Uncategorized

Jantungku Berdetak Untuk Siapa

Karya Ika Vihara

 

Suara pengamen yang menyanyi dengan suara seadanya, diiringi suara gitar yang dipetik ala kadarnya, ditingkahi suara tawa dua orang remaja, membuat tenda kaki lima ini semakin berisik saja. Azan Isya juga terdengar nyaring dari masjid di seberang tenda ini. Sepertinya aku memilih waktu yang salah untuk makan malam. Pengamen bersuara sumbang itu tetap tidak mau diam, bahkan seperti ingin mengalahkan suara azan. Sambil menyodorkan kantong bekas permen. Dua orang remaja memasukkan receh sambil masih tertawa-tawa.

Aku tidak lapar. Tadi aku hanya berjalan kaki menghabiskan waktu sepulang bekerja. Lalu memutuskan mampir makan nasi goreng di tenda kecil di samping minimarket dua puluh empat jam.

Saat aku sedang menimbang-nimbang hendak makan apa, kurasakan ponsel di dalam tasku bergetar. Aku memperhatikan nama yang muncul di layar. Dia. Orang terakhir di muka bumi yang ingin kuajak bicara malam ini. Atau selamanya. Aku menarik napas berat sebelum memutuskan akan menjawab atau tidak.

Tetapi aku merindukannya. Aku ingin mendengar suaranya.

“Berisiknya. Kamu di mana?” Tanyanya setelah aku mengatakan halo dengan suara yang sedemikian pelan.

“Makan. Warung.” Aku menjawab pendek-pendek.

“Sama siapa?”

“Sendiri.”

“Kok sendiri? Kamu kenapa?”

Karena aku lebih suka menjalani hidupku sendiri, tanpa risiko patah hati.

Aku hanya menggumam,”Nggak papa.”

“Tunggu di situ ya!”

Jangan pernah menemuiku lagi. Ingin aku berteriak keras di telinganya. Tetapi panggilang sudah berakhir. Dan seperti yang selalu kulakukan selama ini, aku menunggunya. Kalau dia memintaku menunggunya, aku akan melakukannya.

Makanan di depanku tidak lagi menyita perhatianku. Karena aku sibuk memikirkan apa yang akan kukatakan saat dia tiba di sini nanti. Apakah aku harus meminta maaf, walaupun aku tidak bersalah? Sepuluh menit kemudian aku melihat mobilnya berhenti di seberang warung.

Aku menghela napas, mengunyah pelan nasi gorengku. Khas nasi goreng pinggir jalan; keras, berwarna merah saus, dengan rasa vetsin yang mendominasi.

“Hei.” Dengan tenang dia duduk di kursi plastik di depanku. Lalu menatapku lekat-lekat.

Aku menunduk, berusaha menyibukkan diri dengan mencari suwiran ayam di gundukan nasi goreng di piringku. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Susah sekali.

“Kenapa kok diam aja? Kamu marah?” Tanyanya.

Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.

“Dua hari ini kamu diam. Nggak pernah mau ngomong sama aku. Aku salah apa?”

Aku meletakkan sendok dan garpuku, batal menyuap acar bersama nasi gorengku.

“Aku malu. Hari Kamis itu seharusnya aku nggak marah-marah sama kamu. Walaupun….” Tiba-tiba kerongkonganku tersekat oleh rasa sakit yang balik menghujam bahkan sebelum kata-kata itu keluar dari bibirku. “Aku nggak punya hak buat mengatur hidupmu. Aku bukan siapa-siapa. Aku malu, aku merasa aku… lancang.”

Seminggu yang lalu aku memarahinya, bahkan meneriakinya. Sebab dia mengatakan dia akan berangkat road trip. Selama enam belas jam. Padahal malam itu dia mengerjakan tesis sampai dini hari. Keesokan paginya dia tidak pergi ke kantor karena sakit kepala.

“Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Katanya waktu itu.

Sejak saat itu aku tidak bicara dengannya. Siapa aku ini, sampai mengatu-atur hidupnya. Bukan tempatku untuk mengkhawatirkannya. Karena seperti yang kubilang, aku bukan siapa-siapanya.

