My Books

MIDSÖMMAR: SNEAK PEAK

 

 

 

 

 

 

Cinta. Kalau bukan karena cinta, dia tidak akan berdiri di sini. Jika bukan demi laki-laki yang dicintai, dia tidak akan menempuh perjalanan sejauh ini. Perjalanan pertamanya ke luar negeri. Memakan jarak separuh belahan bumi dari rumahnya, yang berada di bawah garis khatulistiwa. Tempatnya berdiri saat ini, terletak hampir dekat dengan kutub utara. Untuk bisa sampai di koordinat ini saja dia harus duduk dan melayang hampir sehari penuh di udara. Atau kurang. Tidak tahu. Lilian kehilangan hitungan.

Memang yang harus dilakukan bukan berhitung. Tapi menyelesaikan segala urusan sebelum bergerak untuk mencari jam bulat besar di terminal tiga. Tubuhnya sudah sangat penat. Kepalanya pening dan perutnya mual. Tuhan, kenapa hanya untuk bertemu orang yang dicintai perjuangannya harus seberat ini. Sudah melelahkan, biayanya juga tidak murah. Sebagai orang yang terbiasa hidup sederhana—kalau tidak mau disebut pas-pasan—membuang uang lebih dari lima puluh juta untuk selembar tiket terasa seperti menanggung dosa besar yang tidak terampuni. Uang sebanyak itu hampir mendekati gaji plus bonus setelah satu tahun memeras keringat.

Lilian memejamkan mata, berusaha menyuruh tubuhnya untuk bertahan sebentar lagi. Suara-suara percakapan dalam berbagai bahasa tertangkap telinganya sejak tadi. Begitu turun dari satu jam penerbangan dari bandara Munich-Franz Josef Strauss, kepalanya berdenyut dan kakinya gemetar. Sambil menahan dingin, Lilian mengeratkan syal merah yang melingkari lehernya. Betul kata Mikkel, lupakan pakaian musim panas dan bawa baju-baju tebal. Padahal saat mengecek di internet kemarin, Lilian merasa tidak salah baca kalau sekarang musim panas. Kalau musim panas saja sudah begini menyakitkan, bagaimana dengan musim dinginnya?

Pada saat seperti ini, bagaimana rasa cinta terhadap tanah airnya tidak bertambah? Negara tropis yang hangat lebih cocok untuknya. Scandinavia is too cold for her.

Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga, Lilian melangkah di bandara Kastrup. Laki-laki yang melintas di sebelahnya, dengan ponsel menempel di telinga, berbicara keras sekali, seperti sedang meneriaki seisi bandara, dalam bahasa yang sama sekali tidak dipahami Lilian. Membuat Lilian ingin menyumpal kedua lubang telinganya.

Mata Lilian sibuk memperhatikan papan-papan petunjuk arah—dalam tiga bahasa: Denmark, Inggris, dan Mandarin—di seluruh penjuru bandara, sebelum melangkah lagi untuk bergabung dengan satu gelombang besar orang yang bergerak menuju tempat pengambilan bagasi. Untungnya, dia tidak perlu mengeluh—selama hampir 24 jam ini, sudah berapa kali dia mengeluh?—karena pengambilan bagasi tidak memakan waktu lama, delapan conveyor belt mengirim bawaan semua orang dengan cepat.

Lilian sudah hampir menyerah berjalan saat akhirnya jam bulat raksasa berwarna putih—tempat di mana Mikkel menunggunya—terlihat. Gampang sekali ditemukan. Mencolok. Atau malah menggelikan, menurut Lilian. Jam analog besar tersebut menggantung di atas layar hitam raksasa—yang menampilkan semua jadwal penerbangan dari dan ke bandara ini—di main hall terminal tiga.

Jam delapan pagi. Waktu Copenhagen.

Lilian mengerjapkan mata. Setelah satu setengah tahun tidak bertemu, sosok yang sangat dan paling dia rindukan sekarang benarbenar nyata ada di depan mata. Bukan dalam format .jpeg. Juga bukan dalam bentuk pixel. Tidak melalui perantara layar laptop atau ponsel. Tapi Mikkel versi manusia betul-betul berdiri lurus di depannya. Lilian mengembuskan napas lega. Sejujurnya dia sempat merasa sedikit khawatir saat pesawat mulai meninggalkan Jakarta. Takut kalau Mikkel tidak menjemputnya di Copenhagen. Apa yang harus dia lakukan saat tiba di sini dan tidak bisa menemukan Mikkel?

Tapi Mikkel tidak mungkin melakukan hal itu kepadanya, Lilian percaya. Mikkel terlalu mencintainya untuk membiarkannya sengsara. Mikkel. Laki-laki yang selalu dicintainya. Tinggi, kukuh dan tampan—seperti yang diingat Lilian—dengan dark whased jeans dan black classic coat yang dibiarkan terbuka. Meski terdengar konyol, Lilian tetap mengakui bahwa hatinya menghangat melihat Mikkel menunggunya. Suhu udara delapan derajat Celsius saat ini—terima kasih Accuweather—bahkan tidak akan bisa membuatnya menggigil ketika melihat Mikkel tersenyum kepadanya.

“Mikkel!” Lilian berteriak sekuat-kuatnya.

Masa bodoh orang mengira mereka sedang syuting film atau apa. Realita ini ratusan kali lebih indah daripada belasan judul film yang pernah dia tonton dan puluhan judul novel yang sudah dia baca.

“Hi, Sweets.” Dua kata yang diucapkan Mikkel terdengar menyenangkan di telinga Lilian. Tidak menyakitkan seperti yang didengar Lilian di setiap sesi video call mereka. Di mana mereka hanya bisa bicara, tanpa berbuat apa-apa.

Dengan sekali loncat, Lilian mendarat di pelukan yang selama ini hanya bisa dia bayangkan. Tubuh Lilian sedikit terangkat saat Mikkel mendekapnya dengan sangat erat. Lilian menghirup wangi yang dia rindukan, mengisi penuh paru-parunya. Pipi kanannya menempel di dada Mikkel yang berbalut sweater berwarna biru gelap. Setelah kedinginan belasan jam di pesawat, sekarang terasa hangat sekali. Seluruh bagian tubuhnya hidup kembali. Bahkan sampai hatinya yang terdalam. Ini yang paling dia inginkan. Berada di sini. Di pelukan kekasihnya.

“I missed you.” Lilian menatap ke atas, tepat ke mata biru Mikkel.

“I’ve missed you too.” Tahu apa obat rindu terbaik di dunia ini? Bukan bertemu. Tetapi dibalas dirindukan.

Saat ini, lagu-lagu cinta di ponsel Lilian—yang didengarkan sepanjang perjalanan dari Munich ke Copenhagen tadi—terdengar basi sekali. Suara semua penyanyi tidak seindah suara tawa Mikkel yang baru saja didengarnya. Kalimat mereka tidak sarat makna seperti kata rindu sederhana yang baru saja meluncur dari bibir yang kini menciumi kepalanya.

Mikkel menatap dalam-dalam mata Lilian. “I demand a kiss.”

Lilian menutup bibirnya dengan telapak tangan kanannya. “Aku nggak gosok gigi selama di jalan, Mikkel. Aku nggak mau nyium kamu dengan bibir terbuka.” Memang Lilian sempat berkumur dengan mouthwash, tapi tetap saja dia tidak percaya diri untuk membiarkan Mikkel menjelajahi mulutnya.

“Kalau mau cium, di sini.” Lilian menunjuk bibirnya yang terkatup rapat.

“Kamu pikir kita masih remaja? Ciuman model begitu?”  Mikkel menggerutu tidak terima. “Aku sudah pernah menciummu pagi-pagi saat kamu bangun tidur. Dan aku tetap hidup.” Tidak mencium Lilian sama sekali yang akan membuatnya mati.

“Waktu itu, tujuh jam sebelumnya aku gosok gigi.” Yang dimaksud Mikkel adalah ciuman pada saat Mikkel datang ke rumah Lilian selepas subuh untuk memberi kejutan ulang tahun. “Ini aku nggak gosok gigi selama 24 ja….” Sebelum Lilian menyelesaikan kalimat, Mikkel sudah lebih dulu menempelkan bibir di sana.

Lilian sempat melotot sebentar, kaget karena Mikkel tidak memberi aba-aba. Tapi menit selanjutnya, dia sudah memejamkan mata dan ikut melepaskan kerinduan mereka. Tidak ada gunanya melawan, jadi lebih baik menikmati. Lilian bisa merasakan Mikkel tersenyum dalam ciumannya. Ciuman paling panjang dan paling dalam yang dia dapat selama satu tahun ini. Ciuman terbaik, kalau boleh dikategorikan. Mau tidak terbaik bagaimana, ini pertama kalinya mereka bertemu, setelah lebih dari tiga ratus hari.

