission–malah pingin mabok Dinar. Kuaduk-aduk terus segmen biografi. Sekalian riset buat karakter di naskah selanjutnya. Sekali terpuk dua lalat. Karena waktu yang tersedia buat nulis dan baca, nggak banyak. Dan aku nggak bisa menulis kalau nggak banyak membaca. Banyaakkk banget. Setelah baca dua buku penuh–sebulan, aku bisa lepas dari hangover dan bisa nulis lagi. Tanpa teringat Gavin seperti apa.

Setelah nggak begitu hangover lagi, aku nulis naskah ‘jembatan’. Perantara antara Bellamia dan buku selanjutnya–cerita tentang Savara dan cerita tentang Mikkel Moller. Setuju sama dua cerita itu? Jembatan yang kupilih adalah Midsommar, prequel Mikkel, cerita dia saat masih pacaran. Karena rencananya cerita ini bakal ada dalam marriage lit seperti My Bittersweeet Marriage dan When Love Is Not Enough. Midommar mungkin bakalan ada sedikit-sedikit bagian yang mirip sama Bellamia dan Gavin-nya. Tapi nggak papa, yang penting saat ngerjain buku yang sesungguhnya, Midnatt, aku sudah keluar dari pengaruh Bellamia dan Gavin. Savara sudah kuselesaikan sebelum Bellamia, tinggal perbaikan di sana-sini dan kurasa Bellamia nggak akan mempengaruhi.

Dan Midsommar bisa dibaca gratis, seperti halnya naskah ‘jembatan’-ku yang lain. Link ada di bawah.

P.S: Aku juga punya sebuah rencana, yang sampai sekarang masih belum kuketahui bakalan bikin temen-temen seneng atau … nggak. Tunggu saja kaabr dariku, semoga dalam waktu dekat.

 

Link buat baca gratis naskah ‘jembatan’-ku:

Midsommar karya Ika Vihara

The Danis Boss karya Ika Vihara

Link baca gratis terkait:

Bellamia karya Ika Vihara

Geek Play Love karya Ika Vihara

My Books

Freebie: Baca Cerita The Mollers Gratis Di sini

 

Siapa The Mollers? Keluarga rekaanku. Aku sudah menuliscerita mereka sebanyak tiga judul. Bukan buku bersambung. Tokoh utamanya ganti-ganti, cuma nama belakangnya Moller semua. Sampai hari ini masih ada cerita mereka yang bisa dibaca gratis melalui link di bawah ini:

Midsommar Chapter 1 sd 6
The Dance of Love Chapter 1, 2, dan 3

The Danish Boss Chapter 1 sd 20

Sedangkan buku-buku The Mollers yang sudah ada di toko buku adalah:

My Bittersweet Marriage

Afnan Moller. Half-Danish. Memutuskan untuk menjadi warga negara Denmark, mengikuti ayahnya, saat usia 18 tahun.  Mikrobiologis di Aarhus University Hospital. Sudah tinggal di Aarhus selama 12 tahun dan akan tinggal di sana sampai akhir hayat. Sebagai muslim, menemukan calon istri yang seiman di sana sulit sekali. Ditambah kesibukannya–pekerjaan, seminar, dan sebagainya–

Hessa. 27 tahun. Ibunya sudah ribut menyuruhnya menikah, sebelum dilangkah adiknya yang sudah dilamar. Masalahnya, bagaimana menemukan orang yang bisa membuatnya jatuh cinta? Saat sedang pusing memikirkan cinta, ibunya memberitahu bahwa ada laki-laki yang tertarik dengannya. Hessa memperlajari profil Afnan, dengan bantuan internet, dan, mau tidak mau, mengakui bahwa dia terpikat dengan sepasang mata biru seperti samudera tersebut. Masalah besarnya hanya satu. Afnan tidak tinggal di sini. Dia tinggal di Denmark dan tidak punya waktu untuk saling mengenal. Yang diinginkan Afnan adalah menikah dan membawa istrinya tinggal di Aarhus. Bagaimana rasanya meninggalkan semua hidupnya di sini, untuk hidup di sebuah tempat yang namanya saja tidak pernah dia dengar? Bagaimana rasanya meninggalkan keluarga, sahabat, dan pekerjaan, demi hidup bersama laki-laki yang baru ditemui tiga kali?

When Love is Not Enough

We will meet:

Lilja Moller. 28 tahun. Berdarah Denmark. Baru saja pindah ke Indonesia dan bekerja di perusahaan keluarga.Menikah dengan Linus, orang yang sudah dia kenal sejak lahir, dan tidak bisa lagi menghitung betapa besar dia mencintai Linus. Mencintainya sebagai teman, kakak, kekasih dan ayah dari almarhum anak perempuannya. Tetapi cinta saja tidak cukup menahan Lily untuk tetap menghidupkan pernikahan mereka. Sehingga Lily menyimpulkan pernikahan mereka tidak layak dipertahankan. Sambil menahan rasa sakit akibat patah hati, Lily bersumpah tidak akan lagi mempertaruhkan dirinya untuk disakiti lagi.