“Kamu nggak habis makannya?” Dia mengambil sendok, dan memakan nasi goreng di piringku.

Kenyataan bahwa dia kembali dengan selamat, tidak kurang satu apapun membuatku sedikit lega. Mungkin dia benar. Dia tidak memerlukanku untuk mencemaskannya. Mungkin juga dia sudah melupakan tingkahku yang tidak masuk akal minggu lalu.

“Kapan kamu ke Semeru?” Nasi goreng di piringku sudah separuh habis, berpindah ke perutnya.

Dia menatapku lekat-lekat, mungkin bertanya-tanya bagaimana aku tahu rencananya, padahal dia belum menceritakannya padaku.

“Hari Kamis pagi minggu depan.”

Aku tersenyum. Kali ini aku tak akan berkomentar apa-apa. Karena aku sudah semakin menyadari posisiku dalam hidupnya. Hanya karena dia baik padaku, bukan berarti aku adalah orang yang istimewa. Baginya, aku hanyalah orang yang tak sengaja dikenalnya tiga bulan yang lalu.

“Besok temani aku ya. Beli peralatan hiking,” pintanya sebelum beranjak untuk membayar nasi gorengku, yang sudah tandas dan menyisakan dua buah cabe hijau saja.

Kami berjalan bersisian menyeberang jalan raya.

“Aku senang kamu mengkhawatirkanku waktu itu. Kamu nggak perlu merasa bersalah. Katakan saja semua yang ingin kamu katakana padaku. Kalau kamu marah, kalau kamu nggak setuju, kalau kamu senang, apa saja. Aku selalu senang mendengarnya karena….”

Aku urung membuka pintu mobil dan menoleh ke arahnya.

“Karena kamu… berarti,” lanjutnya.

 

***

 

“Aku sudah mau naik ke Semeru.” Setelah membaca satu kalimat di layar ponselku, aku kembali melamun.

Aku selalu menyangkal kenyataan bahwa aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Di antara persahabatan kami. Karena aku tahu dia menganggapku tak lebih dari teman berbagi cerita.

Malam-malam setelah lelah kerja, sudah mati gaya tapi belum mengantuk juga, kami akan berbagi kutipan dari buku biografi Einstein, idola kami karena sama-sama orang teknik, lantas menghubungkan dengan ketololan-ketololan yang kami lakukan selama ini. Atau dia bermain gitar, dan aku menyanyi. Biasanya kami mencoba lagu-lagu baru. Atau dia menceritakan aibnya, kejadian paling memalukan dalam hidupnya, dan dia bersumpah belum pernah menceritakannya kepada siapapun juga. Lalu aku terbahak-bahak mendengarnya.

”Aku bahkan rela nyeritain aibku,  buat bikin kamu tertawa,” katanya setelah tawaku reda.

Pada akhir pekan aku menungguinya membongkar motor tua. Dia menjelaskan benda apa saja di tangannya, dan aku mendengarkan dengan senang hati. Atau dia bekerja sambil mendengarkan aku bercerita mengenai podcast yang kudengarkan hari ini.

Pernah juga tiba-tiba, pada suatu hari Minggu, dia datang ke rumahku dan menarik tanganku dengan tergesa.

“Ikut aku ke pasar situ yuk.”

“Mau ngapain?”

“Beli cupang.”

“Hah? Cupang yang ikan itu?”

“Iya. Ikan yang paling kuat. Kutinggal pergi beberapa hari saja tetap hidup. Mau ikut?”

Aku mengangguk. Jadilah lima belas menit kemudian aku asyik mengamati ikan-ikan berenang ke sana kemari sementara dia mengobrol dengan penjualnya.

“Dory!” seruku ketika melihat ikan berwarna biru, di dalam kantong plastik bening yang menggantung di depan mataku.

When life gets you down, keep swimming.” Dia berdiri di sebelahku, menyentuh plastik berisi ikan mirip Dory yang sedang berenang dan mengutip salah satu percakapan di film Finding Nemo.

“Aku nggak bisa berenang,” jawabku saat itu.

I’ll have you a ride.”

Aku tertawa mendengarnya.

“Aku lebih suka Marlyn.” Aku menunjuk ikan berwarna oranye di depanku.

