Uncategorized

NEW BOOK: SAVARA

Dari sampul belakang buku:

“Aku berusaha untuk membalas perasaanmu, Darwin. Aku belum pernah merasa dicintai sedalam ini, oleh laki-laki.”
Supaya Darwin percaya, ingin sekali Vara bisa membalas kalimat cinta dari Darwin. Hanya satu kalimat. Aku juga mencintaimu. Tapi satu kalimat itu bahkan terlalu susah untuk keluar dari mulutnya. Karena kalimat itu tidak ada di dalam hatinya.
“Katakan padaku, Vara, apa yang harus kulakukan? Kadang-kadang aku merasa sulit sekali untuk mendapatkan hatimu.”
Hanya perlu satu tatapan mata, satu senyuman, satu tawa dan satu jam bercakap-cakap dengan Savara untuk membuat Darwin jatuh cinta. Darwin sempurna kehilangan hatinya setelah pertemuan ketiga. Tidak ada pilihan baginya selain memiliki Savara.
Namun Savara berulang kali meminta waktu. Sebab dia tidak mau memulai sebuah hubungan jika belum jatuh cinta. Sayangnya Darwin tidak tahu apakah dia sanggup menunggu lebih lama lagi.
BAB I SAVARA

Langkah Darwin terhenti saat mendengar suara Lea, keponakan kesayangannya, sedang ribut minta es krim. Kakinya sudah akan melangkah mendekati mereka ketika dia melihat Lea melintas digendong seorang gadis. Bukan Daisy, kakaknya, ibunya Lea. Tetapi seorang gadis cantik yang sedang tertawa lalu duduk di kursi memangku Lea. Darwin sudah siap menyaksikan adegan seorang gadis, dengan wajah kesal, marah-marah dan berteriak karena Lea merusak gaunnya yang sempurna. Gaun berwarna mint itu memang sempurna sekali untuk tubuhnya, ditunjang warna kulitnya, rambut hitamnya, tawanya  Darwin mengumpat menyadari dirinya sedang terpesona dengan seorang gadis yang baru pertama kali dilihatnya.

“Ah! Hahaha … Tante kedinginan kalau Lea jatuhin es krimnya di baju Tante.“

Tidak. Gadis itu tidak bereaksi seperti dugaannya—melipat wajah dan menggerutu—tetapi malah tertawa lalu mengelap bajunya dengan tisu. Wajahnya ketika  tertawa…. She laughs with her whole face. Darwin semakin terpukau. Seandainya saat ini malam hari dan gelap gulita, Darwin yakin seluruh ruangan ini akan tetap terang benderang di matanya. Her smile lights up the world. Or his world, to be exact. Darwin tidak bisa melepaskan pandangan dari gadis cantik itu.

Saat ini mendadak dirinya menyadari satu hal. Kenapa lagu cinta, novel, dan film roman menjadi industri yang keuntungannya mencapai miliaran dolar karena—pada satu titik tertentu—orang merasa hal-hal cengeng seperti ini menjadi sangat masuk akal. All people need love. All people need romantic relationship. Begitu juga dengan Darwin. Di waktu  yang tepat, ketika dia sedang tidak tahu di mana harus menemukan cinta, ada gadis yang menyedot perhatiannya. Gadis yang membuatnya lupa bagaimana cara bernapas.

“Cantik ya?”

Shit! You scared the hell…,” umpat Darwin, langsung berhenti saat melihat Daisy berdiri di sampingnya. Kakaknya, satu-satunya kakak yang dimilikinya, menikah dengan Adrien, kakak laki-laki dari pengantin wanita di resepsi kali ini.

“Mau kukenalkan? Biar bisa ngajak kencan.” Daisy tertawa pelan melihat adiknya sejak tadi tidak berkedip memperhatikan Vara.

Darwin tidak mengatakan apa-apa. Seandainya saja mengajak kencan seorang gadis bisa semudah itu. Menurut Darwin, ada beberapa pekerjaan sulit di dunia ini. Mulai dari memenangkan balap sepeda Tour De France dengan jarak tempuh 3.000 mil tanpa bantuan steroid dan obat dopping—banyak di antara pemenang itu selanjutnya diperiksa atau dibatalkan kemenangannya karena ketahuan curang—sampai pekerjaan sulit lain seperti memasukkan kembali pasta gigi yang sudah telanjur keluar ke dalam tube-nya. Di antara kedua pekerjaan mahasulit tersebut, ada pekerjaan yang tidak kalah sulit. Mengajak seorang wanita berkencan. Wanita istimewa yang benar-benar membuat jatuh cinta. Bukan wanita yang menjadi pengisi waktu luang atau untuk ditiduri lalu minggu depan berganti wanita lagi.