Linus Zainulin. Linus the Genius, kata Lily. 30 tahun. Merasa sudah memiliki kehidupan yang sempurna. Mendapatkan pekerjaan yang paling dia minati di salah satu perusahaan terbesar di dunia di Munich, Jerman. Hobinya, bermain sepak bola mendatangkan keuntungan finansial dan ketenaran. Menikah dengan gadis impiannya, sahabat terbaiknya, Lily Moller. Yang cantik dan cerdas. Seolah ingin membuktikan bahwa tidak pernah ada sesuatu yang sempurna, Linus menghancurkan pernikahan mereka dan Lily memilih untuk pergi. Meninggalkannya dalam tumpukan penyesalan. Bagaimana cara mendapatkan Lily kembali? Bagaimana cara memenangkan hatinya lagi? Bisakah pernikahan dibangun oleh satu orang saja?

 

My Bookshelf

WRITER’S BLOCK? GAYA-GAYAAN AJA

Judul tersebut adalah pendapatku. Menurutku yang suka nulis status di sosmed bahwa dia sedang mengalami writer’s block itu cuma sedang gaya aja. Biar kelihatan hebat? Ya malah enggak. Kalau hebat ya lancar nulisnya. Kalau ngeluh kena writer’s block mah ya….. MALES itu namanya. Gak perlu dikeren-kerenin.

Meski aku penulis newbie, yang baru nerbitin buku tahun 2016 bulan Maret, yha buku pertamaku adalah MY BITTERSWEET MARRIAGE(<<klik untuk tahu apa itu) terbit melalui Elex Media, tapi aku sering dapat  pertanyaan ini. Gimana cara mengatasi writer’s block. Jawabanku selalu ‘nggak tahu’. Karena belum pernah mengalami.

Apa aku pernah kesulitan ngerjain suatu project menulis? JAWABANNYA SERING. Aku sering bongkar-pasang naskah karena menemui jalan terjal untuk menyelesaikannya. Naskah Midsommar, cerita berikutnya soal The Mollers, kali ini Mikkel, sampai sebanyak ini filenya. Kukerjakan dari tahun lalu.

Tapi apa aku menyebut itu sebagai writer’s block? Nggak sama sekali. Itu cuma karena aku kurang ‘engage’ atau ‘kawin’ dengan jalan cerita, tokoh, dan hal-hal pelengkap. Biasanya setiap kali menyelesaikan satu outline, aku punya rasa penasaran dalam diriku, misal aduh gak sabar mau baca seperti apa konfliknya, seperti apa ending-nya. Karena pengen cepert baca, makanya aku cepet selesaikan nulisnya. Enaknya jadi aku, yang nulis, kalau aku kurang suka dengan konflik atau ending, aku bisa ganti. Kalau pembaca, ya silakan nikmati apa yang diberikan penulis heheheheh.

Percaya pada sesuatu bernama writer’s block itu sama saja percaya dengan kunang-kunang adalah kuku orang mati. Dulu waktu masih kecil, belum ngerti, aku ngeri sendiri tiap ditakut-takutin temanku ketika lihat kunang-kunang. Aku lahir dan besar di desa dan dulu banyak hewan mengesankan itu. Dan sekarang, aku nggak takut sama mitos begituan. Aku malah nunggu-nunggu kapan kunang-kunang datang. Sama aja dengan writer’s block. Ketika belum ngerti dulu ya kukira itu adalah kiamat bagi seorang penulis. Tapi setelah ngerti … it is just a myth. It doesn’t exist.

Tapi, Kak Ika, tetep aja saat nulis kadang aku merasa nggak bisa melanjutkan. Itu gimana, Kak? Analisa saja nggak bisanya karena apa. Karena kurang bahan untuk ditulis? Silakan riset lagi. Karena kurang menguasai ide sehingga gak yakin? Ganti, tulis apa yang dekat dengan kita, apa yang kita kuasai. Karena kamu kurang cinta dengan jalan ceritanya? Revisi. Karena kamu kurang bisa menjiwai tokoh-tokoh dalam ceritamu? Hidupkan mereka dalam kepalamu setiap saat, misal ketika makan bakso bayangkan kalau Mikkel dan Lil yang duduk di sini, mereka bakal ngapain aja dan ngobrolin apa.

Bukan itu semua? Itu bisa jadi karena jenuh. Lho kalau cinta sama menulis, kalau memang nulis itu passion kita, mana mungkin kita bosan? Megabintang sepakbola kayak Cristiano Ronaldo itu nggak latihan skill dan fisik terus. Dia juga punya hobi lain. Pergi liburan juga. Karena memang kita perlu penyegaran. Rehat. Jadi, meski bukan liburan ke Bahama seperti Ronaldo, kita bisa juga melakukannya dengan biaya yang lebih murah.

Baca Buku

Ini cara paling efektif untuk mengatasi mitos tersebut. Manfaatnya banyak. Pertama, menghibur. Kedua, menyegarkan otak. Ketiga, menginspirasi. Keempat, merangsang kita untuk berpikir. Kelima, kalau pilih buku yang tepat bisa sekalian riset pustaka. Dan banyak lagi. Tapi kalau mau dapat semua manfaat itu sekaligus: pilih buku yang bagus. Buku yang bagus itu buku yang kalau kita baca, kita pengen nulis. Sebagus buku yang sedang kita baca.

Piknik

Royalti belum turun, nggak bisa ke Bali. Ya piknik aja di ruang terbuka hijau di dekat rumah. Kalau saranku, pikniknya di luar ruangan. Yang kena udara bebas. Nggak usah bawa gadget. Bawa buku boleh. Karena dalam buku The Courage To Be Creative yang kubaca, di situ disebutkan

Your insights my come through other connections with nature.