Saat kami meninggalkan pasar, dia menyerahkan kantung plastik berisi ikan berwarna jingga. Yang kurawat seperti aku merawat diriku sendiri hingga saat ini. Yang selalu kupandangi saat aku merindukannya.

Hatiku menyemai harapan. Berharap hanya kepadakulah dia membagi suka dan dukanya. Walau seringkali keraguan datang menerpaku. Tak mungkin itu terjadi. Laki-laki sepertinya pasti banyak memiliki banyak teman wanita. Yang dengan senang hati menghabiskan waktu dengannya.

Sering aku bertanya-tanya, apakah suatu hari nanti dia akan memandangku lebih dari sekadar teman. Sebagai seorang kekasih yang selalu ada untuknya. Kesadaran baru lalu menghantamku. Aku tidak cukup cantik, aku tidak cukup menarik, dan tidak cukup hebat untuk menjadi seseorang yang istimewa dalam hidupnya.

Perutku mencelos melihat unggahan media sosialnya. Miss you. Aku membaca tulisan di sana. Sayangnya aku tak punya cukup keberanian untuk menanyakan siapa yang dia rindukan.

Aku tidak bernah merasa segelisah ini dalam hidupku. Sampai kadang aku menyalahkan takdir, yang membuatku bertemu dan berkenalan dengannya.

 

***

 

Aku mengeraskan volume musik di telingaku saat berjalan pelan melintasi garbarata. Di sekelilingku, sebagian orang berjalan sembari bercengkerama, sebagian lainnya tergesa. Mungkin orang tercinta sudah menunggu di terminal kedatangan bandara. Ini perjalanan ketujuhbelasku pada tahun ini. Perjalanan yang sekarang kulakukan seorang diri.

Sendiri. Satu kata ini terus mencekikku tiada henti. Aku menghela napas. Jam di ponselku menunjukkan pukul 21.00. Waktu Indonesia Barat. Biasanya aku melewatkannya dengan terjaga merindukannya. Hingga sesak dadaku.

Dia laksana mimpi indah, singgah sebentar dalam tidurku, lalu menghilang tanpa ada buktinya. Hanya kenangan samar akan mimpi itu yang kupunya saat aku terjaga.

Aku berdiri di samping conveyor belt menunggu koperku meluncur di depanku. Ponselku bergetar halus di saku jaket.

“Ya, Ka….” Sapaku setelah mengecek siapa yang menelpon.

“Di mana, Jas?”

“Di bandara. Sudah mendarat.” Aku mengambil koperku. “Aku naik taksi aja, Ka. SMS alamatmu, tunggu aku di sana.”

“Padahal nggak papa kalau aku jemput di bandara.”

“Ini sudah di taksi, Ka. SMS alamatmu ya. See you soon.” Aku memutus sambungan dan mengantre taksi.

Aku merapatkan jaketku. Bukan angin malam yang membuat tulang-tulangku ngilu. Tetapi ketidakhadirannya. Beberapa kali kami melakukan perjalanan bersama. Apakah semua itu akan terulang lagi?

Aku menggelengkan kepala. Melarang diriku berandai-andai.

Di dalam taksi aku memejamkan mata. Perlu waktu dua jam untuk sampai di ujung timur Surabaya. Aku menggenggam erat ponselku. Di tengah rasa lelah dan pusingnya kepala menahan keinginan untuk menangis, aku tertidur.

Begitu terbangun, aku melihat Saka melambaikan tangan dan tersenyum lebar. Dia menyambutku, yang tengah berusaha mengenyahkan bayangan orang itu. Yang sudah lebih dari satu tahun ini mengabaikanku.

“Hai, Ka.” Aku tersenyum dan mengizinkan Saka membawakan koperku.

Aku berusaha ceria demi teman baikku ini. “Thank you.”

“Sudah siap jalan-jalan malam ini?” Saka tertawa lebar sambil menyuruhku duduk di kursi tamu.

“Aku nginap di mana?” Ada yang lebih penting daripada jalan-jalan menghabiskan malam di Surabaya.

“Itu sudah dipesan. Sudah beres.”