Peduli setan orang mau bilang apa melihat mereka berciuman di tengah bandara padat begini. Mikkel sudah pernah menciumnya di Soekarno-Hatta. Di sini, di Eropa ini, orang lebih memaklumi—atau malah tidak peduli—dengan hal-hal semacam ini bukan? Otak Lilian berhenti bekerja lagi dan menikmati ciuman panjang ketiganya.

“See? I survived.” Mikkel tersenyum penuh kemenangan.

Ibu jari Mikkel menyapu bibir Lilian dengan lembut. Lalu kembali membungkam bibir Lilian yang sudah siap protes lagi. “I never get enough of you….”

Sulit dipercaya. Setelah belasan bulan bertarung dengan koneksi internet yang busuk, perbedaan waktu, urusan domestik— pekerjaan, keluarga, teman, dan masalah dalam negeri lain—serta masalah-masalah teknis atau non teknis lain, akhirnya mereka bisa bersama lagi. Mengulang ciuman untuk keempat kali. Airport kisses are the best.

Plus, rekor baru dalam sejarah perjalanan mereka. Berciuman di dua negara berbeda. Denmark dan Indonesia.

####

Selengkapnya silakan baca pada novel karya Ika Vihara, Midsommar.

Pembelian dengan bonus Midnatt, silakan menghubungi e-mail novel.vihara@gmail.com

 

My Bookshelf

MEMELUK OKTOBER

Oktober, setahun yang lalu

Aku rindu hujan. Meski aku benci hujan. Hujan dan kamu. Hujan pernah mengiringi salah satu kebersamaan kita. Ketika aku sudah bisa berdamai dengan waktu, malam mingguku tak lagi kugunakan untuk mengingatmu dengan air mataku, walaupun aku juga tidak bisa mengingatmu sambil mengulas senyum.

***

Saat itu, pertama kalinya dalam hidupku aku mau mengajak lelaki kencan di malam minggu. Aku? Tak habis pikir siapa kamu bisa membuatku berbuat begitu. Istimewa ya kamu?

Tidak tahu apa yang sedang kupikirkan saat aku mulai mengetikkan pesan singkat Sabtu malam itu.

Keluar yuk!

Bukan karena aku sedang bosan, atau aku tidak ada kerjaan. Saat itu aku malah sedang berada di ruang karaoke, bersama dua kawan. Kawanku tentu saja bisa dipakai untuk teman malam mingguan, tidak perlu mengajak kamu. Mungkin saat itu aku terbawa pengaruh lagu galau.

Setelah menekan tombol send, detik berikutnya aku harap-harap cemas. Cemas apa kau mau menerima atau menolak ajakanku. Aku? Cemas? Biasanya selama ini aku yang membuat para lelaki, yang berniat mendekatiku, mempunyai perasaan itu. Lihat, lagi-lagi, kamu istimewa bukan?

Dan aku seolah ingin bertepuk tangan ketika kamu menjawab.

Ke mana?

Sedetik kemudian aku sudah mengirimkan balasan paling memalukan

Malam mingguan.

Dunia pasti menertawakanku, aku bukan remaja lagi. Rasanya sudah basi kalau aku membutuhkan kegiatan malam mingguan, dan aku pula yang menawarkan kencan.

Boleh. Kapan dan ke mana, You decide.

Nah, cupid-cupid bodoh dalam hatiku pun ikut bersorak kegirangan mengetahui kamu mengiyakan ajakanku. Kukirimkan pesan lagi. aku perlu menanyakan ini.

So, get me here, as usual?

Langsung ada balasan lagi.

Aku kepingin naik Mio. Di kampusku ya, jam 6?

Oh! Bahkan aku mengiyakan saat kamu memintaku untuk menjemputmu, setengah jam dari sekarang, di kampusmu yang jauh letaknya dari tempatku berada saat ini.

Kalau kamu tahu, semenit kemudian aku sibuk mengalkulasi waktu yang kuperlukan. Aku hanya punya 30 menit sebelum pukul enam. Masih harus pulang dan berdandan. Dan masih harus membuat diriku repot dengan menjemputmu. Tapi tidak sia-sia, kan, aku berdandan habis-habisan dulu, sebelum menemuimu?

”Kamu keliahatan segar dan cantik.”

Pujianmu itu sudah membayar semua hal tolol yang kulakukan sejak aku mengirimimu pesan singkat itu. Aku berharap kamu tidak menganggapku agresif karena aku berani mengajakmu berkencan.

Acara pertama kita, makan dan duduk bersama. Kamu mendengarkan aku bercerita. Sembari menikmati makan malam di bawah langit kota Surabaya yang berhias bintang redup, bintang yang sepertinya sudah malas bercahaya.

“Aku nggak suka kubis.” Aku mendorong tanganmu yang berusaha menyelundupkan kubis ke piringku.

“Jangan pilih-pilih makanan!” katamu, memaksaku, sambil tetap memindahkan kubis-kubis itu.

“Hah! Sok sekali kamu itu ya, mengaturku begitu.” Aku cemberut dan menusuk kubis itu dengan garpu. Hal-hal sepele itu, menurutku manis, meski menyebalkan. Lalu kamu akan menanggapi protesku dengan mengusap lembut puncak kepalau.

“Kita makan hampir tiga jam di sana,” katamu sambil tertawa.

Memang aku lambat dalam urusan makan. Salahmu sendiri punya kecepatan makan 10 kali lipat ketimbang kecepatan makanku. Dan seingatku kamu pernah bilang, “Aku senang-senang aja nungguin kamu makan.” Jadi tidak ada masalah, kan, aku makan berlama-lama sambil bercerita?

Aku selalu mengisi waktu kita dengan bercerita. Seperti biasa pula, kamu mendengarkan dan mengingat semuanya. Semuanya! Ah, itulah kenapa aku mencintaimu. Sampai sekarang juga kamu pasti masih ingat semua apa yang selalu kuceritakan, kamu memang benar-benar istimewa.

“Sekarang kemana?” Pertanyaanmu membuatku memutar bola mata. Aku tidak sempat merencanakan akan pergi ke mana. Ke mana saja boleh bagiku, asalkan bersamamu.

“Madura!” Aku menjawab setengah berteriak. Biasanya aku menghabiskan malam minggu dengan nonton midnight, nongkrong di gerai es krim, atau apa saja yang dilakukan manusia normal di malam minggu. Bukannya mengajakmu pergi ke seberang pulau. Tetapi kamu menanggapinya dengan membelokkan Mio putihku menuju jembatan Suramadu.

Mungkin aku kampungan. Baru pertama kali itu aku pergi melewati Suramadu pada malam hari, di malam minggu dan dalam keadaan sedang berkencan. Dan kita menikmatinya pelan-pelan sambil sedikit membicarakan masa depan. Menyeberang jembatan, dan kedatangan kita disambut hujan.

Bersamamu di bawah gerimis terasa menyenangkan. Berteriak panik sekaligus kegirangan karena bisa bermain hujan. Lalu kamu menarikku untuk berteduh di warung tenda ketika hujan mulai membesar. Dan petir mulai menyambar.

Aku hampir saja tidak bisa menahan senyumku, karena kamu yang mengingat dengan baik bahwa aku tidak suka lumpur, berusaha menarikku berjalan melewati tanah yang masih kering. Tapi menit berikutnya aku cemberut karena kamu sibuk berbasa-basi dengan orang asing. Menanggapi pertanyaannya dan malah asyik bercerita dengan mereka mengenai macam-macam yang tidak penting.

“Dingin?” Setelah beberapa saat akhirnya kamu bertanya kepadaku.

Aku menggelengkan kepala. Padahal aku sangat kedinginan. Mungkin seperti ini yang disebut merajuk. Aku mamandang segelas kopimu. Pasti enak hujan-hujan begitu minum kopi. Sayang aku tidak bisa minum kopi. Kurasakan kmau merapatkan tubuhmu, mendekat ke tubuhku, dan melepaskan jaketmu.

“Pakai ini ya?”

Aku sedikit terkesima dengan sikapmu itu. Apa aku terlihat menggigil? Aku menggeleng, menolak menerima jaket itu.

“Lain kali kamu harus bawa jaket.” Kamu membantuku mengenakan jaket yang kebesaran itu.

Sudah sering kamu bilang agar aku membawa jaket kemana-mana, tapi aku tidak suka. Aku lebih suka jaket yang kamu pinjamkan kepadaku, baunya itu bau kamu. Aku suka.

Dan suka dengan banyak waktu yang kuhabiskan bersamamu malam itu. Aku suka menikmati hujan bersamamu. Aku mau menukar hangatnya selimutku dengan dinginnya udara tetapi aku bersamamu. Seperti ini.

Tiba-tiba aku berharap hujan tidak reda, agar waktu bisa kita nikmati berdua saja. Rasanya tak akan habis hal-hal yang bisa dibicarakan malam itu.