Kalau ada laki-laki di dunia ini yang mengatakan sebaliknya, bahwa mengajak wanita berkencan adalah pekerjaan paling mudah di dunia, semudah menekan tombol flush di toilet, menurutnya laki-laki itu hanya bermulut besar. Atau dia delusional.

“Apa kamu ada waktu hari Minggu nanti? Aku telanjur beli dua tiket konser dan temanku tidak bisa pergi.” Mengatakan ini sama dengan membuat laki-laki sengaja mengundang sebuah bencana hebat bernama penolakan. Bukankah ditolak adalah salah satu ketakutan terbesar manusia? Termasuk bagi laki-laki.

“Just go home and jerk off.”  Sebagian besar otak laki-laki memutuskan begini daripada mengambil risiko ditolak wanita.

Walaupun begitu, masih banyak laki-laki bernyali  untuk mengajak wanita berkencan. Sebab tetap ada kemungkinan—sekecil apa pun itu—wanita yang disukai juga menyukai mereka dan menerima ajakan kencannya.

Pandangan Darwin mengikuti Daisy yang melangkah mendekati gadis itu, yang hanya berjarak sepuluh langkah dari tempat Darwin berdiri. Sekali lagi gadis itu tertawa sambil mencium Lea yang kini digendong Daisy. Manis sekali. Kulitnya tidak putih seperti kulit Daisy. Itu yang membuatnya berbeda. Lebih memukau. Daripada gila karena gadis yang tidak dikenalnya, Darwin memutuskan bergerak mendekati Amia dan suaminya. Lebih cepat pergi dari sini lebih baik baginya.

“Selamat ya, Mia.” Darwin menyalami Amia lalu suaminya.

“Thank you…. Ah, Ini adiknya Kak Daisy. Namanya Darwin.” Amia mengenalkan Darwin kepada suaminya. “Eh, foto sekalian dulu kita,” ajak Amia.

“Tidak usah, Mia. Aku buru-buru.” Kalau mendatangi pesta pernikahan beramai-ramai bersama teman-temannya, Darwin dengan senang hati akan ikut berfoto. Kalau sendirian begini, berfoto bersama pengantin tampak menggelikan. Terlihat sangat putus asa sekali kalau dia harus berdiri di antara kedua mempelai.

“Kamu pasti dateng sendiri makanya nggak mau foto. Tapi…. ” Dan pintarnya, atau sialnya, Amia bisa menebak alasan sesungguhnya kenapa Darwin keberatan berfoto. “Vara! Sini!” Amia sedikit mengeraskan suaranya.

Kepala Darwin otomatis mengikuti arah pandangan Amia dan melihat gadis yang tadi bersama Lea mendekati mereka.

“Ada apa, Am? Ada yang bisa kubantu?” tanya gadis cantik itu—oke, baginya kata cantik susah ditinggalkan kalau menyangkut gadis bergaun panjang semata kaki itu—ketika sudah berdiri di dekat Amia.

“Ada. Foto, yuk. Temenin Darwin. Kasihan kondangan sendiri. Ini Darwin, adiknya Kak Daisy. Ini Vara. Savara. Mau, kan? Udah kucariin temen foto yang cantik begini.” Amia bicara dengan cepat lalu menarik Vara agar berdiri di sampingnya.

Darwin mengulurkan tangan untuk salaman dengan Vara sambil menyebutkan nama. Sementara gadis yang dikenalkan sebagai Vara itu hanya mengangguk sambil tersenyum samar. Mengecewakan. Tetapi tidak apa-apa. Setidaknya dia dan gadis itu bisa berada dalam satu foto. Meski tidak berdiri berdampingan, karena Darwin mengambil posisi di samping Gavin.

Vara lebih dulu meninggalkan mereka bertiga setelah sesi pemotretan selesai, ketika Darwin  bercakap sedikit dengan kedua mempelai. Saat mengamati sekelilingnya, Darwin melihat Vara sedang berdiri di samping meja empek-empek. Darwin tersenyum dan memutuskan untuk mengarahkan langkahnya ke sana.

“Keluarga Amia?” tanya Darwin setelah berdiri di dekat Vara.

“Teman.” Vara menerima semangkuk empek-empek dan mengucapkan terima kasih.

Darwin menyimpulkan Vara adalah salah satu anggota keluarga berdasarkan warna gaun Vara, yang sama seperti gaun yang dikenakan Daisy dan beberapa wanita di sini.

“Datang sendiri?” Darwin setengah berharap Vara tidak punya pasangan.

Vara tidak segera menjawab. Sepertinya hanya Vara yang merana sendirian di pesta pernikahan sahabatnya. Mata Vara menyapu ruangan dan tidak menemukan satu orang pun yang berdiri sendiri. Mendatangi kondangan sendirian itu menyedihkan. Saking menyedihkannya, sampai ada jasa sewa pasangan dengan tarif per jam sekian ratus ribu.