Modern research corroborates the link between natural surroundings and creativity. One study found that ‘interacting with nature has real, measurable benefits to creative problem solving’ increasing performance by a full 50 percent.

Udara segar dan pemandangan yang bagus itu membuat stres berkurang. Apalagi kalau dinikmati sambil jalan kaki. Merenung yang paling baik itu sambil melangkah, atau berjalan. Makanya penemu seperti Tesla, panutan Gavin di Bellamia, setiap hari berjalan 10 km karena memang pada saat itu bisa berpikir lebih baik.

Lalu masih dari buku yang sama, dengan jalan-jalan menikmati alam, kita akan daat kejutan tak terduga dari … alam–sumber inspirasi terbesar kita. Mungkin kita akan dapat sudut pandang baru. Atau inspirasi bahkan.

You may find a particular place or object that inspires you. It might be an old oak tree that seems to carry ancient wisdom, ora a boulder that affords you a beautiful view when you sit on it. Your muse in nature will select you….

StarSpiration

Alias duduk di bawah langit malam. Malam-malam yang dihabiskan dengan memandang langit, katanya, lebih bermakna daripada malam-malam yang dihabiskan dengan menonton televisi. Kalau kita menatap langit, yang luas, maka mau gak mau otak kita bakalan berpikir. Kenapa orang-orang zaman dahulu bisa menemukan petunjuk arah menggunakan langit? Ya karena malam-malamnya dihabiskan di luar ruangan. Bukan duduk nonton TV dan main HP. Mitologi mengenai konstalasi bintang yang indah juga dihasilkan oleh orang yang mengamati langit bukan layar TV. Misalnya tentang konstalasi Andromeda, yang digambarkan sebagai anak dari Cassiopeia, yang dikorbankan oleh ibunya sendiri untuk monster laut Cetus, lalu diselamatkan oleh Perseus. Mau bikin cerita hebat seperti itu?

Stargazing is a therapy, kata B.J Miller, pllative care di University of California, dalam wawancara di buku Tools of Titans. Memandang langit bisa bikin jiwa dan pikiran menjadi lapang. Coba kalau tak percaya.

Hobi Lain

Pisang itu bagus untuk kesehatan. Tapi apa setiap hari kita makan pisang? Makan apel juga sesekali. Menulis itu memang banyak manfaatnya. Tapi apa harus setiap hari menulis? Bisa diselingi dengan hobi lain. Hobi itu, kata kartun Upin dan Ipin, dilakukan di waktu luang dan bermanfaat. Nggak akan ada ruginya dijalani. Aku suka menjahit. Dan nanti bisa saja aku bikin tokoh novel yang punya hobi sama. Aku gak perlu riset, karena sudah menjalani sendiri.

Masih percaya bahwa kita bisa terjangkit writer’s block?


Semua foto adalah dokumentasi pribadiku.

Give Away, My Books, My Bookshelf

Review Buku – Bellamia by Ika Vihara

Review ini aku copy dari web salah satu pembaca, Tari. Terima kasih untuk reviewnya 🙂

Bellamia

Oh wow! Kalian semua harus baca novel ini. Ini novel pertama Ika Vihara yang kubaca dan aku bakalan menjamin kalau novel ini manis banget. Manis yang berbeda dari novel romance lain. Manis yang realistis. Sejak kalimat pembuka aku sudah disuguhi kalimat-kalimat yang berbobot. Dari halaman pertama sampai habis bikin bahagia, bikin tersipu, bikin marah, bikin kesel, bikin ketawa dan bikin iri! Iri banget aku sama Amia.

“Aku tahu kamu bisa melakukan apa aja sendiri, Amia. Apa tidak bisa kamu pura-pura tidak bisa? Biar aku ada gunanya.”

Amia tertawa, Gavin terdengar putus asa.

“Tolong antar aku pulang.” Amia memutuskan.

Aku suka banget sama buku ini dan nggak ragu buat bilang Ika adalah salah satu penulis favoritku sekarang. Ika memilih tokoh engineerpower engineer, yang setiap hari bikinin kita listrik dan pekerjaan tersebut jadi terdengar keren dan mulia. Aku nggak akan marah lagi kalau listrik mati, karena ingat Gavin lembur kalau itu terjadi.

Teknik menulis Ika sudah jempol. Kalimat-kalimatnya mengalir, interaksi antartokoh pas, ya seperti kita bercakap sehari-hari sama teman, pacar, orangtua. Semua serba realistis. Sampai aku percaya Gavinku ada di sekitarku dan Amia adalah sainganku. Plus, banyak pengetahuan yang kudapat dari sini. Aku jadi tahu kalau Einstein pernah punya kesimpulan soal jatuh cinta.

Aku sedang iseng Google rekomenasi buku dan sampai pada blog pribadi penulis. Dan aku yakin aku mau baca buku ini setelah baca blurb-nya:

Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun teman SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin—dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan—mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat.

Merahasiakan hubungan dari semua orang.

Dari situ saja aku sudah dijanjikan sesuatu yang berbeda: simulasi terorisme! Di kantorku juga ada seperti itu tapi kenapa nggak ada ‘Gavin’ yang mendatangiku.

“Bapak ngapain di sini?”

Jus kemasan tetrapak menempel di pipi Amia.

“Menjenguk pegawai yang cedera karena simulasi.” Gavin meletakkan jus jeruk itu di pangkuan Amia dan dia sendiri duduk di kursi besi panjang di sebelah kanan Amia.