Tetapi waktu terus berlalu.

***

Tengah malam.

Hujan tak kunjung reda. Kamu merasa aku sudah lelah dan saatnya beristirahat di rumah. Sebenarnya aku sudah membayangkan hangatnya meringkuk di bawah selimut sedari tadi. Tapi bersamamu begini tidak kalah hangat. Malah jauh lebih hangat. Sampai ke dalam hati.

Lima belas menit kemudian aku dan kamu mendebatkan hal manis lagi, jas hujan merahku. Saat itu jam tanganku sudah menunjukkan dini hari, pukul satu.

“Kamu pakai ini ya?” Kamu meletakkan jas hujan merah itu di dekatku.

Kamu melepaskan kemeja dan memberikannya kepadaku juga. Aku melotot tidak percaya. Kamu sudah meminjamkan jaketmu, sekarang kemeja dan kamu hanya menggunakan kaos hitam yang sangat tipis itu.

“Kamu saja yang pakai. Aku di belakang dengan baju setebal ini? Aman saja.” Aku menunjukkan kemeja dan jaketnya yang sedang kupakai, meyakinkannya.

“Nanti kamu sakit.” Kamu bersikeras memberikan jas hujan merah itu kepadaku.

Aku menggelengkan kepala. Meskipun aku juga mempertanyakan kekuatan fisikku sendiri, tapi aku rasa kamu lebih membutuhkan jas hujan merah itu.

“Besok kamu tes kerja, aku nggak mau merasa bersalah karena kamu flu dan tidak bisa ikut.” Aku mendorong kembali jas hujan merah itu ke arahmu.

Kamu memandangku, dan memilih berhenti mendebatku. Ekspresi mati di wajahku selalu bisa membuatmu menurutiku.

Menembus hujan badai, aku menikmati hangatnya punggungmu. Aku memeluk pinggangmu. Rasanya aku rela menukar kehangatan selimutku dengan punggungmu selamanya.

Tiba-tiba aku berharap lagi, agar perjalanan ini tidak berakhir. Aku suka bersamamu, memelukmu. Aku tidak peduli kamu merasakan yang sama atau tidak.

Sepertinya Tuhan sedang memperhatikan kita, decitan rem yang kamu tarik mendadak membuatku menyesali doaku tadi. Hampir saja kita celaka.

“Maaf!” teriakm di antara deru hujan.

Aku memilih tidak menanggapi. Suara gemeletuk gigiku pasti akan membuatmu khawatir. Tanganku yang kebas karena dingin masih memegangmu erat-erat. Dalam hati aku terus merapal doa, semoga kita selamat, masih banyak hari-hari yang akan kita lalui bersama esok.

Akhirnya setelah bersama hujan di sepanjag perjalanan, kamu memandangku cemas, ketika berdiri di depan pagar rumahku. Aku basah kuyup, bibirku biru, dan suaraku yang bergetar melawan dingin yang menusuk hingga ke tulangku.

Just go, I’ll be fine.” Aku tersenyum dan meyakinkanmu.

Kamu tak beranjak juga. Aku juga tahu badanku tidak sedang baik-baik saja. Tapi semua bukan salahmu, aku yang menyarankan pergi ke seberang pulau. Siapa sangka hujan lebat menyertai kita.

“Kamu masuk dan ganti baju, ya.” Kamu tersenyum dan menyentuh lenganku.

Aku menurutimu. Lalu berhenti untuk mengintipmu dari balik pintu, hingga kau berlalu. Malam ini, aku tahu dengan pasti bahwa aku mencintaimu.

***

Oktober, hari ini

Aku seperti berjudi. Taruhannya waktu. Untuk memenangkan hatimu. Aku telah siap di sini, jika nanti semua sia-sia, dan aku hanya memenangkan sepi. Semua berawal dari malam minggu itu. Cerita tentang cinta, rindu, percaya, perpisahan, dan penantian. Tepat malam ini setahun yang lalu.

Seandainya tahun lalu tidak ada iseng-iseng mengobrol hampir setiap malam di setelah malam minggu itu, di sela-sela kesibukanmu mengerjakan tugas akhirmu, di antara perjuanganku melawan rasa kantukku. Hanya untuk sekadar melepas kangen yang menghimpitku.

Seandainya aku tidak iseng mengirimimu ucapan selamat atas kelulusanmu. Seandainya aku tidak mengiyakan ajakanmu untuk pergi berkencan, dengan alasan merayakan ini itu. Seandainya aku berhenti di malam minggu setahun lalu.

“Kamu cuek sekali kalau sama aku.” Aku masih ingat protes kerasmu beberapa bulan yang lalu.

“Masa?” Aku tersenyum simpul. Tentu aku berbuat begitu, untuk melihat apakah kamu akan memilih berhenti atau terus maju. Untuk mendapatkanku.

“Iya. Kalau sama teman-temanku kamu mengobrol ramai sekali,” jawabmu.

Bodoh. Tentu saja karena kamu berbeda, umpatku dalam hati.

Tidakkah kamu ingat aku selalu mengatakan bahwa kamu selalu membuatku kehilangan kemampuan berkata-kata.

Akhir-akhir ini aku tidak bisa banyak berkata-kata saat bersamamu. Karena aku terlalu sibuk mengurusi debar jantungku. Agar tak terdengar sampai ke telingamu.

Jika aku menghentikan komunikasi denganmu setahun yang lalu, tentu tak akan ada bulan Oktober yang sangat menyesakkan ini, menurutku.

Tapi aku menikmatinya. Menikmati setiap kebersamaan kita. Dan kamu mengaku juga iya. Walaupun kamu tidak pernah menyinggung mengenai cinta.

Masih jelas di kepalaku apa-apa yang kamu katakan. Masih jelas dalam ingatanku tempat-tempat yang sudah kita ukir menjadi kenangan.

“Am I a good girl?” Saat itu aku bertanya kepadamu, ketika aku sudah hampir lelah menunggumu menyadari perasaanku.

“Exactly you are. And for me, you are the best girl I’ve ever known. You’re one in million.

Jawaban yang keluar dari mulutmu jelas jawaban yang tidak kuduga. Tidak kuduga kamu akan mengatakan begitu. Kamu mengatakan dengan lembut sekaligus tegas. Bahkan aku yang biasa mendapatkan pujian dari lelaki, masih harus menundukkan kepala agar kamu tidak melihat rona merah di pipiku. Hanya karena kata-katamu.

Masih terasa bagaimaa rasanya kamu menggenggam tanganku saat pertama kali, masih kuingat pula pertama kali aku memeluk pinggangmu. Aku mengingat lebar punggungmu, mengingat wangi tubuhmu. Holding your hand means holding a whole world for me.

“Ada suatu tempat yang ingin kukunjungi,” katamu tiba-tiba, setelah aku tidak bisa menanggapi kata-kata paling manis darimu.

“Kota mana?” Aku mengernyitkan keningku.

“Bukan kota.” Jawabanmu membuatku bertambah tidak mengerti.

“Lalu?”

“Nggak tahu bisa ke sana atau tidak.”

“Ke mana sih?”

“Ada deh.”

Kamu berhasil membuatku mati penasaran.

“Nggak kasih tahu aku?”

“Nanti kalau aku sudah sampai di sana.”

Aku memilih diam dan mendoakan apa pun yang kamu harapkan, bisa kamu wujudkan. Tapi jika betul terjadi, maukah kamu mengajakku? Rasanya seperti kamu hendak meninggalkanku. Ke tempat yang ingin kamu kunjungi itu. Dan aku semakin merana karena tahu kamu memilih tidak membawaku.

Inilah yang akhirnya membuatku menyimpulkan kamu bukan jawaban yang dimaksud Tuhan. Cintaku hanya akan bertepuk sebelah tangan.

***

“Ingat tempat yang ingin kukunjungi?” tanyamu tiba-tiba.

“Luar negeri? Dalam negeri?” sahutku, sudah tidak terlalu tertarik dengan lagi.

Ke mana pun kamu pergi, kamu tetap tidak akan membawaku bersamamu, kan?

“Tebak dulu!” Kamu tidak mau langsung memberitahu, seperti biasa.

“Jakarta?”

Kamu menggelengkan kepala.

“Italia?”

Kamu menggelengkan kepala lagi. ”Tempatnya jauh lebih berharga.”

“Kamu bilang akan memberitahu kalau sudah mengunjunginya.”

Aku sudah sampai di sana,” jawabmu, terdengar puas dan bangga.

“Di mana?” Aku tak mengerti, seingatku kau tidak pergi ke mana-mana. Ah, ya, walaupun aku tidak selalu tahu, karena kamu tidak perlu selalu meminta izinku.

“Hatimu,” jawabmu singkat.

