Itu adalah salah satu prinsip yang kupegang teguh sebagai seorang penulis, sejak buku pertama hingga judul keenam, The Promise of Forever, yang akan terbit bulan Oktober nanti. Tanpa tulisan itu, yang kupasang besar-besar di dinding kamarku, dan di buku catatan, aku tidak akan pernah mengirimkan naskah kepada editor. Karena aku akan terus membaca ulang dan merevisi naskahku, mungkin sampai aku mati. Sebab kesempurnaan itu tidak akan pernah bisa tercapai, walaupun aku menghabiskan banyak waktu untuk mewujudkannya.
Setiap kali mengerjakan sebuah naskah, aku hanya memberi kesempatan kepadaku dua kali membaca ulang. Otomatis, dua kali pula merevisi. Sudah pasti hasilnya tidak sempurna. Kalau mau dibaca ulang seratus kali, aku akan selalu menemukan bagian–bahkan hanya satu kata–yang harus kuedit. Ini sangat tidak sehat. Jadi, setelah punya naskah yang menurutku sudah baik, aku akan mendiamkannya miniman dua minggu. Selepas itu, aku memberi kesempatan pada diriku untuk dua kali membaca ulang naskah dan dua kali merevisi. Kalau sudah habis kuota itu, aku menyatakan naskah itu selesai dan mengirimkan kepada editor. Nanti aku akan merevisi lagi sesuai masukan dari editor. Pada proses ini pun, aku membatasi diriku untuk membaca ulang satu kali dan menahan diri untuk tidak mengganti apa pun selain pada bagian yang ditandai oleh editor.
Energi dan waktu bukanlah sumber daya yang tak terbatas. Aku harus menggunakannya dengan bijaksana. Sebagai penulis tugasku tidak hanya menulis naskah saja. Ada memikirkan cover, blurb, kelengkapan terbit lain, melakukan promosi, dan banyak lagi. Kalau energi dan waktuku habis hanya untuk membuat naskahku sempurna, karier menulisku akan berakhir sebelum kumulai.
Aku sudah pernah berada di posisi ingin mempersembahkan suatu naskah yang sempurna untuk editor dan buku yang sempurna untuk pembaca. Dan aku belajar banyak dari sana. Ketika aku menjadikan kesempurnaan sebagai tujuan, aku terjebak dalam kekhawatiran. Khawatir orang akan menemukan kesalahan-kesalahan kecil yang terdapat dalam naskah atau buku dan memberiku penilaian buruk. Sehingga aku akan mengambil kaca pembesar dan meneliti naskahku, huruf per huruf. Betapa melelahkannya melakukan ini. Kesempurnaan juga akan membuatku tersesat. Karena tidak tahu ke mana aku harus mendapatkannya, aku akan lebih memilih untuk tidak melakukan apa-apa.
Kesalahan bukanlah sesuatu yang tak termaafkan. Kalau aku menulis buku sepanjang 80.000 kata, ada kesalahan ketik sepuluh huruf, aku akan memaafkan diriku sendiri. Karena itu hanya berapa persen saja? Ketika sudah melewati proses revisi, proof reading dan seterusnya, lalu masih ada kesalahan, aku menyatakan kesalahan itu memang ditakdirkan ada di situ. Hahaha.
Banyak orang bertanya kenapa aku bisa produktif menulis. Jawabannya hanya satu. Aku tidak memikirkan jelek atau baik naskah yang sedang kukerjakan. Tidak memilirkan sempurna atau tidak nanti hasilnya. Yang kulakukan hanya menulis dan menulis saja. Tentu saja berdasarkan hasil riset. Ada naskah-naskah yang kudiamkan saja di folder di laptop, ada yang kunilai bagus dan harus dibaca oleh banyak orang, jadi harus terbit.
Seperti yang kukatakan dalam Note From The Author dalam bukuku, The Perfect Match, menuntut diri menjadi sempurna, atau melakukan segala sesuatu dengan sempurna,hanya akan membuat kita stres dan kondisi itu akan memengaruhi kesehatan fisik dan mental kita. Kalau kita sayang pada diri kita, kita akan fokus pada menyelesaikan suatu tugas, dengan baik, daripada terus mengusahan tugas itu selesai dengan sempurna.