Dari sampul belakang buku:
Langkah Darwin terhenti saat mendengar suara Lea, keponakan kesayangannya, sedang ribut minta es krim. Kakinya sudah akan melangkah mendekati mereka ketika dia melihat Lea melintas digendong seorang gadis. Bukan Daisy, kakaknya, ibunya Lea. Tetapi seorang gadis cantik yang sedang tertawa lalu duduk di kursi memangku Lea. Darwin sudah siap menyaksikan adegan seorang gadis, dengan wajah kesal, marah-marah dan berteriak karena Lea merusak gaunnya yang sempurna. Gaun berwarna mint itu memang sempurna sekali untuk tubuhnya, ditunjang warna kulitnya, rambut hitamnya, tawanya Darwin mengumpat menyadari dirinya sedang terpesona dengan seorang gadis yang baru pertama kali dilihatnya.
“Ah! Hahaha … Tante kedinginan kalau Lea jatuhin es krimnya di baju Tante.“
Tidak. Gadis itu tidak bereaksi seperti dugaannya—melipat wajah dan menggerutu—tetapi malah tertawa lalu mengelap bajunya dengan tisu. Wajahnya ketika tertawa…. She laughs with her whole face. Darwin semakin terpukau. Seandainya saat ini malam hari dan gelap gulita, Darwin yakin seluruh ruangan ini akan tetap terang benderang di matanya. Her smile lights up the world. Or his world, to be exact. Darwin tidak bisa melepaskan pandangan dari gadis cantik itu.
Saat ini mendadak dirinya menyadari satu hal. Kenapa lagu cinta, novel, dan film roman menjadi industri yang keuntungannya mencapai miliaran dolar karena—pada satu titik tertentu—orang merasa hal-hal cengeng seperti ini menjadi sangat masuk akal. All people need love. All people need romantic relationship. Begitu juga dengan Darwin. Di waktu yang tepat, ketika dia sedang tidak tahu di mana harus menemukan cinta, ada gadis yang menyedot perhatiannya. Gadis yang membuatnya lupa bagaimana cara bernapas.
“Cantik ya?”
“Shit! You scared the hell…,” umpat Darwin, langsung berhenti saat melihat Daisy berdiri di sampingnya. Kakaknya, satu-satunya kakak yang dimilikinya, menikah dengan Adrien, kakak laki-laki dari pengantin wanita di resepsi kali ini.
“Mau kukenalkan? Biar bisa ngajak kencan.” Daisy tertawa pelan melihat adiknya sejak tadi tidak berkedip memperhatikan Vara.
Darwin tidak mengatakan apa-apa. Seandainya saja mengajak kencan seorang gadis bisa semudah itu. Menurut Darwin, ada beberapa pekerjaan sulit di dunia ini. Mulai dari memenangkan balap sepeda Tour De France dengan jarak tempuh 3.000 mil tanpa bantuan steroid dan obat dopping—banyak di antara pemenang itu selanjutnya diperiksa atau dibatalkan kemenangannya karena ketahuan curang—sampai pekerjaan sulit lain seperti memasukkan kembali pasta gigi yang sudah telanjur keluar ke dalam tube-nya. Di antara kedua pekerjaan mahasulit tersebut, ada pekerjaan yang tidak kalah sulit. Mengajak seorang wanita berkencan. Wanita istimewa yang benar-benar membuat jatuh cinta. Bukan wanita yang menjadi pengisi waktu luang atau untuk ditiduri lalu minggu depan berganti wanita lagi.
Kalau ada laki-laki di dunia ini yang mengatakan sebaliknya, bahwa mengajak wanita berkencan adalah pekerjaan paling mudah di dunia, semudah menekan tombol flush di toilet, menurutnya laki-laki itu hanya bermulut besar. Atau dia delusional.
“Apa kamu ada waktu hari Minggu nanti? Aku telanjur beli dua tiket konser dan temanku tidak bisa pergi.” Mengatakan ini sama dengan membuat laki-laki sengaja mengundang sebuah bencana hebat bernama penolakan. Bukankah ditolak adalah salah satu ketakutan terbesar manusia? Termasuk bagi laki-laki.
