Uncategorized

Di Antara Dua Pilihan

Menjadi Penulis Terkenal atau Penulis Sukses?

Suatu malam di bulan ini, aku menerima pesan WhatsApp dari temanku. Dia bertanya,”Menurutmu, penulis itu selebritis atau bukan?” Belum sempat aku menjawab, dia sudah mengirimkan beberapa pesan yang menjelaskan kenapa dia melemparkan pertanyaan itu. Temanku mendapati seorang penulis dengan star syindrome—bahasa yang dipakai temanku—padahal bukunya tidak bermutu. Ini aku hanya mengulang kalimat temanku, bukan pernyataan dariku. Sebab aku tidak pernah mengatakan sebuah buku itu jelek. Seperti apa pun kualitas sebuah tulisan, selalu bisa memeriku pelajaran; jangan menulis seperti itu atau menulislah sebagus itu.

Di dunia ini, ada banyak buku yang membuatku berpikir bahwa, sayang sekali kertas, uang, waktu, dan berbagai sumber daya lain digunakan untuk menerbitkannya. Hanya karena tulisan tersebut saat diunggah online—melalui aplikasi yang dia pilih—tidak dilihat sekian ratus ribu orang. Upaya editor untuk merombak cerita tersebut kurang berhasil. Sedangkan banyak calon-calon penulis yang kualitas tulisannya lebih baik, susah menembus penerbit mayor.Bahkan aku pernah merasa sangat heran—mendekati tidak percaya—ada buku yang terbit lantas penulisnya mengatakan dia tidak menyangka cerita pertamanya yang ditulis disukai banyak orang. Padahal dia tidak pernah belajar dasar-dasar kepenulisan. Otomatis, dia tidak tahu bagaimana membangun struktur cerita dan sebagainya. Bagiku, itu seperti kita menyajikan suatu hidangan untuk orang lain, padahal kita tidak pernah memasak sama sekali sebelumnya. Walaupun bisa dimakan, kelas dan kualitasnya tentu beda dengan menu yang dimasak dan dihidangkan oleh koki yang mengikuti kursus atau sekolah memasak sebelumnya.

Sewaktu aku mengadakan sesi tanya-jawab dengan pembaca, ada yang bertanya kepadaku, pentingkah mengikuti pelatihan menulis kalau seseorang ingin menjadi penulis. Hampir aku menjawab tidak usah, coba saja peruntungan dengan menulis cerita yang tidak jelas—tidak jelas alurnya, tidak jelas temanya, tidak jelas pesannya, tidak jelas cara penyampaiannya, tidak jelas perkembangan tokoh-tokohnya, dan lain-lain—lalu bikinlah mirip seperti sinetron atau FTV di layar kaca. Tetapi aku tidak menyampaikan itu. Mengikuti pelatihan menulis itu penting. Aku sendiri juga ikut, dibimbing guru-guru yang tidak asing lagi di dunia sastra Indonesia. Paling tidak, di sana kita kenal dengan teman-teman sesama calon penulis. Nantinya kita dan teman-teman bisa saling menilai tulisan dan memberi saran, sebelum menyajikan kepada orang-orang di luar lingkaran.

“Aku rasa kamu kurang beruntung, seharusnya kamu lebih terkenal. Karena novel-novelmu itu lebih berbobot.” Adalah pesan lanjutan dari temanku, walaupun aku belum menjelaskan pendapatku mengenai ‘penulis itu selebritas atau bukan’. Aku mengatakan padanya, semesta tidak membuatku menjadi terkenal sebab aku tidak sanggup menjadi terkenal. Tanggung-jawabnya besar. Kalau kata Muhhamad Ali dalam bukunya The Soul of A Butterfly,”When people look up to us, even the way we speak to them can have a profound to effect them.” Apa saja yang keluar dari bibir kita—atau jari kita—akan dipercaya begitu saja oleh penggemar. Kita berbuat salah sebesar apa pun, penggemar kita siap menjadi massa yang akan mati-matian membela kita. Menyerang siapa saja yang tidak setuju dengan kita. Atau, justru meninggalkan kita.