Hampir berhenti detak jantungku. Aku membisu. Kembali sibuk menenangkan debar jantungku. Dan menyembunyika senyum lebarku. Aku yakin kamu milikku. Tapi jawaban-jawabanmu yang di luar dugaan selalu bisa membuatku merasa tersanjung di saat-saat yang tidak kuduga.

“Dari dulu aku ingin masuk ke hatimu. Aku tidak menyangka aku bisa ada di situ. Jadi izinkan aku tetap di situ, ya?” Kau mengatakannya sambil metapaku dan menggenggam tanganku.

Aku benar-benar membiarkan air mataku jatuh, air mata yang menetes karena terharu. Kamu milikku. Benar-benar milikku.

Tidak ada lagi jarak yang menjauhkanmu dari detak jantungku, aku mengangguk dan berbisik dalam hati.

Sungguh, kamu bisa memegang kata-kataku.

***

Aku dilanda sesuatu yang, ah … seolah memabukkanku. Kamu. Hingga sekarang pun kamu masih seperti candu.

Sampai saat ini, satu tahun setelah hari itu, kamu boleh memegang kata-kataku. Tempat berharga itu masih milikmu. Walaupun kamu memilih pergi, meninggalkan hatiku dan membuang cintaku. Saat kamu kembali, kamu boleh menempati tempat paling berharga di hatiku.

Malam ini, sembil menatap bintang paling terang di langit, aku berbisik kepada angin dingin bulan Oktober, sambil memeluk diriku sendiri, “Kudengar kamu di sana sudah bahagia sekarang, memiliki semua apa yang diinginkan orang. Kamu jaga diri baik-baik disana ya! Semoga Tuhan menetapkan kebaikan di mana saja kamu berada.”

####

Catatan:

Cepen ini kutulis pada tahun 2010, enam tahun sebelum buku pertamaku, My Bittersweet Marriage, terbit. Dan cerpen ini pernah diterbitkan dalam bentuk antologi pada tahun 2011.

Baca juga:

The Dance of Love

My Books

NEW PROJECT

Soooo, aku punya utang janji kepada teman-teman semua untuk menerbitkan cerita Mikkel dan Savara. Insyaallah aku akan memenuhinya. Semoga bisa bersamaan, jadi bonusnya bisa digabung jadi satu, yang besar dan banyak sekalian 😀

Progres? Savara sudah kuserahkan pada editor–yang sama dengan editor Bellamia–untuk mendapat koreksi. Sedangkan Mikkel, rencananya wedding lit juga, masih kutulis sampai bab I. Semoga aku bisa menyelesaikan dengan cepat.

Karena eh karena, di sela-sela aku menyelesaikan dua utangku, aku ada poject kejutan. Akan ada buku baru. Buku apa? Seperti yang kutulis pada gambar di atas. Dari quote buku apa? Hahaha yep, Geek Play Love. Setelah self published dengan penjualan bagus, aku memutuskan untuk merelakan buku tersebut diterbitkan mass market. Akan ada di toko-toko buku di dekat kita.

Pada buku versi baru, secara jalan cerita tidak ada yang berubah. Dinar dan Jasmine kenal di mana kita sudah tahu. Apa pekerjaan Dinar, gimana sifat Dinar, dan manisnya Jasmine, semua sudah tahu. Konflik juga tidak berubah. Ending tidak berubah. Lalu ada bedanya dengan versi SP? Bedanya adalah penambajan 11.000 kata, atau lebih. Kira-kira 100 halaman, atau lebih. Di antaranya ada penambahan cerita di bagian Dinar sedang di Graz, Austria. Sebelumnya hanya sekilas kuceritakan, di versi baru aku perpanjang dan perluas. Juga bagian saat mereka berkunjung ke kampung halaman Dinar, semakin kuperdalam. Dan di beberapa tempat lain aku menambahkan bagian-bagian yang mendukung alur cerita.

Untuk teman-teman yang ingin lebih lama menikmati kisah Dinar dan Jasmine, silakan nanti beli buku versi baru. Untuk yang cukup dengan hanya tahu ceritanya, buku versi self-published sudah cukup. Aku belum tahu apa akan ada edisi khusus berbonus. Lihat peminat, mungkin kalau ada bonus, bakalan cerita si berat hehehe.

My Bookshelf

WRITING HANGOVER

Hangover. Aku nggak tahu dalam bahasa Indonesia dialihbahasakan menjadi kata apa. Di luar negeri, orang mengalami hangover setelah kebanyakan minum alkohol. Malam mereka mabuk, lalu tidur dan paginya pusing, lemes, bingung–ini yang disebut hangover. Katanya, kalau tidur–setelah mabuk–cukup lama, nggak akan kena hangover parah. Tapi meski kita nggak minum, kita juga bisa kena ‘hangover‘ di berbagai aspek kehidupan. Book hangover, kita baca buku yang bagus banget sampai beberapa hari kita cuma pengen membayang-bayangkan apa yang sudah kita baca, kita baca ulang, dan nggak ada niat buat melakukan hal lain. Diajak temen ke mall aja males, soalnya lebih pengen melamu. Cara menyembuhkannya sama seperti alcohol hangover, dibiarkan saja beberapa hari. Nanti setelah otak dan tubuh kita pulih, kita baca buku lagi. Kalau ketemu buku yang bagus.

Sekarang ini, aku mengalami hangover lain. WRITING HANGOVER. Kalau menyelesaikan naskah dan menerbitkannya adalah proses drinking–alias mabok, setelahnya aku hangover. Seperti sekarang, aku mengalami Bellamia hangover. Setelah berbulan-bulan bergulat dengan naskah dan buku Bellamia, susah sekali buatku untuk keluar dari karakter Gavin. Setiap nyoba nulis, yang keluar Gavin lagi Gavin lagi. Warna tulisanku juga mirip-mirip Bellamia. Tulisanku disorientasi, persis seperti orang hangover setelah mabok parah.

Kalau ada penulis yang ‘istirahat’ nulis lama, mungkin dia sedang hangover. Nggak tahu harus nulis apa setelah buku terbarunya terbit. Itu wajar dan lumrah. Tapi aku nggak mau hangover lama, sampai setahun atau lebih begitu. Dua tiga bulan cukuplah, kalau memungkinkan.

Sebagai penulis–kemarin sore–pasti kita ingin nulis sesuatu yang berbeda. Kalau nggak bisa berbeda daripada penulis lain, paling nggak berbeda dari buku kita sebelumnya. Jangankan pembaca, aku aja bosan nulisnya kalau seperti itu. Kalau sudah sukses dengan cerita model A, biasanya penulis bikin yang semodel, karena main aman:pembaca suka. Tulisan hangover. Kalau aku sebagai pembaca, ya aku cari buku lainlah. Ngapain baca cerita yang mirip. Tapi sekarang makin susah cari buku yang seger dan beda.

Anyway, balik lagi ke writing hangover. Yang pertama kulakukan adalah membaca buku. Kubeli buku lucu seperti Pants Are Everything, nggak ngangak juga. Masih mabok Gavin. Buku yang serius, seperti Without Their Permission–malah pingin mabok Dinar. Kuaduk-aduk terus segmen biografi. Sekalian riset buat karakter di naskah selanjutnya. Sekali terpuk dua lalat. Karena waktu yang tersedia buat nulis dan baca, nggak banyak. Dan aku nggak bisa menulis kalau nggak banyak membaca. Banyaakkk banget. Setelah baca dua buku penuh–sebulan, aku bisa lepas dari hangover dan bisa nulis lagi. Tanpa teringat Gavin seperti apa.

Setelah nggak begitu hangover lagi, aku nulis naskah ‘jembatan’. Perantara antara Bellamia dan buku selanjutnya–cerita tentang Savara dan cerita tentang Mikkel Moller. Setuju sama dua cerita itu? Jembatan yang kupilih adalah Midsommar, prequel Mikkel, cerita dia saat masih pacaran. Karena rencananya cerita ini bakal ada dalam marriage lit seperti My Bittersweeet Marriage dan When Love Is Not Enough. Midommar mungkin bakalan ada sedikit-sedikit bagian yang mirip sama Bellamia dan Gavin-nya. Tapi nggak papa, yang penting saat ngerjain buku yang sesungguhnya, Midnatt, aku sudah keluar dari pengaruh Bellamia dan Gavin. Savara sudah kuselesaikan sebelum Bellamia, tinggal perbaikan di sana-sini dan kurasa Bellamia nggak akan mempengaruhi.

Dan Midsommar bisa dibaca gratis, seperti halnya naskah ‘jembatan’-ku yang lain. Link ada di bawah.

P.S: Aku juga punya sebuah rencana, yang sampai sekarang masih belum kuketahui bakalan bikin temen-temen seneng atau … nggak. Tunggu saja kaabr dariku, semoga dalam waktu dekat.