Catatan Penulis:

Sebelum membaca Savara, disarankan untuk membaca Bellamia dan Daisy Kedua cerita tersebut merupakan kisah dari dua sahabat Savara, Amia dan Daisy, yang banyak muncul dalam cerita Savara. Demi menghindari spoiler dan mengurangi keseruan.
Thing That Makes Me Happy

Di Balik The Dance of Love

Beberapa waktu yang lalu, seminggu sekali aku sempat mengunggah cerita The Dance of Love di sini. Kemudian, terhenti. Alasannya sepele dan lazim banget. Macet di tengah jalan. Aku nggak tahu gimana aku harus melanjutkannya. Bisa jadi karena aku salah start. Atau mungkin karena aku nggak bisa mengikuti outline yang kubikin. Kalau aku boleh menyebut, saat itu aku mengalami konstipasi dalam menulis. Di kepalaku ada banyak hal yang ingin kutulis, tapi meski kupaksa semua itu keluar dari kepalaku, tetap tidak bisa. Mirip seperti orang yang kesulitan, sorry, buang air besar.

Sebenarnya itu bukan kali pertama aku menulis cerita The Dance of Love. Dulu juga sempat pernah kutulis dan kuunggah. Nggak sanggup lanjut juga. Niatnya saat menulis cerita tersebut, aku ingin konsisten menulis seminggu dua ribu hingga tiga ribu kata. Nanti, dua puluh minggu kemudian, atau lima bulan, aku akan punya satu naskah utuh.

Tetapi itu semua nggak akan pernah terjadi. Sebab aku malah menunda-nunda menyelesaikan naskah. Hari Senin, kupikir besok aja, hari ini sudah capek. Besok malamnya, aku punya alasan lagi untuk menunda menulis. Begitu terus, malah akhirnya nggak nulis apa-apa.

Kemudian, aku memutuskan untuk kembali ke jadwal menulisku yang sebelumnya. Seperti ketika aku menulis My Bittersweet Marriage, When Love Is Not Enough, Bellamia, Midsommar, dan buku-bukuku yang lain. Dengan cara menulis setiap malam, sebanyak yang kubisa. Dalam waktu dua puluh hingga tiga puluh hari, The Dance of Love tersebut harus selesai.

Aku memulai menulis dari nol. Kurombak dari outline, deskripsi tokoh, semuanya. Tidak ada sedikit pun dari dua naskah terdahulu yang kupakai. Benar-benar kuawali dari halaman putih kosong. Berkali-kali aku bengong di depan laptop dan membatin, aduh apa lagi yang harus kutulis, bisa nggak aku menghasilkan seribu kata malam ini, dan macam-macam lagi.

Marathon menulis naskah seperti itu ada risikonya. Bisa bikin frustrasi karena kita seperti membuat diri kita sendiri dikejar deadline. Kalau sudah frustrasi, biasanya kata dan kalimat sulit sekali keluar. Atau kalau bisa, nggak akan natural. Cara menyiasatinya, begitu mulai tertekan, aku tinggalkan laptopku. Lalu ngobrol dengan keluarga, chatting dengan teman-teman,  nonton streaming badminton, membaca buku, dan cuma duduk-duduk di teras. Selama menulis, aku hampir menghilang dari media sosial, cuma muncul beberapa hari sekali untuk update.

Apa naskah The Dance of Love berhasil kuselesaikan? Ya, dalam waktu dua puluh satu hari. Hanya saja, aku merasa nggak puas. Seperti biasa. Setelah kuendapkan selama seminggu, aku membukanya lagi dan membaca ulang. Paragraf pembuka sudah pasti kuperbaiki. Lalu beberapa bagian di bagian tengah dan akhir.

Masih saja aku merasa nggak yakin dengan naskah tersebut. Rasanya aku banyak menulis paragraf deskriptif dan naratif. Meskipun kalimat-kalimat yang kubikin sudah lincah dan paragraf tersebut berperan mengalirkan cerita, aku agak ragu. Karena aku ingat, dulu aku pernah mengirim naskah ke penerbit, aku diminta untuk mengganti paragraf semacam itu dengan dialog. Alasannya sebab pembaca lebih suka buku yang banyak dialognya. Gundahlah diriku.

Tetapi alhamdulillah, aku punya guru dan panutanku, seorang editor yang hebat, Mbak Tari, yang bersedia membaca naskah tersebut dan memberiku masukan. Beliau belum mengirim balik naskah The Dance of Love kepadaku, tetapi sudah menyebut di status Facebook-nya bahwa …. she loves it.

Apakah aku akan mengunggah The Dance of Love di sini? Insyaallah, jika aku sudah menerima lagi naskahku dan masukan dari Mbak Tari sudah kulakasanakan.