Ini tentang beban promosi dan marketing yang dipikul sendirian oleh seorang penulis, bahkan yang terbit mayor/tradisional. Baik dari segi biaya maupun upaya. Tetapi sebelum menuju ke sana, aku ingin sedikit menceritakan mengenai sosok penulis yang kucita-citakan.
I am not a people person. Sejak kecil, aku lebih suka membaca buku cerita daripada bermain bersama teman. Aku lebih suka berada di dalam kamar daripada di sawah atau di mana pun anak-anak seusiaku dulu berkumpul. Saat peringatan tujuh belasan atau ada event penting lain, aku lebih memilih ikut lomba yang tidak harus berhadapan langsung dengan juri dan lawan. Misalnya menulis cerpen dan menggambar. Wajar jika aku memiliki cita-cita menjadi penulis, profesi yang kukira tidak menuntutku untuk hadir di muka banyak orang.
Dalam bayanganku, aku hanya perlu menulis buku, menerbitkannya, menulis lagi, menerima uang dari buku yang sudah terbit, menerbitkan lagi, dan seterusnya. Aku tidak perlu depresi hanya karena tidak ada satu orang pun yang menyukai unggahanku di medsos. Tentu saja dalam anganku, bukuku terkenal dan sosokku menjadi misteri. Mungkin saat naik kereta, penumpang di sampingku membaca bukuku, lalu aku bisa bertanya padanya dia sedang membaca buku apa dan apakah dia menyukainya, tanpa dia menyadari akulah penulisnya.
That’s the dream I dreamed, to be short of quiet famous. Menjadi penulis yang membawa kebahagiaan—dan nilai tambah lain–ke dalam hidup pembaca, yang dikenal luas buku-bukunya, yang memiliki satu tugas saja yaitu berkarya, tanpa perlu memikirkan penampilan, public speaking, konten, jumlah followers, dan sebagainya layaknya seorang selebritas atau public figure.
Tetapi cita-cita itu sudah tidak mungkin lagi kuwujudkan. Tipe penulis yang seperti itu—bagiku dan mungkin penulis lain—sudah mati sejak era media sosial. Cukup menulis buku yang luar biasa dan bukumu akan menjadi best seller hanyalah sebatas dongeng saja. Tahun demi tahun aku melihat mimpiku perlahan-lahan dibunuh oleh kapitalisme. Aku berdiri menyaksikan para penulis sekarang tidak lagi hanya harus mempromosikan bukunya, tapi juga dirinya. Mereka harus rela melakukan apa saja agar bukunya terjual. Mengorbankan privasi, mempublikasikan taruma, mempertontonkan aib keluarga, apa pun demi bisa menarik perhatian orang dan viral.
Bukti lain, penerbit yang menerbitkan bukuku mengadakan author gathering dengan mengundang seleb media sosial untuk ‘mengajari’ penulis cara membangun ‘komunitas online’. Bahasa lain untuk ‘mengumpulkan followers’.
Look, aku menerbitkan buku debutku tahun 2016 dan saat itu sudah ada media sosial. Bahkan editor bertanya tentang media sosial yang kumiliki. Waktu itu aku berpikir banyak orang akan membaca bukuku, menyukainya, lalu mengikutiku di media sosial supaya tidak ketinggalan kabar saat bukuku yang selanjutnya terbit. Jadi mereka tidak akan peduli konten medsosku menarik atau tidak. Tetapi semakin ke sini, aku dipaksa percaya sebaliknya. Aku harus lebih dulu membuat konten yang menarik perhatian orang—viral akan lebih bagus, lalu banyak orang akan follow, baru kemudian meminta mereka membeli bukuku.
Aku tidak tahu bagaimana dulu penerbit mempromosikan buku yang mereka terbitkan, jadi aku tidak bisa membandingkan dengan sekarang. Aku hanya bisa mencermati pengalamanku sendiri sejak debut. Upaya penerbit dalam mempromosikan buku di era media sosial untuk bukuku nyaris tidak ada. Paling hanya mengunggah cover bukuku bersama banyak buku lain di minggu terbit. Nanti kalau ada revieu dari pembaca, mereka akan unggah cuplikannya. Kalau beruntung ada satu postingan tambahan tentang trivia terkait bukuku.