 

Link buat baca gratis naskah ‘jembatan’-ku:

Midsommar karya Ika Vihara

The Danis Boss karya Ika Vihara

Link baca gratis terkait:

Bellamia karya Ika Vihara

Geek Play Love karya Ika Vihara

My Books

Freebie: Baca Cerita The Mollers Gratis Di sini

 

Siapa The Mollers? Keluarga rekaanku. Aku sudah menuliscerita mereka sebanyak tiga judul. Bukan buku bersambung. Tokoh utamanya ganti-ganti, cuma nama belakangnya Moller semua. Sampai hari ini masih ada cerita mereka yang bisa dibaca gratis melalui link di bawah ini:

Midsommar Chapter 1 sd 6
The Dance of Love Chapter 1, 2, dan 3

The Danish Boss Chapter 1 sd 20

Sedangkan buku-buku The Mollers yang sudah ada di toko buku adalah:

My Bittersweet Marriage

Afnan Moller. Half-Danish. Memutuskan untuk menjadi warga negara Denmark, mengikuti ayahnya, saat usia 18 tahun.  Mikrobiologis di Aarhus University Hospital. Sudah tinggal di Aarhus selama 12 tahun dan akan tinggal di sana sampai akhir hayat. Sebagai muslim, menemukan calon istri yang seiman di sana sulit sekali. Ditambah kesibukannya–pekerjaan, seminar, dan sebagainya–

Hessa. 27 tahun. Ibunya sudah ribut menyuruhnya menikah, sebelum dilangkah adiknya yang sudah dilamar. Masalahnya, bagaimana menemukan orang yang bisa membuatnya jatuh cinta? Saat sedang pusing memikirkan cinta, ibunya memberitahu bahwa ada laki-laki yang tertarik dengannya. Hessa memperlajari profil Afnan, dengan bantuan internet, dan, mau tidak mau, mengakui bahwa dia terpikat dengan sepasang mata biru seperti samudera tersebut. Masalah besarnya hanya satu. Afnan tidak tinggal di sini. Dia tinggal di Denmark dan tidak punya waktu untuk saling mengenal. Yang diinginkan Afnan adalah menikah dan membawa istrinya tinggal di Aarhus. Bagaimana rasanya meninggalkan semua hidupnya di sini, untuk hidup di sebuah tempat yang namanya saja tidak pernah dia dengar? Bagaimana rasanya meninggalkan keluarga, sahabat, dan pekerjaan, demi hidup bersama laki-laki yang baru ditemui tiga kali?

When Love is Not Enough

We will meet:

Lilja Moller. 28 tahun. Berdarah Denmark. Baru saja pindah ke Indonesia dan bekerja di perusahaan keluarga.Menikah dengan Linus, orang yang sudah dia kenal sejak lahir, dan tidak bisa lagi menghitung betapa besar dia mencintai Linus. Mencintainya sebagai teman, kakak, kekasih dan ayah dari almarhum anak perempuannya. Tetapi cinta saja tidak cukup menahan Lily untuk tetap menghidupkan pernikahan mereka. Sehingga Lily menyimpulkan pernikahan mereka tidak layak dipertahankan. Sambil menahan rasa sakit akibat patah hati, Lily bersumpah tidak akan lagi mempertaruhkan dirinya untuk disakiti lagi.

Linus Zainulin. Linus the Genius, kata Lily. 30 tahun. Merasa sudah memiliki kehidupan yang sempurna. Mendapatkan pekerjaan yang paling dia minati di salah satu perusahaan terbesar di dunia di Munich, Jerman. Hobinya, bermain sepak bola mendatangkan keuntungan finansial dan ketenaran. Menikah dengan gadis impiannya, sahabat terbaiknya, Lily Moller. Yang cantik dan cerdas. Seolah ingin membuktikan bahwa tidak pernah ada sesuatu yang sempurna, Linus menghancurkan pernikahan mereka dan Lily memilih untuk pergi. Meninggalkannya dalam tumpukan penyesalan. Bagaimana cara mendapatkan Lily kembali? Bagaimana cara memenangkan hatinya lagi? Bisakah pernikahan dibangun oleh satu orang saja?

 

My Bookshelf

WRITER’S BLOCK? GAYA-GAYAAN AJA

Judul tersebut adalah pendapatku. Menurutku yang suka nulis status di sosmed bahwa dia sedang mengalami writer’s block itu cuma sedang gaya aja. Biar kelihatan hebat? Ya malah enggak. Kalau hebat ya lancar nulisnya. Kalau ngeluh kena writer’s block mah ya….. MALES itu namanya. Gak perlu dikeren-kerenin.

Meski aku penulis newbie, yang baru nerbitin buku tahun 2016 bulan Maret, yha buku pertamaku adalah MY BITTERSWEET MARRIAGE(<<klik untuk tahu apa itu) terbit melalui Elex Media, tapi aku sering dapat  pertanyaan ini. Gimana cara mengatasi writer’s block. Jawabanku selalu ‘nggak tahu’. Karena belum pernah mengalami.

Apa aku pernah kesulitan ngerjain suatu project menulis? JAWABANNYA SERING. Aku sering bongkar-pasang naskah karena menemui jalan terjal untuk menyelesaikannya. Naskah Midsommar, cerita berikutnya soal The Mollers, kali ini Mikkel, sampai sebanyak ini filenya. Kukerjakan dari tahun lalu.

Tapi apa aku menyebut itu sebagai writer’s block? Nggak sama sekali. Itu cuma karena aku kurang ‘engage’ atau ‘kawin’ dengan jalan cerita, tokoh, dan hal-hal pelengkap. Biasanya setiap kali menyelesaikan satu outline, aku punya rasa penasaran dalam diriku, misal aduh gak sabar mau baca seperti apa konfliknya, seperti apa ending-nya. Karena pengen cepert baca, makanya aku cepet selesaikan nulisnya. Enaknya jadi aku, yang nulis, kalau aku kurang suka dengan konflik atau ending, aku bisa ganti. Kalau pembaca, ya silakan nikmati apa yang diberikan penulis heheheheh.

Percaya pada sesuatu bernama writer’s block itu sama saja percaya dengan kunang-kunang adalah kuku orang mati. Dulu waktu masih kecil, belum ngerti, aku ngeri sendiri tiap ditakut-takutin temanku ketika lihat kunang-kunang. Aku lahir dan besar di desa dan dulu banyak hewan mengesankan itu. Dan sekarang, aku nggak takut sama mitos begituan. Aku malah nunggu-nunggu kapan kunang-kunang datang. Sama aja dengan writer’s block. Ketika belum ngerti dulu ya kukira itu adalah kiamat bagi seorang penulis. Tapi setelah ngerti … it is just a myth. It doesn’t exist.

Tapi, Kak Ika, tetep aja saat nulis kadang aku merasa nggak bisa melanjutkan. Itu gimana, Kak? Analisa saja nggak bisanya karena apa. Karena kurang bahan untuk ditulis? Silakan riset lagi. Karena kurang menguasai ide sehingga gak yakin? Ganti, tulis apa yang dekat dengan kita, apa yang kita kuasai. Karena kamu kurang cinta dengan jalan ceritanya? Revisi. Karena kamu kurang bisa menjiwai tokoh-tokoh dalam ceritamu? Hidupkan mereka dalam kepalamu setiap saat, misal ketika makan bakso bayangkan kalau Mikkel dan Lil yang duduk di sini, mereka bakal ngapain aja dan ngobrolin apa.

Bukan itu semua? Itu bisa jadi karena jenuh. Lho kalau cinta sama menulis, kalau memang nulis itu passion kita, mana mungkin kita bosan? Megabintang sepakbola kayak Cristiano Ronaldo itu nggak latihan skill dan fisik terus. Dia juga punya hobi lain. Pergi liburan juga. Karena memang kita perlu penyegaran. Rehat. Jadi, meski bukan liburan ke Bahama seperti Ronaldo, kita bisa juga melakukannya dengan biaya yang lebih murah.

Baca Buku

Ini cara paling efektif untuk mengatasi mitos tersebut. Manfaatnya banyak. Pertama, menghibur. Kedua, menyegarkan otak. Ketiga, menginspirasi. Keempat, merangsang kita untuk berpikir. Kelima, kalau pilih buku yang tepat bisa sekalian riset pustaka. Dan banyak lagi. Tapi kalau mau dapat semua manfaat itu sekaligus: pilih buku yang bagus. Buku yang bagus itu buku yang kalau kita baca, kita pengen nulis. Sebagus buku yang sedang kita baca.

Piknik

Royalti belum turun, nggak bisa ke Bali. Ya piknik aja di ruang terbuka hijau di dekat rumah. Kalau saranku, pikniknya di luar ruangan. Yang kena udara bebas. Nggak usah bawa gadget. Bawa buku boleh. Karena dalam buku The Courage To Be Creative yang kubaca, di situ disebutkan

Your insights my come through other connections with nature.