“Kenapa Bapak repot-repot?” Amia tidak pernah mendengar cerita ada top management menjenguk staf seperti dirinya.

“Karena aku bertanggung jawab terhadap keselamatan semua pegawai?”

Ini memang cerita tentang interoffice romance, alias cinta lokasi di kantor. Ini memang cerita tentang atasan dan bawahan. Di saat aku bosan dengan model cerita Cinderella, (bawahan dengan CEO, red), Ika membuat cerita ini berbeda. Seperti yang kubilang, Gavin adalah power engineer, yang cerdas, berkharisma, tampan, dan percaya diri. Kecintaan Gavin pada engineering, listrik, dan kemaslahatan umat betul-betul disampaikan dengan baik sampai aku berpikir, ini yang engineer penulisnya atau Gavin? Amia berasal dari keluarga berada, berpendidikan, puas dengan hidupnya yang sekarang dan tidak menginginkan apa-apa lagi. Kecuali cinta. Dan Amia ini keras kepala banget nggak mau mencari cinta di kantor.

Cerita yang lengkap sekali. Meski Amia dan Gavin menghadapi masalah, bukan cuma mereka yang bertambah dewasa, tapi aku, dan mungkin pembaca yang lain juga. Betul-betul cerita ini layak untuk dibaca dan sampai dengan bulan Oktober ini, ini adalah buku romance terbaik yang pernah kubaca.

Jadi … kembali ke interoffice romance, hari pertama Amia bertemu dengan Gavin, atasannya yang paling atas, Amia tidak menyangkal kalau dia terpersona pada Gavin. Well, Mia, siapa yang nggak? Dan Gavin pada pertemuan mereka yang pertama juga, dengan cerdik langsung memanfaatkan posisinya lebih tinggi dari Amia, untuk mendekatinya. Jempol.

“Apa kamu tahu alamat ini?” Gavin menunjukkan kertas putih itu kepada Amia.

“Tahu, Pak.” Sejak lahir dia tinggal di sini, tentu saja tahu.

“Antar saya ke sana.” Gavin berdiri. Memang ada GPS. Pengisi suaranya juga wanita. Tapi kalau tersedia GPS alami—penduduk lokal—yang menarik dan cantik seperti ini, semua laki-laki akan melupakan software navigasi tersebut. Gavin tersenyum dalam hati. Memuji dirinya atas keputusan cerdas yang baru dibuatnya.

Amia sadar kalau Gavin tertarik padanya dan Amia berusaha untuk menghindar dari potensi drama yang mungkin terjadi kalau teman-temannya tahu atasan/idola mereka tertarik pada Amia. Bahkan Amia menolak berteman dengan Gavin.

“Saya bisa dipecat kalau manggil bos pakai nama langsung.” Sampai hari ini Amia masih tahu adat dan tidak akan memanggil atasannya seperti yang diinginkan Gavin.

“Ini, kan, di luar kantor, Amia.”

“Karena di luar kantor, saya nggak wajib menuruti perintah Bapak.” Amia berargumen.

“Kenapa?”

“Karena Bapak atasan saya di kantor. Bukan di luar,” jawabnya putus asa.

“You got it? Kita bukan atasan dan bawahan sekarang. Karena tidak di kantor, seperti yang kamu bilang sendiri. Teman?” Gavin puas dengan kemenangannya.

Shit. Amia mengeluh dalam hati.

Tapi Gavin pantang menyerah. Dia tetap berusaha menginginkan kesempatan dari Amia, meski jawaban yang didapat dari Amia tetap ‘tidak.’

“Jadi apa akan ada second date?”

Amia batal melangkah saat mendengar pertanyaan Gavin.

“Nggak. Dan tadi bukan date.” Demi apa pun di dunia ini, kenapa kegiatan makan es krim disebut kencan oleh laki-laki ini?

“I deserve a date, Amia.” Dalam bulan ini, kalau tidak bisa berkencan dengannya, sebaiknya dia mati saja.

Menarik sekali melihat bagaimana Gavin berusaha mengubah pemikiran Amia mengenai office romance. Karena Gavin menghabiskan banyak waktu di kantor, gimana mungkin dia akan ketemu jodoh di luar sana? Sedangkan Amia, berusaha untuk memegang prinsip hidupnya bahwa menjalin hubungan dengan teman sekantor adalah bencana.

Ah, jangan pikir ini akan sama dengan cerita romance lain. Tidak ada orang ketiga yang mengganggu mereka. Yang membuat menarik, penulis bisa bikin konflik yang hanya melibatkan dua tokoh ini. Perasaanku teraduk-aduk selama mereka berkonflik. KESAL, MARAH, MENDUKUNG AMIA, TAPI JUGA INGIN PUK-PUK GAVIN. Semua konflik itu malah membuat kedua tokoh utama menjadi semakin matang dan dewasa. Pembaca juga ikut kecipratan menjadi bijak.

Aku suka semua bagian dari buku ini. Cara berpikir Amia dan Gavin, cara mereka instropeksi diri, cara mereka menyampaikan perasaan, cara bertengkar bahkan. Bagaimana perjuangan mereka untuk menemukan kebahagiaan. Aku lega banget setiap kali Amia atau Gavin berhasil melewati satu ujian hidup.