“Just go home and jerk off.” Sebagian besar otak laki-laki memutuskan begini daripada mengambil risiko ditolak wanita.
Walaupun begitu, masih banyak laki-laki bernyali untuk mengajak wanita berkencan. Sebab tetap ada kemungkinan—sekecil apa pun itu—wanita yang disukai juga menyukai mereka dan menerima ajakan kencannya.
Pandangan Darwin mengikuti Daisy yang melangkah mendekati gadis itu, yang hanya berjarak sepuluh langkah dari tempat Darwin berdiri. Sekali lagi gadis itu tertawa sambil mencium Lea yang kini digendong Daisy. Manis sekali. Kulitnya tidak putih seperti kulit Daisy. Itu yang membuatnya berbeda. Lebih memukau. Daripada gila karena gadis yang tidak dikenalnya, Darwin memutuskan bergerak mendekati Amia dan suaminya. Lebih cepat pergi dari sini lebih baik baginya.
“Selamat ya, Mia.” Darwin menyalami Amia lalu suaminya.
“Thank you…. Ah, Ini adiknya Kak Daisy. Namanya Darwin.” Amia mengenalkan Darwin kepada suaminya. “Eh, foto sekalian dulu kita,” ajak Amia.
“Tidak usah, Mia. Aku buru-buru.” Kalau mendatangi pesta pernikahan beramai-ramai bersama teman-temannya, Darwin dengan senang hati akan ikut berfoto. Kalau sendirian begini, berfoto bersama pengantin tampak menggelikan. Terlihat sangat putus asa sekali kalau dia harus berdiri di antara kedua mempelai.
“Kamu pasti dateng sendiri makanya nggak mau foto. Tapi…. ” Dan pintarnya, atau sialnya, Amia bisa menebak alasan sesungguhnya kenapa Darwin keberatan berfoto. “Vara! Sini!” Amia sedikit mengeraskan suaranya.
Kepala Darwin otomatis mengikuti arah pandangan Amia dan melihat gadis yang tadi bersama Lea mendekati mereka.
“Ada apa, Am? Ada yang bisa kubantu?” tanya gadis cantik itu—oke, baginya kata cantik susah ditinggalkan kalau menyangkut gadis bergaun panjang semata kaki itu—ketika sudah berdiri di dekat Amia.
“Ada. Foto, yuk. Temenin Darwin. Kasihan kondangan sendiri. Ini Darwin, adiknya Kak Daisy. Ini Vara. Savara. Mau, kan? Udah kucariin temen foto yang cantik begini.” Amia bicara dengan cepat lalu menarik Vara agar berdiri di sampingnya.
Darwin mengulurkan tangan untuk salaman dengan Vara sambil menyebutkan nama. Sementara gadis yang dikenalkan sebagai Vara itu hanya mengangguk sambil tersenyum samar. Mengecewakan. Tetapi tidak apa-apa. Setidaknya dia dan gadis itu bisa berada dalam satu foto. Meski tidak berdiri berdampingan, karena Darwin mengambil posisi di samping Gavin.
Vara lebih dulu meninggalkan mereka bertiga setelah sesi pemotretan selesai, ketika Darwin bercakap sedikit dengan kedua mempelai. Saat mengamati sekelilingnya, Darwin melihat Vara sedang berdiri di samping meja empek-empek. Darwin tersenyum dan memutuskan untuk mengarahkan langkahnya ke sana.
“Keluarga Amia?” tanya Darwin setelah berdiri di dekat Vara.
“Teman.” Vara menerima semangkuk empek-empek dan mengucapkan terima kasih.
Darwin menyimpulkan Vara adalah salah satu anggota keluarga berdasarkan warna gaun Vara, yang sama seperti gaun yang dikenakan Daisy dan beberapa wanita di sini.
“Datang sendiri?” Darwin setengah berharap Vara tidak punya pasangan.
Vara tidak segera menjawab. Sepertinya hanya Vara yang merana sendirian di pesta pernikahan sahabatnya. Mata Vara menyapu ruangan dan tidak menemukan satu orang pun yang berdiri sendiri. Mendatangi kondangan sendirian itu menyedihkan. Saking menyedihkannya, sampai ada jasa sewa pasangan dengan tarif per jam sekian ratus ribu.