Modern research corroborates the link between natural surroundings and creativity. One study found that ‘interacting with nature has real, measurable benefits to creative problem solving’ increasing performance by a full 50 percent.

Udara segar dan pemandangan yang bagus itu membuat stres berkurang. Apalagi kalau dinikmati sambil jalan kaki. Merenung yang paling baik itu sambil melangkah, atau berjalan. Makanya penemu seperti Tesla, panutan Gavin di Bellamia, setiap hari berjalan 10 km karena memang pada saat itu bisa berpikir lebih baik.

Lalu masih dari buku yang sama, dengan jalan-jalan menikmati alam, kita akan daat kejutan tak terduga dari … alam–sumber inspirasi terbesar kita. Mungkin kita akan dapat sudut pandang baru. Atau inspirasi bahkan.

You may find a particular place or object that inspires you. It might be an old oak tree that seems to carry ancient wisdom, ora a boulder that affords you a beautiful view when you sit on it. Your muse in nature will select you….

StarSpiration

Alias duduk di bawah langit malam. Malam-malam yang dihabiskan dengan memandang langit, katanya, lebih bermakna daripada malam-malam yang dihabiskan dengan menonton televisi. Kalau kita menatap langit, yang luas, maka mau gak mau otak kita bakalan berpikir. Kenapa orang-orang zaman dahulu bisa menemukan petunjuk arah menggunakan langit? Ya karena malam-malamnya dihabiskan di luar ruangan. Bukan duduk nonton TV dan main HP. Mitologi mengenai konstalasi bintang yang indah juga dihasilkan oleh orang yang mengamati langit bukan layar TV. Misalnya tentang konstalasi Andromeda, yang digambarkan sebagai anak dari Cassiopeia, yang dikorbankan oleh ibunya sendiri untuk monster laut Cetus, lalu diselamatkan oleh Perseus. Mau bikin cerita hebat seperti itu?

Stargazing is a therapy, kata B.J Miller, pllative care di University of California, dalam wawancara di buku Tools of Titans. Memandang langit bisa bikin jiwa dan pikiran menjadi lapang. Coba kalau tak percaya.

Hobi Lain

Pisang itu bagus untuk kesehatan. Tapi apa setiap hari kita makan pisang? Makan apel juga sesekali. Menulis itu memang banyak manfaatnya. Tapi apa harus setiap hari menulis? Bisa diselingi dengan hobi lain. Hobi itu, kata kartun Upin dan Ipin, dilakukan di waktu luang dan bermanfaat. Nggak akan ada ruginya dijalani. Aku suka menjahit. Dan nanti bisa saja aku bikin tokoh novel yang punya hobi sama. Aku gak perlu riset, karena sudah menjalani sendiri.

Masih percaya bahwa kita bisa terjangkit writer’s block?


Semua foto adalah dokumentasi pribadiku.

Give Away, My Books, My Bookshelf

Review Buku – Bellamia by Ika Vihara

Review ini aku copy dari web salah satu pembaca, Tari. Terima kasih untuk reviewnya 🙂

Bellamia

Oh wow! Kalian semua harus baca novel ini. Ini novel pertama Ika Vihara yang kubaca dan aku bakalan menjamin kalau novel ini manis banget. Manis yang berbeda dari novel romance lain. Manis yang realistis. Sejak kalimat pembuka aku sudah disuguhi kalimat-kalimat yang berbobot. Dari halaman pertama sampai habis bikin bahagia, bikin tersipu, bikin marah, bikin kesel, bikin ketawa dan bikin iri! Iri banget aku sama Amia.

“Aku tahu kamu bisa melakukan apa aja sendiri, Amia. Apa tidak bisa kamu pura-pura tidak bisa? Biar aku ada gunanya.”

Amia tertawa, Gavin terdengar putus asa.

“Tolong antar aku pulang.” Amia memutuskan.

Aku suka banget sama buku ini dan nggak ragu buat bilang Ika adalah salah satu penulis favoritku sekarang. Ika memilih tokoh engineerpower engineer, yang setiap hari bikinin kita listrik dan pekerjaan tersebut jadi terdengar keren dan mulia. Aku nggak akan marah lagi kalau listrik mati, karena ingat Gavin lembur kalau itu terjadi.

Teknik menulis Ika sudah jempol. Kalimat-kalimatnya mengalir, interaksi antartokoh pas, ya seperti kita bercakap sehari-hari sama teman, pacar, orangtua. Semua serba realistis. Sampai aku percaya Gavinku ada di sekitarku dan Amia adalah sainganku. Plus, banyak pengetahuan yang kudapat dari sini. Aku jadi tahu kalau Einstein pernah punya kesimpulan soal jatuh cinta.

Aku sedang iseng Google rekomenasi buku dan sampai pada blog pribadi penulis. Dan aku yakin aku mau baca buku ini setelah baca blurb-nya:

Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun teman SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin—dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan—mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat.

Merahasiakan hubungan dari semua orang.

Dari situ saja aku sudah dijanjikan sesuatu yang berbeda: simulasi terorisme! Di kantorku juga ada seperti itu tapi kenapa nggak ada ‘Gavin’ yang mendatangiku.

“Bapak ngapain di sini?”

Jus kemasan tetrapak menempel di pipi Amia.

“Menjenguk pegawai yang cedera karena simulasi.” Gavin meletakkan jus jeruk itu di pangkuan Amia dan dia sendiri duduk di kursi besi panjang di sebelah kanan Amia.

“Kenapa Bapak repot-repot?” Amia tidak pernah mendengar cerita ada top management menjenguk staf seperti dirinya.

“Karena aku bertanggung jawab terhadap keselamatan semua pegawai?”

Ini memang cerita tentang interoffice romance, alias cinta lokasi di kantor. Ini memang cerita tentang atasan dan bawahan. Di saat aku bosan dengan model cerita Cinderella, (bawahan dengan CEO, red), Ika membuat cerita ini berbeda. Seperti yang kubilang, Gavin adalah power engineer, yang cerdas, berkharisma, tampan, dan percaya diri. Kecintaan Gavin pada engineering, listrik, dan kemaslahatan umat betul-betul disampaikan dengan baik sampai aku berpikir, ini yang engineer penulisnya atau Gavin? Amia berasal dari keluarga berada, berpendidikan, puas dengan hidupnya yang sekarang dan tidak menginginkan apa-apa lagi. Kecuali cinta. Dan Amia ini keras kepala banget nggak mau mencari cinta di kantor.

Cerita yang lengkap sekali. Meski Amia dan Gavin menghadapi masalah, bukan cuma mereka yang bertambah dewasa, tapi aku, dan mungkin pembaca yang lain juga. Betul-betul cerita ini layak untuk dibaca dan sampai dengan bulan Oktober ini, ini adalah buku romance terbaik yang pernah kubaca.

Jadi … kembali ke interoffice romance, hari pertama Amia bertemu dengan Gavin, atasannya yang paling atas, Amia tidak menyangkal kalau dia terpersona pada Gavin. Well, Mia, siapa yang nggak? Dan Gavin pada pertemuan mereka yang pertama juga, dengan cerdik langsung memanfaatkan posisinya lebih tinggi dari Amia, untuk mendekatinya. Jempol.

“Apa kamu tahu alamat ini?” Gavin menunjukkan kertas putih itu kepada Amia.

“Tahu, Pak.” Sejak lahir dia tinggal di sini, tentu saja tahu.

“Antar saya ke sana.” Gavin berdiri. Memang ada GPS. Pengisi suaranya juga wanita. Tapi kalau tersedia GPS alami—penduduk lokal—yang menarik dan cantik seperti ini, semua laki-laki akan melupakan software navigasi tersebut. Gavin tersenyum dalam hati. Memuji dirinya atas keputusan cerdas yang baru dibuatnya.

Amia sadar kalau Gavin tertarik padanya dan Amia berusaha untuk menghindar dari potensi drama yang mungkin terjadi kalau teman-temannya tahu atasan/idola mereka tertarik pada Amia. Bahkan Amia menolak berteman dengan Gavin.

“Saya bisa dipecat kalau manggil bos pakai nama langsung.” Sampai hari ini Amia masih tahu adat dan tidak akan memanggil atasannya seperti yang diinginkan Gavin.

“Ini, kan, di luar kantor, Amia.”

“Karena di luar kantor, saya nggak wajib menuruti perintah Bapak.” Amia berargumen.

“Kenapa?”

“Karena Bapak atasan saya di kantor. Bukan di luar,” jawabnya putus asa.

“You got it? Kita bukan atasan dan bawahan sekarang. Karena tidak di kantor, seperti yang kamu bilang sendiri. Teman?” Gavin puas dengan kemenangannya.

Shit. Amia mengeluh dalam hati.