Tanpa kusadari, aku kembali menghela napas, seolah-olah beban kenangan itu terlalu keras menghimpitku. Dan mengikutiku ke mana saja aku menuju. Padahal aku ke sini karena ingin meninggalkan sosoknya dan segala tentangnya jauh di seberang laut sana.

“Besok makan di warung pelangi, ya, Jas.”

“Pelangi? Di mana?” Aku mengernyit bingung. Aku pernah tinggal di Surabaya selama lebih dari empat tahun, tapi tidak pernah mendengar nama warung Pelangi.

“Di matamu.”

Untuk pertama kalinya dalam satu tahun ini, aku tertawa lepas menanggapi gurauan Saka. Satu tahun yang kuhabiskan dengan sia-sia, karena aku terus mengingat dan menangisi orang itu. Dalam satu tahun ini, aku mengerti apa artinya malam yang terasa panjang. Malam yang kuisi dengan bergerak-gerak gelisah tanpa kutahu kapan aku akan bisa memejamkan mata dan sejenak melupakan dunia.

Ajakan Saka, teman baikku saat kuliah dulu, untuk menghabiskan akhir pekan di Surabaya, adalah kabar baik bagi hatiku yang tersisa separuh ini. Separuhnya lagi terbawa orang yang memilih menghindariku itu. Tanpa kutahu apa alasannya.

Tetapi dia ada di hati dan kepalaku. Seharusnya itu sudah cukup membuatku merasa tak sendirian lagi kan?

“Kenapa wajah kamu mendung begitu, Jas?”

Pertanyaan Saka sama dengan yang sering kutanyakan pada diriku sendiri. Dan aku tak pernah bisa menjelaskan.

“Ada yang mematahkan hatimu?”

Aku tertawa getir. “Dia nggak salah apa-apa. Akulah yang terlalu berani berharap, padahal dia … dia di luar jangkauanku.”

“Ada orang yang menerimamu dengan semua kekurangan dan kelebihanmu.” Saka berdiri tegak di depanku.

Baru kusadari Saka tinggi sekali. Wajahku berjarak tidak lebih dari sepuluh centimeter dari dada Saka. Di malam yang sangat hening ini, aku bisa mendengar suara detak jantungnya. Yang sangat kencang menembus dadanya.

Detik ini juga aku tahu jantung Saka berdetak untuk siapa. Untukku.

Lalu jantungku? Berdetak untuk siapa?

END

Cerpen ini ditulis untuk mengikuti seleksi Kampus Fiksi tahun 2016

My Bookshelf

MEMELUK OKTOBER

Oktober, setahun yang lalu

Aku rindu hujan. Meski aku benci hujan. Hujan dan kamu. Hujan pernah mengiringi salah satu kebersamaan kita. Ketika aku sudah bisa berdamai dengan waktu, malam mingguku tak lagi kugunakan untuk mengingatmu dengan air mataku, walaupun aku juga tidak bisa mengingatmu sambil mengulas senyum.

***

Saat itu, pertama kalinya dalam hidupku aku mau mengajak lelaki kencan di malam minggu. Aku? Tak habis pikir siapa kamu bisa membuatku berbuat begitu. Istimewa ya kamu?

Tidak tahu apa yang sedang kupikirkan saat aku mulai mengetikkan pesan singkat Sabtu malam itu.

Keluar yuk!

Bukan karena aku sedang bosan, atau aku tidak ada kerjaan. Saat itu aku malah sedang berada di ruang karaoke, bersama dua kawan. Kawanku tentu saja bisa dipakai untuk teman malam mingguan, tidak perlu mengajak kamu. Mungkin saat itu aku terbawa pengaruh lagu galau.

Setelah menekan tombol send, detik berikutnya aku harap-harap cemas. Cemas apa kau mau menerima atau menolak ajakanku. Aku? Cemas? Biasanya selama ini aku yang membuat para lelaki, yang berniat mendekatiku, mempunyai perasaan itu. Lihat, lagi-lagi, kamu istimewa bukan?

Dan aku seolah ingin bertepuk tangan ketika kamu menjawab.

Ke mana?

Sedetik kemudian aku sudah mengirimkan balasan paling memalukan

Malam mingguan.

