Thing That Makes Me Happy

SEBUAH KESALAHAN

SEBUAH KESALAHAN DALAM MENULIS

Ini bukan tentang kesalahan dalam teknis kepenulisan. Bukan. Melainkan salah motivasi dalam menulis.

Tadi malam, sebelum tidur, aku memikirkan perjalanan karier menulisku—uh huh, biar tampak hebat meski sebenarnya ya nggak juga. Sejak SMA aku sudah aktif menulis di buku harian. Ini adalah fondasi karier yang amat penting, tidak bisa diremehkan. Semenjak kelas dua atau tiga SMA, aku bertukar buku harian dengan sahabatku, Kristian. Isinya macam-macam. Dari cowok yang kami sukai, lirik lagu yang menggambarkan suasana hati, keluarga, teman yang menyebalkan, sampai pembahasan soal-soal biologi. Sampai hari ini aku masih sering membaca buku tersebut, karena cerita-cerita di dalamnya begitu hidup.

Waktu kuliah, aku ikut menulis di majalah komunitas kampus. Isinya tentang IT dan orang-orang IT. Aku mengikuti berbagai pelatihan jurnalistik, gratis maupun bayar. Masa-masa kuliah adalah masa-masa aku patah hati berkali-kali dan aku menuangkan perasaaanku dalam tulisan. Semua masih tersimpan rapi hingga kini. Bahkan, aku memenangkan lomba menulis cerita pendek karena cerita pedih tentang diriku dan seseorang yang tidak ingin kuingat sepanjang hidupku. (Hai, seseorang, kalau kamu baca ini, jangan komen-komen lagi di Instagramku, ya, bikin ingat kenangan kita.)

Saat aku mulai masuk dunia kerja—yang kerasnya minta ampun—aku berhenti menulis. Kecuali menulis status di media sosial, aku tidak pernah lagi menghasilkan tulisan yang lebih panjang daripada 1000 huruf. Beberapa kali aku mencoba meniatkan diri untuk ikut lomba menulis novel, tapi naskah tidak pernah selesai karena aku lebih sibuk pergi ke luar kota terkait pekerjaan.

Bagiku menulis adalah sebuah terapi mental. Karena itu, pada masa-masa mudaku—haha I mean school days—tulisanku banyak berputar-putar pada masalah kesedihan, kekecewaan, patah hati, dan segala hal negatif lain. Memang tulisan tersebut tidak menyelesaikan masalah, tetapi selalu berhasil membuat hatiku dan pikiranku lebih ringan. Suatu ketika saat kutengok lagi tulisan tersebut, aku akan tertawa, memikirkan betapa konyolnya diriku yang membesar-besarkan hal kecil.

Aku menulis apa yang ingin kutulis. Aku menulis apa yang benar-benar kurasakan. Aku menulis untuk menghibur diriku sendiri. Aku menulis untuk kebahagiaanku. Aku menulis karena aku perlu menulis. Aku menulis karena aku suka menulis.

Baru pada tahun 2015 aku mulai menulis lagi. Naskah yang berhasil kuselesaikan adalah Geek Play Love. Lalu The Danish Boss, dan My Bittersweet Marriage. Tahun berikutnya, ketiganya sudah terbit dan berwujud buku. Hingga hari ini, aku masih ingat betul apa yang kurasakan saat menulisnya. Hanya ada perasaan bahagia. Aku menikmati setiap prosesnya. Dari menciptakan karakter Dinar hingga meriset kota yang ditinggali Afnan. Biaya yang kukeluarkan untuk menulis buku tersebut tidak murah. Banyak buku yang harus kubeli dan aku harus mentraktir temanku kopi, karena dia bersedia jadi narasumber. Tetapi aku tidak memikirkan semua itu. Hanya satu yang penting. Naskah yang sedang kukerjakan selesai dan aku bisa berbangga di hadapan diriku sendiri.

Pada waktu itu aku menghadapi masa sulit dan aku membenci hidupku. Aku sudah traveling, aku sudah mencurahkan isi hati kepada teman dan tetap saja, aku ingin lari dari duniaku. Lagi-lagi tulisan menyelamatkanku. Dalam tulisanku, aku bisa membuat kehidupan baru. Aku boleh menciptakan dunia baru sesuai dengan keinginanku. Dengan mudah aku mengatur hidup Dinar dan Jasmine. Memindahkan Hessa ke dekat kutub utara. Membuat Fritdjof bertemu dengan Kana. Sepanjang menulis, aku menyadari bahwa aku sendirilah yang tahu apa yang terbaik untuk diriku, apa yang membuatku bahagia, siapa orang yang harus kudengarkan dan siapa yang perlu kuabaikan.

Sekarang, tiga tahun sudah berlalu dan aku masih tetap menulis dan menerbitkan buku. Kebahagiaan yang dulu kurasakan, kini semakin sulit kutemukan. Pokok permasalahannya satu. Uang. Setelah merasakan mendapatkan uang dari penjualan buku—terhitung banyak, dalam duniaku—aku menjadikannya sebagai tujuan utama. Ketika laporan penjualan buku sangat bagus, aku tergerak untuk menulis. Ketika tidak, aku merasa tidak ada gunanya aku menulis.

Kiamat!

Sudah banyak cerita seseorang berhenti menulis karena naskahnya tidak pernah diterima oleh penerbit. Atau seseorang memutuskan untuk tidak lagi menulis karena bukunya tidak laku. Aku tidak mau menjadi bagian dari kelompok mereka. Aku ingin terus menulis meski tidak mendapatkan uang. Aku ingin terus menulis meski aku hanya punya satu pembaca: diriku sendiri.

Karena itu, aku berusaha untuk tidak menjadikan jumlah penjualan sebagai motivasi untuk menulis. Aku berusaha untuk tidak mengontrol hasil akhir, orang lain suka atau tidak, urusan belakangan, yang penting aku bahagia selama menulisnya. Aku berusaha untuk tidak mengatur arah masa depan tulisanku, mau dijual atau hanya disimpan di laptop, tidak akan menjadi masalah.

Seluruh energi—bahan bakarnya cinta—yang kupunya kucurahkan dalam karyaku. Untuk bertahan menghasilkan karya dalam jangka waktu panjang, diperlukan gairah yang kuat. Tidaklah muncul gairah tersebut jika tak ada cinta yang mendorongnya. Katanya, segala karya yang didasari cinta akan menarik lebih banyak kesempatan dan kesuksesan.

Tetapi, sekali lagi, aku tidak memikirkan kedua hal tersebut. Aku ingin memperbaiki niatku, mengatur ulang motivasiku. Sebab, disadari atau tidak, niat dan motivasi bisa terbaca dari sebuah karya. Ketika merasa terpaksa harus menulis demi mengejar target selain kebahagiaan, hati akan selalu dipenuhi rasa iri. Mulai membanding-bandingkan dengan pencapaian orang lain. Sangat tidak sehat dan bisa mempengaruhi warna tulisan. Tidak menyenangkan menikmati hasil karya yang tidak dibuat sepenuh hati.

 

12 Juli 2018

Ika Vihara