Bayangkan betapa kagetnya aku saat debut dulu. Reviu-reviu buku yang kubaca di blog dan media sosial ternyata bukan andil penerbit. PENULIS yang menghubungi reviewers dan mengirim buku kepada mereka. Untuk penulis debut—aku, 2016—mengirim e-mail kepada reviewers, memohon agar mereka mau mereviu bukuku adalah tugas yang tidak mudah. Menakutkan bahkan. Kita belum punya nama, belum ada yang mengenal. Ada reviewers yang menolak karena tidak percaya pada kualitas buku debut. Ada pula suatu akun review yang meminta 5 buku untuk mereka dan 2 buku giveaway. Ada juga yang tidak me-review, hanya kultwit blurb di belakang buku.
Dari mana buku-buku yang kukirim kepada reviewers? Aku harus membelinya. Karena minta pada penerbit biasanya hanya dikasih 5 buku. Lima buku tidak cukup untuk menciptakan riak-riak kecil di media sosial. Sekarang, reviu tidak lagi gratis. Banyak bookstagrammers dan booktokers yang menetapkan tarif jika kita ingin mereka mereviu buku kita. Ini yang membuat semua menjadi semakin berat untukku. Sudah harga beli buku mahal—penulis hanya dapat diskon 20% jika membeli bukunya sendiri—masih ditambah mencari-cari siapa kiranya yang bersedia mereviu tanpa honor.
Dulu masih mending, penulis menerima uang muka terbit. Besarnya 10% x jumlah cetak x harga jual P. Jawa. Mau laku atau tidak laku suatu buku, penulis sudah pasti mengantongi uang segitu. Jika aku menerima uang muka terbit Rp 1.500.000,- dan mengeluarkan biaya promosi Rp 1.000.000,-, aku masih bisa menikmati Rp 500.000,- sisanya. Uang muka terbit dibayar kapan pun buku terbit, tidak mengikut jadwal royalti setiap 6 bulan sekali. Sekarang setelah uang muka terbit hilang—dulu alasannya karena covid, tapi covidnya pergi uang muka terbit tidak datang kembali—jika habis uang untuk promosi Rp 1.000.000,-, aku harus bisa menjual 100 buku agar bisa balik modal. Kalau nggak bisa laku segitu, ya berusaha ikhlas. Menerima uangnya pun harus menunggu bulan Februari atau Agustus.
Biaya promosi seharusnya ditanggung oleh penerbit. Sebab mereka memiliki modal yang lebih besar dan mendapatkan share profit lebih banyak. Mencetak 10 atau 20 buku tambahan untuk dibagikan kepada reviewers tentu lebih murah daripada penulis harus membeli buku mereka sendiri. Rp 20.000,- an vs Rp 96.000,- per buku. Jika penerbit tidak mau keluar uang Rp 200.000,- mereka bisa memasukkan e-mal reviewers saat mengunggah e-book ke Google Books. Jadi reviewers bisa membaca buku di sana gratis. Penerbit juga memiliki departemen pemasaran yang bisa menganalisis data, agar ditemukan metode promosi mana yang tepat untuk suatu jenis buku. Berbeda dengan penulis yang hanya 1 orang dan memiliki keterampilan dan sumber daya yang terbatas.
Penerbit langsung move on setelah menerbitkan bukuku. Tetapi aku tidak bisa. Aku harus membuat konten di semua medsos untuk … well, aku nggak tahu untuk apa. Jumlah jangkauan/reach media sosial semakin ke sini semakin menyedihkan. Membuat konten yang bagus saja tidak cukup, tapi harus yang luar biasa agar menarik perhatian. Apakah ini akan meningkatkan penjulan buku? Berdasarkan pengalamanku, nggak. Selama ini aku membicarakan bukuku di medsos hanya untuk menghapus rasa bersalah di dalam diriku. Paling nggak, aku melakukan sesuatu untuk bukuku. Karena kalau bukan aku sendiri yang membicarakan bukuku, nggak akan ada yang melakukannya.