Dunia pasti menertawakanku, aku bukan remaja lagi. Rasanya sudah basi kalau aku membutuhkan kegiatan malam mingguan, dan aku pula yang menawarkan kencan.

Boleh. Kapan dan ke mana, You decide.

Nah, cupid-cupid bodoh dalam hatiku pun ikut bersorak kegirangan mengetahui kamu mengiyakan ajakanku. Kukirimkan pesan lagi. aku perlu menanyakan ini.

So, get me here, as usual?

Langsung ada balasan lagi.

Aku kepingin naik Mio. Di kampusku ya, jam 6?

Oh! Bahkan aku mengiyakan saat kamu memintaku untuk menjemputmu, setengah jam dari sekarang, di kampusmu yang jauh letaknya dari tempatku berada saat ini.

Kalau kamu tahu, semenit kemudian aku sibuk mengalkulasi waktu yang kuperlukan. Aku hanya punya 30 menit sebelum pukul enam. Masih harus pulang dan berdandan. Dan masih harus membuat diriku repot dengan menjemputmu. Tapi tidak sia-sia, kan, aku berdandan habis-habisan dulu, sebelum menemuimu?

”Kamu keliahatan segar dan cantik.”

Pujianmu itu sudah membayar semua hal tolol yang kulakukan sejak aku mengirimimu pesan singkat itu. Aku berharap kamu tidak menganggapku agresif karena aku berani mengajakmu berkencan.

Acara pertama kita, makan dan duduk bersama. Kamu mendengarkan aku bercerita. Sembari menikmati makan malam di bawah langit kota Surabaya yang berhias bintang redup, bintang yang sepertinya sudah malas bercahaya.

“Aku nggak suka kubis.” Aku mendorong tanganmu yang berusaha menyelundupkan kubis ke piringku.

“Jangan pilih-pilih makanan!” katamu, memaksaku, sambil tetap memindahkan kubis-kubis itu.

“Hah! Sok sekali kamu itu ya, mengaturku begitu.” Aku cemberut dan menusuk kubis itu dengan garpu. Hal-hal sepele itu, menurutku manis, meski menyebalkan. Lalu kamu akan menanggapi protesku dengan mengusap lembut puncak kepalau.

“Kita makan hampir tiga jam di sana,” katamu sambil tertawa.

Memang aku lambat dalam urusan makan. Salahmu sendiri punya kecepatan makan 10 kali lipat ketimbang kecepatan makanku. Dan seingatku kamu pernah bilang, “Aku senang-senang aja nungguin kamu makan.” Jadi tidak ada masalah, kan, aku makan berlama-lama sambil bercerita?

Aku selalu mengisi waktu kita dengan bercerita. Seperti biasa pula, kamu mendengarkan dan mengingat semuanya. Semuanya! Ah, itulah kenapa aku mencintaimu. Sampai sekarang juga kamu pasti masih ingat semua apa yang selalu kuceritakan, kamu memang benar-benar istimewa.

“Sekarang kemana?” Pertanyaanmu membuatku memutar bola mata. Aku tidak sempat merencanakan akan pergi ke mana. Ke mana saja boleh bagiku, asalkan bersamamu.

“Madura!” Aku menjawab setengah berteriak. Biasanya aku menghabiskan malam minggu dengan nonton midnight, nongkrong di gerai es krim, atau apa saja yang dilakukan manusia normal di malam minggu. Bukannya mengajakmu pergi ke seberang pulau. Tetapi kamu menanggapinya dengan membelokkan Mio putihku menuju jembatan Suramadu.

Mungkin aku kampungan. Baru pertama kali itu aku pergi melewati Suramadu pada malam hari, di malam minggu dan dalam keadaan sedang berkencan. Dan kita menikmatinya pelan-pelan sambil sedikit membicarakan masa depan. Menyeberang jembatan, dan kedatangan kita disambut hujan.

Bersamamu di bawah gerimis terasa menyenangkan. Berteriak panik sekaligus kegirangan karena bisa bermain hujan. Lalu kamu menarikku untuk berteduh di warung tenda ketika hujan mulai membesar. Dan petir mulai menyambar.