Orang rajin mengganti oli mesin setiap tiga ribu kilometer. Servis seribu kilometer atau sepuluh kilometer. Jadi kenapa tidak menerapkan aturan ini pada kekasih mereka? Seorang kekasih perlu untuk dihubungi dan dikabari secara berkala. Sehari sekali. Dua hari sekali. Bertemu seminggu sekali—minmal. Diberi perhatian dan disayang. Supaya hubungan mereka tidak macet di tengah jalan.

Aku selalu suka cerita yang membuatku percaya bahwa semua orang di dunia ini bisa mendapatkan kisah cinta yang indah. Bellamia ini salah satunya. Membumi. Apa yang terjadi pada Amia bisa terjadi padaku, pada kita. Gavin bisa ditemui di sekitar kita. Kalau tidak jadi engineer, mungkin Gavinku dokter. Juga buku ini menenangkan hatiku dari galauku yang sedang menunggu datangnya kekasih hati.

“Akan ada balasan kebahagian untukmu, Mia. Walaupun nanti bukan dengan Riyad, akan ada cinta lain untukmu. Akan ada orang yang mencintaimu sebesar rasa cintamu padanya. Yang dengan yakin akan memilihmu di antara banyak wanita di dunia.”

5 bintang dariku!

Oh ya, ada excerpt dari Bellamia yang bisa dibaca di blog pribadi Ika. Bisa dibaca dan siapa tau jatuh cinta kayak aku.

Juga sedang ada give away. Hadiahnya novel Bellamia bertanda tangan penulisnya.

Ada review yang kebanyakan bintang 5 di Goodreads.

Follow fanpage penulisnya dan ada cerita gratis yang dibagikan setiap minggu!

My Books

Bellamia: The Excerpt

 


Are you in mood to test Bellamia? Here the excerpt special for you.

Mau bagaimana lagi. Terpaksa Amia membawa kakinya ke depan pintu. Wow! Ini akan jadi kali pertama Amia masuk ke ruangan power plant manager. Sebelumnya belum pernah sama sekali. Tidak pernah ada urusan dengan mereka. Ragu-ragu Amia mengetuk pintu. Tidak ada sahutan. Setelah tiga kali mengetuk dan memikirkan risiko buku-buku jarinya patah, Amia memutuskan untuk mendorong pintu lalu melongokkan kepala. Tatapannya terpaku pada meja besar di ruangan itu. Kosong. Tidak tampak keberadaan manusia.

Repot sekali mencari orang bernama Gavin ini, Amia sedikit jengkel. Erik juga memberi informasi tidak jelas sama sekali. Apa tidak bisa sekalian pakai tagging koordinat di mana persisnya posisi Gavin? Sudah berapa puluh menit waktunya terbuang sia-sia?

“Ya?” Sebuah suara membuat Amia melompat dan menjatuhkan amplopnya.

A deep baritone. Mata Amia bergerak mencari sumber suara.

“Astaga!” Amia mengelus dada dan menengok ke kiri. Orang yang dia curigai bernama Gavin itu sedang santai membaca koran di sofa.

Sebuah wajah muncul dari balik koran. My God! Baru kali ini dia bertemu laki-laki dan sukses membuatnya lupa bagaimana cara bernapas. Apa patung buatan Michelangelo benar-benar bisa hidup dan berjalan? Bagian bibir dan dagu seperti dipindahkan langsung dari wajah David. Rambut hitam legamnya sangat rapi, seperti dua menit lagi dia akan dipanggil masuk ke studio untuk membacakan berita. Matanya yang tersembunyi di dalam tulang dahi dan tulang pipi yang tinggi, menyorot tajam ke arah Amia.

“Masuk.” Lagi-lagi, suaranya membuat Amia tergeragap.

Setelah mengambil amplop cokelatnya di lantai, Amia melangkah masuk.

“Pak Gavin?” Amia memastikan. Sambil memperhatikan. Celana abu-abu dan kemeja hitam lengan panjang. Suram, Amia menghakimi dalam hati. Tapi seksi, dengan berat hati Amia menambahkan. Menurut perkiraan Amia, laki-laki itu mungkin seumuran dengan Adrien, kakaknya.

“Ini dari Pak Erik.” Amia tidak bisa menjelaskan isinya karena tadi lupa bertanya pada Erik. Gara-gara buru-buru ingin tebar pesona di lantai produksi.

“Apa ini?” Seperti yang sudah diduga Amia, Gavin pasti bertanya. Full of authority. Suaranya menuntut untuk diperhatikan. Seandainya sekarang mereka sedang berada di sebuah auditorium yang penuh sesak, Amia yakin ruangan tersebut akan senyap dan semua orang pasti mendengarkan dengan tenang apa saja yang dikatakan Gavin.

“Saya tidak tahu, Pak.”

“Bapak buka saja.” Amia menyarankan dan berusaha untuk tersenyum. Senyum yang sering membuat laki-laki menjadi terlalu ramah padanya, semoga berfungsi juga pada Gavin.

Isinya kunci mobil, kunci rumah, kartu akses, plus selembar kertas. Kenapa Erik menyuruh mengurus hal-hal seperti ini? Amia mengeluh dalam hati.

“Apa kamu tahu alamat ini?” Gavin menunjukkan kertas putih itu kepada Amia.

“Tahu, Pak.” Sejak lahir dia tinggal di sini, tentu saja tahu.

“Antar saya ke sana.” Gavin berdiri. Memang ada GPS. Pengisi suaranya juga wanita. Tapi kalau tersedia GPS alami—penduduk lokal—yang menarik dan cantik seperti ini, semua laki-laki akan melupakan software navigasi tersebut. Gavin tersenyum dalam hati. Memuji dirinya atas keputusan cerdas yang baru dibuatnya.