Tapi Gavin pantang menyerah. Dia tetap berusaha menginginkan kesempatan dari Amia, meski jawaban yang didapat dari Amia tetap ‘tidak.’

“Jadi apa akan ada second date?”

Amia batal melangkah saat mendengar pertanyaan Gavin.

“Nggak. Dan tadi bukan date.” Demi apa pun di dunia ini, kenapa kegiatan makan es krim disebut kencan oleh laki-laki ini?

“I deserve a date, Amia.” Dalam bulan ini, kalau tidak bisa berkencan dengannya, sebaiknya dia mati saja.

Menarik sekali melihat bagaimana Gavin berusaha mengubah pemikiran Amia mengenai office romance. Karena Gavin menghabiskan banyak waktu di kantor, gimana mungkin dia akan ketemu jodoh di luar sana? Sedangkan Amia, berusaha untuk memegang prinsip hidupnya bahwa menjalin hubungan dengan teman sekantor adalah bencana.

Ah, jangan pikir ini akan sama dengan cerita romance lain. Tidak ada orang ketiga yang mengganggu mereka. Yang membuat menarik, penulis bisa bikin konflik yang hanya melibatkan dua tokoh ini. Perasaanku teraduk-aduk selama mereka berkonflik. KESAL, MARAH, MENDUKUNG AMIA, TAPI JUGA INGIN PUK-PUK GAVIN. Semua konflik itu malah membuat kedua tokoh utama menjadi semakin matang dan dewasa. Pembaca juga ikut kecipratan menjadi bijak.

Aku suka semua bagian dari buku ini. Cara berpikir Amia dan Gavin, cara mereka instropeksi diri, cara mereka menyampaikan perasaan, cara bertengkar bahkan. Bagaimana perjuangan mereka untuk menemukan kebahagiaan. Aku lega banget setiap kali Amia atau Gavin berhasil melewati satu ujian hidup.

Orang rajin mengganti oli mesin setiap tiga ribu kilometer. Servis seribu kilometer atau sepuluh kilometer. Jadi kenapa tidak menerapkan aturan ini pada kekasih mereka? Seorang kekasih perlu untuk dihubungi dan dikabari secara berkala. Sehari sekali. Dua hari sekali. Bertemu seminggu sekali—minmal. Diberi perhatian dan disayang. Supaya hubungan mereka tidak macet di tengah jalan.

Aku selalu suka cerita yang membuatku percaya bahwa semua orang di dunia ini bisa mendapatkan kisah cinta yang indah. Bellamia ini salah satunya. Membumi. Apa yang terjadi pada Amia bisa terjadi padaku, pada kita. Gavin bisa ditemui di sekitar kita. Kalau tidak jadi engineer, mungkin Gavinku dokter. Juga buku ini menenangkan hatiku dari galauku yang sedang menunggu datangnya kekasih hati.

“Akan ada balasan kebahagian untukmu, Mia. Walaupun nanti bukan dengan Riyad, akan ada cinta lain untukmu. Akan ada orang yang mencintaimu sebesar rasa cintamu padanya. Yang dengan yakin akan memilihmu di antara banyak wanita di dunia.”

5 bintang dariku!

Oh ya, ada excerpt dari Bellamia yang bisa dibaca di blog pribadi Ika. Bisa dibaca dan siapa tau jatuh cinta kayak aku.

Juga sedang ada give away. Hadiahnya novel Bellamia bertanda tangan penulisnya.

Ada review yang kebanyakan bintang 5 di Goodreads.

Follow fanpage penulisnya dan ada cerita gratis yang dibagikan setiap minggu!

My Books

Bellamia: The Excerpt

 


Are you in mood to test Bellamia? Here the excerpt special for you.

Mau bagaimana lagi. Terpaksa Amia membawa kakinya ke depan pintu. Wow! Ini akan jadi kali pertama Amia masuk ke ruangan power plant manager. Sebelumnya belum pernah sama sekali. Tidak pernah ada urusan dengan mereka. Ragu-ragu Amia mengetuk pintu. Tidak ada sahutan. Setelah tiga kali mengetuk dan memikirkan risiko buku-buku jarinya patah, Amia memutuskan untuk mendorong pintu lalu melongokkan kepala. Tatapannya terpaku pada meja besar di ruangan itu. Kosong. Tidak tampak keberadaan manusia.

Repot sekali mencari orang bernama Gavin ini, Amia sedikit jengkel. Erik juga memberi informasi tidak jelas sama sekali. Apa tidak bisa sekalian pakai tagging koordinat di mana persisnya posisi Gavin? Sudah berapa puluh menit waktunya terbuang sia-sia?

“Ya?” Sebuah suara membuat Amia melompat dan menjatuhkan amplopnya.

A deep baritone. Mata Amia bergerak mencari sumber suara.

“Astaga!” Amia mengelus dada dan menengok ke kiri. Orang yang dia curigai bernama Gavin itu sedang santai membaca koran di sofa.

Sebuah wajah muncul dari balik koran. My God! Baru kali ini dia bertemu laki-laki dan sukses membuatnya lupa bagaimana cara bernapas. Apa patung buatan Michelangelo benar-benar bisa hidup dan berjalan? Bagian bibir dan dagu seperti dipindahkan langsung dari wajah David. Rambut hitam legamnya sangat rapi, seperti dua menit lagi dia akan dipanggil masuk ke studio untuk membacakan berita. Matanya yang tersembunyi di dalam tulang dahi dan tulang pipi yang tinggi, menyorot tajam ke arah Amia.

“Masuk.” Lagi-lagi, suaranya membuat Amia tergeragap.

Setelah mengambil amplop cokelatnya di lantai, Amia melangkah masuk.

“Pak Gavin?” Amia memastikan. Sambil memperhatikan. Celana abu-abu dan kemeja hitam lengan panjang. Suram, Amia menghakimi dalam hati. Tapi seksi, dengan berat hati Amia menambahkan. Menurut perkiraan Amia, laki-laki itu mungkin seumuran dengan Adrien, kakaknya.

“Ini dari Pak Erik.” Amia tidak bisa menjelaskan isinya karena tadi lupa bertanya pada Erik. Gara-gara buru-buru ingin tebar pesona di lantai produksi.

“Apa ini?” Seperti yang sudah diduga Amia, Gavin pasti bertanya. Full of authority. Suaranya menuntut untuk diperhatikan. Seandainya sekarang mereka sedang berada di sebuah auditorium yang penuh sesak, Amia yakin ruangan tersebut akan senyap dan semua orang pasti mendengarkan dengan tenang apa saja yang dikatakan Gavin.

“Saya tidak tahu, Pak.”

“Bapak buka saja.” Amia menyarankan dan berusaha untuk tersenyum. Senyum yang sering membuat laki-laki menjadi terlalu ramah padanya, semoga berfungsi juga pada Gavin.

Isinya kunci mobil, kunci rumah, kartu akses, plus selembar kertas. Kenapa Erik menyuruh mengurus hal-hal seperti ini? Amia mengeluh dalam hati.

“Apa kamu tahu alamat ini?” Gavin menunjukkan kertas putih itu kepada Amia.

“Tahu, Pak.” Sejak lahir dia tinggal di sini, tentu saja tahu.

“Antar saya ke sana.” Gavin berdiri. Memang ada GPS. Pengisi suaranya juga wanita. Tapi kalau tersedia GPS alami—penduduk lokal—yang menarik dan cantik seperti ini, semua laki-laki akan melupakan software navigasi tersebut. Gavin tersenyum dalam hati. Memuji dirinya atas keputusan cerdas yang baru dibuatnya.

Otomatis Amia memanfaatkan kesempatan ini untuk memperhatikan postur tubuh Gavin. Mungkin laki-laki itu benar-benar David versi manusia. Bahu dan dadanya lebar. Perutnya tidak menyembul sama sekali. Lengannya padat. Kakinya panjang. Kulitnya cokelat. Tidak putih seperti Riyad, yang malas kena sinar matahari.

“Sekarang, Pak?” Dalam kepalanya, Amia memperkirakan selisih tinggi badan dengan atasan barunya. Sepatu sepuluh sentinya seperti tidak banyak membantu untuk membuat tinggi badannya—yang hanya 161 cm—naik secara signifikan.

“Iya. Kamu keberatan?” Nada bicaranya seperti mengancam, kamu berani menolak?

“Iya.” Amia menjawab dengan jujur. “Ini bukan jobdesc saya, kebetulan orang yang seharusnya mengurus ini sedang tidak masuk jadi supervisor saya minta tolong.”

“Ya, supervisormu sudah menyuruhmu ke sini, sekalian saja. Namamu siapa?”

“Amia.”

“Tunggu di sini.” Gavin berjalan ke mejanya.