Aku hampir saja tidak bisa menahan senyumku, karena kamu yang mengingat dengan baik bahwa aku tidak suka lumpur, berusaha menarikku berjalan melewati tanah yang masih kering. Tapi menit berikutnya aku cemberut karena kamu sibuk berbasa-basi dengan orang asing. Menanggapi pertanyaannya dan malah asyik bercerita dengan mereka mengenai macam-macam yang tidak penting.

“Dingin?” Setelah beberapa saat akhirnya kamu bertanya kepadaku.

Aku menggelengkan kepala. Padahal aku sangat kedinginan. Mungkin seperti ini yang disebut merajuk. Aku mamandang segelas kopimu. Pasti enak hujan-hujan begitu minum kopi. Sayang aku tidak bisa minum kopi. Kurasakan kmau merapatkan tubuhmu, mendekat ke tubuhku, dan melepaskan jaketmu.

“Pakai ini ya?”

Aku sedikit terkesima dengan sikapmu itu. Apa aku terlihat menggigil? Aku menggeleng, menolak menerima jaket itu.

“Lain kali kamu harus bawa jaket.” Kamu membantuku mengenakan jaket yang kebesaran itu.

Sudah sering kamu bilang agar aku membawa jaket kemana-mana, tapi aku tidak suka. Aku lebih suka jaket yang kamu pinjamkan kepadaku, baunya itu bau kamu. Aku suka.

Dan suka dengan banyak waktu yang kuhabiskan bersamamu malam itu. Aku suka menikmati hujan bersamamu. Aku mau menukar hangatnya selimutku dengan dinginnya udara tetapi aku bersamamu. Seperti ini.

Tiba-tiba aku berharap hujan tidak reda, agar waktu bisa kita nikmati berdua saja. Rasanya tak akan habis hal-hal yang bisa dibicarakan malam itu.

Tetapi waktu terus berlalu.

***

Tengah malam.

Hujan tak kunjung reda. Kamu merasa aku sudah lelah dan saatnya beristirahat di rumah. Sebenarnya aku sudah membayangkan hangatnya meringkuk di bawah selimut sedari tadi. Tapi bersamamu begini tidak kalah hangat. Malah jauh lebih hangat. Sampai ke dalam hati.

Lima belas menit kemudian aku dan kamu mendebatkan hal manis lagi, jas hujan merahku. Saat itu jam tanganku sudah menunjukkan dini hari, pukul satu.

“Kamu pakai ini ya?” Kamu meletakkan jas hujan merah itu di dekatku.

Kamu melepaskan kemeja dan memberikannya kepadaku juga. Aku melotot tidak percaya. Kamu sudah meminjamkan jaketmu, sekarang kemeja dan kamu hanya menggunakan kaos hitam yang sangat tipis itu.

“Kamu saja yang pakai. Aku di belakang dengan baju setebal ini? Aman saja.” Aku menunjukkan kemeja dan jaketnya yang sedang kupakai, meyakinkannya.

“Nanti kamu sakit.” Kamu bersikeras memberikan jas hujan merah itu kepadaku.

Aku menggelengkan kepala. Meskipun aku juga mempertanyakan kekuatan fisikku sendiri, tapi aku rasa kamu lebih membutuhkan jas hujan merah itu.

“Besok kamu tes kerja, aku nggak mau merasa bersalah karena kamu flu dan tidak bisa ikut.” Aku mendorong kembali jas hujan merah itu ke arahmu.

Kamu memandangku, dan memilih berhenti mendebatku. Ekspresi mati di wajahku selalu bisa membuatmu menurutiku.

Menembus hujan badai, aku menikmati hangatnya punggungmu. Aku memeluk pinggangmu. Rasanya aku rela menukar kehangatan selimutku dengan punggungmu selamanya.

Tiba-tiba aku berharap lagi, agar perjalanan ini tidak berakhir. Aku suka bersamamu, memelukmu. Aku tidak peduli kamu merasakan yang sama atau tidak.

Sepertinya Tuhan sedang memperhatikan kita, decitan rem yang kamu tarik mendadak membuatku menyesali doaku tadi. Hampir saja kita celaka.

“Maaf!” teriakm di antara deru hujan.