Otomatis Amia memanfaatkan kesempatan ini untuk memperhatikan postur tubuh Gavin. Mungkin laki-laki itu benar-benar David versi manusia. Bahu dan dadanya lebar. Perutnya tidak menyembul sama sekali. Lengannya padat. Kakinya panjang. Kulitnya cokelat. Tidak putih seperti Riyad, yang malas kena sinar matahari.

“Sekarang, Pak?” Dalam kepalanya, Amia memperkirakan selisih tinggi badan dengan atasan barunya. Sepatu sepuluh sentinya seperti tidak banyak membantu untuk membuat tinggi badannya—yang hanya 161 cm—naik secara signifikan.

“Iya. Kamu keberatan?” Nada bicaranya seperti mengancam, kamu berani menolak?

“Iya.” Amia menjawab dengan jujur. “Ini bukan jobdesc saya, kebetulan orang yang seharusnya mengurus ini sedang tidak masuk jadi supervisor saya minta tolong.”

“Ya, supervisormu sudah menyuruhmu ke sini, sekalian saja. Namamu siapa?”

“Amia.”

“Tunggu di sini.” Gavin berjalan ke mejanya.

Siapa yang kuasa menolak? Meskipun berusaha tidak terbawa pesonanya, laki-laki itu tetap atasannya. Amia kembali menjatuhkan pantat di sofa.

“Pak Peter.”

Dengan horor Amia menoleh ke arah Gavin yang sedang bicara di telepon. Dia menelepon kepala departemen Amia.

“Saya ingin minta bantuan dari salah satu pegawai Bapak. Namanya Amia.”

Sial betul orang yang namanya Gavin ini, Amia mengerang dalam hati.

“Sudah diizinkan.” Gavin berjalan keluar mendahului Amia. Mau tidak mau, Amia mengekor di belakangnya.

“Kalau ada telepon, tolong bilang saya keluar, ya.” Gavin berpesan kepada Melina yang sudah duduk lagi di kursinya. Yang diiyakan sambil tersenyum lebar oleh Melina.

“Turun dulu, Kak.” Amia pamit kepada Melina.

“Sering-sering ke sini, Am.” Melina menjawab, masih dengan ceria.

Tentu saja semua orang di lantai ini—para sekretaris kepala departemen—akan selalu ceria. Termasuk yang sudah punya anak dua seperti Melina. Ada atasan baru yang masih muda tetapi dewasa, berkharisma namun—Amia benci mengatakan ini—seksi. Mungkin kantor pusat salah merekrut orang. Mestinya Gavin difoto untuk cover majalah, bukan disuruh mengurus listrik.

“Kenapa ke lantai tiga?” Gavin menegur Amia yang memencet angka tiga di lift.

“Saya mau ambil tas saya, Pak.” Dompet dan ponsel Amia semua di sana.

“Itu buang-buang waktu dan kamu tidak akan memerlukan itu.”

“Bapak ini minta tolong kok ngatur.” Amia memberanikan diri untuk protes. Siang ini dia sudah berbaik hati menunda setumpuk pekerjaan untuk menemani Gavin menengok rumah baru dan dia tidak diperbolehkan membawa peralatan perang?

Setidaknya dia perlu membawa ponsel, siapa tahu ada apa-apa di jalan dan dia harus menghubungi seseorang. Atau untuk bergosip dengan Vara agar dia tidak bosan selama bersama atasannya. Amia kesulitan mengikuti langkah panjang Gavin. Sepatu dan rok pensilnya tidak mendukung untuk berjalan dengan cepat.

P.S:

Bellamia bisa didapatkan di toko buku terdekat.

Give Away, My Books

MY LATEST BOOK IS GOING LIVE: GIVE AWAY!

For the next 4 week, I am hosting special give away along with fellow bloggers. You’ll get a chance to win one of 4 copies of my latest book, Bellamia, signed by me. Don’t forget to make a stop and enter to win.

BLURB:

Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun teman SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin—dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan—mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat.

Merahasiakan hubungan dari semua orang.

Guess What? I’m revealing the first chapter of Bellamia and Daisy. Are you in the mood to taste it?

BELLAMIA

DAISY

P.S:

Novel Daisy itu gratis ya, jika membeli novel Bellamia melalui penulis/diriku. Caranya cukup nulis komentar aja. Di toko buku tanpa novel Daisy, dengan harga yang kira-kira sama.

My Books

5 Bellamia’s Fun Fact

  1. Nikola Tesla. Salah satu orang yang tulisannya–buku dan wawancaranya–kubaca sebelum membuat tokoh Gavin. Nggak semua orang kenal sama Tesla, kan? Kalau bicara listrik, pasti yang terlintas nama Thomas Alva Edison. Memang Tesla yang nggak banyak menerima penghargaan atas temuannya, karena hasil-hasil penelitiannya dicuri. Orang ini menarik, cerdas, teguh pada tujuannya untuk menciptakan sesuatu yang memudahkan hidup orang banyak dan  tidak menikah. Tapi aku nggak ingin Gavin jomblo seumur hidup.

    Memang benda temuan Tesla memberi penghidupan kepada Gavin, sebab dengan meneruskan apa yang sudah ditemukan engineer Kroasia-Amerika itu, gajinya menjadi besar. Hanya saja dia tidak akan mengikuti jejaknya untuk single seumur hidup.