Menjadi terkenal tidak pernah menjadi tujuanku semenjak aku mulai menulis—kelas satu SMP aku menang lomba cerpen, aku bertemu N.H. Dini dan Taufiq Ismail sewaktu kelas tiga SMA karena memangkan lomba lain dan sewaktu kuliah aku menjadi editor di majalah komunitas—sampai hari ini.

Alasan pertama, dunia ini penuh dengan orang terkenal yang tidak berkontribusi dalam membuat dunia ini menjadi lebik baik. Ada berapa banyak tayangan YouTube yang, setelah kita menghabiskan satu jam menonton, malah bikin semakin mager, bukan berkontemplasi? Atau berapa banyak buku yang membuat kita, secara tidak sadar, menganggap wajar adanya kekerasan di dalam sebuah hubungan? Aku ingin menjadi manusia berguna.

Kedua, aku paham di dunia ini banyak hal-hal terjadi di luar kuasaku. Menjadi terkenal adalah salah satunya. Aku tidak bisa memaksa orang untuk menyukai tulisanku atau untuk mengikutiku di media sosial dan di mana pun. Bobot bukuku bisa jadi diacungi dua jempol oleh dua ribu orang, tapi kalau sepuluh ribu lainnya tidak mencari bobot dalam sebuah novel, aku tidak bisa memarahi mereka kan? Yang bisa kukendalikan hanya satu; seberapa rajin aku belajar menulis, seberapa sering aku membaca—agar pikiranku tetap tajam, seberapa sering aku mengingatkan diriku bahwa aku mencintai menulis dan proses kreatif, sehingga aku bisa menjadi penulis yang lebih baik daripada kemarin, sehingga bukuku selanjutnya lebih baik daripada bukuku sebelumnya. Sungguh, sebagai manusia aku hanya bisa berusaha, sisanya bergantung pada semesta.

Aku ingin menjadi penulis sukses. Untuk menuju ke sana, aku harus bisa mendeskripsikan kesuksesan versiku. Kalau aku tidak punya definisi, aku tidak akan tahu apakah aku sudah meraihnya atau belum. Pengertianku pasti berbeda denganmu, atau semua orang. Suatu ketika aku bicara mengenai cerita baik dan ada yang, dengan percaya diri, menyarankan supaya semua orang tidak idealis. Tulis saja cerita yang disukai banyak orang—bahkan yang bukan seorang pembaca—dengan mengeksploitasi kekerasan, erotika, BDSM, atau pernikahan usia kanak-kanak, misalnya. Pasti akan disukai banyak orang, menjadi terkenal, dan tawaran menerbitkan cerita datang dari sana-sini. Baginya, itulah definisi sukses. Tidak masalah, aku menghormati itu.

Tetapi itu bukan kesuksesan yang kuinginkan. Aku ingin meninggalkan warisan. Aku ingin pembelajaran yang ditarik dari buku-bukuku tetap berguna—baik bagiku atau orang lain—walau lima puluh tahun telah berlalu dan aku tak lagi ada di dunia ini. Bahkan bisa dinasihatkan kepada anak dan cucu kita. Aku tidak bisa berjanji kepada siapa pun—termasuk diriku sendiri—bahwa aku akan bisa menjadi penulis terkenal. Tetapi aku bisa menjamin aku pasti sukses, sesuai dengan definisiku tersebut.

Aku tahu kalau aku berkarya dengan sepenuh hati, hasilnya akan jauh lebih memuaskan dan membahagiakan daripada yang pernah aku bayangkan.

Dan baru kusadari, aku tidak pernah menjawab pertanyaan temanku.

***

Ditulis oleh Ika Vihara, penulis buku best seller A Wedding Come True