Membuat konten itu, bagiku, sulit. Pada dasarnya aku memang nggak nyaman bermedia sosial, sebagaimana aku nggak nyaman berkumpul dengan banyak orang. Aku AuDHD dan aku mengidap gangguan kecemasan. Memasang wajah di depan kamera saja perlu persiapan mental berhari-hari. Dulu kita cukup mengunggah gambar, sekarang nggak lagi. Harus pakai video. Dulu kita cukup mengunggah kutipan dari buku, sekarang nggak lagi. Kita harus bikin … I don’t know … video teaser, live, dan sebagainya? Untuk ‘terlihat’ di media sosial banyak syaratnya—dan terus berubah, kalau aku mempelajarinya satu per satu, aku nggak akan punya waktu untuk menulis buku.
Pendapatanku sebagai penulis nggak akan cukup untuk biaya hidup—Rp 10.000,- per buku dan masih dikurangi biaya menulis, biaya promosi, dan lain-lain—sehingga aku harus punya pekerjaan utama. Setelah setiap hari bekerja dari pagi sampai sore lalu mengurus rumah, punya waktu untuk menulis saja sudah sangat kusyukuri. Kalau masih harus promosi, membuat konten, dan sebagainya itu, lama-lama aku nggak akan sanggup juga. Menjadi penulis buku menuntut energi yang lebih besar dengan pekerjaan full time, tapi dengan ganjaran yang jauh berbeda.
Sekali lagi, penerbit memiliki the whole department, dengan orang-orang yang direkrut berdasarkan kompetensi mereka, tapi kenapa bukan penerbit yang mempromosikan buku yang mereka terbitkan? Kenapa mereka tidak pernah menyusun marketing plan untuk sebuah buku dan diberitahukan kepada penulis? Oke, ada yang berpendapat buku yang diterbitkan dalam setahun banyak sehingga tidak memberi perhatian pada satu per satu buku. Kalau sudah tahu tidak mampu mempromosikan, kenapa tidak mengurangi jumlah buku terbit? Lebih baik selektif menerbitkan tapi bisa mempromosikan dengan layak lalu laku semua daripada menerbitkan banyak buku tapi hanya satu dua yang beruntung bisa laku. Menurutku sih itu. But what do I know, I am just a small potato in the big bowl of soup.
Perjalananku sebagai penulis sudah hampir mencapai akhir. Sejak The Dance of Love terbit bulan Desember 2023, aku memaksa diriku untuk mempromosikannya. Sendirian. Aku sudah sangat lelah dengan segala upaya yang kucoba tapi nggak ada hasilnya. Sebagai orang dengan AuDHD, aku menyukai kepastian. Jika aku melakukan A, hasilnya harus B. Kalau hasilnya nggak sesuai, aku harus tahu salahnya di mana. Sedangkan untuk promosi buku, yang mana aku gagal sebab semakin kulakukan penjualan bukuku semakin menurun, aku nggak tahu di mana salahnya. Ini menyebabkan aku depresi dan psikologku sudah sering memberi kode-kode supaya aku meninggalkan industri penerbitan agar tidak menderita terlalu lama.
Tetapi, cerita tentang beban penulis nggak berhenti sampai di sini. Aku akan melanjutkannya di bagian 2 nanti. Satu hal yang ingin kutekankan pada siapa pun yang membaca ini. Menulis dan membuat konten adalah dua keahlian berbeda. Seorang penulis tidak perlu mendapatkan banyak like dan followers di media sosial untuk menunjukkan kemampuannya. Jumlah penjualan juga tidak bisa dijadikan dasar penilaian. Kamu bisa menulis buku terbaik di dunia tapi tidak ada yang meliriknya. Sebab semuanya bergantung pada promosi. Dan mungkin keberuntungan.
See you in part 2 soon.