  2. Versi pertama naskah Bellamia macet di tengah jalan. Aku hanya bisa menulis sampai bab ketiga dan nggak tahu gimana harus melanjutkannya. Premisnya sama, interoffice romance. Dengan Gavin sebagai world’s best engineer dan Amia adalah seseorang yang mengetuk pintu ruangannya. Akhirnya aku memutuskan untuk menghapus keseluruhan cerita yang sudah kutulis sepanjang 30 halaman. Aku menulis ulang di halaman kosong, sejak kalimat pertama.

    Gavin mengangguk dan menggeret kopernya begitu saja, tanpa merasa perlu mengucapkan terima kasih.

    “Sepertinyak Bapak lupa sesuatu.” Amia mengingatkan.

    “Apa?” Gavin memeriksa kamar hotelnya kalau ada barangnya yang tertinggal.

    “Terima kasih,” jawab Amia, menyindir Gavin yang tidak mengucapkan apa-apa.

    “Anytime.” Gavin menjawab dengan santai.

    Amia mengerutkan keningnya, orang ini bagaimana sih, disuruh mengucapkan terima kasih kok malah membalas ucapan terima kasih.

    “Maksud saya, Bapak lupa berterima kasih sama saya.” Harus sabar menghadapi Gavin in

    Di atas adalah salah satu bagian yang terhapus dari naskah awal Bellamia. Karena nggak pantes aja Amia ngikutin orang nggak dikenal ngambil koper di hotel, hahaha.

  3. Pada bagian surat Amia, ada bencana besar yang bikin aku nangis sesiangan di hari Minggu. Aku sudah menulis surat tersebut, di dokumen lain. Ketika kucari dan mau kugabungkan dengan keseluruhan naskah, aku nggak menemukan ‘surat’ tersebut. Aku perlu waktu untuk menyesali perbuatan bodohku itu, sebelum mengingat apa yang udah kutulis. Tapi nggak ingat juga, akhirnya aku bikin ‘surat’ baru. Dan kalimat favoritku dalam surat itu?

    Saat kamu menciumku untuk pertama kali, aku memperingatkan diriku untuk tidak terlibat masalah denganmu. Masalah yang sekarang kutahu apa namanya. Cinta.

  4. Bagian favoritku pada novel Bellamia adalah saat Gavin mendatangi Amia di rumah sakit dan memaksa untuk mengantarnya pulang. Awww … siapa yang nggak mau pada hari terburuknya, didatangi oleh laki-laki tampan dan perhatian seperti itu? Gyaaah … aku ingin pas operasi lutut dulu ada Gavin yang … memberi kejutan padaku.

    “HP ketinggalan di kantor jadi … hoi … hoi … apa nih?” Amia panik saat Gavin tiba-tiba mendorong kursi rodanya.

    “I’ll drive you home.”

    “No, thanks. Tolong, Pak! Saya nunggu Vara, kasihan nanti dia kecele kalau datang ke sini.” Akan lebih aman kalau dia pulang bersama sahabatnya daripada dengan atasannya.

  5. Makanan-makanan yang kusebutkan di dalam novel Bellamia adalah makanan favoritku–dan semua orang 😀 Oreo, yang dimakan Amia bareng Savara, lollipop yang diberikan Gavin untuk obat patah hatinya Amia, dan lainnya bisa ditemukan sendiri. Siapa yang nggak suka makan Oreo? Kalorinya besar sekali, untung Amia nggak takut gemuk.

    “Kamu pikir bagian apa yang paling enak dari ayam? Aku lebih suka makan kulitnya daripada ayamnya. Jadi kalau kamu nggak ingin aku membencimu seumur hidup, jangan sentuh kulit ayam di piringku.” Amia memperingatkan. “Ini peringatan terakhir.”

    BONUS:

  6. Ada bagian naskah Bellamia yang ditandai secara khusus oleh editor Bellamia, Mbak Niratisaya, karena beliau suka dengan attitude Amia dan Gavin pada bagian tersebut. Aku juga setuju dengan beliau. Bagian yang mana ya kira-kira?

    Aku tertarik sama kamu. Kalau kamu kerja sama, tidak akan melelahkan seperti ini.” Sebaiknya Amia tahu apa yang sesungguhnya dirasakan Gavin.

    “Tapi aku nggak suka sama kamu,” tukasnya.

    “Tidak masalah. Lama-lama kamu juga suka. It’s just a matter of time.” Tidak perlu buru-buru. Gavin punya banyak waktu.

    Menyebalkan sekali kan Gavin ini? Kalau quote Amia yang ditandai keren oleh editor adalah ini:

    Hidup ini bukan geladi bersih. Ini pertunjukan sesungguhnya. Jadi orang harus selalu menampilkan yang terbaik.

     

    Jadi, bagian mana dari novel Bellamia yang teman-teman sukai?

Give Away

3 DAY WRITING CHALLENGE BERSAMA KAMPUS FIKSI

 

Halo, teman-teman!

Besok bulan baru nih! Pengen baca buku baru? Ada kesempatan untuk mendapatkan rezeki sambil bersenang-senang bersama. Kali ini aku, alumni Kampus Fiksi angkatan 15, bersama dengan Kampus Fiksi mengadakan 3 Day Writing Challenge yang berhadiah buku terbaruku When Love Is Not Enough. 