Aku memilih tidak menanggapi. Suara gemeletuk gigiku pasti akan membuatmu khawatir. Tanganku yang kebas karena dingin masih memegangmu erat-erat. Dalam hati aku terus merapal doa, semoga kita selamat, masih banyak hari-hari yang akan kita lalui bersama esok.

Akhirnya setelah bersama hujan di sepanjag perjalanan, kamu memandangku cemas, ketika berdiri di depan pagar rumahku. Aku basah kuyup, bibirku biru, dan suaraku yang bergetar melawan dingin yang menusuk hingga ke tulangku.

Just go, I’ll be fine.” Aku tersenyum dan meyakinkanmu.

Kamu tak beranjak juga. Aku juga tahu badanku tidak sedang baik-baik saja. Tapi semua bukan salahmu, aku yang menyarankan pergi ke seberang pulau. Siapa sangka hujan lebat menyertai kita.

“Kamu masuk dan ganti baju, ya.” Kamu tersenyum dan menyentuh lenganku.

Aku menurutimu. Lalu berhenti untuk mengintipmu dari balik pintu, hingga kau berlalu. Malam ini, aku tahu dengan pasti bahwa aku mencintaimu.

***

Oktober, hari ini

Aku seperti berjudi. Taruhannya waktu. Untuk memenangkan hatimu. Aku telah siap di sini, jika nanti semua sia-sia, dan aku hanya memenangkan sepi. Semua berawal dari malam minggu itu. Cerita tentang cinta, rindu, percaya, perpisahan, dan penantian. Tepat malam ini setahun yang lalu.

Seandainya tahun lalu tidak ada iseng-iseng mengobrol hampir setiap malam di setelah malam minggu itu, di sela-sela kesibukanmu mengerjakan tugas akhirmu, di antara perjuanganku melawan rasa kantukku. Hanya untuk sekadar melepas kangen yang menghimpitku.

Seandainya aku tidak iseng mengirimimu ucapan selamat atas kelulusanmu. Seandainya aku tidak mengiyakan ajakanmu untuk pergi berkencan, dengan alasan merayakan ini itu. Seandainya aku berhenti di malam minggu setahun lalu.

“Kamu cuek sekali kalau sama aku.” Aku masih ingat protes kerasmu beberapa bulan yang lalu.

“Masa?” Aku tersenyum simpul. Tentu aku berbuat begitu, untuk melihat apakah kamu akan memilih berhenti atau terus maju. Untuk mendapatkanku.

“Iya. Kalau sama teman-temanku kamu mengobrol ramai sekali,” jawabmu.

Bodoh. Tentu saja karena kamu berbeda, umpatku dalam hati.

Tidakkah kamu ingat aku selalu mengatakan bahwa kamu selalu membuatku kehilangan kemampuan berkata-kata.

Akhir-akhir ini aku tidak bisa banyak berkata-kata saat bersamamu. Karena aku terlalu sibuk mengurusi debar jantungku. Agar tak terdengar sampai ke telingamu.

Jika aku menghentikan komunikasi denganmu setahun yang lalu, tentu tak akan ada bulan Oktober yang sangat menyesakkan ini, menurutku.

Tapi aku menikmatinya. Menikmati setiap kebersamaan kita. Dan kamu mengaku juga iya. Walaupun kamu tidak pernah menyinggung mengenai cinta.

Masih jelas di kepalaku apa-apa yang kamu katakan. Masih jelas dalam ingatanku tempat-tempat yang sudah kita ukir menjadi kenangan.

“Am I a good girl?” Saat itu aku bertanya kepadamu, ketika aku sudah hampir lelah menunggumu menyadari perasaanku.

“Exactly you are. And for me, you are the best girl I’ve ever known. You’re one in million.

Jawaban yang keluar dari mulutmu jelas jawaban yang tidak kuduga. Tidak kuduga kamu akan mengatakan begitu. Kamu mengatakan dengan lembut sekaligus tegas. Bahkan aku yang biasa mendapatkan pujian dari lelaki, masih harus menundukkan kepala agar kamu tidak melihat rona merah di pipiku. Hanya karena kata-katamu.

Masih terasa bagaimaa rasanya kamu menggenggam tanganku saat pertama kali, masih kuingat pula pertama kali aku memeluk pinggangmu. Aku mengingat lebar punggungmu, mengingat wangi tubuhmu. Holding your hand means holding a whole world for me.