Siapa yang kuasa menolak? Meskipun berusaha tidak terbawa pesonanya, laki-laki itu tetap atasannya. Amia kembali menjatuhkan pantat di sofa.

“Pak Peter.”

Dengan horor Amia menoleh ke arah Gavin yang sedang bicara di telepon. Dia menelepon kepala departemen Amia.

“Saya ingin minta bantuan dari salah satu pegawai Bapak. Namanya Amia.”

Sial betul orang yang namanya Gavin ini, Amia mengerang dalam hati.

“Sudah diizinkan.” Gavin berjalan keluar mendahului Amia. Mau tidak mau, Amia mengekor di belakangnya.

“Kalau ada telepon, tolong bilang saya keluar, ya.” Gavin berpesan kepada Melina yang sudah duduk lagi di kursinya. Yang diiyakan sambil tersenyum lebar oleh Melina.

“Turun dulu, Kak.” Amia pamit kepada Melina.

“Sering-sering ke sini, Am.” Melina menjawab, masih dengan ceria.

Tentu saja semua orang di lantai ini—para sekretaris kepala departemen—akan selalu ceria. Termasuk yang sudah punya anak dua seperti Melina. Ada atasan baru yang masih muda tetapi dewasa, berkharisma namun—Amia benci mengatakan ini—seksi. Mungkin kantor pusat salah merekrut orang. Mestinya Gavin difoto untuk cover majalah, bukan disuruh mengurus listrik.

“Kenapa ke lantai tiga?” Gavin menegur Amia yang memencet angka tiga di lift.

“Saya mau ambil tas saya, Pak.” Dompet dan ponsel Amia semua di sana.

“Itu buang-buang waktu dan kamu tidak akan memerlukan itu.”

“Bapak ini minta tolong kok ngatur.” Amia memberanikan diri untuk protes. Siang ini dia sudah berbaik hati menunda setumpuk pekerjaan untuk menemani Gavin menengok rumah baru dan dia tidak diperbolehkan membawa peralatan perang?

Setidaknya dia perlu membawa ponsel, siapa tahu ada apa-apa di jalan dan dia harus menghubungi seseorang. Atau untuk bergosip dengan Vara agar dia tidak bosan selama bersama atasannya. Amia kesulitan mengikuti langkah panjang Gavin. Sepatu dan rok pensilnya tidak mendukung untuk berjalan dengan cepat.

P.S:

Bellamia bisa didapatkan di toko buku terdekat.

Give Away, My Books

MY LATEST BOOK IS GOING LIVE: GIVE AWAY!

For the next 4 week, I am hosting special give away along with fellow bloggers. You’ll get a chance to win one of 4 copies of my latest book, Bellamia, signed by me. Don’t forget to make a stop and enter to win.

BLURB:

Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun teman SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin—dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan—mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat.

Merahasiakan hubungan dari semua orang.

Guess What? I’m revealing the first chapter of Bellamia and Daisy. Are you in the mood to taste it?

BELLAMIA

DAISY

P.S:

Novel Daisy itu gratis ya, jika membeli novel Bellamia melalui penulis/diriku. Caranya cukup nulis komentar aja. Di toko buku tanpa novel Daisy, dengan harga yang kira-kira sama.

My Books

5 Bellamia’s Fun Fact

  1. Nikola Tesla. Salah satu orang yang tulisannya–buku dan wawancaranya–kubaca sebelum membuat tokoh Gavin. Nggak semua orang kenal sama Tesla, kan? Kalau bicara listrik, pasti yang terlintas nama Thomas Alva Edison. Memang Tesla yang nggak banyak menerima penghargaan atas temuannya, karena hasil-hasil penelitiannya dicuri. Orang ini menarik, cerdas, teguh pada tujuannya untuk menciptakan sesuatu yang memudahkan hidup orang banyak dan  tidak menikah. Tapi aku nggak ingin Gavin jomblo seumur hidup.

    Memang benda temuan Tesla memberi penghidupan kepada Gavin, sebab dengan meneruskan apa yang sudah ditemukan engineer Kroasia-Amerika itu, gajinya menjadi besar. Hanya saja dia tidak akan mengikuti jejaknya untuk single seumur hidup.

  2. Versi pertama naskah Bellamia macet di tengah jalan. Aku hanya bisa menulis sampai bab ketiga dan nggak tahu gimana harus melanjutkannya. Premisnya sama, interoffice romance. Dengan Gavin sebagai world’s best engineer dan Amia adalah seseorang yang mengetuk pintu ruangannya. Akhirnya aku memutuskan untuk menghapus keseluruhan cerita yang sudah kutulis sepanjang 30 halaman. Aku menulis ulang di halaman kosong, sejak kalimat pertama.

    Gavin mengangguk dan menggeret kopernya begitu saja, tanpa merasa perlu mengucapkan terima kasih.

    “Sepertinyak Bapak lupa sesuatu.” Amia mengingatkan.

    “Apa?” Gavin memeriksa kamar hotelnya kalau ada barangnya yang tertinggal.

    “Terima kasih,” jawab Amia, menyindir Gavin yang tidak mengucapkan apa-apa.

    “Anytime.” Gavin menjawab dengan santai.

    Amia mengerutkan keningnya, orang ini bagaimana sih, disuruh mengucapkan terima kasih kok malah membalas ucapan terima kasih.

    “Maksud saya, Bapak lupa berterima kasih sama saya.” Harus sabar menghadapi Gavin in

    Di atas adalah salah satu bagian yang terhapus dari naskah awal Bellamia. Karena nggak pantes aja Amia ngikutin orang nggak dikenal ngambil koper di hotel, hahaha.

  3. Pada bagian surat Amia, ada bencana besar yang bikin aku nangis sesiangan di hari Minggu. Aku sudah menulis surat tersebut, di dokumen lain. Ketika kucari dan mau kugabungkan dengan keseluruhan naskah, aku nggak menemukan ‘surat’ tersebut. Aku perlu waktu untuk menyesali perbuatan bodohku itu, sebelum mengingat apa yang udah kutulis. Tapi nggak ingat juga, akhirnya aku bikin ‘surat’ baru. Dan kalimat favoritku dalam surat itu?

    Saat kamu menciumku untuk pertama kali, aku memperingatkan diriku untuk tidak terlibat masalah denganmu. Masalah yang sekarang kutahu apa namanya. Cinta.

  4. Bagian favoritku pada novel Bellamia adalah saat Gavin mendatangi Amia di rumah sakit dan memaksa untuk mengantarnya pulang. Awww … siapa yang nggak mau pada hari terburuknya, didatangi oleh laki-laki tampan dan perhatian seperti itu? Gyaaah … aku ingin pas operasi lutut dulu ada Gavin yang … memberi kejutan padaku.

    “HP ketinggalan di kantor jadi … hoi … hoi … apa nih?” Amia panik saat Gavin tiba-tiba mendorong kursi rodanya.

    “I’ll drive you home.”

    “No, thanks. Tolong, Pak! Saya nunggu Vara, kasihan nanti dia kecele kalau datang ke sini.” Akan lebih aman kalau dia pulang bersama sahabatnya daripada dengan atasannya.

  5. Makanan-makanan yang kusebutkan di dalam novel Bellamia adalah makanan favoritku–dan semua orang 😀 Oreo, yang dimakan Amia bareng Savara, lollipop yang diberikan Gavin untuk obat patah hatinya Amia, dan lainnya bisa ditemukan sendiri. Siapa yang nggak suka makan Oreo? Kalorinya besar sekali, untung Amia nggak takut gemuk.

    “Kamu pikir bagian apa yang paling enak dari ayam? Aku lebih suka makan kulitnya daripada ayamnya. Jadi kalau kamu nggak ingin aku membencimu seumur hidup, jangan sentuh kulit ayam di piringku.” Amia memperingatkan. “Ini peringatan terakhir.”

    BONUS:

  6. Ada bagian naskah Bellamia yang ditandai secara khusus oleh editor Bellamia, Mbak Niratisaya, karena beliau suka dengan attitude Amia dan Gavin pada bagian tersebut. Aku juga setuju dengan beliau. Bagian yang mana ya kira-kira?

    Aku tertarik sama kamu. Kalau kamu kerja sama, tidak akan melelahkan seperti ini.” Sebaiknya Amia tahu apa yang sesungguhnya dirasakan Gavin.

    “Tapi aku nggak suka sama kamu,” tukasnya.

    “Tidak masalah. Lama-lama kamu juga suka. It’s just a matter of time.” Tidak perlu buru-buru. Gavin punya banyak waktu.

    Menyebalkan sekali kan Gavin ini? Kalau quote Amia yang ditandai keren oleh editor adalah ini:

    Hidup ini bukan geladi bersih. Ini pertunjukan sesungguhnya. Jadi orang harus selalu menampilkan yang terbaik.

     

    Jadi, bagian mana dari novel Bellamia yang teman-teman sukai?