Tema tulisan, masih berkaitan dengan apa yang aku tulis dalam bukuku, untuk tanggal 3 sd tanggal 5 Maret 2017 sebagai berikut:

  1. Ceritakan mengenai sahabat masa kecilmu dan bagaimana persahabatan kalian sekarang!
  2. Seandainya ada mesin waktu dan bisa kembali ke masa lalu, kesalahan apa yang paling ingin kamu perbaiki? Ceritakan!
  3. Jelaskan tentang keinginan atau cita-citamu yang belum tercapai hingga hari ini dan seberapa keras usaha kalian untuk mewujudkannya!

Gimana cara ikutannya? Baca di bawah ini.

  1. Tuliskan di blog, tumblr, wattpad, note facebook atau media menulis lain sesuai dengan tema per harinya
  2. Follow akun Twitter  @KampusFiksi dan @ikavihara
  3. Membagi link post di Twitter dengan mention @KampusFiksi dan @ikavihara dengan menyertakan tagar #KF3DAYS
  4. Challenge ini dimulai tanggal 3 Maret 2017 pukul 00.01 dan akan berakhir tanggal 5 Maret 2017 pukul 23.59
  5. Wajib ikut selama 3 hari, ketiga tema lengkap
  6. Akan ada dua pemenang yang dipilih oleh Momon Kampus Fiksi

Gampang banget, kan? Semacam curhat begitu. Kapan lagi bisa curhat dan bisa dapat buku?

Eh, tapi ada syarat khusus, sebagai berikut:

  1. Sudah berusia minimal 18 tahun. Bukan apa-apa, hanya saja ini berkaitan dengan buku yang kugunakan sebagai hadiah. Masih terlalu dini bagi teman-teman yang masih remaja untuk membacanya 😉
  2. Mempunyai alamat kirim pos di Indonesia. Bagi yang sedang di luar negeri, bisa pinjam alamat saudara atau keluarga yang tinggal di Indonesia.

Monggo diikuti. Siapa saja yang ingin belajar menulis bersama dengan Momon Kampus Fiksi, boleh ikut. Kalau ada yang kurang jelas, bisa ditanyakan melalui Twitter.

Selamat bersenang-senang!

My Books

My Bittersweet Marriage: the Excerpt

“Apa kita jadi pergi besok?” Hessa bertanya sambil setengah melamun.

Hessa duduk di samping Afnan di mobil, kembali ke rumah Hessa setelah menginap di rumah orangtua Afnan.

“Iya.”

“Nggak bisa diundur sehari aja?”

“Hessa, kita sudah ngomongin ini berkali-kali. Kita akan berangkat hari Sabtu dan nggak akan berubah.”

“Aku masih belum puas di sini.”

“Mau diundur berapa kali juga kamu nggak akan puas. Aku punya tanggung jawab di sana. Kamu tinggal berangkat aja. Nggak perlu cari tempat tinggal. Nggak perlu takut kehabisan uang. Ada aku di sana. Apalagi masalahnya?”

“Kenapa kamu nggak bisa tinggal di sini? Seperti Mikkel. Lilian bilang….”

“Aku nggak bisa. Aku sudah kasih tahu kamu tentang pekerjaanku dan aku nggak mungkin pindah. Kamu mengharapkan aku seperti Mikkel?” Afnan sedikit kesal karena Hessa seperti tidak mau menjalani semua ini.

“Nggak, hanya saja….”

“Kamu ingin laki-laki yang mau berkorban seperti Mikkel itu yang jadi suami kamu? Aku nggak akan menjalani hidupku seperti Mikkel. Dan jangan pernah membanding-bandingkan aku dengan Mikkel. Aku tahu apa yang baik untukku, untuk kamu, dan untuk keluarga kita. Kalau kamu merasa pernikahan ini nggak seperti yang kamu inginkan, kamu belum terlambat untuk membuat keputusan dan tetap tinggal di sini. Mungkin mencari suami seperti Mikkel.”

“Kok kamu ngomong gitu sih, Afnan?” Hessa membuka pintu mobil dengan jengkel, berjalan cepat masuk rumah.

“Lalu apa lagi? Kita sudah membicarakan ini sejak aku melamarmu. Aku sudah bilang kalau aku akan hidup di Aarhus dan istriku harus mau. Kamu mau menikah denganku dan aku menyimpulkan kamu mau tinggal denganku di sana.” Afnan berusaha menahan suaranya saat mereka berdua sudah di dalam kamar Hessa.

“Itu kan hal yang bisa didiskusikan.”

“Nggak. Kamu sudah tahu aku memberi syarat yang sangat jelas dan kamu sudah mau. Pilihanmu hanya ada dua, Hessa. Kamu, terserah, mau tinggal di sini dan aku nggak tahu akan seperti apa pernikahan kita. Atau kamu ikut denganku ke sana dan menjalani pernikahan ini dengan normal. Apa kamu pikir di sana aku akan menelantarkanmu? Nggak akan ada bedanya di sini dan di sana. Caraku memperlakukanmu akan tetap sama. Aku akan tetap menyayangimu seperti biasanya.”

“Aku bukan nggak mau ikut. Tapi aku masih ingin di sini, sebentar aja. Dua atau tiga hari.”

“Aku sudah nggak punya argumen lagi. Aku tetap berangkat hari Sabtu. Pikirkan dua pilihan itu.” Afnan masuk ke kamar mandi, mencegah mulutnya mengatakan hal-hal yang akan menyakiti Hessa.