“Ada suatu tempat yang ingin kukunjungi,” katamu tiba-tiba, setelah aku tidak bisa menanggapi kata-kata paling manis darimu.

“Kota mana?” Aku mengernyitkan keningku.

“Bukan kota.” Jawabanmu membuatku bertambah tidak mengerti.

“Lalu?”

“Nggak tahu bisa ke sana atau tidak.”

“Ke mana sih?”

“Ada deh.”

Kamu berhasil membuatku mati penasaran.

“Nggak kasih tahu aku?”

“Nanti kalau aku sudah sampai di sana.”

Aku memilih diam dan mendoakan apa pun yang kamu harapkan, bisa kamu wujudkan. Tapi jika betul terjadi, maukah kamu mengajakku? Rasanya seperti kamu hendak meninggalkanku. Ke tempat yang ingin kamu kunjungi itu. Dan aku semakin merana karena tahu kamu memilih tidak membawaku.

Inilah yang akhirnya membuatku menyimpulkan kamu bukan jawaban yang dimaksud Tuhan. Cintaku hanya akan bertepuk sebelah tangan.

***

“Ingat tempat yang ingin kukunjungi?” tanyamu tiba-tiba.

“Luar negeri? Dalam negeri?” sahutku, sudah tidak terlalu tertarik dengan lagi.

Ke mana pun kamu pergi, kamu tetap tidak akan membawaku bersamamu, kan?

“Tebak dulu!” Kamu tidak mau langsung memberitahu, seperti biasa.

“Jakarta?”

Kamu menggelengkan kepala.

“Italia?”

Kamu menggelengkan kepala lagi. ”Tempatnya jauh lebih berharga.”

“Kamu bilang akan memberitahu kalau sudah mengunjunginya.”

Aku sudah sampai di sana,” jawabmu, terdengar puas dan bangga.

“Di mana?” Aku tak mengerti, seingatku kau tidak pergi ke mana-mana. Ah, ya, walaupun aku tidak selalu tahu, karena kamu tidak perlu selalu meminta izinku.

“Hatimu,” jawabmu singkat.

Hampir berhenti detak jantungku. Aku membisu. Kembali sibuk menenangkan debar jantungku. Dan menyembunyika senyum lebarku. Aku yakin kamu milikku. Tapi jawaban-jawabanmu yang di luar dugaan selalu bisa membuatku merasa tersanjung di saat-saat yang tidak kuduga.

“Dari dulu aku ingin masuk ke hatimu. Aku tidak menyangka aku bisa ada di situ. Jadi izinkan aku tetap di situ, ya?” Kau mengatakannya sambil metapaku dan menggenggam tanganku.

Aku benar-benar membiarkan air mataku jatuh, air mata yang menetes karena terharu. Kamu milikku. Benar-benar milikku.

Tidak ada lagi jarak yang menjauhkanmu dari detak jantungku, aku mengangguk dan berbisik dalam hati.

Sungguh, kamu bisa memegang kata-kataku.

***

Aku dilanda sesuatu yang, ah … seolah memabukkanku. Kamu. Hingga sekarang pun kamu masih seperti candu.

Sampai saat ini, satu tahun setelah hari itu, kamu boleh memegang kata-kataku. Tempat berharga itu masih milikmu. Walaupun kamu memilih pergi, meninggalkan hatiku dan membuang cintaku. Saat kamu kembali, kamu boleh menempati tempat paling berharga di hatiku.

Malam ini, sembil menatap bintang paling terang di langit, aku berbisik kepada angin dingin bulan Oktober, sambil memeluk diriku sendiri, “Kudengar kamu di sana sudah bahagia sekarang, memiliki semua apa yang diinginkan orang. Kamu jaga diri baik-baik disana ya! Semoga Tuhan menetapkan kebaikan di mana saja kamu berada.”

####

Catatan:

Cepen ini kutulis pada tahun 2010, enam tahun sebelum buku pertamaku, My Bittersweet Marriage, terbit. Dan cerpen ini pernah diterbitkan dalam bentuk antologi pada tahun 2011.

Baca juga:

The Dance of Love