Semenjak memutuskan untuk menjadi penulis, published author, pada tahun 2016 dan menerbitkan buku melalui penerbit mayor, aku menyadari impostor syndrom perlahan muncul dalam diriku. Pada waktu aku nggak memulai proses tersebut dengan mudah. Ada orang-orang yang iri padaku, ada orang-orang yang membenci keberhasilanku, bermacam-macam tanggapan buruk yang kudapat. Semuanya bukan tentang bukuku, bukan tentang tulisanku, melainkan mengenai pribadiku. Sering aku dapat informasi dari teman, di forum sana aku diomongkan begini, di forum sini aku dikabarkan begini. Keadaan tidak mengenakkan tersebut masih diperparah oleh pendapat keluarga besarku. Banyak dari mereka mengatakan aku hanya buang-buang waktu menulis cerita-cerita khayalan. Lebih baik aku menggunakan waktu untuk mendesak laki-laki yang mendekatiku supaya menikahiku. Lima ratus buku yang kujual selama lima hari tidak ada artinya. Ya memang 500 buku itu sedikit, tapi bagiku yang belum pernah menjual buku, otu rekor.
Aku mulai rajin meragukan kemampuan dan kualitasku dalam menulis. Memang banyak orang memberikan pujian dan reviu positif, antusiasme pembaca juga tak menurun. tetapi tetap saja aku tidak yakin apakah aku sudah berada di dunia yang benar. Banyak penulis yang lebih hebat dariku, yang tulisannya lebih memukau. Lebih baik orang memakai uangnya untuk membeli karya mereka. Pikiran seperti itu terus menghantuiku. Pada saat buku keduaku hendak terbit, impostor syndrom tersebut semakin membuatku sulit melangkah. Dari berbagai reviu, orang mengatakan bahwa buku keduaku jauh lebih baik dari buku pertama. Kata mereka aku semakin lincah menulis, semakin dalam menggali emosi–membuat pembaca menangis lalu tersenyum bersama Lilja dan Linus.
Tetapi bukannya bersemangat segera menulis naskah selanjutnya, aku malah nggak tahu harus melakukan. Ada beberapa target yang kutetapkan, tetapi ketika tak tercapai, aku merasa ingin berhenti berusaha karena aku merasa nggak mampu. Seberapa bagus pun karyaku—atau apa pun yang kulakukan, hanya kekecewaan yang kudapati pada akhirnya. Aku berpikir orang-orang di sekitarku tentu meragukanku, membicarakan kegagalanku dan mengatakan kepada anak-anak mereka supaya realistis saja, jangan sampai melakukan kebodohan sepertiku.
Ketika melihat orang lain berprestasi, atau sukses, aku kagum dan mengucapkan selamat. Tapi dalam hati aku merasa nggak akan bisa melakukan hal yang sama. Aku tidak merasa iri. Hanya semakin merasa tidak bisa. Rasanya tiap hari aku hanya mempaving jalan menuju kegagalan. Semakin hari aku semakin tenggelam dalam lubang hitam bernama keraguan-raguan. Buku ketigaku dan seterusnya memang tetap terbit dan aku berusaha membuat buku selanjutnya lebih baik daripada sebelumnya.
Karena sadar impostor syndrom ini tidak baik untuk kewarasanku, aku memulai langkah-langkah kecil untuk memperbaiki cara berpikirku. Dalam sebuah buku jurnal, aku menulis kalimat-kalimat positif dari teman-teman yang kuterima melalui media sosial, WhatsApp, atau e-mail, mempercayai orang-orang yang memberiku tugas—sebab mereka tahu kemampuanku meski aku merasa tidak layak untuk tugas tersebut, berhenti membandingkan diriku dengan orang lain, mendaftar kelebihanku plus pencapaian yang harus kusyukuri, menyadarkan diriku bahwa kegagalan adalah bagian dari kehidupan, dan berpura-pura sukses sampai aku benar-benar sukses.