My Bookshelf

Yth. Orangtua

Aku masih ingat apa yang dikatakan Rektor UGM saat mengukuhkan wisudawan dua tahun yang lalu. Pada waktu itu, Profesor Dwikorita Karnawati—sekarang kepala BMKG—menyampaikan kepada orangtua wisudawan yang hadir—kalau mereka menyimak—bahwa tantangan menjadi orangtua zaman sekarang adalah menambah wawasan dan memahami bahwa ada banyak, dan semakin banyak, pilihan profesi baru yang tidak ada ada pada zaman mereka muda dulu. Orangtua harus mau menerima bahwa anak-anak mereka tahu lebih banyak daripada mereka. Mudah saja bagi anak-anak untuk terinspirasi dengan orang-orang hebat di luar sana—terima kasih kepada internet—dan ingin mengikuti jejak mereka.

Zaman sekarang, setelah lulus kuliah, pilihan pekerjaan anak muda tidak lagi terbatas pada pegawai negeri sipil, pegawai BUMN, atau karyawan swasta. Meski seorang anak lulus dari jurusan akuntansi, jika dia ingin menjadi seorang toy photographer, tidak ada masalah. Ada banyak media tersedia untuk memajang dan memasarkan karyanya. Inti dari menuntut ilmu tinggi-tinggi bukan semata perkara ijazah. Tetapi, di antaranya, adalah mengubah cara bepikir dan membangun jaringan. Masalahnya, apakah semua orangtua akan baik-baik saja dengan pilihan karier anaknya? Apakah semua orangtua bisa menerima anaknya tidak mendapatkan gaji tetap pada ujung bulan? Banggakah orang tua menyebut bahwa anaknya bekerja dari rumah, self-employed, bukannya berangkat ke kantor setiap pagi dan pulang saat senja? Bahagiakah orangtua ketika anaknya tidak menjadi bawahan siapa-siapa, melainkan cita-citanya?

Tidak ada orangtua yang kutanyai terkait masalah ini. Aku hanya meneliti sekitarku. Orang-orang di dalam lingkaran keluargaku. Berdasarkan pengamatanku, jawaban dari semua pertanyaan di atas adalah tidak. Jangankan mengenai karier, yang memutuskan kuliah di mana saja orangtuanya. Bagaimana sejak masuk SMA seorang anak sudah dicekoki doktrin bahwa selepas lulus nanti harus masuk sekolah kedinasan, supaya jadi pegawai negeri dan tidak pusing lagi mencari penghidupan. Sekolah sebentar saja sudah dijamin dapat gaji hingga uang pensiun. Boleh saja seorang anak bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil atau polisi, asalkan memang itu yang dia inginkan. Misalnya karena dia ingin mengabdi kepada negara. Bukan karena orangtua yang tidak ingin repot berlama-lama mendukung anaknya mengejar passion-nya.

Ada artikel di letgrow.org yang menuliskan hasil  sebuah survei. Tiga puluh dua persen remaja hidup dalam kesedihan dan ketidakberdayaan yang tidak berkesudahan. Penyebabnya adalah mereka tidak diberikan kesempatan untuk memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi mereka. Sebisa mungkin orangtua mengusahakan anak mereka mulus hidupnya dari lahir hingga dewasa. Anak-anak  tidak dibiarkan untuk jatuh dan terluka. Sehingga tidak tahu bagaimana caranya bangkit lagi. Padahal, pemberian kebebasan berperan dalam membangun kemandirian dan ketahanan mental. Tugas orangtua adalah membimbing dan mengarahkan, betul. Memberi nasihat, benar. Kalau sampai mengontrol keseluruhan aspek hidup mereka, itu agak kebablasan.

Kebanyakan orangtua berpikir bahwa masa depan anak harus ditata sejak dini. Sejak kecil sudah disuruh berenang, bukan demi kesehatan, tapi demi bisa masuk polisi. Nanti SMP di sini, supaya bisa SMA di sana, di SMA pilih jurusan A, supaya mudah nanti masuk sekolah kedinasan. Akibatnya apa. Nilai rapornya tidak terlalu bagus untuk ikut babak pertama seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Sebab selama sekolah, anak berpikir toh nanti yang dipakai hasil tes masuk. Ketika teman-temannya sudah mengamankan kursi di perguruan tinggi terbaik dengan rapornya, anak mereka masih harus menunggu seleksi nasional. Yang tidak diikuti dengan sepenuh hati, pilihan jurusan diisi sembarangan, yang paling tidak banyak peminatnya, karena nanti juga akan ditinggal saat diterima sekolah kedinasan.

Sayangnya, rencana tersebut tidak berjalan sesuai harapan. Gagal masuk kedinasan. Jurusan yang dipilih di perguruan tinggi negeri bukan yang diinginkan. Sedangkan orangtua sudah kadung memakai uang untuk membeli rumah ketiga dan mobil baru. Permintaan untuk masuk perguran tinggi sesungguhnya sudah ditutup sejak awal, oleh orangtuanya sendiri. Yang tidak rela mengeluarkan uang untuk pendidikan anaknya. Sebab kuliah juga tidak akan menjamin mendapatkan pekerjaan, jadi kenapa uang dibuang-buang.

Yang dimaksud dengan tidak mendapatkan pekerjaan di sini adalah pekerjaan tradisional, yang kusebutkan di atas. Bakat anaknya adalah menggambar dan anaknya ingin masuk jurusan terkait. Meski sudah diberi banyak contoh orang-orang yang hidup nyaman dari menggambar—palaeoartist, skeletal drawer, scientific illustrator, dan sebagainya, sudah ditunjukkan Shutterstock dan tempat lain di mana para ilustrator menjual karyanya, sudah diberi tahu bahwa sekarang galeri seseorang bukan lagi di dalam ruangan—melainkan di media sosial, dan untuk menggambar komik superhero tidak harus tinggal di Amerika, tetap saja orangtuanya bergeming. Tunggu tahun depan untuk ikut tes sekolah kedinasan lagi. Menyedihkan sekali nasib anak itu. Dia hanya bisa termangu ketika teman-temannya mulai mengepakkan sayap mengenal dunia baru. Nanti saat dia reuni sepuluh tahun yang akan datang, saat teman-temannya menceritakan keberhasilan mewujudkan cita-cita, apa yang akan dia katakan? Dia hanyalah korban dari pemikiran orangtuanya yang tertinggal tiga dekade di belakang.

Orangtua zaman sekarang tidak lagi bisa bersembunyi di balik kalimat bahwa mereka tahu lebih banyak dan lebih baik sebab sudah hidup lebih lama. Sudah pernah muda dan sebagainya. Zaman sudah berbeda, ada pengalaman mereka yang tidak relevan lagi. Sedangkan wawasan anak lebih luas, sebab melalui media sosial saja, dia bisa melihat alumnus sekolah yang sudah sukses di luar bidang tradisional. Mendirikan start-up misalnya.

Bisakah kita menjadi orangtua berpikiran terbuka? Sebab kemajuan zaman akan semakin pesat dan pilihan profesi akan semakin beragam. Bisakah kita mengerem diri kita untuk tidak menjadi orangtua yang menganggap anak tidak tahu apa-apa? Seperti yang tertulis dalam letgrow.org, untuk menumbuhkan kontrol diri pada anak, kita harus berhenti mengontrol mereka. Kita harus memberi kesempatan pada anak-anak untuk membuat keputusan benar maupun salah. Mereka akan belajar dari setiap kesalahan dan mereka akan semakin kuat. Bisakah kita berdiri di belakang mereka, baik mereka sukses mau pun berhasil? Anak-anak akan merasa aman jika tahu orangtuanya tetap bangga apa pun hasil dari usaha mereka, sebab yang penting adalah mencoba. Bisakah kita mempercayai anak-anak kita untuk menentukan sendiri jalan hidupnya? Sebab merekalah yang menjalani, bukan kita, orangtua.

Semoga kita bisa.

Sumber gambar Freepik.com